Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Infusia Damayanti
"Mata uang Rupiah (IDR) mengalami ketidakstabilan nilai tukar terhadap mata uang Dolar AS (USD) selama satu dekade terakhir. Perubahan tersebut telah mempengaruhi keadaan keuangan PT XYZ yang sebagian besar kewajibannya adalah dalam USD sedangkan sebagian besar pendapatan usahanya dalam IDR. Untuk memenuhi kewajibannya dalam USD dan sekaligus mengelola fluktuasi nilai tukar, PT XYZ melakukan lindung nilai dengan cara melakukan transaksi derivatif yang salah satunya adalah opsi mata uang. Suatu Opsi dapat dinilai menggunakan model Garman-Kohlhagen yang merupakan pengembangan model Black-Scholes. Dengan melakukan perhitungan Opsi mata uang mengunakan model tersebut, PT XYZ dapat melakukan penilaian atas nilai kontrak Opsi yang dimiliki saat ini. Dalam tesis ini dijelaskan lebih lanjut mengenai proses penilaian atas kontrak Opsi PT XYZ menggunakan model Garman-Kohlhagen. Dengan menggunakan model Garman-Kohlhagen, hasilnya adalah nilai kontrak Opsi PT XYZ dengan pihak ABC adalah sebesar USD11,961,628 dan jika dibandingkan dengan premi yang harus dibayar oleh PT XYZ sebesar USD9,500,000 maka kontrak Opsi tersebut 25.91% lebih murah. Nilai kontrak Opsi dengan pihak DEF adalah masing-masing sebesar USD3,077,236, USD3,014,418, USD4,304,332 dan jika dibandingkan nilai sekarang dari premi yang harus dibayar masing-masing sebesar USD2,252,946, USD7,658,350, USD4,521,879, maka kontrak Opsi tersebut masing-masing 36.59% lebih murah, 60.64% lebih mahal, 4.81% lebih mahal. Nilai kontrak Opsi dengan pihak GHI adalah sebesar USD4,363,843 dan jika dibandingkan dengan nilai sekarang dari premi yang harus dibayar sebesar USD4,347,124 maka kontrak Opsi tersebut 0.38% lebih murah.

Within the past decade, the Indonesian Rupiah (IDR) has been subjected to currency exchange volatility particularly towards US Dollars (USD). This condition has been affecting PT XYZ financials as most of the Company?s obligations are denominated in USD, while its revenue denominated in IDR. In meeting its USD obligations and at the same time managing the currency exchange volatility, PT XYZ hedges its USD denominated obligations (exposure) through derivative transactions which includes currency option. An option can be valued using the Garman-Kohlhagen (G-K) model which essentially is an extension of the Black-Scholes model. By using G-K model, PT XYZ is enabled to value its current portfolio of currency option. This thesis will explain further the process of evaluating the value of PT XYZ?s portfolio currency options using G-K model. By using Garman-Kohlhagen model, the value of option contract with ABC amounted to USD11,961,628 which means that the option contract is underpriced by 25.91% when compared to the premium paid of USD 9,500,000. The value of option contracts with DEF are respectively USD3,077,236, USD3,014,418, and USD4,304,332, which means that the option contracts are respectively 36.59% underpriced, 60.64% overpriced, and 4.81% overpriced when compared to the present value of premiums paid of respectively USD2,252,946, USD7,658,350, and USD4,521,879. The value of option contract with GHI amounted to USD4,363,843 which means that the option contract is underpriced by 0.38% when compared to the present value of premium paid of USD4,347,124."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T27301
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Delivanis, Dimitrios
Bloomington: Indiana University, [date of publication not identified]
332.494 95 DEL g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London : George Allen & Unwin, 1956
332.401 AME r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Telisa Aulia Falianty
"Pembentukan suatu currency union adalah tahap terakhir dari langkah kebijakan menuju integrasi regional. Currency union biasa didefinisikan sebagai suatu area di mana mata uang tunggal beredar. Perdebatan mengenai adopsi dari common currency oleh negara-negara anggota ASEAN mulai bermunculan terutama sejak terjadinya krisis Asia 1997 dan setelah Euro menjadi kenyataan pada awal tahun 1999 dan tetap bertahan dengan baik sampai sekarang. Keinginan untuk membentuk currency union di Asia Tintur dan ASEAN juga dipicu oleh semakin rneningkatnya integrasi dalam perdagangan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Hal-hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian mengenai kemungkinan pembentukan currency union dl ASEAN. Penelitian mengenai currency union pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu : kemungkinan pembentukan dilihat dari beberapa prasyarat pembentukan currency union (properti dari Optimum Currency Area), penghitungan indeks Optimum Currency Area (OCA index). dan endogeneitas dari indikator OCA. Paper ini akan memfokuskan pada studi empiris mengenai OCA index dari endogenitas dari prasyarat pembentukan currency union.
