Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Regina Marliau
Abstrak :
Latar belakang: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) merupakan terapi paliatif untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, namun memerlukan tatalaksana antikoagulan pascaoperasi agresif untuk mencegah komplikasi oklusi shunt dan perdarahan yang berujung pada kematian. Penelitian ini menilai efektivitas pemeriksaan koagulasi alternatif yaitu Activated Clotting Time (ACT) yang lebih mudah dan cepat dihasilkan dibandingkan dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk regulasi antikoagulan yang lebih agresif untuk mencegah komplikasi pascaoperasi MBTS. Metode: Desain penelitian adalah retrospektif longitudinal. Semua pasien yang menjalani MBTS di periode Januari 2017 hingga Mei 2018 dibagi menjadi dua kelompok, yang menggunakan ACT setiap jam dan kelompok APTT yang diperiksa setiap empat jam. Kedua kelompok dievaluasi selama perawatan pascaoperasi adanya kejadian oklusi shunt, perdarahan, operasi ulangan, dan kematian Hasil: Total subjek adalah 174 pasien yang menjalani MBTS, sebanyak 59 pasien dilakukan regulasi heparin pascaoperasi dengan ACT dan 115 pasien dilakukan pemeriksaan APTT. Angka kejadian operasi ulangan lebih rendah signifikasn pada kelompok ACT dibandingkan APTT sebesar 6,77% (p= 0,023).Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada kejadian oklusi (p=0,341; OR 0,571 IK95% 0,178-1,834), perdarahan pascaoperasi (p= 0,547; OR 0,563 IK95% 0,149-2,128), dan kematian (p=0,953; OR 0,975 IK95% 0,369-2,554). Kelompok ACT menunjukkan kecenderungan protektif terhadap kejadian-kejadian morbiditas pascaoperasi MBTS. Simpulan: Regulasi dosis heparin menggunakan pemeriksaan ACT nenurunkan kejadian operasi ulangan dan menunjukkan hasil protektif terhadap morbiditas pascaoperasi MBTS lainnya sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya. ...... Background: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) is a palliative treatment for cyanotic congenital heart disease (CHD) which needs postoperative anticoagulant treatment to prevent shunt occlusion and postoperative bleeding. This study was to find out the effectivity of alternative coagulation test of Activated Clotting time (ACT) which is faster and easier to produce compared to Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) for a more aggressive anticoagulant regulation to prevent postoperative complcations. Methods: The study design is retrospective longitudinal study. All patients that underwent MBTS from January 2017 to Mei 2018 is deviden into 2 groups, first using ACT to regulate heparin and the second group using APTT. Both groups are studied for the incidence of shunt occlusion, bleeding, redo operation, and death. Results: Total subjects who underwent MBTS were 174 patients. Postoperative heparin is regulated using ACT in 59 patients and APTT in 115 patients. There are less shunt occlusion in ACT group (6,78%) compared to APTT (11,03%) but statistically insignificant (p = 0,341). Bleeding is less in ACT group (5,08%) compared to APTT (8,69%) but statistically insignificant (p= 0,547). Mortality is lower in ACT group (11,86%) compared to APTT (12,17%) but statistically insignificant (p = 0,953). Redo operation is significantly lower in ACT group (6,77%) compared to APTT (20%) with p = 0,023. Although statistically insignificant, ACT group showed clinically significant lower shunt occlusion, bleeding, and mortality. Conclusion: No significant difference between ACT and APTT in shunt occlusion, bleeding, and mortality, but redo operation is significantly lower in ACT group. ACT might be considered as alternative test for easier and faster method to regulate postoperative MBTS heparin dose.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Abstrak :
Aterosklerosis sebagai penyebab terjadinya PJK merupakan proses multifaktorial karena banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkannya dengan mekanisme yang saling terkait. Saat ini proses aterosklerosis dianggap sebagai proses inflamasi. Inflamasi terbukti berperan penting pada inisiasi, progresi maupun destabilisasi plak aterosklerosis. High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) merupakan salah satu petanda inflamasi yang penting pada penyakit jantung koroner (PJK) yang berhubungan dengan tingkat keparahan aterosklerosis, iskemi miokardium dan nekrosis miokardium. