Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Widiastuti Vietara
"Delirium (acute confusional state) merupakan kondisi krisis yang sering ditemui dan berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Para lanjutusia sangat rentan terhadap delirium. Diagnosis delirium seringkali sulit ditegakkan sehingga banyak kasus delirium menjadi terabaikan. Algoritma Confusion Assessment Method adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan identifikasi dan pengenalan delirium pada lanjut usia. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kesahihan dan keadalan instrumen Algoritma Confusion Assessment Method versi Bahasa Indonesia pada pasien usia lanjut yang datang ke IGD. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen Algoritma Confusion Assessment Method versi bahasa Indonesia adalah instrumen yang sahih dan andal untuk digunakan sebagai alat penapisan delirium lanjut usia.

Delirium (acute confusional state) is a state of emergency which is often found and potentially causing morbidity and mortality. Elderly people are especially prone to delirium. Diagnosis of delirium is often difficult to establish, so there are a lot of delirium cases become neglected. The Confusion Assessment Method Algorithms is an instrument that can be used to increase the identification and recognition of delirium for elderly people. This study aims to examine the validity and reliability of the Confusion Assessment Method Algorithms to elderly people at Emergency Unit in the Indonesian version. The results of this study indicate that the Indonesian version of the Confusion Assessment Method algorithms is a valid and reliable instrument, using as a screening tool for delirium in elderly people at Emergency Unit."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31141
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ade Wijaya Ramlan
"ABSTRAK
Pemakaian obat anestetika inhalasi sevofluran terbukti meningkatkan angka kejadian delirium emergens terutama pada anak. Delirium emergens yang terjadi pascapajanan dengan anestesia inhalasi merupakan kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan keselamatan pasien dan pada akhirnya meningkatkan biaya perawatan. Mekanisme kerja sevofluran pada sel saraf menyebabkan kadar kalsium intrasel meningkat. Penelitian ini adalah penelitian invitro yang meneliti kejadian delirium emergens pada hewan coba dan invivo dengan mengkaji fisiologi kelistrikan sel, konsentrasi kalsium intrasel dan peran magnesium.Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian FKUI, anak tikus Sprague-Dawley berusia 2 ndash;5 minggu yang memenuhi kriteria penerimaan diberikan pajanan dengan obat anestetika sevofluran. Satu kelompok mendapatkan suntikan magnesium sulfat intraperitoneal setelah induksi anestesia. Setelah pajanan anestesia dihentikan diamati kejadian hipereksitasi yang terjadi, kemudian tikus didekapitasi dan dibuat sediaan irisan jaringan otak tikus untuk diperiksa menggunakan patch clamp dengan metode cell-attached current clamp dan voltage clamp. Sebagian irisan jaringan otak tikus juga diberikan pewarna sensitif kalsium Fura-Red AM, yang memiliki sifat rasiometri sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran kadar kalsium intrasel secara kuantitatif. Sisa jaringan otak tikus diproses menjadi homogenat untuk pemeriksaan reaksi inflamasi NF?B dan stress oksidatif Malondialdehyde.Angka kejadian perilaku eksitasi pascapajanan sevofluran pada hewan coba sebesar 9 dari 15 ekor tikus dan tidak terdapat perilaku eksitasi pada kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat. Hasil pemeriksaan reaksi inflamasi dan stres oksidatif menunjukkan nilai rerata normal. Hewan coba yang mengalami delirium emergens memiliki kadar kalsium sitosol yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami delirium emergens dan kelompok yang mendapat magnesium sulfat, namun perbedaannya tidak memiliki kemaknaan statistik. Hasil perekaman dengan menggunakan patch clamp metode cell attached current clamp dan voltage clamp memperlihatkan angka yang lebih tinggi pada kelompok yang mengalami delirium emergens, walaupun masih dalam rentang normal.Terdapat peningkatan konsentrasi Ca2 sitosol sel neuron neokortikal anak tikus Sprague-Dawley dengan potensial membran istirahat yang lebih tinggi pada saat pajanan dengan gas anestetika sevofluran dihentikan dan mengalami delirium emergens. Pemberian magnesium sulfat terbukti mencegah terjadinya delirium emergens pada hewan coba.
