Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elsa Novelia
Abstrak :
Jumlah pasien gagal ginjal terminal di Indonesia terus meningkat. Peningkatan prevalensi hipertensi dan diabetes adalah salah satu kontributor peningkatan kasus penyakit gagal ginjal kronik. Meskipun Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) telah diperkenalkan sebagai terapi pengganti ginjal CAPD masih jarang digunakan dan hemodialisa masih merupakan tindakan mayoritas yang dipilih di Indonesia. Tujuan dari studi ini adalah untuk melakukan analisa efektivitas biaya antara HD dan CAPD. Penelitian membandingkan 78 pasien HD di RS PMI Bogor dan 10 pasien CAPD di RSUP Fatmawati Jakarta. Kualitas hidup pasien menggunakan kuisoner SF 36. Beban ekonomi untuk biaya langsung medis menggunakan tarif INA CBGs dan biaya lainnya menggunakan kuisoner beban ekonomi. Biaya total hemodialisa setahun adalah Rp 133.396.692,- dan Rp 81.680.000,- untuk CAPD. 46,2% pasien hemodialisa mempunyai kualitas hidup baik dan 90% pasien CAPD mempunyai kualitas hidup baik. Analisa Bivariat menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien CAPD terbukti siknifikan pada aspek peran fisik, emosi, rasa nyeri, energi, fungsi sosial dan kesehatan jiwa. CAPD lebih cost efektif dibandingkan HD dengan nilai ICER adalah Rp 2.032.889,- untuk setiap ekstra peran emosi lebih baik dan Rp 1.780.265,- untuk setiap ekstra peran fisik lebih baik serta dominan untuk biaya dan kualitas hidup pada CE Plan. ......Number of patients with End Stage Renal Disease (ESRD) in Indonesia is growing. The increased prevalence of hypertension and diabetes mellitus is a contributor to the increase in patients with CKD (Chronic Kidney Disease). Ever since Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) was intoduced as a form of renal replacement therapy, CAPD still small number of users and Haemodilysis still constitute the majority of renal replacement therapy in Indonesia. The aim of this study is to analize the cost effectiveness between HD and CAPD on ESRD patients. Study compared 78 HD patients at PMI Hospital in Bogor and 10 CAPD patients at Fatmawati Hospital in Jakarta. Patient quality of life interviewed by SF 36 questionnaire. Economic burden divided in two measurement. Direct medical cost measured by INA CBGs packet, direct non medical cost (transportation, food for patient and family) and indirect medical cost (opportunity cost) will be measure by economic burden questionnaire. Haemodialysis total cost per year is Rp 133.396.692,- and Rp 81.680.000,- for CAPD. 46,2% Haemodialysis patient has good quality of life and 90% for CAPD. Bivariat analysis showed Quality of life CAPD patient significant in phisical activities, emotional, pain, energy, sosial function and sanity. CAPD is cost effective compare to HD with ICER Rp 2.032.889,- for ekstra better emotional role and Rp 1.780.265,- for ekstra better phisical role and dominant for cost and quality of life at CE Plan Key words: cost effectiveness analysis, Haemodialysis, CAPD
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan menggunakan data sekunder mengenai pengobatan demam tifoid anak. Sebanyak 97 penderita diberi pengobatan antibiotika kloramfenikol dan 49 persen diberikan seftriakson. Usia pasien berkisar antara 1-15 tahun. Lama perawatan di rumah sakit berkisar antara 3-12 hari, dengan rata-rata hari rawat 4.408 hari untuk pasien anak yang diberikan seftriakso dan 6.598 hari untuk pasien anak yang diberikan kloramfenikol. Pada analisis efektivitas biaya pengobatan demam tifoid pada anak menunjukkan seftriakson lebih efektif biaya dibandingkan dengan kloramfenikol

Analysis of the Cost Effectivity in Treating Typhoid Fever in Children with Chloramphenicol and Ceftriaxone in Fatmawati Hospital Jakarta 2001 – 2002. This study was a cross-sectional study using secondary data related to treatment of typhoid fever in childhood. A total of 97 patients received chloramphenicol and 45 patients received ceftriaxone. The patients ranged in age from 1 to 15 years. Length of stay in hospital range from 3 to 12 days (mean 4,408 days for patients receiving ceftriaxone and 6,598 days for patients receiving chloramphenicol). Ceftriaxone is a more cost effective alternative drug compared to chloramphenicol to treat typhoid fever in childhood.