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kadar hs-CRP pada pasien sindroma koroner akut (SKA), PJK kronik dan bukan PJK, serta untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kadar hs-CRP dengan kadar enzim CKMB pada pasien infark miokard akut (IMA). Penelitian bersifat observasional deskriptif dan analitik dengan pendekatan potong lintang. Dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dengan metode chemiluminescent pada 21 pasien SKA, 20 pasien PJK kronik dan 20 bukan PJK. Didapatkan kadar hs-CRP rerata pada pasien SKA, PJK kronik dan bukan PJK sebesar 8,40 (SD 5,53) mg/l, 2,81 (SD 2,09) mg/l dan 1,07 (SD 0,81) mg/l. Analisis statistik didapatkan perbedaan kadar hs-CRP yang bermakna antara pasien SKA, PJK kronik dan bukan PJK (p 0,000). Kadar hs-CRP mempunyai korelasi positif yang bermakna dengan kadar enzim CKMB pada pasien IMA (p 0,004). Sebagai kesimpulan, kadar hs-CRP pada pasien SKA secara bermakna lebih tinggi dibanding PJK kronik dan bukan PJK. Terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar hs-CRP dengan peningkatan kadar enzim CKMB. (Med J Indones 2004; 13: 102-6)
Coronary heart disease (CHD) due to atherosclerosis is a multifactorial process with multiple interdependent factors. At present time, atherosclerosis is considered to be an inflammatory process. It has been proven that inflammation plays a mayor role in the initiation, progression as well as the destabilitation of the atherosclerosis plaque. High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) is one of the most important inflammatory marker in CHD and directly related to the extent and severity of atherosclerosis, extent of myocardial ischemia and myocardial necrosis. The purpose of this study is to determine hs-CRP levels in patients with acute coronary syndrome (ACS), chronic CHD and non CHD. And, to determine the correlation between hs-CRP levels and CKMB enzyme level in patients with acute myocardial infarction (AMI). This is a descriptive observational analytic study with cross sectional design. hs-CRP levels were measured by using chemiluminescent method on 21 ACS patients, 20 chronic CHD patients and 20 non CHD patients. The mean hs-CRP level in ACS, chronic CHD and non CHD patients were respectively 8.40 (SD 5.53) mg/l, 2.81 (SD 2.09) mg/l and 1.07 (SD 0.81) mg/l. A statistically significant difference in hs-CRP level was found between ACS, chronic CHD and non CHD (p = 0.000 ). A positive correlation was found between hs-CRP level and CKMB enzyme level in AMI patients (p = 0.004). In conclusion hs-CRP level is consistently higher in patients with ACS compared to patients with chronic CHD and non CHD. A positive correlation was found between the increased level of hs-CRP and CKMB enzyme level. (Med J Indones 2004; 13: 102-6)
Medical Journal of Indonesia, 13 (2) April June 2004: 102-106, 2004
MJIN-13-2-AprilJune2004-102
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaeni
Abstrak :
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat serius akibat setiap tahun terjadi peningkatan dan salah satu kontributor terhadap angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular di seluruh dunia. PJK yang didiagnosis adalah 46%. Infark miokard pada wanita usia 50 tahun. Perubahan pola hidup yang ditandai dengan meningkatnya wanita lansia khususnya wanita yang memasuki masa menopause yang merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian penyakit jantung koroner. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut mendukung bahwa wanita yang memasuki tahap menopause berisiko meningkat secara signifikan terserang penyakit jantung koroner. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status menopause dengan kejadian penyakit jantung koroner di Kelurahan Kebon Kalapa Kecamatan Bogor Tengah Tahun 2011. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder studi kohor faktor risiko penyakit tidak menular Tahun 2011 dengan desain cross sectional. Analisis data menggunakan stratifikasi dan analisis multivariat menggunakan Logistic Regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi PJK sebesar 71,3% dan status menopause 55,7%. Berdasarkan hasil multivariatnya menunjukkan bahwa wanita yang mengalami menopause memiliki risiko 1,6975 kali terhadap kejadian penyakit jantung koroner dibandingkan responden wanita yang tidak mengalami masa menopause dengan 95% CI (1,0662-2,7025 dan p value 0,026 setelah dikontrol variabel stress. Odds wanita yang mengalami stress 0,5635 kali lebih besar untuk menderita kejadian penyakit jantung koroner dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami stress (faktor protektif) dengan interval kepercayaan 95% sebesar 0,3506 – 0,9058 dan p value 0,018. ......Coronary Heart Diseases categorized into serious health problems due to the increasing oMuch research in this last decade reported the relation between the status of menopause with of coronary heart disease. Found that menopause causing a myocardialf its prevalence every year. Its one of the contributors to the global burden of disease and mortality in the world, where 46% of this disease was myocard infarct