Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"limbah cair industri tahu dan eceng gondok yang cukup banyak terdapat di indonesia belum dikelola dengan baik. sehingga membawa dampak negatif terhadap lingkungan. dari penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa limbah cair tahu dan eceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai biogas. limbah cair tahu dan eceng gondok mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi"
631 BLI 48:3 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tambunan, Usman Sumo Friend
"ABSTRAK
Komposisi utama tumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart.) (Solms) kering adalah. molekul selulosa. sedang komponen lain terdiri dari lignin, lemak, protein, abu dan lain-lain. Kadar selulosa di dalam tumbuhan ini agak tinggi, boleh karenanya mempunyai potensi untuk- digunakan sebagai bahan baku pulp. Tumbuhan eceng gondok yang diambil dari daerah Krawang, waduk Curug dan danau Rawa Pening, dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran—kotoran dan lumpur, kemudian dipotong-potong menjadi 2-4 cm dan selanjutnya dimasukkan kedalam oven pada suhu 1O5 ± 3 derajat C dalam waktu 2 jam Pulp yang diperoXeh ditentukan sifat-sifatnya yaitu : derajat putih, bilangan permanganat, kadar abu dan panjang serat. Rendemen dan sifat-sifat pulp eceng gondok berbeda-beda tergantung pada asal tumbuhan, tinggi eceng gondok, bagian tumbuhan yang dimasak dan cara pemasakan. Ren demen pulp yang paling tinggi dari hasil percobaan adalah 52,8 % dengan sifat sebagai berikut : derajat putih 20,8 GE, bilangan permanganat X2,27, kadar abu 8,78 % dan panjang serat rata-rata X,99 mm. Hasil ini diperoleh dari pemasakan . tangkai eceng gondok dari Curug, yang mempunyai tinggi X0X,5 i 5 cm dengan kadar NaOH X5 % per berat bahan baku kering."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1978
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Agnasia Desmara
"Hidrogel merupakan struktur tiga dimensi dari polimer hidrofilik yang dibentuk dengan perlakuan kimia atau fisika dan dapat menyerap air dalam jumlah banyak. Parameter kinerja hidrogel dalam menyerap air disebut sebagai swelling ratio dimana dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain sifat hidrofilik dan struktur morfologi dari polimer pembentuk hidrogel.
Pada penelitian ini dibuat hidrogel dari campuran polimer karboksimetil selulosa (CMC) dan polivinil alkohol (PVA) dengan crosslinker kimia asam sitrat. CMC disintesis dari selulosa eceng gondok sebagai sumber selulosa yang sudah diketahui potensial sebagai sumber selulosa dan dalam jumlah melimpah. Sintesis hidrogel dengan basis CMC eceng gondok sudah dilakukan dengan hasil swelling ratio yang baik.
Pada penelitian ini ditambahkan polimer sintesis PVA (polivinil alkohol) yang bersifat hidrofilik dengan harapan akan meningkatkan nilai swelling ratio yang dihasilkan. Efek dari perbedaan komposisi CMC/PVA dan konsentrasi asam sitrat ditinjau melalui hasil karakterisasi hidrogel. Variasi komposisi CMC/PVA yang digunakan adalah 1:3, 2:2, dan 3:1 dan konsentrasi asam sitrat sebesar 5%, 10%, dan 15%. Berdasarkan hasil penelitian didapati adanya pengaruh penambahan PVA yakni menurunkan nilai swelling ratio dari hidrogel berbasis CMC dengan hasil tertinggi pada komposisi CMC/PVA 3:1 dan konsentrasi asam sitrat 10%.
Hasil ini disebabkan karena CMC bersifat lebih dominan dengan sifat polyelectrolyte yang menghasilkan sifat ganda pada pengembangan hidrogel. Struktur PVA yang semikristalin juga menyebabkan air sulit berdifusi dibandingkan CMC dengan struktur amorf dimana hal ini didukung dengan hasil uji morfologi SEM. Analisis morfologi hidrogel menggunakan SEM juga mendukung hasil dimana tebentuk pori yang banyak dan besar pada konsentrasi asam sitrat 10% dan pada analisis FTIR juga menunjukkan terbentuknya crosslinking dari polimer.

Hydrogel is three dimensional hydrophilic polymers made by either chemical or physical crosslinking and can absorb water in large amount. The performance parameter of hydrogel in absorbing water called as swelling ratio and related to hydrophilic characteristic and morphology structure of its polymers.
In this study, hydrogel synthesized from carboxymethyl cellulose (CMC) and polyvynil alcohol (PVA) with citric acid as chemical crosslinker. CMC synthesized from water hyacinth cellulose which has been known as potential source of cellulose, especially in its amount. Synthesis of CMC based hydrogel has been done by previous study which has good characteristic result.
