Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Secara klinis, diabetes tipe 1 (DM 1) mungkin tampak seperti diabetes tipe 2 dan kedua hal tersebut seringkali sulit untuk dibedakan. Hanya pemeriksaan petanda autoimun kerusakan sel β yang dapat membedakan kedua keadaan klinis tersebut. Karena harganya yang amat mahal (±$150/pemeriksaan), pemeriksaan anti-GAD65-abs tidak dapat dilakukan secara rutin di sebagian besar atau bahkan di semua laboratorium di Indonesia. Oleh sebab itu, produksi reagen anti GAD65-Abs di Indonesia mungkin dapat mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan diabetes di Indonesia. Kami membuat reagen untuk mendeteksi anti-GAD65-Abs dengan memanfaatkan otak sapi sebagai sumber enzim dalam 3 tahap. Tahap 1, mengisolasi dan memurnikan enzim GAD65 dari jaringan otak sapi, mengenali sifat-sifat fisika dan kimiawi, dan menggunakannya sebagai antigen primer untuk menstimulasi pembentukan anti-GAD65 di tikus Wistar. Tahap 2, memurnikan dan menggunakan anti-GAD65 hasil pemurnian sebagai antibodi sekunder untuk menginduksi pembentukan anti-antibodi-GAD65 pada tikus Wistar dan kelinci. Tahap 3, memberi label fosfatase alkali dan peroksidase pada anti-antibodi-GAD65 dan menggunakannya untuk mengenali anti-GAD65-Abs diabetes tipe 1 yang sebelumnya telah diidentifikasi dengan menggunakan “kit” komersial. Reagen anti-antibodi-GAD65 yang diproduksi di laboratorium kami dapat mengenali anti-GAD65-abs yang sebelumnya telah dideteksi oleh “kit” komersial. (Med J Indones 2005; 14: 197-203)

Clinically, type 1 diabetes may presents as type 2 diabetes which sometimes not easily differentiated. Perhaps only autoimmune markers of b-cells destruction could differentiate those two clinical conditions. Due to extremely high cost ( $ 150/test), examination of anti-glutamic acid decarboxylase-65 auto-antibodies (anti-GAD65Abs) may not be routinely performed in most, if not all, clinical laboratories in Indonesia. Hence, the production of anti-GAD65 Abs reagent in Indonesia may reduce the cost and improve the quality of diabetes care in Indonesia. We produce reagent to detect anti-GAD65-Abs using bovine brain tissue as source of GAD enzyme in 3 steps. Step 1, isolation, purification of GAD65 from bovine brain tissue and used it as a primary antigen to stimulate the generation of anti-GAD65 antibodies in Wistar rat. Step 2, the purified GAD65 antibodies were than used as a secondary antibody to induce the production of anti-anti-GAD65-antibodies in Wistar rat and rabbit. Step 3. Labeling anti-antiGAD65-antibodies with alkaline phoshpatase and peroxidase, and detecting anti-GAD65Abs previously detected using commercial kit. The anti-anti-GAD65-antibodies reagent produced in our laboratories successfully identify anti-GAD65-Abs of type 1 diabetic patients previously detected with commercial reagent. (Med J Indones 2005; 14: 197-203)"
Medical Journal Of Indonesia, 14 (4) October December 2005: 197-203, 2005
MJIN-14-4-OctDec2005-197
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Wicaksono Sulistomo
"Pendahuluan : Saat pandemi COVID-19 berlangsung secara global, petugas kesehatan menunjukkan tingkat prevalensi gangguan cemas yang lebih tinggi dibandingkan petugas non-kesehatan. Gangguan cemas yang menetap dapat menjadi gangguan cemas menyeluruh, dan yang mengalami gangguan cemas menyeluruh memiliki potensi sebesar 25% untuk menjadi gangguan depresi berat.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi gangguan cemas serta faktor risiko yang berhubungan pada pekerja di Rumah Sakit X Balikpapan selama pandemi COVID-19 berlangsung.
Metode : Desain penelitian merupakan studi analisis deskriptif analitik dengan menggunakan desain potong lintang yang melibatkan 279 responden pekerja Rumah Sakit X di Indonesia. Penelitian menggunakan SPSS versi 20.0, dengan uji tes chi2 dan Fisher’s Exect test, untuk uji bivariat, dan uji regresi logistik dengan metode enter untuk analisis multivariat.
Hasil : Didapatkan hasil skoring dari GAD-7 bahwa 87.5% tidak memiliki gangguan cemas, 10.8% gangguna cemas ringan, 1.4% gangguan cemas sedang dan 0.4% gangguan cemas berat pada pekerja di RSX. Ditemukan pengaruh yang signifikan terhadap prevalensi gangguan cemas pada pekerja kesehatan p=0.001 dan aOR 4.8 (1.9-12.3), yang berada di area risiko tinggi transmisi COVID-19 p=0.04 dan aOR 5.1 (1.0-24.2), dan pekerja yang dikarantina p=0.001 dan aOR 10.5 (2.6-42.3) setelah memperhitungkan variabel usia dan jenis kelamin.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna terhadap risiko terjadinya gangguan cemas pada pekerja Rumah Sakit X Balikpapan dengan faktor risiko jenis pekerjaan merupakan tenaga kesehatan, berada di area kerja dengan risiko transmisi COVID-19 tinggi, dan pekerja yang dikarantina karena merawat pasien COVID-19.

Introduction: During the global COVID-19 pandemic, health workers were found to have a higher prevalence of anxiety disorder compared to non-health worker. Anxiety disorder that occur chronically have a 25% chance to become a major depression disorder.
Objective: The aim of this study is to understand the anxiety condition and risk factors that are related, among Balikpapan Hospital X workers during the COVID-19 pandemic.
Method: The design of this research used a cross sectional method that involved 279 respondents who are Balikpapan Hospital X workers. The study used SPSS version 20.0, using the chi square and Fisher’s Exact test for the bivariat analysis, and the logistic regression with enter method for the multivariate analysis.
Result: The study shows that, using the GAD-7 (General Anxiety Disorder) questionnaire from 279 hospital workers, there were 10.8% with mild-, 1.45% with moderate-, and 0.4% with severe anxiety disorder. A significant relation was found between anxiety disorder and risk factors such as: being a health worker with p=0.001 and a 4.8 ORadj (95% C.I: 1.9-12.3), working in high risk of transmitting COVID-19 area with p=0.04 and a 5.1 ORadj (95% C.I.: 1.0-24.2), and workers who are being quarantined with p=0.001 a 10.5 ORadj (2.6-42.3) after being adjusted by age and gender variables.
Conclusion: Significant relations were found between anxiety disorder among Hospital X workers with risk factors such as: health workers, working in high risk of transmitting COVID-19 area, and workers that are being quarantined. Researcher strongly advice health providers to do regular monitoring and seek moral support especially for workers who have higher risk of anxiety disorder
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library