Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mariati S. Muchlis
"ABSTRAK
Sayatan pada operasi katarak biasanya menyebabkan beberapa tingkat pendataran meridian kornea pada "right angle" ke arah sayatan tersebut. Dengan sayatan di bagian superior berarti adanya pendataran pada meridian vertikal.
Perjalanan yang lambat dan progresif dari penyembuhan luka operasi menyebabkan regangan jaringan parut sehingga terjadi pendataran dari bagian atas kornea yang menghasilkan astigmatisme "Againts the rule".
Dikatakan bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi disebabkan oleh karena jahitan yang terlalu kencang dan akan berkurang selama periode pasca bedah ( 9 ).
Sing (7) berpendapat bahwa astigmatisme yang terjadi segera setelah operasi lebih tinggi dibandingkan pasca pembedahan setelah 6 minggu di mana akan menurun hampir separuhnya.
Yaffe (10) menganjurkan pemberian kaca mata afakia segera setelah hasil keratometer dan refraksi stabil, biasanya pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 pasca bedah.
Dia malah memberikan kaca mata afakia setelah 4 minggu dan kadang-kadang setelah 8 minggu, hal ini tergantung dari tehnik pembedahan.
Menetapnya hasil keratometer atau refraksi selain tergantung dari teknik pembedahan, juga dipengaruhi oleh proses penyembuhan luka yang bervariasi secara individual, di samping itu berbagai faktor lain seperti operator, benang yang dipakai, pengobatan pasca bedah dan lain-lain mempunyai peranan penting, sehingga pemberian kaca mata afakia sebaiknya ditinjau kasus perkasus.
Selama ini di RS Cipto Mangunkusumo pemberian kaca mata afakia setelah 2 bulan pasca bedah di mana dianggap luka operasi sudah tenang dan hasil refraksi objektif dan subjektif sudah optimal.
Timbul masaalah pada penderita-penderita yang masih aktif bekerja agar dapat menjalankan fungsinya sedini mungkin sehingga mereka sangat mengharapkan kaca mata afakia secepatnya.
Kapan sebaiknya kaca mata afakia dapat diberikan merupakan hal yang perlu dikemukakan mengingat faktor-faktor tersebut diatas. Dalam hal ini penulis ingin mencoba untuk menentukan suatu kriteria, kapan sebaiknya diberikan kaca mata afakia pada penderita pasca bedah katarak yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang tersedia.
Pada penelitian ini penulis membatasi diri dengan hanya melakukan penelitian pada penderita yang dilakukan operasi katarak intrakapsuler dengan tehnik operasi yang sesuai protokol yang telah dianjurkan pada resider tingkat terakhir di Bagian Ilmu Penyakit mata RSCM.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Content:
Ch. 1 Basic LASIK --
Ch. 2 Equipment --
Ch. 3 Role of mitomycin-c in keratorefractive surgery --
Ch. 4 Retreatment of patients after primary refractive surgery --
Ch. 5 LASIK complications and management --
Ch. 6 Alternatives to LASIK refractive surgery --
Ch. 7 Case selection -- Ch. 8 Self-assessment test"
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007
R 617.71 LAS
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Husnaniah B. Sukiman
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan terutama di negara berkembang. Di Indonesia dari hasil survei morbiditas Departemen Kesehatan tahun 1982, didapatkan angka kebutaan pada kedua mata sebanyak 1,2%, dimana 0,76% disebabkan oleh katarak, 0,13% kekeruhan kornea, 0,10% glaukoma, 0,06% refraksi, 0,03% retina dan 0,02% kekurangan giz (1). Dari kenyataan ini dapat dimengerti mengapa hampir setiap dokter mata lebih sering melakukan bedah katarak dibandingkan dengan bedah mata lainnya.(2)
Penderita katarak datang kepada dokter mata bukan dengan maksud untuk mengangkat kataraknya melainkan dengan tujuan untuk dapat melihat lagi. Hal ini membuat dokter mata berkewajiban untuk lebih menyempurnakan prosedur operasinya dalam mengurangi risiko komplikasi (2).