Indikator-indikator OCA dapat menjadi endogen terhadap variabel -variabel lain. Hal ini disebut sebagai endogeneitas dan indikator- indlkator prasyarat pembentukan currency union. Asymmetric shocks sebagai salah satu indikator OCA endogen terhadap variabel perdagangan. Menurut Frankel dan Rose (1998), semakin tinggi level bilateral trade semakin besar korelasi siklus bisnis antar negara dan semakin kecil ketidaksimetrisan antar negara dalam menghadapi guncangan (sttocks). Menurut Fidrmuc (2001), konvergensl siklus bisnis terjadi melalui jalur intra industry trade. Dengan menggunakan Structural VAR dan Kalman Filler akan diteliti mengenai endogeneitas dari asymmetric shocks di ASEAN terhadap variabel perdangangan Kutman Filler akan digunakan vniuk menghitung time varying coorelation antara negara-negara anggota ASEAN. Filter ini menggambarkan bagaimana time path dari parameter model
"
2006
JEPI-VI-2-Jan2006-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susanto Pratomo
"Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan hukum primier, sekunder dan tersier, termasuk hasil wawancara dengan nara sumber. Adapun fokus penelitian terutama pada permasalahan mengenai perlu tidaknya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus tentang mata uang dan pokok-pokok materinya. Adapun pokok-pokok materinya merupakan unifikasi dan penyempurnaan ketentuan mata uang yang saat ini berlaku, sepeti pengaturan ciri minimal uang; pengeluaran uang khusus; pembatasan uang logam sebagai legal tender; kewenangan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang termasuk mencetak uang rupiah; kewajiban layanan penukaran uang oleh bank umum kepada masyarakat; perlindungan hukum atas penggunaan desain uang; pembentukan pusat data dan analisa uang palsu; dan ketentuan pidana terkait dengan kejahatan uang rupiah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai pelaksanaan dari amanat amandemen UUD 1945 dan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia terdapat semangat untuk melakukan unifikasi terhadap pengaturan mata uang dalam suatu undang-undang tersendiri.

This thesis is written using a normative legal research method using primary, secondary and tertiary legal materials and including the results of interviews with resources persons. The research is focused primarily on the neccessity for Indonesia to have a specific currency regulation and the main points of its regulation material. The research shows that as mandated in the amendment of the 1945's Constitution of Republic of Indonesia and the amendment of Bank Indonesia Act, there is a spirit to legislate the unification of the currency regulatins that currently apply, such as the minimum arrangement of currency characteristic; the issuance of commemorative coins/banknotes; the limitation of coin-made-payment as legal tender; the authority of Bank Indonesia in the field of currency circulation, including Indonesian Rupiah; the obligation to exchange rupiah as a service from commercial banks to the public; legal protection of Rupiah designs; establishment of counterfeit data and analysis center regarding to currency crimes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26776
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Telisa Aulia Falianty
"Pembentukan suatu currency union adalah tahap terakhir dari langkah kebijakan menuju integrasi regional. Currency union biasa didefinisikan sebagai suatu area di mana mata uang tunggal beredar. Perdebatan mengenai adopsi dari common currency oleh negara-negara anggota ASEAN mulai bermunculan terutama sejak terjadinya krisis Asia 1997 dan setelah Euro menjadi kenyataan pada awal tahun 1999 dan tetap bertahan dengan baik sampai sekarang. Keinginan untuk membentuk currency union di Asia Timur dan ASEAN juga dipicu oleh semakin meningkatnya integrasi dalam perdagangan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Hal-hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian mengenai kemungkinan pembentukan currency union di ASEAN. Penelitian mengenai currency union pada umumnya dibagi menjaji tiga bagian besar, yaitu kemungkinan pembentukan dilihat dari beberapa prasyarat pembentukan currency union (properti dari Optimum Currency Area), penghitungan Indeks Optimum Currency Area (OCA Index), dan endogeneitas dari indikator OCA. Disertasi ini merupakan studi komprehensif dari ketiga bagian besar penelitian pembentukan currency union di ASEAN tersebut.