Institut Sains dan Teknologi Nasional. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia ; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ; Rumah Sakit Fatmawati, 2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fathurrohman
Abstrak :
Perkembangan ilmu dan teknologi membawa program imunisasi ke dalam penyelenggaraan pelayanan yang bermutu dan efisien. Upaya terscbut didukung dengan kemajuan yang pesat dalam penemuan vaksin baru. Kemajuan lainnya adalah menggabungkan beberapa jenis vaksin dalam satu kemasan/vial. Salah satu vaksin tersebut adalah Vaksin DPT - Hepatitis B Combo, yang mcrupakan kombinasi antara vaksin DPT dan Hepatitis B. Kabupaten Tangerang masih menggunakan 3 jenis vaksin dalarn imunisasi DPT dan Hepatitis B, yaitu vaksin DPT, Hepatitis B Vial dan DPT - Hepatitis B Combo. Sejauh ini belum diketahui vaksin mana yang lebih cost Mctive antara DPT dan Hepatitis B Vial dengan DPT - Hepatitis B Combo. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui vaksin manakah yang lebih cost effective dalam pelaksanaan imunisasi DPT dan Hepatitis B di Kabupaten Tangerang. Peneilitian dilakukan di Puskesmas Cisoka yang menggunakan vaksin DPT dari Hepatitis B Vial, dan Puskesmas Jayanti yang menggunakan vaksin DPT - Hepatitis B Combo. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Operasional Research, dasar penilaian Cost effectiveness menggunakan sistem atau metode Acifivily Based Costing (ABC). Hasil penclitian menunjukkan bahwa niiai Cost Ejjieclive Rario (CER) penggunaan vaksin DPT - Hepatitis B Vial lebih besar dibandingkan dengan vaksin DPT - Hepatitis B Combo, yaitu CER berdasarkan cakupan vaksin DPT - Hepatitis B Vial scbcsar Rp. 151.981 dan vaksin DPT - Hepatitis B Combo sebesar Rp. 85.l27. CBR Indeks pemakaian Vaksin DPT » Hepatitis B Vial scbcsar Rp. 21.788470 dan vaksin DPT - Hepatitis B Combo scbcsar Rp. 2l.2l7.8l9. CER berdasarkan dosis vaksin terbuang vaksin DPT -» Hepatitis B vial sebesar Rp. 16,510,787 dan vaksin DPT - Hepatitis B Combo sebesar Rp. 7.0~'l4.23l. Hasil ini menunjukkan bahwa vaksin DPT -» Hepatitis B Combo lebih murah dibandingkan vaksin DPT - Hepatitis B Combo. Berdasarkan hasil peneiitian disarankan khususnya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang agar menggunakan vaksin DPT - Hepatitis B Combo dalam pelaksanaan imunisasi DPT dan Hepatitis B.
Development of science and technology brought immunization program into qualitative and efficiently services management. lt supported by vast progress in finding new vaccine. Other development is gathering various vaccines in one vial. One of the vaccines is DPT Vaccine - Hepatitis B Combo, that representing combination between DPT vaccine and Hepatitis B. Tangerang Regency still utilized three types of vaccine in immunization DPT and Hepatitis B, there are DPT vaccine, Hepatitis B Vial and DPT - Hepatitis B Combo. Meanwhile, didn?t know yet whether vaccine is most effective costly between DPT and Hepatitis B Vial with DPT - Hepatitis B Combo. This research conducted to recognize which vaccine is more cost effective in conducting DPT immunization and Hepatitis B at Tangerang Regency. This research conducted in Cisoka Puskesrnas that use DPT vaccine and Hepatitis B Vial, and Jayanti Puskesmas that use DPT vaccine - Hepatitis B Combo. Research designed utilized operational research. Bases on Cost Effectiveness asses? system or method activity based costing (ABC). Research result shows that Cost EiTective Ratio (CER) using DPT vaccine - Hepatitis B Vial value is higher that DPT vaccine - Hepatitis B Combo, which is CER based on coverage of DPT vaccine - Hepatitis B Vial as much as Rp. 151.981 and DPT vaccine - Hepatitis B Combo as much as Rp. 85.l27. CER Index of using DPT vaccine - Hepatitis B Vial as much as Rp. 2l.788.4'70 and DPT vaccine - Hepatitis B Combo as much as Rp. 21.2l7.819. CER based on wasted vaccine dose of DPT vaccine - Hepatitis B Vial as much as Rp. 16.5lO.787 and DPT vaccine - Hepatitis B Combo as much as Rp. 7.044.23l. This result shows that DPT vaccine - Hepatitis B Combo is more lower at cost. Based on research result, suggested to, especially, Health Agency Tangerang Regency use DPT vaccine - Hepatitis B Combo as altemative vaccine in conducting DPT immunization and Hepatitis B.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2007
T34449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Putri
Abstrak :