in women whom their ages 50 years. Changing of people lifestyle was one of the risk factors to the increasing of the disease in community. The objective of this study was to investigate the association between stage of menopause wih coronary heart diseases in Kebon Kalapa sub district central Bogor in 2011. This in a cross sectional study, utilized the data secondary study cohort of the disease of non communicable diseases. The inclusion criteria was Kebon Kalapa resident whom their ages less or more than 50 years. The data analysis was performed with stratification and logistic regression multivariate analysis. The results of study showed the prevalence of coronary heart diseases was 71,3% dan state menopause 55,7%. The result of multivariate analysis showed that the women with menopause had 1,6975 risk to get coronary heart diseases compared to the women who did not, after controlling for covariate, the history of coronary heart diseases (PR = 1,6975, 95% CI 1,0662-2,7025 dan p value 0,026 ) after control for variables the stress.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helen Surya Atmaja
Abstrak :
Bahan dan Metode : Desain cross seksional pada 99 subyek laki-laki tahun yang dipilih secara simple random sampling dari sarnpel MONICA Jakarta III. Data yang dikumpulkan meliputi data umum subyek, asupan makanan, antropometri, tekanan darah, EKG dan pemeriksaan laboratorium darah. Uji statistik yang digunakan adalah uji X2, Fisher dan Kolmogorov-Smimov, Mann Whitney dan korelasi Pearson / Spearman rank. Hasil : Kadar feritin serum ?200 p.glL tedapat pads 8,1% subyek. Asupan besi total 4,81 mg (1,59-13,24 mglhari), besi hem 0,21 mg (0-1,22 mg/had), 93,9% asupan besi kurang 1 AKG. Terdapat 13,1% dengan IMT >27 kglm2, 20,2% dengan Lpe X94 cm aan rasio LpelLpa X0,95; 34,3% dengan tekanan darah >149190 mm Hg, Kadar kolesterol total abnormal 41,4% (?200 mgldL); kolesterol HDL abnormal 63,6%(z40 mgldL); kolesterol LDL abnormal 52,5% (?130 mgldL); trigiiserida abnormal 11,I%(200 mg/dL); gula puasa abnormal 5,1% (?126 mgldL). Kebiasaan merokok pada 54,5% subyek. Tidak trdapat korelasi bermakna antara asupan besi total (r--0,038) dan besi hem (r,027) dengan feritin serum. Rasio Odds kasar antara feritin serum dengan PJK (diagnostik EKG) 5,5 kali (CI. 0,87-34,33). Pada uji statistik didapat perbedaan bermakna median feritin serum pads subyek diabetes daengan non diabetes (p~,001) dan subyek dengan kelebihan lemak tubuh dengan subyek dengan lemak tubuh normal (Lpe dengan p:1,009; LpelLpa dengan p"0,047). Kesimpulan: Didapatkan hubungan tidak bermakna antara feritin serum dengan asupan zat gizi. Terdapat hubungan moderat antara feritin serum dengan risiko PJK. Subyek dengan feritin serum ? 200 .iglL mempunyai kecenderungan risiko 5,5 kali menderita PJK (diagnostik EKG) dibandingkan subyek dengan feritin serum <200 p.g(L,
Serum ferritin in men 35 years old or over and its relating factors at Mampang PrapatanMethods : A cross sectional study had been carried out of on 99 subjects age 35 years selected using simple random sampling method from MONICA Jakarta's III sample. Data collected consist of socio-economic state, dietary intake, anthropometric, laboratory, blood pressure and electrocardiogram examination. Statistical analysis was performed by X-, Fisher, Kolmogorov-Sm imov, Mann-Whitney, and Pearson/ Spearman rank correlation. Result : Serum ferritin 1200 1.tglL was found in 8,1% subjects. Total iron intake 4,81 mg (1,59-13,24 mg/day), heme iron 0,21 mg (0-1,22 mg/day), 93,9%% of iron intake below the RDA. There were 13,1% subjects with BMI >27 kg/m2; 20,2% with AC >94 cm and WHR >0,95; 34,5% with blood pressure >140/90 mm Hg. Abnormal total cholesterol level 41,4% (1200 mg/dL); abnormal HDL cholesterol 63,6% (<40 mg/dL); abnormal LDL cholesterol 52,5% (1130 mg/dL); abnormal triglyceride 1,1% (~0d mg/dL); abnormal fasting glucose 5,1% (?126 mgldL); 54,5% had smoking habits. Lack association between total iron (r=-0,038) and heme iron (r 0,027) with serum ferritin. Men with ferritin serum 1200 l.tg1L had an crude odds ration 5,5 fold suffer from CHD (according to ECG diagnostic) compare to subjects with ferritn serum <200 .iglL (CI. 0,87-34,33). Statistical analysis showed significant difference of serum ferritin median in diabetic and non diabetic subjects (p:1,001), overfatness subjects and normo fatness subjects (AC with. pC,009 and WHR with p=0,047). Conclusion : There is no significant relationship between serum ferritin level and dietary intake. Bivariate analysis found moderate relationship between serum ferritin and CHD. Men with serum ferritin 1200 pglL had a crude odds ratio 5,5 fold suffer from CHD (according to ECG diagnostic) compare to the subjects with serum ferritin < 200 pg/L.
