Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryo Pradhana Putrasatriyo
"Pandemi Covid-19 membawa tantangan terhadap bagaimana pandanangan hukum internasional menanggapi penyebaran penyakit menular melalui penerbangan internasional. Dalam menanggapi penyeabran penyakit menular, negara-negara memberlakukan serangkaian kebijakan untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, termasuk dalam menanggapi Covid-19. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah pembatasan penerbangan sipil internasional. Fenomena tersebut perlu dilihat baik dari sudut pandang hukum udara internasional melalui Konvensi Chicago 1944 maupun dari sudut pandang hukum kesehatan internasional melalui International Health Regulations 2005. Oleh sebab itu, penelitian ini menganalisis bagaimana ketentuan hukum internasional pada pencegahan penyakit menular melalui penerbangan internasional, praktik-praktik terdahulu terkait dengan pembatasan penerbangan internasional untuk mencegah penyebaran penyakit menular, dan pandangan hukum internasional terhadap penanganan Covid-19 dalam konteks lalu lintas dan penerbangan internasional. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, peneltian ini menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan peran dari aturan-aturan yang ada dan praktik terdahulu terkait dengan pembatasan penerbangan internasional dalam mencegah penyakit menular. Penelitian ini menggunakan referensi baik dari Konvensi Chicago 1944, International Health Regulations 2005, maupun panduan serta pendoman dari organisasi internasional terkait. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar kebijakan yang diambil oleh negara-negara telah merefleksikan ketentuan dalam Konvensi Chicago 1944 maupun International Health Regulations 2005. Walaupun demikian, beberapa kebijakan seperti pembatasan penerbangan dari negara-negara tertentu, perlu dilihat kembali agar dapat merefleksikan isi dari Konvensi Chicago 1944 maupun Internaitonal Health Regulations 2005.

Covid-19 pandemic has brought challenges towards how international law views and responds towards the spread of communicable disease through international flight. In responding towards the spread of communicable disease, states imposed a series of policies to prevent the spread of such disease, including Covid-19. One of those policies is through flight restrictions. This phenomenon needs to be viewed from the perspective of international air law through Chicago Convention 1944 and from the perspective of International Health Regulations 2005. Therefore, this research analyze how international law regulates the prevention of the spread of communicable disease, previous policies regarding flight restrictions to prevent the spread of communicable disease, and how international law views the response towards Covid-19 from the context of international flight and traffic. This research uses refferences Chicago Convention 1944, International Health Regulations 2005, and subsequent documents from related inernational organizations. This research finds that most of the policy that states implemented has reflected the regulation under Chicago Convention 1944 and International Health Regulations 2005. Although most of the policies has been reflected, several policies that states implemented, such as travel restrictions from specified countries, needs to be reviewed in order to truly reflect both the Chicago Convention 1944 and International Health Regulations 2005."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Sekar Saraswati
"Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.

High mobility and ability to reach far destination in a short span of time compared to other transportation modes are some of the reasons as to why airplane is becoming significant in modern life. Scientifically speaking, with the same reasoning, an aircraft can be categorized as a movable object. International conventions regarding airplane assumes the same. However, recurring Indonesian regulation states the otherwise. Even though aircraft is considered immovable object in Indonesia, mortgage upon an aircraft no longer prevails after Aviation Act 2009 puts into force, in which stated security rights of an aircraft is international interest as defined in Cape Town Convention. Even though recognized, the form of international interest is not known under any security rights in Indonesia, which makes security rights of an aircraft is not yet determined. Other than that, registered object is not yet recognized in Indonesia. This leads lex rei sitae enforcability developed into lex registri and is now applicable to registered ones. By registering the airplane in Indonesia in order to be able to operate and fly in, from, and to Indonesian air territory, lex registri has been acknowledged, though implicitly, and this leads an aircraft to have artificial situs. This article will discuss about property law aspects of an aircraft and its effect on applicable law towards an aircraft, as well as development of determinating manner of the applicable law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library