Sevoflurane has been proven to increase the event of emergence delirium. The increase in cytosol calcium level post sevoflurane anaesthesia may play role in emergence delirium. This study reviews the level of intracellular calcium in rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane; also the role of magnesium in preventing hyperexcitatory behaviour after sevoflurane exposure in rats.After ethical approval, 2 ndash;5 week old Sprague-Dawley mice were insufflated with sevoflurane in a modified anaesthesia chamber. A group of rats were randomnly chosen to receive MgSO4 administration intraperitoneally. After the exposure to sevoflurane was stopped, we observe the event of hyperexcitation. Preparations from the rats rsquo; brain tissue were done for measurement of its cell membrane electricity using patch clamp method, intracellular calcium level quantitatively using Fura Red AM, and the presence of inflammation or oxidative stress reaction using NF?B and MDA.The incidence of hyperexcitatory behaviour post sevoflurane exposure was 52.6 in the observation group and none in the group receiving MgSO4. The assay for inflammation and oxidative stress were averaging normal. Rats showing hyperexcitation showed a statistically significant higher level of cytosol calcium concentration compared to other groups. The recording for cell attached patch clamp method showed a higher resting membrane potential in group with hyperexcitatory behaviour, though still within normal range.There is an increase in neurocortical neurons calcium concentration with a higher resting membrane potential in Sprague-Dawley rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane. The administration of MgSO4 can prevent the event of hyperexcitation in experimental animals. "
2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keliat, Budi Anna
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 1991
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mudiarnis
"Tujuan.Mendapatkanserta menentukan performa model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi.
Metode. Penelitian dengan desain kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang akan menjalani operasi dari Gedung A dan PJT RSCM, dari 1 Februarisampai 30 April 2018. Prediktor yang dianalisis yaitu usia, frailty, komorbiditas, status nutrisi, kadar albumin, status kognitif, status depresi, polifarmasi dan jenis operasi. Analisis multivariat dengan cox regression untuk mendapatkan Hazzard Ratio dilakukan pada prediktor yang bermakna. Model prediksi dibuat dari prediktor yang bermakna pada analisis multivariat. Kemampuan kalibrasi model prediksi ditentukan dengan uji Hosmer Lameshow dan kemampuan diskriminasinya ditentukan dengan menghitung AUC dari kurva ROC.
Hasil.Terdapat187 pasien dengan median usia 67 tahun rentang 60-69 tahun . Kejadian Delirium pasca-operasi didapatkan sebesar 20,3 . Analisis multivariat mendapatkan usia HR 1,739;IK95 0,914-3,307 , polifarmasi HR 2,125 ;IK95 1,117-4,043 , dan status nutrisi HR 3,044 ; IK95 1,586-5,843 , sebagai prediktor model prediksi. Model Prediksi Delirium berdasarkan jumlah skor dari usia skor 1 , polifarmasi skor 1 , dan status nutrisi skor 2 , distratifikasikan menjadi kelompok risiko rendah skor le; 1 , risiko sedang skor 2-3 , dan risiko tinggi skor 4 . Uji Hosmer-Lemeshow menunjukan kalibrasi yang baik p=0,885 dan AUC menunjukan kemampuan diskriminasiyang cukup baik [ 0,71 IK95 0,614-0,809 ].
Kesimpulan. Model prediksi delirium pasca-operasi pasien usia lanjut menggunakan usia, status nutrisi dan polifarmasi, distratifikasi menjadi 3 kelas risiko rendah, sedang, dan tinggi Model ini memiliki kalibrasi yang baik dan diskriminasi yang cukup."
Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinta Dwi Komala
"Delirium yang terjadi di ICU dapat berdampak pada peningkatan angka morbiditas, penurunan fungsi tubuh, dan peningkatan masa rawat inap pasien di ICU. Perawat sebagai tenaga kesehatan perlu memiliki pengetahuan yang memadai terkait delirium di ICU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan perawat intensif terhadap Delirium di ICU. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada 70 perawat intensif di RSUP Dr. M. Djamil Padang berdasarkan teknik pemilihan total sampling. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden berpengetahuan tinggi 76%. Analisis chi square karakteristik perawat yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan pelatihan ICU menunjukkan hasil yang tidak signifikan dengan pengetahuan perawat intensif tentang Delirium di ICU dengan p value > 0,05. Hasil penelitian ini merekomendasikan untuk tetap meningkatkan dan mempertahankan pengetahuan perawat terhadap Delirium di ICU agar terciptanya asuhan keperawatan yang baik.
......Delirium that occurs in ICU can impact the increase of morbidity rate, decreased body function, and increase of patient’s hospitalization period in ICU. Nurse, as a health workers, requires to have adequate knowledge related to delirium in ICU. Therefore, this study aims to find out factors relate to knowledge level of intensive nurses to delirium in ICU. This study was descriptive quantitative with a cross-sectional approach. This study was conducted on 70 intensive nurses in RSUP Dr. M. Djamil Padang according to the total sampling technique. The results of the study show that the respondents have high knowledge 76%. Chi-Square analysis characteristic of nurse including age, gender, educational level, years of service shows there is no significant relationship to knowledge level of intensive nurses to ICU delirium with p value > 0,05. The results of the study recommend constantly improving and maintaining the knowledge of nurses to ICU delirium so that good nursing care can be created"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshinari Ogawa
"
ABSTRACT
Purpose
Geriatric surgery poses specific challenges due to patient vulnerability in relation to aging. We analyzed perioperative challenges concerning super-elderly patients with breast cancer.
Methods
Between 2013 and 2018, 908 patients with breast cancer were treated surgically. Of these, two patient groups were compared: Group A (≥ 85 years old, n = 34, 3,7%) and Group B (75-84 years old, n = 136, 15%).
Results
In Groups A and B, 26,4% and 36,8% of patients lived alone, respectively. Group A patients had higher rates of psychiatric and cardiovascular disease (32,4% and 41,2%) than Group B (8,8% and 16,2%) (p = 0,0009 and p = 0,0031, respectively). There was no marked difference in the type of surgery or length of hospital stay between groups, and most complications involved surgical site disorders. Postoperatively, Group A had a higher rate of delirium (29,4%) than Group B (3,7%) (p < 0,0001). The 30-day postoperative mortality rate was 0, and 76,5% of Group A and 45,6% of Group B patients received no adjuvant therapy (p = 0,0024).
Conclusions
Age alone does not constitute a contraindication for appropriate surgery, although there are some challenges necessary to consider for super-elderly patients."
Tokyo: Springer, 2019
617 SUT 49:10 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Prakoso Adji
"Latar Belakang : Hipotermia merupakan salah satu strategi dalam manajemen neuroproteksi akibat terjadinya cedera iskemia selama pembedahan operasi jantung terbuka dengan mesin pintas jantung paru. Pendinginan bersifat lokal pada otak dengan menggunakan cooling helmet lebih dapat menekan proses kerusakan yang terjadi dibandingkan yang tidak menggunakan cooling helmet. 
Tujuan : Mengetahui hubungan antara penggunaan cooling helmet dengan perubahan kadar NSE yang lebih kecil dan delirium pascaoperasi jantung terbuka lebih rendah dibandingkan tidak menggunakan cooling helmet.
Metode : Studi ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda, dilakukan randomisasi pada 26 orang dimana dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan n=13 (cooling helmet on) dan kelompok kontrol n=13 (cooling helmet off). Kriteria inklusi pasien yang terjadwal pertama kali menjalani operasi jantung terbuka dengan mesin pintas jantung paru, usia ≥ 18 tahun, ASA III, GCS 15, dan dapat berbahasa Indonesia.
Hasil : Studi ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik pada kadar NSE antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kadar NSE pada kelompok perlakuan (7.13 ± 7.63) lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (12.49 ± 6.81) (p<0.05). Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistik pada kejadian delirium antara kedua kelompok (p>0.05).