Rumah Sakit Karya Bhakti Pratiwi menggunakan seftriakson dan levofloksasin sebagai pilihan terapi utama berdasarkan pengalaman klinis pada pasien pneumonia komunitas dewasa rawat inap. Perbedaan biaya antara kedua obat ini menjadi alasan berlangsungnya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis efektivitas-biaya AEB dari seftriakson dan levofloksasin sehingga diperoleh pengobatan yang lebih efektif-biaya. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan data sekunder berupa data peresepan dan data administrasi biaya pasien pneumonia rawat inap tahun 2017 yang berasal dari Sistem Informasi Rumah Sakit. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Sampel yang dilibatkan pada penelitian ini sebanyak 33 pasien, yaitu 23 pasien menggunakan seftriakson dan 10 pasien menggunakan levofloksasin. Efektivitas pengobatan diukur berdasarkan lama hari rawat. Biaya diperoleh dari median total biaya pengbatan yang berasal dari biaya obat utama, biaya obat lain, biaya obat penyakit penyerta, biaya alat kesehatan, biaya laboratorium, biaya radiologi, biaya fisioterapi, biaya pelayanan, biaya administrasi, dan biaya rawat inap. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata lama hari rawat pasien yang menggunakan seftriakson adalah 3,43 hari dan levofloksasin 3,50 hari dan tidak terdapat perbedaan signifikan pada analisis Mann-Whitney p=0,440. Median total baya pengobatan seftriakson sebesar Rp2.183.356,54 lebih murah dibandingkan levofloksasin Rp2.819.895,56. Seftriakson secara umum memiliki nilai REB sebesar Rp636.547,10/hari lebih efektif-biaya dibandingkan levofloksasin dengan nilai REB: Rp805.684,40/hari. ...... Karya Bhakti Pratiwi Hospital has been using ceftriaxone and levofloxacin as the empirical therapy option in community acquired pneumonia in adult patients. The difference in the cost between these two drugs encouraged researcher to perform Cost effectiveness analysis CEA to obtain more cost effective treatment. The study design was a cross sectional, data were collected retrospectively with total sampling method using data from the prescribing data and administrative financial data of inpatient pneumonia in 2017 from Hospital Information System. The number of samples were 33 patients, consisted of 23 patients using ceftriaxone and 10 patients using levofloxacin. The effectiveness of treatment has measured by the length of stay. The total costs therapy were obtained from the median total cost from major drug costs, other drug costs, medical equipment costs, laboratory costs, radiology costs, physiotherapy costs, service fees cost, administrative costs, and hospitalization costs. Based on the results of the study, the efficacy of ceftriaxone with an average length of stay was 3.43 days and levofloxacin 3.50 days. The median total costs therapy of ceftriaxone was cheaper Rp2,183,356.54 than levofloxacin Rp2,819,895.56. The result shows that ceftriaxone generally REB Rp 636.547,10 day more cost effective than levofloxacin REB Rp805,684.40 day.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairiyah Anwar
Abstrak :
Penyakit Hepatitis B merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai daerah yang termasuk kelompok endemis tinggi, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 11 juta pengidap penyakit hepatitis B di Indonesia. Penularan virus hepatitis B melalui berbagai cara, akan tetapi penularan secara vertikal, dari orang tua pengidap penyakit hepatitis B kepada anaknya cukup besar (45,9%). Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hepatitis B sejak dini, maka WHO telah merekomendasikan program imunisasi hepatitis B untuk semua bayi (Universal childhood immunization against Hepatitis B). Sebagai implementasinya, pemerintah Indonesia memasukkan program imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasiona] sejak tahun 1997. Hingga saat ini program imunisasi hepatitis B masih terus berjalan walaupun banyak kendala yang dihadapi, misalnya belum tercapainya target cakupan imunisasi dan indek pemakaian vaksin yang rendah. Melalui pelaksanaan program imunisasi rutin dengan 7 jenis vaksin, diharapkan dapat menekan prevalensi kasus penyakit-penyakit tersebut. Namun dengan semakin banyaknya jumlah vaksin yang diberikan maka secara iangsung akan berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan biaya kesehatan. Dan karena itu perlu diupayakan pelaksanaan program imunisasi yang efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui pengendalian biaya khususnya pemilihan vaksin dan alat suntik. PeIaksanaan imunisasi hepatitis B di Indonesia saat ini masih menggunakan alat suntik yang bersifat dapat digunakan kembali (reuseable) dan alat suntik disposable (sekali pakai). Dan segi keamanan dan nilai ekonomis kedua alat suntik tersebut masih rendah, sehingga keduanya tidak efisien dan mengakibatkan biaya operasional kegiatan imunisasi menjadi lebih mahal. Studi tentang penggunaan alat suntik yang berbentuk uniject telah dilakukan dalam program imunisasi hepatitis B di D.I. Yogyakarta. Namun belum diketahui berapa besar efektifitas alat suntik tersebut dibandingkan alat suntik disposable. Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang biaya yang paling efektif dari penggunaan alat suntik disposable dan Uniject. Rancangan penelitian bersifat cross sectional, dengan mengambil kasus di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Penelitian melibatkan 26 Puskesmas yang melakukan kegiatan imunisasi rutin termasuk hepatitis B. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ditinjau dan sisi pemerintah (provider) dengan menggali biaya yang dikeluarkan oleh puskesmas dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B tahun 1999 dan 2000. Hasil penelitian menunjukkan, besarnya total biaya dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable 17,93% lebih mahal dibandingkan dengan alat suntik uniject. Komponen biaya terbesar dalam pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah biaya operasional (rata-rata per puskesmas 97,36%, kemudian biaya investasi 2,56% dan biaya pemeliharaan 0,08%. Sedangkan pada pelaksanaan imunisasi dengan alat suntik uniject rata-rata per puskesmas untuk biaya operasional adalah 99,31%, biaya investasi 0,58%, dan biaya untuk pemeliharaan 0,11%. Jumlah cakupan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah 16.417 suntikan, dengan rata-rata 631 per puskesmas dari indek pemakaian vaksin 66,4%. Sedangkan dengan uniject cakupan mencapai 16.474 suntikan, dengan rata-rata cakupan per puskesmas adalah 644 bayi dan IP vaksin 100%. Besarnya biaya satuan aktual untuk pelaksanaan imunisasi hepatitis B dengan alat suntik disposable adalah Rp. 31572,-, sedangkan dengan alat suntik uniject sebesar Rp. 27.553,-. Apabila komponen gaji dikeluarkan dari perhitungan total biaya, maka besarnya biaya satuan untuk imunisasi hepatitis B dengan disposable menjadi Rp.17.342; (turun 48,34%), sedangkan dengan uniject menjadi Rp. 13.627,- atau turun 50,54%. Perbedaan besarnya biaya satuan dipengaruhi oleh tingkat efisiensi alat suntik, jenis biaya yang dihitung dan cakupan imunisasi. Mengacu pada besarnya biaya satuan aktual maka dapat disimpulkan, penggunaan alat suntik uniject jauh lebih cost effective dibandingkan alat suntik disposable. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan untuk mencapai sasaran imunisasi hepatitis B dalam jumlah yang sama, akan jauh lebih murah apabila digunakan alat suntik uniject dari pada menggunakan alat suntik disposable. ......Cost Effectiveness Analysis of Hepatitis B Vaccination Using Uniject and Disposable Syringe in Bantul District, Year 2000Hepatitis B is an infection disease caused by hepatitis B virus (VHB) which remains as public health problem globally, especially in Indonesia. With more than I1 million carriers, Indonesia is classified into high endemic group of countries. Among different mode of VHB transmission, vertical transmission from carrier to newborns is important in Indonesia (45,9%). In objective of decreasing the morbidity and mortality of hepatitis B, WHO recommend "Universal Chilhood Immunization againt Hepatitis B" operationally, Indonesia integration hepatitis B vaccination into the routine program since 1997. Problems identified are lower level of coverage and higher wastage rate. The Indonesia immunization program is now concentrating in providing 7 antigens all children in decrease the prevalens of targeted deseases. The increasing number of discs of vaccine required will result in increase of health budget. Immunization program therefore, will have to be more effective and efficient by selecting the right type of vaccine and syringe. Currently reusable plastic syringe and disposable syringe are the types of syringe for hepatitis B vaccinetion in Indonesia. In form of safety and economic scale, both types of syringes are considered low quality and inefficient, which result in higher operational cost. Study on the use of