In this study hydrophilic synthetic polymer, polyvinyl alcohol (PVA), is added in order to increase swelling ratio of hydrogel. Effect of different compositions CMC/PVA and citric acid concentration are reviewed through the hydrogel characterization result. Variations of composition used are 1:3, 2:2, and 3:1 also with concentration of citric acid in 5%, 10%, and 15%. Based on the result, adding PVA to CMC based hydrogel has effect which is decreasing swelling ratio and the best result found in 3:1 of CMC/PVA composition with 10% citric acid concentration.
This result happen because domination from CMC with its polyelectrolyte characteristic which can result double effect in swelling the hydrogel. PVA with semicrystalin structure also caused difficulity in water absorbance to hydrogel structure compared to amorphous structure of CMC and this result supported with morphology test using SEM. Hydrogel morphology analysis through SEM also showed the formation of large pores on the surface of hydrogel with 10% acid acid. Futhermore crosslinking between polymers with 10% citric acid also showed in FTIR analysis.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Mutiara Sari
"Kondisi Danau Rawapening sebagian besar telah tertutup oleh tanaman gulma eceng gondok. Permukaan perairan danau yang tertutup eceng gondok sekitar 75% dari jumlah luas permukaan air. Keberadaan eceng gondok dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku benda kerajinan serta mebel. Pemanfaatan ini membentuk hubungan saling terkait dan mempengaruhi sehingga membentuk suatu ikatan rantai yang bernilai. Rantai nilai eceng gondok dapat menjabarkan keseluruhan proses yang terjadi dan memberikan gambaran terbentuknya harga disetiap simpul. Penelitian ini bertujuan melihat jalur distribusi eceng gondok yang terbentuk mulai dari Danau Rawapening hingga sampai ke konsumen akhir dan mellihat harga yang terbentuk di setiap simpulnya. Proses pengambilan data dilakukan secara purposif sampling dengan teknik snowballing. Teknik snowballing digunakan karena tidak diketahuinya jumlah populasi dari masyarakat pengambil enceng gondok sebagai informan kunci. Analisis yang digunakan adalah analisis keruangan dengan memperhatikan jalur distribusi yang tercipta dari rantai nilai yang ada. Membandingkan jalur distribusi serta harga yang terbentuk di tiap simpul pada masing-masing jalur distribusi. Hasil penelitian menyimpulkan terdapat tiga jalur utama rantai nilai eceng gondok yaitu jalur distribusi menuju Yogyakarta, menuju Sukoharjo dan jalur yang berada di dalam Kabupaten Semarang. Semakin besar perbedaan harga antar simpul maka pertambahan nilai semakin besar. Semakin besar pertambahan nilai antar simpul maka perlakuan terhadap eceng gondok semakin banyak dan sulit.

Most of Rawapening Lake is covered by water hyacinth weeds. The water surface of the lake is covered with water hyacinth, around 75% of the total water surface area. The existence of water hyacinth is used by the community as raw material for craft objects and furniture. This utilization forms interrelated relationships and influences to form a valuable chain bond. The water hyacinth value chain can describe the entire process that occurs and provide an overview of price formation at each node. This research aims to look at the water hyacinth distribution route that is formed from Lake Rawapening to the end consumer and look at the prices that are formed at each node. The data collection process was carried out using purposive sampling using the snowballing technique. The snowballing technique was used because the population size of the water hyacinth harvesting community as key informants was unknown. The analysis used is spatial analysis by paying attention to distribution channels created by the existing value chain. Comparing distribution channels and the prices formed at each node in each distribution channel. The research results concluded that there are three main routes in the water hyacinth value chain, namely the distribution route to Yogyakarta, to Sukoharjo and the route within Semarang Regency. The greater the price difference between nodes, the greater the value added. The greater the increase in value between nodes, the more numerous and difficult the treatment of water hyacinth will be."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Hastuti