Hasil studi mengenai prasyarat pembentukan currency union (indikator OCA) menunjukkan bahwa negara yang optimal membentuk currency union adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Baik dengan menggunakan metode pairwise maupun dengan menggunakan metode clustering didapatkan kesimpulan yang sama bahwa tidak semua negara anggota ASEAN-5 optimal dalam membentuk currency union. Hanya tiga negara anggota ASEAN-5 yang optimal membentuk currency union, yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand. Perhitungan indeks OCA juga menunjukkan hasil yang konsisten bahwa Singapura, Malaysia, dan Thailand layak untuk membentuk currency union karcna mcmiliki indeks OCA yang terendah.
Dua prasyarat OCA yang penling adalah korelasi shocks yang positif dan upah yang fleksibel. Dua prasyarat tersebut dibutuhkan sebagai konsekuensi dari currency union di mana nilai tukar antar negara anggota bersifat fixed. Dalam studi mengenai andogeneitas shocks dan upah menjadi variabel endogen. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan evidence bahwa terdapat endogeneitas dari czsynnnetric shocks sebagai prasyarat pembentukan currency union. Peningkatan dalam infra-industry trade dapat menurunkan asymmetric shocks di antara negara anggota. Sedangkan untuk upah ditemukan weak evidence bahwa terdapat endogeneitas dari upah sebagai prasyarat pembentukan currency union. Upah menjadi lebih prosiklus pada rezim nilai tukar yang lebih fixed.
Dengan ditemukannya evidence mengenai adanya endogeneitas dari asymmerric shocks maka terdapat harapan bagi pembentukan currency union untuk negara ASEAN-5. Negara ASEAN-5 perlu melakukan koordinasi dalam kebijakan ekonomi untuk lebih meningkatkan konvergensi dari perekonomiannya agar tercipta siklus bisnis yang lebih sinkron dan menurunkan asymmetric shocks. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah mendorong peningkatan intra-industry trade antar negara anggota ASEAN-5. Peningkatan trade intensity yang disertai peningkatan intra-industry trade-lah yang akan menurunkan asymmetric shocks.
Negara Singapura, Malaysia, dan Thailand bisa segera mempersiapkan diri dengan lebih serius ke arah pembentukan currency union di antara mereka karena mereka relatif lebih siap secara ekonomi dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya. Sedangkan untuk negara Indonesia dan Filipina, jika ingin bergabung dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand harus melakukan usaha yang lebih keras dalam rangka mencapai harmonisasi perekonomian dengan ketiga negara tersebut. Dengan memperbaiki kinerja ekonominya, diharapkan kedua negara dapat menurunkan OCA Index-nya dan meningkatkan benefit dari optimum currency area."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
D667
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Intan Soraya
"Pada era modern saat ini, masyarakat cenderung menggunakan pembayaran dengan metode dompet digital dibandingan dengan cara konvensional. Melihat fenomena ini, Bank Indonesia tengah mengembangkan Central Bank Digital Currency atau biasa disebut sebagai Digital Rupiah sebagai alternatif alat pembayaran yang diharapkan dapat menjadi pelengkap pilihan pembayaran. Lebih lanjut, penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah mengenai bagaimana pengaturan penggunaan Rupiah Digital sebagai alternatif alat pembayaran menurut UU P2SK serta bagaimana dampak dan peran dari penggunaan Rupiah Digital terhadap eksistensi uang kartal di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penulisan hukum doktrinal dengan melakukan evaluasi normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan analisis lebih lanjut dan berkaitan dengan topik yang diangkat dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai CBDC telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, pada Pasal 10 menjelaskan bahwa Rupiah Digital diakui dan berfungsi sama seperti rupiah kertas dan logam sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Kemudian, penggunaan CBDC dapat menaikan jumlah transaksi internasional yang berpengaruh pada tingkat PDB maupun PNB suatu