uniject had been carried out in province of yogyakarta, but the effectiveness of unijct compared to disposable syringes in not known. This study an economic evaluation wich aims at providing information about the most cost effetive injection equipment between disposable syringe and uniject. A cross sectional study was designed for Bantul District, covering 26 Health Centres which implement routine immunization services including hepatitis B vaccination of hepatitis B vaccination. Data used in this study were facility-based data, complimented with primary data on the expenses related to the implementation of hepatitis B vaccination year 1999 and 2000. The result of the study shows that the total cost hepatitis B vaccination using disposable syrunge was 17.93% higher than the total cost using uniject. The largest cost component for disposable syringe was operational cost (on average 97.36% per Health Center), investment cost 2.56%, maintenance cost 0,08%. where as for uniject, operational cost was 99.31%, investment cost 0.58% and maintenance cost 0.11%. The hepatitis B coverage using disposable syringe was 16,417 or 637 per Health Center and vaccine utilization index was 66,4%. the hepatitis B coverage using uniject was 16,474 or 644 per Health Center with vaccine utilization index of 100%. The actual unit cost of hepatitis B vaccination using disposable syringe was Rp. 33,572, compered to Rp. 27,553 for uniject. It the study excluded salary from the cost component, the actual unit cost for disposable would be Rp. 17,342 (reduced by 48.34%) and for uniject weld be Rp. 13,627 (reduced by 50.54%). The difference in cost unit is influenced by the unit price of injection equipment, cost variables and level of vaccination coverage. Based on the actual unit cost, uniject is more cost effective than disposable syringe. So, the spend of budget for giving immunization hepatitis B in the same target with uniject more cheaper than disposable.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherlly Surijadi
Abstrak :
Perkembangan teknologi dalam peralatan kedokteran menyebabkan adanya alternatif baru dalam pelayanan kesehatan. Laparoskopik sejak tahun 1995 telah dipergunakan di Rumah Sakit Immanuel Bandung dalam tindakan bedah pengangkatan kantong empedu (kolesistektomi). Tindakan ini disebut dengan metoda kolesistektomi laparoskopik. Efektifitas biaya dari kolesistektomi laparoskopik perlu diteliti untuk dibandingkan dengan metoda konvensional yang selama ini dipergunakan dalam pembedahan kolesistektomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kolesistektomi yang efektif biaya diantara metoda konvensional dan laparoskopik. Penelitian yang dilakukan adalah studi kasus analitik menggunakan data sekunder yang diambil secara cross sectional tahun 2001 di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Analisa biaya investasi menggunakan biaya investasi disetahunkan (annual investment cost), metoda analisis penghitungan biaya menggunakan metoda ABC (Activity Based Costing) dengan dasar alokasi biaya menggunakan proporsi luas lantai proporsi waktu operasi sebagai pemacu biaya. Biaya satuan aktual diperoleh dengan menghitung total biaya dan dibagi dengan besarnya output pada kegiatan tersebut, sedangkan biaya normatif diperoleh dari penjumlahan hasil bagi biaya tetap dengan kapasitas dan biaya tidak tetap dengan output. Pada penelitian ini analisis efektifitas biaya dilakukan dengan cara : pertama, yaitu membandingkan biaya satuan antara kedua metoda; dan kedua, dengan melakukan tes analisis sensitivitas menggunakan simulasi penambahan biaya sewa dan simulasi penghitungan biaya total untuk menentukan besarnya output. Pada cara pertama didapatkan bahwa pada penggunaan perbandingan biaya satuan aktual maka kolesistektomi konvensional paling efektif biaya pada kelas II B dan kolesistektomi laparoskopik paling efektif biaya pada kelas VIP LCA/Petra. Sedangkan pada biaya normatif didapatkan kolesistektomi laparoskopik paling efektif biaya secara umum tanpa membedakan kelas perawatan. Pada hasil kedua yaitu simulasi perbandingan biaya satuan aktual dengan menambahkan biaya sewa didapatkan kolesistektomi konvensional paling efektif biaya pada kelas II B sedangkan laparoskopik pada kelas VIP LCA/Petra. Sedangkan simulasi penghitungan biaya total untuk menentukan besarnya output bahwa yang paling efektif biaya adalah kolesistektomi konvensional pada kelas II B dan laparoskopik pada kelas I.