Kesimpulan : Cooling helmet berhubungan dengan penurunan kadara NSE namun tidak berpengaruh secara signifikan untuk mencegah terjadinya delirium setelah operasi jantung terbuka. 
Background: Hypothermia remains the most common neuroprotective management against ischemic injury during open heart surgery with cardiopulmonary bypass machine. Surface cooling in the brain delivered by cooling helmet provides more benefit to suppress cerebral injury compared to those who do not use cooling helmet. 
Objective: This study aimed to assess the effect of cooling helmet during surgery on NSE and delirium level after open-heart surgery patient with Cardiopulmonary Bypass (CPB) machine.
Methods: This study is a double-blind, randomized, clinical trial, where 26 people were randomized into 2 groups, namely the treatment group n=13 (cooling helmet on) and the control group n=13 (cooling helmet off). The inclusion criteria were patients who are scheduled to undergo open heart surgery for the first time with cardiopulmonary bypass machine, age ≥18 years, ASA III, GCS 15, and can speak Indonesian. 
Results: The study was found significant differences in NSE levels between the treatment and the control group. NSE levels in the treatment group (7.13 ± 7.63) were lower than in the control group (12.49 ± 6.81) (p<0.05). There weren’t statistically significant differences in the outcome of delirium in both groups (p>0.05)
Conclusion: The cooling helmet is associated with the decrease of NSE levels, but it did not significantly correlate to prevent the delirium after open-heart surgery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif Rahim
"Salah satu komplikasi pascabedah yang sering dialami pasien geriatri adalah delirium. Insiden delirium pascabedah sangat beragam berkisar 3,6-28,3% dari seluruh pembedahan elektif. Delirium pascabedah berkaitan erat dengan komorbiditas, mortalitas dan peningkatan biaya serta lama perawatan di Rumah Sakit, oleh karena itu pencegahan terhadap kejadian delirum merupakan hal yang penting. Tekanan darah yang rendah dapat menyebabkan hipoperfusi area korteks dan subkorteks serebral. Keadaan ini diduga dapat menyebabkan terjadinya delirium. Adanya abnormalitas perfusi lobus frontal dan parietal otak juga diduga berhubungan erat dengan timbulnya delirium. Masih terdapat kontroversi terhadap pengaruh dari hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri.Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif terhadap 134 subjek penelitian selama Januari-April 2022 yang dialokasikan ke dalam kelompok dengan hipotensi (n=67) dan tanpa hipotensi (n=67) dikaji dari nilai tekanan darah, durasi hipotensi, dan pemberian topangan kardiovaskular. Penelitian menggunakan uji fungsi kognitif berupa CAM (Confusion Assesment Method) yang dilakukan 24 jam pascabedah.
Hasil : Pada penelitian ini didapatkan proporsi kejadian delirium pascabedah  dikaji dari nilai tekanan darah (Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan Tekanan darah rerata <65 mmHg), durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular bermakna secara statistik (p <0.05). Insidens kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri adalah 36.5%.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara hipotensi intrabedah terhadap kejadian delirium pascabedah pada pasien geriatri dikaji dari nilai tekanan darah, durasi, dan pemberian topangan kardiovaskular.
......One of the postoperative complications that are often experienced by geriatric patients is delirium. The incidence of postoperative delirium varies widely, ranging from 3.6 to 28.3% of all elective surgeries. Postoperative delirium is closely related to comorbidities, mortality and increased costs and length of hospital stay, therefore prevention of delirium is important. Low blood pressure can cause hypoperfusion of the cerebral cortex and subcortical areas. This situation is thought to cause delirium. The presence of perfusion abnormalities of the frontal and parietal lobes of the brain is also thought to be closely related to the onset of delirium. There is still controversy about the effect of intraoperative hypotension on the incidence of delirium. This study aims to determine the relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients.
Methods : This study is a prospective cohort study of 134 study subjects during January-April 2022 who were allocated to groups with hypotension (n=67) and without hypotension (n=67) assessed from the value of blood pressure, duration of hypotension, and cardiovascular support. The study used a cognitive function test in the form of CAM (Confusion Assessment Method) which was carried out 24 hours after surgery.