2001
T597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fariha Ramadhaniah
Abstrak :
Indonesia memiliki beban yang serius terhadap penyakit kardiovaskular, terutama PJK. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki angka kematian tertinggi akibat penyakit jantung. Prevalensi PJK berbasis diagnosis dokter tidak mengalami kenaikan, meski begitu, berdasarkan data Riskesdas 2013-2018, terjadi kenaikan terhadap prevalensi faktor risiko PJK. Beberapa faktor risiko PJK yang terjadi bersamaan menyebabkan sindrom metabolik, prevalensinya cukup tinggi di Indonesia dan meningkatkan risiko PJK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar risiko sindrom metabolik terhadap terjadinya PJK di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif, dengan median masa pengamatan 6,8 tahun, data skunder IFLS4 tahun 2007 dan IFLS5 tahun 2014 pada 6.571 responden usia 40-69 tahun. Hasil penelitian mendapatkan prevalensi sindrom metabolik 20%, berdasarkan kriteria Joint Interim Statement. Kasus baru PJK 2,72%, dengan insiden rate 34 per 100.000 orang tahun. Analisis multivariat dengan uji cox regression mendapatkan HR 2,16 (95%CI 1,564-2,985), bahwa seseorang dengan sindrom metabolik memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami PJK dibanding tanpa sindrom metabolik setelah mengontrol variabel jenis kelamin, umur, status merokok, dan aktivitas fisik. ......Indonesia has a serious burden of cardiovascular disease, especially CHD. In Southeast Asia, Indonesia has the highest death rate from heart disease. The prevalence of CHD based on doctor's diagnosis did not increase, however, based on the Riskesdas 2013-2018, there was an increase in the prevalence of CHD risk factors. Several risk factors for CHD that occur together cause metabolic syndrome, the prevalence is quite high in Indonesia and increases the risk of CHD. The purpose of this study was to determine the risk of metabolic syndrome on the incidence of CHD in Indonesia. This retrospective cohort study, was followed up for a median of 6.8 years, secondary data from IFLS4 in 2007 and IFLS5 in 2014, population study 6,571 respondents, aged 40-69 years. The results of the study found that the prevalence of metabolic syndrome was 20%, based on the Joint Interim Statement criteria. New cases of CHD are 2.72%, with an incidence rate of 34 CHD per 100,000 person years. Multivariate analysis with cox regression test found HR 2.16 (95% CI 1.564-2.985), that someone with metabolic syndrome had a twice higher risk of developing CHD after adjusting gender, age, smoking status, and physical activity.