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah endoftalmitis pasca bedah. Meskipun dengan diagnosis yang cepat serta pengobatan yang agresif, mata yang telah terinfeksi ini sukar kembali normal.(3,4)
Berbagai sumber infeksi dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak, salah satunya adalah flora normal dari jaringan mata penderita sendiri.(3,5,6,7) Locatcher-Khorazo, Seegal, Goodner (dikutip oleh Forster) dan Indrakesuma di Bagian Mata FKUI/RSCM, mendapatkan bahwa Stafilokokus epidermidis merupakan flora normal yang terbanyak terdapat pada jaringan mata penderita pra bedah katarak, disamping Stafilokokus aureus.(5,8)
Forster dan Valenton menemukan Stafilokokus epidermidis dari isolasi kuman sebagai penyebab endoftalmitis pasca bedah katarak, sedangkan Allen menemukan Stafilokokus aureus disamping Pseudomonas aeruginosa dan miselaneus.(5,9,10)
Dari keadaan tersebut diatas jelas tergambar bahwa flora normal pada jaringan mata penderita dapat mencemari isi bola mata sewaktu dilakukan bedah katarak. Dikatakan bahwa penggunaan antibiotika topikal pra bedah katarak .masih merupakan kontroversi. Hal ini karena efek toksis, resistensi kuman dan reaksi alergi, terutama bila antibiotika tersebut nantinya juga dipakai secara sistemik.(11, 12)
Pemakaian povidon yodium sebagai antiseptik topikal merupakan pilihan lain untuk mencegah pertumbuhan kuman pra bedah katarak. Selain harganya yang cukup murah, yodium yang dilepas akan bekerja sebagai bakterisid berspektrum luas yang membunuh semua bakteri dalam waktu kurang dari satu menit, kecuali yang berbentuk spora akan lebih lambat dipengaruhi. Belum pernah dilaporkan adanya resistensi kuman terhadap povidon yodium, disamping itu penggunaannya tidak menyebabkan toksik terhadap kornea dan konjungtiva.(13,14,15,18)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Rauf
"PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil survei morbiditas mata dan kebutaan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1962, prevalensi kebutaan dua mata adalah 1,2 % dari populasi penduduk, dan katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak, yaitu 66,9% dari total kebutaan(1).
Pada kongres pertama Persatuan Dokter Ahli mata Indonesia di Jakarta pada tahun 1968, menteri Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa kebutaan adalah merupakan bencana nasional, dan adalah merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menanggulangi sesuatu bencana nasional (2).
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang tak dapat dicegah tetapi dapat ditanggulangi (3). Cara untuk menanggulangi kebutaan karena katarak adalah dengan pembedahan. Pada setiap pembedahan katarak, sebagaimana pembedahan intra okular lainnya dibutuhkan tekanan bola mata yang rendah dengan tujuan untuk mempermudah jalannya pembedahan maupun menghindarkan penyulit-penyulit yang mungkin terjadi(4,5,6).
Usaha-usaha untuk menurunkan tekanan bola mata ada bermacam-macam, antara lain; pemberian manitol intra vena, penghambat karbonik anhidrase, digital oressure, kantong air raksa, balon Honan dan Bantal tekan modifikasi Sidarto (7,8,9,10,11).
Pemakaian balon Honan dengan tekanan 30 mmHg selama 30 menit pada penderita-penderita yang akan dilakukan pembedahan katarak, sebagaimana yang biasa dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat menurunkan tekanan bola rata rata-rata 5,9-10,9 mmHg (9,10,12).
Prolaps badan kaca yang merupakan salah satu komplikasi pembedahan katarak didapatkan 7-2 % pada penderita-penderita yang tidak dilakukan usaha penurunan tekanan bola mata sebelum operasi (13), sedangkan menurut Syarifuddin (10), yang mempergunakan balon Honan 30 nmHg selama 30 menit pada penderita katarak yang akan dilakukan pembedahan, dari 15 penderita yang telah dilakukan pembedahan tidak ada satupun yang mengalami prolaps badan kaca. Tetapi usaha untuk menurunkan tekanan bola mata dengan penekanan tidak selamanya aman, karena secara teori dapat menyebabkan okiusi arteri sentralis retina dengan resiko kebutaan(4).