negara. Penggunaan CBDC sebesar sekian persen dari jumlah PDB suatu negara dapat menekan tingkat inflasi dan menaikan pendapatan negara. Akan tetapi, CBDC tidak semerta-merta menghapuskan penggunaan uang kartal sehingga penggunaan Rupiah Digital dan Uang Kartal harus dilakukan secara selektif, dominasi berlebih pada salah satunya dapat menimbulkan ketidakmaksimalan hasil yang diharapkan dalam kebijakan moneter yang dilakukan. Lebih lanjut, UU P2SK belum dapat menjadi landasan penerapan Rupiah Digital karena sifat dan muatannya sebagai undang-undang payung semata, sehingga diperlukan regulasi yang merinci yang mengatur mengenai Rupiah Digital di Indonesia serta diperlukan sosialisasi yang baik oleh pemerintah kepada masyarakat terkait peredaran dan penggunaan Rupiah Digital.

In today's modern era, people tend to use digital wallet payments compared to conventional methods. Seeing this phenomenon, Bank Indonesia is developing a Central Bank Digital Currency or commonly referred to as Digital Rupiah as an alternative payment method that is expected to complement payment options. Furthermore, this study aims to answer the formulation of the problem regarding how to regulate the use of Digital Rupiah as an alternative payment method according to the P2SK Law and the impact and role of the use of Digital Rupiah on the existence of paper money in Indonesia. This study uses a doctrinal legal writing method by conducting a normative evaluation of applicable laws and regulations that provide further analysis and are related to the topics raised in this study. The results of the study show that the regulation regarding CBDC has been regulated in Law Number 4 of 2023 concerning the Development and Strengthening of the Financial Sector, Article 10 explains that Digital Rupiah is recognized and functions the same as paper and metal rupiah as legal tender in Indonesia. Then, the use of CBDC can increase the number of international transactions that affect the GDP and GNP levels of a country. The use of CBDC of a certain percentage of a country's GDP can reduce inflation and increase state revenue. However, CBDC does not immediately eliminate the use of paper money so that the use of Digital Rupiah and Paper Money must be carried out selectively, excessive dominance of one of them can result in suboptimal results expected in the monetary policy carried out. Furthermore, the P2SK Law cannot yet be the basis for the implementation of Digital Rupiah because of its nature and content as an umbrella law alone, so that detailed regulations are needed that regulate Digital Rupiah in Indonesia and good socialization is needed by the government to the public regarding the circulation and use of Digital Rupiah."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bain, A.D.
London: Penguin Books, 1970
332.4 BAI c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Herman Sulistyo
"Hubungan dinamis antara pasar modal suatu negara dan pergerakan nilai tukar mata uang negara tersebut menjadi bahan studi yang menarik untuk diteliti. Topik tersebut menjadi makin menarik untuk diteliti setelah adanya krisis ekonomi yang dialarni oleh negara-negara di kawasan asia pasifik. Krisis tersebut diawali dengan jatuhnya mata uang baht thailand pada bulan agustus 1997, yang juga mengakibatkan runtuhnya pasar modal di negara tersebut, yang akhirnya menyebar ke negara-negara tetangganya sehingga mengakibatkan hampir semua negara di kawasan tersebut mengalami krisis moneter.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki dan menguji adanya hubungan kesetimbangan jangka pendek dan hubungan kesetimbangan jangka panjang (short run and long run equilibrium relationship) serta menyediakan bukti empiris terhadap hubungan Pasar Modal Indonesia dengan alat tukar rupiah terhadap beberapa mata uang negara-negara asia pasifik (USA, Jepang, Malaysia, dan Thailand) berkaitan dengan dampak krisis moneter. Pengujian hipotesis dilakukan dengan pendekatan unit root, cointegrasi, impulse response, variance decomposition, Vector Error Correction Model (VECM), dan Vector Auto Regressive (VAR).