Cost Effectiveness Analysis on Cholecystectomy at Immanuel Hospital Bandung Year 2001 The development of technology in medical equipment, resulting in a new alternative in health care services. Laparoscope is used since 1995 at Immanuel Hospital Bandung for cholecystectomy and this kind of surgery namely laparoscopic cholecystectomy method. Cost effectiveness of laparoscopic cholecystectomy need to be research to be compared with conventional cholecystectomy which commonly applied in the cholecystectomy surgery. The purpose of this research is to find out which one is the most cost effective method between laparoscopic cholecystectomy and conventional cholecystectomy. The research made was analytic case study using secondary data taken in cross sectional method during year 2001 at Immanuel Hospital in Bandung. The data analysis on investment cost using an annualized investment cost, cost analysis using activity based costing method with cost allocation using floor area proportion and operating time distribution as driver. Actual unit cost was obtained through a calculating from total cost divided by output while normative unit cost was obtained was calculating the sum of the result from fixed cost divided by capacity and the result of variable cost divided by output. Cost effectiveness analysis was made through : first, comparing unit cost between two methods; and second, by doing sensitivity analysis test using simulation on adding rent cost and simulation on calculating total cost to find the output. First step result is by using actual unit cost comparison, conventional cholecystectomy most effective on II B ward and laparoscopic on VIP LCA/Petra ward. By using normative unit cost comparison, laparoscopic is the most effective compare to conventional method without difference at ward class. Second step result are by using simulation on comparing actual unit cost after added by rent cost that conventional cholecystectomy most effective on II B ward while laparoscopic on VIP LCA/Petra ward. And simulation on calculating total cost to find output result is that conventional cholecystectomy is most effective on II B ward and laparoscopic on I ward.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T7851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Pujiono
Abstrak :
Tuberculosis Paru merupakan salah satu penyakit kronis yang harus mendapat perhatian untuk segera diatasi dan ditangani. Di Indonesia strategi untuk menanggulanginya dengan Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) telah dilaksanakan di 7.349 Puskesmas (97 %). Keberhasilan penanggulangan Program Tuberculosis Paru terkait erat antara komitmen dan pendanaan. Apabila dapat dijalankan dengan baik akan memberi keuntungan secara ekonomis. Mengingat alokasi pembiayaan kesehatan baru mencapai 3,93 % APBD Kabupaten Bengkayang. Maka untuk memberikan advokasi perlu dilakukan evaluasi ekonomi terhadap program kesehatan, salah satunya dengan CEA (Cost Effectiveness Analysis). Kondisi geografis sepesifik Kabupaten Bengkayang terdiri dari daerah pantai, kepulauan, pedaiaman, perkotaan, perbatasan dan tertinggal. Maka untuk lebih memberikan gambaran apakah pembiayaan kesehatan sudah sesuai dengan karakteristik daerah dilakukanlah studi kasus analisis efektifitas biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis pant dengan konseling/penyuluhan dan Pengawas menelan Obat (PMO) anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Untuk mengetahui komitmen anggaran dilakukan penggalian pendapat 1 pandangan kepada pengambil keputusan. Disain penelitian adalah kuantitatif. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan basil cost effectiveness ratio penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Pengumpulan data primer berupa observasi dan wawancara mendalam dengan pengambil keputusan. Data sekunder dengan telaah dokumen. Hasil penelitian studi kasus ini menunjukkan bahwa komponen terbesar biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan serta tanpa konseling dan PMVIO hanya anggota keluarga adalah biaya operasional sebesar 57,53 % di Puskesmas Sungai Duri (63,27 % gaji dan 17,01 % bahan habis pakai), sebesar 64,67 % di Puskesmas Sungai Raya (78,50 % gaji dan 10,87 % bahan habis pakai), sebesar 65,80 % di Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % gaji dan 5,23 % bahan habis pakai) dan sebesar 32,66 % di Puskesmas Seluas (77,83 % gaji dan 12,50 % bahan habis pakai). Penemuan dan pengobatan penderita Tuberculosis Pam dengan metode konseling dan PMO di Puskesmas Pantai lebih efektif dibandingkan Puskesmas Perbatasan. Hampir semua pengambil keputusan menyatakan dukungan terhadap pembiayaan program kesehatan dan efektifitas tergantung pada SDM, sarana dan prasarana, serta pembiayaan kesehatan. Dalam pelaksanaan program tuberculosis part' di Puskesmas perlu didukung adanya konselinglpenyuluhan dan PMO tenaga kesehatan. Sosialisasi SPM dan hasil studi kasus sebagai bahan evaluasi dan advokasi dalam penyususnan anggaran APBD 2007. Dan efektifitas pelaksanaan program digunakan sebagai dasar dalam penentuan Kebijakan Umum Anggaran (KU A) APBD Kabupaten Bengkayang. ...... Lungs tuberculosis is one of the chronic diseases that have to be