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofyetti
"Walaupun insiden infeksi intra okular setelah operasi katarak menurun secara tajam selama 30 tahun terakhir tetapi hal tersebut masih merupakan salah satu penyulit bedah yang paling menimbulkan bencana. (1) Pada permulaan abad ke 20 infeksi setelah bedah intra okular lebih kurang 10 % (Axenfeld, T. 1908). Setelah teknik aseptik dipopulerkan terdapat penurunan infeksi intra okular yang tajam. Sebelum tahun 1950 angka kejadian endoftalmitis pasca bedah menurun menjadi 1 %. (2). Setelah tahun 1945 dilaporkan penurunan menjadi 0,35 % (1), bahkan penelitian lain melaporkan terjadi penurunan sampai 0,1% (3). Penurunan angka infeksi bakteri pasca bedah dari permulaan abad ke 20 sampai sekarang berkurang disebabkan oleh perbaikan teknik aseptik yang digunakan dalam bedah mata. (1). Infeksi ini umumnya disebabkan oleh terjadinya kontaminasi pada saat pembedahan baik dari adneksa mata pasien ataupun dengan alat-alat dan bahan yang digunakan waktu operasi termasuk tetesan dan cairan yang dipakai biasanya untuk membersihkan bilik mata depan. (3,4). Untuk mencegah infeksi dianjurkan pemakaian antibiotik infeksi subkonjungtiva. (3,5)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Dhirayati Sudarmadji
"ABSTRAK
Tujuan utama suatu pembedahan katarak adalah untuk mengembalikan penglihatan penderita seoptimal mungkin. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro katarak serta makin majunya cara-cara mengatasi komplikasi bedah katarak, maka komplikasi pembedahan sudah banyak berkurang, sehingga perhatian para ahli bedah katarak mulai beralih pada masalah kelainan refraksi yang ditimbulkan pasca bedah.

Kelainan refraksi yang seringkali terjadi pasca bedah katarak adalah timbulnya astigmatisme yang tinggi sehingga rehabilitasi penglihatan pada mata afakia dengan kaca mata atau lensa kontak tidak dapat secepatnya terpenuhi.

Jaffe (1984) telah menjabarkan patofisiologi dan faktor-faktor penyebab astigmatisme pasca bedah katarak. Namun tetap terdapat kesulitan untuk mengurangi astigmatisme pasca bedah karena kurangnya pengetahuan bagaimana kurvatura kornea berubah dengan berselangnya waktu. Rowan dan Thygeson (dikutip dari 2) mendapatkan rata-rata pengurangan astigmatisme sebesar 2.5 Dioptri pada 79 penderita 6 minggu pasca bedah katarak, namun hubungan antara astigmatisme anal pasca bedah dan astigmatisme akhir sulit dicari. Disebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kurvatura kornea pada bedah katarak, di antaranya: (a) letak, luas dan bentuk insisi katarak, (b) jenis benang penutup luka dan (e) teknik penjahitan luka katarak (1-9).

Reading (1964) menganalisa besar dan lama perubahan kurvatura kornea pada kasus EKIK dengan insisi katarak yang besar dan kecil, yang dijahit dengan jahitan terputus. Dikatakan bahwa perubahan klasik astigmatisme pasca bedah berupa memendeknya radius kurvatura horisontal dan memanjangnya radius kurvatura vertikal terjadi pada 6.5% segera pasca bedah dan 42.3% pada bulan pertama pasca bedah. Perubahan rata-rata radius kurvatura horisontal pada penderita dengan insisi katarak yang besar berbeda bermakna antara pra bedah dan pasca bedah terutama pada bulan pertama. Singh dan Kumar (1976) meneliti perubahan keratometrik pasca bedah katarak yang dijahit dengan jahitan preplaced dan postplaced. Dikatakan bahwa pada minggu ke enam, hampir seluruh kasus mengalami perubahan berupa pendataran kurvatura terpendek dan pencembungan kurvatura terpanjang, serta astigmatisme yang terjadi dalam waktu tersebut kebanyakan mengarah ke astigmatisme yang tidak lazim.