"ABSTRAK
Eceng gondok (!Eichhornia crassipes (Mart.) Solms:) merupakan salah satu gulmasir yang banyak dijum- pai di perairan indonesia. Tumbuhan ini mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, oleh karenanya mempunyai kemampuan menyerap unsur hara, senyawa organik, dan unsur kimia lain dari air limbah dalam jumlah besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan pemanfaatan eceng gondok sebagai penyerap unsur N, P, dan CD bahan organik dengan mengadakan pengukuran BOD dari efluen kolam sedimentasil di Instalasi Kolam Oksidasi Pulo Gebang, serta mengetahui pengaruh pencemaran efluen kolam sedimentasi terhadap pertumbuhan eceng gondok. Dari hasil yang diperoleh, ternyata karena tingginya kandungan bahan organik, N total, 'dan P total, maka air limbah yang langsung ditanami eceng-gondok^menyebabkan tumbuhan hanya dapat hidup selama 3-6 hari, tetapi tumbuhan
ini dapat hidup dalam efluen kolam sedimentasi yang telah diendapkan selama 7 hari. Eceng gondok yang ditanam dalam bak berisi efluen kolam sedimentasi selama 15 hari inampu menurunkan kadar N total dan BOD, tetapi tidak mampu tc^rh^-,dap kadar P. Dari hasil penanaman eceng gondok dalam '",ak berisi efluen kolam sedimentasi yang kemudian.diaerasi, d-i-peroleh;- bahwa semakin lama waktu perlakuan aerasi, pertumbuhan makin baik, terlihat dari kenaikan berat basah maupun jumlah daun yang mak-in meningkat walaupun masih jauh di bawah kondisi normal (Hoagland 25 %). Sedangkan dalam. efluen kolam sedimentasi yang diencerkan dengan air sungai kemudian diaerasi, dipproleh kenaikan. berat basah dan,jumlah daun yang lebih tihggi daripada dengan perlakuan aerasi saia. Dari hasil penelitian.ini dapat diambil kesimpulan bahwa e-ceng gondok sangat efektip terhadap penurunan kadar N dan BOD dari efluen kolam sedimentasi, sementara eceng gondok tidak efektip terhadap penurunan kadar P. Makin tinggi kadar unsur-unsur hara terkandung dalam-efluen kolam. Sedimentasi yang menyebabkan makin rendahnya kadar oksigen terlarut, tidak memberikan tambahan herat basah dan jumlah daun, tetapi menekan pertumbuhan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridla Bakri
"Unsur nutrisi P yang bertambah secara berlebihan didalam suatu perairan, dapat mengakibatkan terjadinya keadaan lewat subur (keadaan eutrofikasi) pada perairan tersebut. Penyebab terbesar dari pencemaran unsur P di dalam perairan yaitu, berasal dari limbah deterjen hal ini dikarenakan deterjen tersebut mengandung senyawa poli fosfat, yang umumnya berupa senyawa sodium tri poli fosfat (STPP). Sehubungan dengan pencemaran P yang berasal dari deterjen tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan, untuk mengetahui pengaruh senyawa poli fosfat terhadap pertumbuhan eceng gondok (Eichornia Crassipes (Hart) Solms)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dirga Harya Putera
"ABSTRAK
Eceng gondok tergolong serat alam yang keberadaannya melimpah di Indonesia. Serat alam ini tersusun atas serat selulosa yang merupakan komponen struktural utama dinding sel tanaman hijau. Untuk mendapatkan serat selulosa dari eceng gondok, dilakukan beberapa perlakuan. Pada penelitian ini dilakukan perlakuan pengekstrakkan serat selulosa secara kimiawi, antara lain proses dewaxing, penghilangan hemiselulosa, delignifikasi, tahap pendapatan selulosa murni, dan tahap pengeringan. Digunakan variasi pelarut, yakni Sodium Chlorite (NaClO2), Hydrocloric Acid (HCl), dan Hydrogen Peroxide (H2O2), yang bertujuan untuk mengetahui pelarut mana yang paling efektif dalam pengekstraksian serat selulosa tanaman eceng gondok. Didapatkan pada penelitian ini bahwa, pelarut NaClO2 dinilai paling efektif untuk ekstraksi serat selulosa. Hal ini berdasarkan dari gugus fungsi serat yang terbentuk pada analisis FTIR (Fourier Transform Infrared), karakteristik termal yang didapat dari analisis TGA (Thermogravimetric Analysis), dan dari kandungan hemiselulosa yang paling sedikit dibandingkan dengan pelarut lainnya dari analisis HPLC (High Pressure Liquid Chromatography).