noticed then handled and overcome earlier. Overcome strategy by Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) had conducted in 7.349 Puskesmas (97 %). Lungs Tuberculosis Program overcome efficacy related with commitment and funding. If conducted well, it will give benefit economically. Remembering health funding alloction recently reach 3,93 % of Bengkayang Regency APBD. Therefore to give advocated need economic evaluation toward health program, one of them is CEA (Cost Effectiveness Analysis). Specific geographical condition of Bengkayang Regency consist of coast, island, hinterland, urban, border and remains. Therefore to give view that health defrayal is appropriate with district characteristic conducted case study of cost effectiveness analysis case detection patient and lungs tuberculosis medication patient with conselling and PMO with family and health provider without no conselling and PMO by family only in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. To find the budget commitment conduct opinionlview delve toward decision maker. Research design is quantitative. Research aim is to find cost effectiveness ratio result of patien and lungs tuberculosis medication invention in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. Primary data gathering was in observation and circumstantial interview with decision maker. Secondary data by document study. This case study research result shows that total cost of case detection and TB Lungs Medication Patient by conselling and PMO with family and health provider with by no conselling and PMO with family only is operasional cost is 57,53 % in Puskesmas Sungai Duri (63,2 % salary and 17,01 % substance used up wear), 64,67 % in Puskesmas Sungai Raya (78,50 % salary and 10,87 % substance used up wear), 65,80 % in Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % salary and 5,23 % substance used up wear) and 32,66 % in Puskesmas Seluas (77,83 % salary and 12,50 % substance used up wear). Case detection patient and Lungs TB Medication Patient with Cancelling and PMO Methode in Coastal Puskesmas is more effective with Border Puskesmas. Almost all decision maker express that effectiveness depends on SDM, tools and infrastructure, and also health financing. Program execution in Puskesmas with concelling and PMO with health provider, SPM Socialization and deciding budget allocation need to play attention to program conducting effectiveness evaluation and advocating on in desition to budget APBD 2007. And effectivness execution programme used by decision elementary in policy budget general Bengkayang Regency APBD.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20066
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Mawar Hadini
Abstrak :
Pendahuluan: Jumlah pasien Sindrom Koroner Akut SKA semakin meningkat dari tahun ketahun. Ticagrelor merupakan penghambat P2Y12 dengan onset cepat dan efekhambatan platelet lebih besar dibandingkan klopidogrel, namun memiliki masalahmeningkatnya efek samping perdarahan mayor, efek samping lain, dan biaya yanglebih mahal. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi efektifitas, keamanan,dan cost effectiveness analysis ticagrelor dibandingkan klopidogrel add on aspirinpada pasien SKA sejak tahun 2014-2016 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode:Penelitian ini menggunakan design kohort retrospektif. Rekam medis dari pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan klopidogrel dan pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan ticagrelor dimasukkankedalam kriteria inklusi. Outcome efektivitas adalah insiden major adversecardiovascular events MACE yang dapat dicegah dalam 3, 6, 9, dan 12 bulan.Outcome safety adalah insiden efek samping yang timbul dalam 3 bulan.Outcomebiaya dinilai dengan cost effectiveness analysis CEA . Data untuk CEA disajikandalam bentuk incremental cost effectiveness ratio ICER . Untuk menilaiketidakpastian data uncertainty digunakan analisa sensitivitas satu arah. Hasil:Rekam medis dari 123 pasien klopidogrel-aspirin dan 57 pasien ticagrelor-aspirinberhasil dievaluasi. Trend pemakaian ticagrelor semakin meningkat sejak tahun2014 sampai dengan 2016, sedangkan klopidogrel semakin menurun. Outcomeefektivitas adalah MACE yang dapat dicegah dalam 3 bulan. Dalam 3 bulanMACE terjadi pada 15.8 pasien di kelompok ticagrelor dan 31.7 pasien dikelompok klopidogrel RR; 0,498, 95 CI; 0,259 ndash;0,957, P = 0,039 . Tidak adaperbedaan signifikan pada bulan ke 6,9, dan 12. Ticagrelor memiliki efek sampingperdarahan mayor melena lebih tinggi dibanding klopidogrel 5,3 vs 1,62 , P= 0,681 , terutama pada pasien geriatri. ICER = Rp 279.438,87., denganpengertian diperlukan tambahan biaya Rp 279.438,87., untuk setiap insidenMACE yang dapat dihindari dalam 3 bulan jika digunakan ticagrelor sebagaiDAPT. ICER tersebut dianggap cost effective karena berada dibawah 1 GDP Gross Domestic Product Indonesia tahun 2016, yaitu 3603 Rp 49.000.800. Kesimpulan: Ticagrelor-aspirin lebih efektif dan lebih cost-effective dalam mencegah MACEdalam 3 bulan dibandingkan klopidogrel-aspirin pada pasien SKA. Masihdiperlukan penelitian prospektif lanjutan dengan jumlah besar terutama padapasien geriatri dengan SKA.