Fenomena krisis yang melanda di kawasan Asia Pasifik temyata ditanggapi secara berbeda oleh otoritas moneter di negara-negara tersebut. Respon yang diberikan pemerintah Indonesia dan Thailand umumnya seragam yaitu menerima kehadiran IMF, mengambangkan kurs mata uangnya (floating exchange rate) dan melepaskan batas kepemilikan bagi investor asing di pasar modal. Walaupun sesama anggota ASEAN, respon yang diberikan oleh otoritas moneter Malaysia temyata sangat bertolak belakang dengan kedua negara tetangganya tersebut. Kebijakan yang ditempuh malaysia adalah menolak kehadiran IMF, melakukan kontrol devisa, dan tetap mematok nilai tukar ringgit malaysia terhadap US dollar. Fenomena inilah yang menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut mengenai pergerakan kurs di kawasan ASEAN (atau Asia Pasifik bila melibatkan US dan Jepang) terutama dalarn merespon krisis ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan kekuatan ringgit malaysia dalam mempertahankan nilainya terhadap mata uang negara lain. Lebih jauh menunjukkan bahwa ringgit malaysia sudah mulai mampu menggerakkan pasar (seperti US dollar) khususnya di Asia Tenggara.
PVECM di saat sebelum terjadi krisis menunjukkan adanya fenomena yang sangat menarik dimana hanya Dbaht (nilai tukar rupiah terhadap baht Thailand) dan Dusd (nilai tukar rupiah terhadap dollar US) yang menunjukkan pergerakan jangka pendek yang signifikan. Sedangkan variabel yang lain {Dihsg (indeks barga sabam gabungan indonesia), Dyen (nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang), Dring (nilai tukar rupiah terhadap ringgit Malaysia) } sama sekali tidak menunjukkan pergerakan yang signifikan dalam jangka pendek. Hipotesis awal yang diajukan adalah bahwa pada masa sebelum krisis (5 januari 1996 - 8 Agustus 1997) , pergerakan mata uang baht Thailand sudah mempengaruhi ketidakseimbangan jangka pendek antar negara (Indonesia, Jepang, Malaysia), sedangkan mata uang yang lain tidak terlalu ekspansif dalam pergerakan antar negara (lebih banyak bergerak di dalam negeri). Lebih jauh penulis ingin mengatakan bahwa fenomena krisis yang diawali dari merosotnya nilai tukar baht Thailand terhadap US dollar Amerika kemungkinan sudah bisa diramalkan dari agresifnya baht thailand dalam mempengaruhi ketidakseimbangan jangka pendek antar negara. Apabila hipotesis ini temyata terbukti benar, maka model PVECM ini dapat digunakan sebagai `peringatan dini' terhadap krisis (preliminary warning system) untuk melihat kesetimbangan / ketidaksetimbangan suatu kawasan (antar negara).
Dari test weak erogeneity menunjukkan hasil yang cukup konsisten dimana exchange rate menunjukkan hasil yang lebih kuat daripada pasar modal. Untuk ketiga periode yang dilakukan tes menunjukkan bahwa ihsg adalah weak exogen. Sedangkan usd dan ringgit Malaysia menunjukkan pengaruh yang dominan dalam memberikan kontribusi pada persamaan jangka panjang. Hal itu mendukung kesimpulan bahwa: exchange rate adalah leading indikator terhadap pasar modal.