Depok: Fakultas Kesehatan dan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waworuntu, David Soeliongan
Abstrak :
Latar Belakang: Infeksi menjadi masalah pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB), terutama pneumonia. Faktor risiko yang mendasari perjalanan pneumonia pada anak adalah: usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian ASI, berat lahir rendah, status imunisasi, pendidikan orangtua, status sosioekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan. Insidens pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tujuan: Mengetahui insidens pneumonia anak dengan PJB pirau kiri ke kanan dan faktor risiko yang terkait. Metode: Penelitian ini adalah studi analitik dengan rancangan cohort retrospective berdasarkan penelusuran rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun 2015 - 2019, Jakarta. Diagnosis PJB pirau kiri ke kanan berdasarkan echocardiography. Dari hasil yang ada, dilakukan analisis multivariat dan dilaporkan sebagai odds ratio (OR). Hasil: Dari 333 subyek dengan PJB pirau kiri ke kanan, 167 subyek mengalami pneumonia (50,2%). Proporsi jenis PJB pirau kiri ke kanan terbanyak yang menyebabkan pneumonia adalah defek septum ventrikel (VSD), yaitu 41,9%. Defek ukuran besar berhubungan dengan angka kejadian pneumonia (p=0,001). Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan antara lain: status gizi buruk [OR 5,152 (95% CI 2,363-11,234)], status imunisasi tidak lengkap [OR 9,689 (95% CI 4,322-21,721)], status sosioekonomi rendah [OR 4,724 (95% CI 2,003-11,138)], dan ukuran defek yang besar [OR 5,463 (95% CI 1,949-15,307)]. Simpulan: Insidens pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan sebesar 50,2 %. Tipe PJB dengan insidens pneumonia terbanyak adalah VSD. Status gizi, imunisasi, status sosioekonomi dan ukuran besar defek mempengaruhi angka kejadian pneumonia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi Agustina Djayadi
Abstrak :
Pendahuluan: Laporan kasus fatality di beberapa perusahaan minyak dan gas di Indonesia selama Januari-Maret 2019 terjadi 15 kasus mortalitas pekerja diduga akibat kematian jantung mendadak, tanpa adanya kelainan hasil uji treadmill pada pemeriksaan kesehatan berkala terakhir. Salah satu metode penapisan risiko penyakit jantung koroner (PJK) adalah dengan uji treadmill. Duke Treadmill Score (DTS) merupakan metode yang baik untuk stratifikasi risiko dan menilai prognosis pada uji treadmill. Tujuan: Diketahuinya hubungan antara faktor risiko individu dan jenis pekerjaan dengan DTS. Metode: Penelitian cross sectional yang melibatkan 290 responden pekerja dari empat perusahan migas di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara serta perhitungan DTS berdasarkan hasil uji treadmill pekerja yang dilakukan pada September-Desember 2019. Hasil: Didapatkan 66,9% DTS risiko ringan; 33,1% DTS risiko sedang. Variabel yang berhubungan dengan peningkatan risiko DTS adalah usia >40 tahun dengan (ORadj = 2,70; IK 95%: 1,162-6,282), dan merokok (ORadj = 2,78 IK 95% 1,637- 4,726). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis pekerjaan dengan DTS pada pekerja migas di Indonesia. Terdapat hubungan bermakna antara risiko individu merokok dan usia >40 dengan DTS pada pekerja migas di Indonesia. ......Background: Reports of fatality cases in several oil and gas companies in Indonesia, January - March 2019 period occurred 15 mortality cases of workers due to sudden cardiac death, without any abnormal findings of the treadmill test result on last periodic Medical Check-up. One of the screening method for coronary heart disease is the treadmill test. The Duke Treadmill Score (DTS) is the most powerful method for stratifying risk and assessing the prognosis in the treadmill test. Objective: To find out the association between individual riks factors and types of work with DTS among oil and gas workers in Indonesia. Methods: A cross-sectional study design involving 290 respondent oil and gas workers from four oil and gas companies in Indonesia. Data collected by interview and calculation of DTS based on worker’s treadmill test conducted in September-December 2019. Results: DTS among workers found 66,9% had low risk; 33,1% had moderate risk. Variables associated with increased DTS were age >40 (ORadj= 2,70; 95%CI:1,162-6,282) and smoking (ORadj= 2,78; 95%CI:1,67-4,726). Conclusions: There was no significant association between types of work and DTS among oil and gas workers in Indonesia. There was a significant association between the risk of individual smoking and age>40 with DTS in oil and gas workers in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henie Soesanto