Faktor teknik penjahitan luka katarak mempunyai mempunyai peranan yang berarti terhadap terjadinya perubahan kurvatura kornea pasca bedah. Aposisi luka yang baik setelah penjahitan akan mempercepat proses penyembuhan sehingga diharapkan kurvatura kornea tidak banyak berubah lagi. Beberapa teknik penjahitan luka katarak telah diperkenalkan oleh para ahli bedah mata, di antaranya penjahitan secara terputus (interrupted) dan jelujur (continuous). Jahitan jelujur dapat satu arah atau bolak-balik (jahitan tali sepatu) (1). Masingmasing cara penjahitan ini mempunyai keunggulan dan kerugian.

Teknik penjahitan terputus merupakan cara penjahitan yang sering dipakai karena teknik ini cukup mudah, kemungkinan penyebaran infeksi ke sepanjang luka kecil serta bila satu simpul terputus atau longgar, tidak akan segera menyebabkan terbukanya seluruh luka (10). Namun usaha untuk mengurangi perubahan kurvatura kornea dengan penjahitan seperti ini lebih sulit dilakukan karena kekuatan masing-masing jahitan seringkali berbeda pada tiap meridian kornea (8).

"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Sinardja
"BAB I PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang anestesiologi antara lain berupa penemuan obat anestetika baru. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan anestesia pada bedah mata menjadi lebih baik. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) yang hebat dan berbahaya selama pemberian anestesia dapat dicegah. Peningkatan TIO merupakan masalah penting yang hendaknya diperhatikan pada bedah mata intraokular.
Sebelum abad ke XX bedah mata intraokular Umumnya dilakukan dengan analgesia lokal, karena pada waktu itu pemberian anestesia sering menimbulkan penyulit seperti batuk, tahan nafas dan muntah yang menyebabkan kenaikan TIO. Namun menurut penelitian yang dilakukan kemudian telah terbukti, bahwa penyulit yang terjadi lebih banyak dijumpai pada pemberian analgesia lokal daripada pemberian anestesia umum. 1,2,3,4,5,c5
Pada bedah mata intraokular insisi dilakukan melalui kamar depan, yaitu ditempat cairan bola mata mengalir keluar. Bila pada saat itu terjadi peninggian TIO, maka isi bola mata seperti iris, lensa mata dan korpus vitreum akan mengalir keluar, hal ini dapat menyebabkan kebutaan. Sebaliknya bila penurunan TIO terlalu rendah, maka pembedahan akan terganggu. Penurunan TIO yang mendadak dapat menyebabkan dinding bola mata menciut, sehinggga pembuluh darah tertarik dan menyebabkan perdarahan intraokular. 1,2,3,4,5,6
Thaib dan kawan-kawan ( 1978 ) dalam penelitiannya terhadap 412 kasus bedah mata telah membuktikan, bahwa penyulit prolaps iris akibat kenaikan TIO lebih banyak dijumpai pada analgesia lokal dibandingakan dengan anestesia N20 - halotan dengan ventilasi spontan . 3.A,7,8,2
Peninggian TIO pada pemberian anestesia umum dapat terjadi pada saat induksi, intubasi dan pemulihan anestesia.
Pengaruh induksi dan intubasi terhadap TIO merupakan kesatuan pengaruh premedikasi, obat induksi dan pelumpuh otot serta jenis 7,2,10 ventilasi yang digunakan.
Thaib dan kawan-kawan ( 1987 ) telah membuktikan teknik anestesia N20 - halotan dengan menggunakan obat pelumpuh otot vekuronium ternyata dapat menurunkan TIO lebih besar dibandingkan dengan menggunakan anestesia N20 - halotan - pankuronium.9
Mirakhur dan kawan-kawan (1988) telah membandingkan perubahan T1O pada waktu induksi dengan propofol dan tiopental pada 40 kasus bedah mata berencana. Ternyata didapatkan penurunan TIO sebesar 53 % pada induksi propofol dan 40 % pada induksi tiopental, penurunan ini cukup bermakna baik pada induksi tiopental maupun propofol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan TIO pada induksi dan intubasi dengan tiopental dan propofol yang dikombinasikan dengan vekuronium.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 6728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library