Dalam analisis ketidaksetimbangan jangka pendek (short-run disequilibrium relationship) menggunakan PVECM (Parsimonius Vector Error Correction Model) menunjukkan fenomena yang berbeda-beda tergantung dari periode pengamatan. Basil PVECM pada periode total menunjukkan adanya trivariate granger causality pada model antara Dusd, Dying dan Dbaht dengan arah dan besarnya koefisien regresi (magnitude of regression coefficients) yang jauh sangat berbeda. Adanya fenomena trivariate granger causality pada PVECM ini menimbulkan hipotesa (dugaan) penulis bahwa ada hubungan yang menarik antara mata uang ketiga negara tersebut sebagai dampak dari krisis moneter: Amanita sebagai faktor yang menggerakkan pasar (faktor yang sangat dominan dan merupakan negara donor utama IMF), Thailand sebagai negara yang tertnnpa krisis moneter pertama kali (negara yang rrienyebarkan `contagion effect' ke negara-negara tetangganya), menerima kehadiran IMF, menghapus kurs tetap, meliberalisasi pasar modalnya dan Malaysia sebagai negara yang berperilaku berbeda (menyimpang) dengan negara tetangga lainnya yaitu menolak kehadiran IMF, menerapkan kurs tetap dan kontrol devisa. Dalam ketidaksetimbangan jangka pendeknya, krisis yang melanda thailand segera menyebar (`contagion effect') dan mempengaruhi hubungannya dengan negara tetangganya (termasuk malaysia, indoonesia). Sedangkan aliran dana US dollar clan amerika ke IMF selanjutnya ke Thailand direspon oleh negara-negara di kawasan tersebut Sedangkan kebijakan otoritas moneter Malaysia yang berbeda dengan negara lain, direspon secara langsung oleh negara¬-negara di sekitarnya. Dan hipotesis tersebut menunjukkan bahwa suatu krisis, aliran dana, suatu inforrnasi, ataupun suatu sikap/kebijakan yang berbeda dari otoritas moneter dapat mempengaruhi kesetimbangan jangka pendek pada suatu kawasan.
Apabila dianalisis lebih lanjut menunjukkan bahwa respon Dring Malaysia selalu berbeda (berlawanan arah) dengan gerakan yang dilakukan oleh Dusd. Hal ini menunjukkan bahwa Dying Malaysia selalu melawan pengaruh kebijakan yang dilakukan oleh Dusd Amerika. Analisis terhadap Dyen menunjukkan bahwa Dyen tidak punya pengaruh sama sekali dalam jangka pendek. Ada hipotesis yang diajukan penulis bahwa perekonomian Jepang sudah lama stagnant (memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah), sehingga mata uangnya =darting tidak menimbulkan gejolak dibandingkan mata uang negara lain. Sedangkan pergerakan jangka pendek ihsg adalah sangat kecil pengaruhnya (koefisien regresinya) bila dibandingkan nilai tukar mata uang negara lain."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia
"Skripsi ini ingin melakukan pengujian mengenai hipotesis efisiensi pasar setengah kuat di dalam nilai tukar tiga mata uang yaitu US Dollar (USD), Japanese Yen (JPY), dan Euro (EUR) terhadap Rupiah (IDR) pada periode Oktober 2003-Oktober 2008. Untuk pengujian stasioneritas diuji dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test dan Phillips-Perron (PP) Test. Kemudian untuk pengujian hipotesis efisiensi pasar setengah kuat (Semi-strong Efficient Market Hypothesis) diuji dengan menggunakan kointgerasi, Granger Causality Test, dan juga menggunakan Variance Decomposition Analysis. Penelitian ini memberikan bukti bahwa hubungan di antara ketiga nilai tukar mata uang tersebut belum efisien secara bentuk setengah kuat. Informasi yang terdapat di dalam peneltian ini dapat digunakan oleh regulator perekonomian mengenai kebijakan intervensi seperti apa yang harus dilakukan dan juga kepada para partisipan di dalam pasar valuta asing mengenai strategi investasi seperti apa yang sebaiknya diambil.

This research is intended to test the hypothesis on the efficiency of the semi strong market on three different foreign currencies which are US Dollar (USD), Japanese Yen (JPY), and Euro (EUR) towards Rupiah (IDR) in the period of October 2003 ? October 2008. The data stationerity are tested by using Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test and Phillips-Perron (PP) Test. The Semi-strong Efficient Market Hypothesis are tested by using cointegration, Granger Causality Test, and Variance Decomposition Analysis. This paper provide findings that show the relationship between said three currencies are not yet efficient, even in the semi strong form. Information found in this paper could be used by economics regulator to formulate what type of intervention policies needed and by participants in foreign exchanges market to create a sound investment decision.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
S6581
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>