ABSTRACT
Water hyacinth, classified as a natural fibres that is abundance in Indonesia. This natural fibre consists of cellulose fibres which is the main structural component of cell wall of green plant. To obtain cellulose fibers, chemical treatment such as dewaxing, removal of hemicelluloce component, delignification, until drying process of cellulose fibre have been made in this research. Variation of solvent is used, Sodium Chlorite (NaClO2), Hydrogen Peroxide (H2O2), and Hydrocloric Acid (HCl) Ammonia, with a purpose to determine which are the most effective solvent in this extraction. From this study, we obtained that the most effective solvent in the extraction of cellulose fibre from water hyacinth plant is NaClO2 solution. It is based on the functional group formed on the analysis of FTIR (Fourier Transform Infrared), thermal characteristic obtained from thermagravimetric analysis, and content of hemicellulose from high pressure liquid chromatography analysis."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43696
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nurhidayah
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman yang mengandung hemiselulosa tinggi, namun pemanfaatannya belum optimal. Tujuan penelitian adalah pemanfaatan eceng gondok sebagai sumber substrat dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol menggunakan khamir Debaryomyces hansenii. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu pencarian kondisi optimum autohidrolisis dan biokonversi hidrolisat yang dihasilkan menjadi xilitol selama 3 hari dengan penggojokan 200 rpm pada suhu kamar. Kondisi optimum perolehan xilosa diperoleh melalui metode autohidrolisis selama 75 menit dengan rasio eceng gondok dan air 1:15 serta pasca hidrolisis selama 45 menit menggunakan asam sulfat 4%. Hasil hidrolisat yang didapatkan adalah 25,55 g/L xilosa. Biokonversi dengan konsentrasi xilosa 10% menghasilkan yield value xilitol sebesar 21,67%. Penambahan kosubstrat glukosa 1% dan gliserol 3% meningkatkan yield value xilitol masing-masing sebesar 25,95% dan 31,61%.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a plant containing high hemicellulose, but its utilization was not optimal. The research purpose is the utilization of water hyacinth as substrate source in the bioconversion of xylose into xylitol using Debaryomyces hansenii yeast. The research was conducted into two stages. Firstly, searching an optimum autohydrolysis conditions. Secondly, bioconversion of the resulting hydrolyzate into xylitol which carried out for 3 days with shaking 200 rpm at room temperature. The optimum conditions for the acquisition of xylose obtained through autohydrolysis methods for 75 minutes with 1:15 water hyacinth and water ratio and posthydrolysis for 45 min using 4% sulfuric acid. Results obtained from hydrolyzate was 25.55 g / L xylose. Bioconversion of 10 % xylose produce 21.67% xylitol yield. Cosubstrates addition of 1% glucose and 3 % glycerol increase xylitol yield respectively 25.95% and 31.61%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Razanah Zharfan
"Eceng gondok merupakan gulma perairan yang dapat dimanfaatkan seratnya menjadi bahan baku industri tekstil, kertas, dan komposit. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kandungan air di dalamnya. Sebagai tanaman air, eceng gondok mempunyai kandungan air awal tinggi, di atas 90%. Perlu proses pengeringan untuk mengurangi kandungan air yang tinggi tersebut hingga menjadi rendah dan dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan, yaitu di bawah 10%. Mixed Adsorption Drying dengan Unggun Terfluidisasi adalah metode pengeringan eceng gondok dengan terlebih dahulu mencampurkannya dengan adsorbent fly ash pada rasio campuran tertentu, lalu mengeringkannya dengan prinsip fluidisasi menggunakan udara pengering. Fly ash digunakan sebagai adsorbent karena memiliki kandungan silika dan alumina yang dapat mengadsorp air selama proses pengeringan. Parameter yang mempengaruhi proses pengeringan dengan metode ini yaitu suhu udara pengering, kecepatan udara pengering, dan rasio campuran eceng gondok-fly ash. Dari penelitian yang dilakukan, nilai masing-masing parameter yang memberikan waktu pengeringan tercepat untuk mengeringkan eceng gondok dari kandungan air awal 94.7% menjadi di bawah 10% adalah suhu 60oC, kecepatan 2 m/s, dan rasio campuran 50:50. Secara keseluruhan, kondisi operasi yang memberikan nilai kecepatan pengeringan pada constant rate tertinggi, 0.01535 gr uap air/cm2.menit, adalah suhu udara pengering 60oC, kecepatan udara pengering 2 m/s, dan rasio campuran eceng gondok-fly ash 50:50.

Water hyacinth is aquatic weed that actually its fiber can be utilized into raw material of textile, paper, and composite industry. The quality of hyacinth fiber is strongly influenced by its moisture content. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used for various purposes, that is below 10%. Mixed Adsorption Drying in fluidized-bed is drying method that will mix water hyacinth with fly ash adsorbent first, then dry it with fluidization principle using drying air. Fly ash is used as adsorbent because it consists mainly of silica and alumina which has capability to adsorp moisture. Parameter of drying process are drying air temperature, drying air velocity, and ratio of water hyacinth-fly ash mixture. Research shows the value of each parameter that gives fastest drying time to reduce water content from 94.7% into below 10% are temperature 60oC, velocity 2 m/s, and ratio of mixture 50:50. Operating condition that give highest constant drying rate, 0.01535 gr moisture/cm2.minute, are drying air temperature 60oC, drying air velocity 2 m/s, and ratio of water hyacinth-fly ash mixture 50:50."
2014
S58848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>