Introduction The enormous number of acute coronary syndrome ACS cases make it importantto evaluate the economic burden of this illness. Ticagrelor is a P2Y12 inhibitorwith pronounced platelet inhibition effect and more rapid onset compared toclopidogrel, with disadvantages of higher price and major bleeding adverseeffects. This study aimed to evaluate effectiveness, safety, and cost effectivenessanalysis of dual antiplatelet aspirin ticagrelor compared with aspirin clopidogrelat ACS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during 2014 2016 Methods This is a retrospective cohort study from data records of ACS patient treated inCipto Mangunkusumo Hospital between 2014 2016 period. ACS patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin clopidogrel and patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin ticagrelor were included.Effectiveness outcome were the occurence of major adverse cardiovascular events MACE successfully avoided within 3, 6, 9, and 12 months of antiplatelettreatment. Safety outcome were the insidence of adverse drug reactions within 3months. Cost outcome were determined with cost effectiveness analysis CEA .Data for CEA calculation were presented as Incremental Cost Effectiveness Ratio ICER . One way sensitivity analysis were performed to evaluate data uncertainty. Results A total of 123 data records of ACS patients treated with aspirin clopidogrel and57 with aspirin ticagrelor were evaluated. Trend for antiplatelet prescriptionshowed that ticagrelor prescription increased since 2014 until 2016, whileclopidogrel decreased. Within the first three months, the MACE rate was 15.8 inticagrelor group and 31.7 in clopidogrel group RR 0,498, 95 CI 0,259 ndash 0,957, P 0,039 . There were no significant differences of MACE betweengroups after 6, 9, and 12 months treatment. Ticagrelor had unsignificant majorbleeding melena higher than clopidogrel 5,3 vs 1,62 , P 0,681, especiallyin geriatric patients. ICER value was IDR 279.438,87, indicating additional costneeded for every MACE incidence successfully avoided within 3 month if aspirinticagrelorwas used. ICER under 1 Indonesian GDP Gross Domestic Product in2016 3603, equal to IDR 49.000.800 is considered cost effective. Conclusions Ticagrelor aspirin is a clinically superior and cost effective option for MACEprevention among ACS patients especially during the first three monthsantiplatelet treatment. Further prospective rearch with higher number especially ingeriatric patients with ACS is still needed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192 pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga indikator keberhasilan operasi. Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal (indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi, biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp. 3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05). Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode EKEK. Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas
Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE). This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192 cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients? medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore three success indicators of the surgeries. Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery. The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees, pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e. post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method. The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp. 3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative complications (p>0.05). The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio (ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp. 1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider population.
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irya Yohannes
Abstrak :
Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat tersedia sehingga diperlukan pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Obat merupakan bagian penting dalam pelayanan dokter kepada pasien di Rumah sakit. Ksrena itu perlu memehami cost effectivenees analysis dari berbagai produk sejenis. Untuk menentukan jenis obat eensial pada daftar obat esensial nasional (DOEN) ditetapkan melaluianalisis biaya manfaat pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan. Ranitidin merupakan obat pilihan pertama pada pengobatan gastritis akut sedangkan di RSU Mayjen H.A. Thalib Kerinci masih digunakan simetidin dengan jumlah yang hampir sama dengan ranitidin. Simetidin adalah obat anti gastritis akut yang memiliki harga yang berbeda dengan ranltidin maka perlu diadakau Cost Effectiveness Analysis untuk mengetahui mana yang lebih pantas digunakan. Teori yang dlgunakan pada penelitian ini adalah teknik evaluasi ekonomi Cost Effictiveness Analysis (CEA) dengan naalisis biaya menggunakn metode perhitungan oppertunity cost. Out put yang dlgunakan dari kedua altematif obat adalah cakupan, rata-rata waktu hilangnya gejala klinis dan hari yang hilang karena gastritis akut. Pada penelitian ini didapatkao bahwa basil perhitungan Cost Electiveness Ratio (CBR) dldapatkao bahwa CBR ranitidln lebih kecil dibaudlngken CBR Simetidin, dhnana (CBR) ranitidln = 67.986 sedangken CBR shnetidln 97.414 Proporsi kejadian efek sarnping ranltidln lebih kecil dlbandingkan dengan simetidin dlmana dari 58 pasien yang diobati dengan ranltidin thnbul efek samping pada 4 pasien berupa saki!kepala dan atau prutitus ( ruam kulit }, sedangkan dari 33 pasien yang diobati dengan simetidin timbul efek samping berupa sakit kepala dan atau prutitus {ruam kulit) 4 orang pasien. Waktu yang dibutuhkan ranitidin untuk menghilangkan gejala klinis juga lebih kecil dibandingkan dengan simetidin, dimana rata-rata yang dibutuhkan ranitidine untuk menghilangkan gejala klinis adalah 13,6 jam sedangkan simetidin membutuhkan waktu 16,6 jam. Rata-rata hari yang hilang kelompok ranitidine lebih kecil dari kelompok simetidin. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa ranitidin lebih cost effectiveness dibandingkan dengan simetidin dalam mengobati gastriris akut. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan kepada pihak Manajemen Rumah Sakit agar memilih ranitidin sebagai obat gastritis akut untuk dimasukkan dalam formularium, selain itu disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang memadai.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T11540
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>