Abstrak :
ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui nilai pembatas indikator kelebihan lemak tubuh pada lansia. Tempat : Puskesmas Kecamatan Kotamadya Semarang yang mempunyai program lansia binaan. Bahan dan cara : Studi cross-sectional pada lansia 60 tahun ke atas(69 pria dan 173 wanita), subyek penelitian dipilih secara acak sederhana pada tingkat Puskesmas. Data yang dikumpulkan meliputi : data non nutrisi, data nutrisi, antropometri, kadar lipid serum data gula darah puasa .Penetapan nilai pembatas indikator kelebihan lemak tubuh (IMT, Lpe, rasioLPe/Lpa ,ML) ditetapkan pada nilai median. Sedangkan nilai indikator metabolik sebagai faktor risiko PJK ditetapkan pada batas diwaspadai (berdasarkan Konsensus Nasional Dislipidemia Indonesia, 1993). Hasil : Profil kol. total dan kol. HDL serum subyek wanita lebih tinggi daripada subyek pria (p = 0,001). Prevalensi faktor risiko PJK seperti dislipidemia pada subyek wanita lebih tinggi dibandingkan subyek pria (p < 0.05). Nilai-nilai pembatas indikator kelebihan lemak tubuh yang diperoleh pada penelitian ini yaitu IMT (pria 21 kg/m2; wanita 23 kg/m2 ), LPe (pria 79 cm; wanita> 80 cm), rasio LPe-LPa (pria) 0,91; wanita > 0,85), massa lemak tubuh (pria > 22 %; wanita > 35 %). Sensitifitasnya dikaitkan dengan profit lipid sebagai faktor risiko PJK yaitu 40 - 60 %, sedangkan spesifisitasnya 70 - 80 %. Terdapat perbedaan determinan komposisi tubuh terhadap gangguan metabolik pada subyek pria dan wanita. Pada subyek pria nilai pembatas indikator kelebihan lemak tubuh berkorelasi dengan TG dan GDP, sedangkan pada subyek wanita berkorelasi dengan kol. HDL, kol. total, kol. LDL dan TO. Kesimpulan : Nilai-nilai pembatas indikator kelebihan lemak tubuh yang didapat pada penelitian ini cenderung memberi spesifisitas yang lebih tinggi dibanding dengan sensitifitasnya (dikaitkan dengan dislipidemia). Pada subyek pria indikator kelebihan lemak tubuh lebih terkait pada TG den GDP. Sedangkan pada subyek wanita indikator kelebihan lemak tubuh lebih terkait pada dislipidemia.
ABSTRACT The Cut Off Point Determination Of Overfatness In Relation to Selected CHD Risks In Elderly In Semarang Objective : To determine cut off points of overfatness in the elderly using CHD risks factors as the end points. Place : Seven public health centers with elderly clubs in Semarang municipal. Materials and Methods : This cross-sectional study involved 242 elderly individuals (69 males & 173 females), aged 60 years and over. Simple random sampling was applied at the PHC level. Structured questionnaires were used to collect information on sosiodemography, life styles, food habits and practices Anthropometric assessments were done to estimate body compositional status. Serum lipids and fasting blood glucose were measured to identify metabolic disorders. High body mass index, high abdominal circumference, high abdominal hip ratio and high fat mass values were used as overfatness indicators. The Indonesian National Consensus on Dyslipidemia was used to identify dyslipidemic cut off values. Results : Mean serum total cholesterol and high density lipoprotein (HDL) cholesterol in females were higher than those in males (220.99 ± 46.66 vs 199.31 ± 35.71, p = 0.001 and 51.17 ± 11.58 vs 45.22 ± 12.52, p = 0.001, respectively). The prevalence of CHD risks (dyslipidemic profiles) in females were also higher than that in males (p < 0.05). With respect to CHD risks, cut-off points for overfatness using BM1 values were > 21 kglr2 and ) 23 kglm2 for males and females respectively. Cut off points for other overfatness indicators were AC) 79 cm and ) 80 cm; AHR > 0.91 and ) 0.85 and percent body fat 3 22% and ) 35% for males and females, respectively. Using these cut off values, the sensitivity ranged from 40 -- 60% and the specificity ranged from 70 -- 80%. There were gender differences in the determinants of metabolic disorders. In males, overfatness was more related to TG and fasting blood glucose values. On the other hand, in females, overfatness was more related to total cholesterol, HDL cholesterol, LDL cholesterol and TG. Conclusion : This study supports the findings reported by other investigators that cut off values for overfatness, in relation to metabolic disorders, are more specific than sensitive. Gender differences in the determinants of metabolic disorders indicate that interpretation on body compositional disorders in the elderly should be taken cautiously.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>