Results : In this study, the proportion of postoperative delirium incidence was assessed from the value of blood pressure (systolic blood pressure <90 mmHg and mean blood pressure <65 mmHg), duration, and the provision of cardiovascular support was statistically significant (p <0.05). The incidence of postoperative delirium in geriatric patients is 36.5%.
Conclusion : There is a relationship between intraoperative hypotension and the incidence of postoperative delirium in geriatric patients assessed from the value of blood pressure, duration, and the provision of cardiovascular support."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Veronika Prescillia Hartanuh
"Latar Belakang: Delirium adalah perubahan status mental berupa gangguan atensi, kesadaran, dan kognisi yang akut dan fluktuatif. Referensi standar mendiagnosis delirium pada anak dan dewasa menggunakan kriteria DSM-5 atau ICD-10. Populasi anak memiliki tahap perkembangan dan gambaran gejala delirium yang berbeda dibandingkan dewasa sehingga diagnosis delirium anak mengalami keterbatasan dan membutuhkan kemampuan klinis dan kompetensi. Telah dikembangkan instrumen pCAM-ICU untuk membantu diagnosis delirium anak usia minimal lima tahun yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Saat ini pelayanan kesehatan anak di Indonesia belum memiliki instrumen membantu diagnosis delirium dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena tingginya kebutuhan pelayanan, maka dilakukan validitas isi dan reliabilitas konsistensi internal instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia Metode: Dilakukan proses forward translation dan back translation hingga didapatkan instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia. Uji validitas isi pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia melibatkan 10 orang ahli di Ilmu Kesehatan Jiwa dan Ilmu Kesehatan Anak yang pernah menangani kasus delirium pada anak dan remaja. Uji reliabilitas konsistensi internal dilakukan pada 30 pasien anak yang berusia 5 – 17 tahun di layanan RSCM. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan membandingkan pemeriksaan pCAM-ICU dengan kriteria DSM-5. Hasil: Instrumen pCAM-ICU versi bahasa Indonesia memiliki nilai I-CVI dan S-CVI sebesar 1,00 pada uji validitas isi dan Cronbach’s alpha keseluruhan 0,959 pada uji reliabilitas konsistensi internal. Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia memiliki nilai sensitivitas 85% (95% CI, 68-100%) dan spesifisitas 96% (95% CI, 86-100%) Simpulan: Instrumen pCAM-ICU versi Bahasa Indonesia dinilai valid dan reliabel dalam membantu penegakkan diagnosis delirium pada anak minimal usia lima tahun.
......Background: Delirium is defined as an acute and fluctuating altered mental status in the form disruption of attention, consciousness, and cognition. DSM-5 and ICD-10 criteria are used as a standardized reference to diagnose delirium. Pediatric population has a different developmental stage and clinical manifestation compared to adult population, hence diagnosing delirium in pediatric population is limited and requires further clinical skill and competence. pCAM-ICU has been developed to help diagnosing delirium for children at least 5 years old with high sensitivity and specificity. Pediatric healthcare service in Indonesia does not have an instrument to help diagnosing delirium in Bahasa Indonesia. Due to the need of such instruments, content validation and internal consistency reliability test for Indonesian version of pCAM-ICU is carried out.
Methods: Forward translation and back translation is carried out to obtain the Indonesian version of pCAM-ICU. Content validity of Indonesian pCAM-ICU involves 10 experts in Psychiatry and Pediatric who have managed delirium cases in children and adolescent. Internal consistency reliability test is done to 30 pediatric populations from the age of 5-17 years old in RSCM. This research is a cross sectional research which compares pCAM-ICU with DSM-5 criteria.
Results: Indonesian version of pCAM-ICU has I-CVI and S-CVI score of 1,00 at content validity test and overall Cronbach’s alpha of 0,959 for internal consistency reliability test. Indonesian version of pCAM-ICU has 85% (95% CI, 68-100%) sensitivity and 96% (95% CI, 86-100%) specificity.
Conclusion: Indonesian version of pCAM-ICU is considered valid and reliable to held diagnosing delirium in children of at least 5 years old."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>