Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Texas : General Computer Systems , 1973
004 GEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasan
Abstrak :
[ABSTRACT
Background : Spontaneous intracerebral hemorrhage is responsible for 10-15 % of stroke cases and associates with higher mortality rate compared to ischemic stroke or subarachnoid hemorrhage. The causative in 70-80% cases is caused by hypertension or amyloid angiopathy cerebral. With mortality rate up to 40-50%, identification of risk factor that can be modified is crucial. Hypertension posed as a modifiable risk factor and contribute as the highest caused for spontaneous intracerebral hemorrhage. With the better control of the blood pressure we can lowering the risk of spontaneous intracerebral hemorrhage. In geriatric patients the risk can be lowered up to 50% if we could control the systolic blood pressure. Overall the relative risk of hypertensive patients compared to normotensive patients is about 3.9 ? 13.3. Men are more prone to intracerebral hemorrhage than women. Clinical evaluation and diagnosis of spontaneous cerebral hemorrhage are based on clinical examination and other additional examination. The clinical exam is depend on the location and volume of hematome. For the additional exam, computed tomography scan can be done to detect the hemmorhage. Based on it?s location, spontaneous intracerebral hemorrhage can be classified into lobar, ganglia basal, thalamic, pons and cerebellar. Methods : This is a descriptive study with cross-sectional approach. The data in this study are gotten from the medical record unit of Cipto Mangunkusumo National Hospital. The population in this study are all of the spontaneous intracerebral hemorrhage patients which being consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The method for getting the sample in this study is using consecutive sampling. The inclusion criteria in this study is spontaneous intracerebral hemorrhage cases which proven using CT scan and consulted to the Neurosurgery Departement of Cipto Mangunkusumo National Hospital during January 2013 until August 2014 periods. The exclusion criteria in this study is the patient that does not have complete data in the medical record. Results : In this study, there are 29 cases in male (63%) and 17 cases in female (37%) that diagnosed with the spontaneus intracerebral hemorrhage. For the location of hemorrhage, there are 19 cases located on basal ganglia (41,3%), 21 cases located on lobar (45,7%), 5 cases located on thalamus (10,9%) and 1 case located on cerebellum (2,1%). From the bivariate analysis, we found that there is correlation between operative procedure to length of stay (p=0,012). But there are not any correlation between operative procedure to glasgow outcome scale (GOS) (p=0,708) and to the mortality outcome (p=0,472). There are not any correlation between the onset of PISS to the mortality outcome (p=0,09) and history of hipertension with mortality outcome (p=1,00). We found that there is correlation between glasgow coma scale (GCS) and mortality outcome (p=0,013). Based on the hemorrhage location, there is not any correlation between the location and the mortality outcome. (p=0,370). Conclusions :The conclusion of this study are, the spontaneous intracerebral hemorrhage is often occured in male with age 40-60 years old. Mostly, the location of intracerebral hemorrhage is on the basal ganglia. GCS is a parameter that has correlation with the spontaneous intracerebral hemorrhage, but history of hypertension does not have correlation with the outcome (mortality). Operative procedure will make longer length of stay of the patient and does not influence the GOS.
ABSTRAK
Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo ? Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.;Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi., Latar Belakang : Perdarahan intraserebral spontan (PISS) menyumbang 10-15% kasus stroke dan memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan stroke iskemik ataupun perdarahan subaraknoid. Penyebab PISS ini dalam 70-80% kasus adalah hipertensi atau serebral amiloid angiopati. Dengan mortalitas yang mencapai 40-50% maka identifikasi faktor resiko yang dapat diperbaiki sangatlah penting. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko tersebut dan diduga berperan besar sebagai salah satu penyebab PISS. Dengan kontrol tekanan darah yang baik maka resiko untuk terjadinya PISS dapat diturunkan. Pada pasien geriatri resiko ini dapat diturunkan sampai 50% apabila tekanan darah sistolik dapat terkontrol. Secara keseluruhan resiko relatif dari pasien dengan hipertensi dibandingkan pasien dengan tekanan darah normal adalah sebesar 3,9-13,3. Laki-laki diduga lebih sering mengalami PISS dibandingkan dengan wanita. Evaluasi klinis dari PISS didasarkan atas pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Hasil pemeriksaan klinis ini bergantung pada lokasi dan volume hematom. Untuk pemeriksaan penunjang, Computed tomography (CT) scan merupakan salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi ada tidaknya perdarahan. Berdasarkan lokasinya, PISS dapat diklasifikasikan menjadi lobar, ganglia basal, talamik, pons dan serebelar. Metode : Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan data primer yang didapatkan dari rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita perdarahan intraserebral spontan yang dikonsulkan ke Departemen Bedah Saraf Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sesuai dengan jumlah penderita perdarahan intraserebral spontan yang ditangani. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan intraserebral spontan yang dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang CT scan kepala dan ditangani Departemen Bedah Saraf FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, selama periode Januari 2013 sampai dengan Agustus 2014. Sedangkan sebagai kriteria eksklusi adalah pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap. Hasil : Untuk hasil penelitian, didapatkan jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 29 orang (63%), perempuan sebanyak 17 orang (37%). Data sebaran lokasi perdarahan didapat yaitu pada ganglia basal sebanyak 19 orang (41,3%), lobar sebanyak 21 orang (45,7%), talamus sebanyak 5 orang (10,9%) dan serebelum sebanyak 1 orang (2,1%). Dari analisis bivariat didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan lama perawatan pasien (length of stay) (p=0,012). Namun tidak didapatkan hubungan antara tindakan operatif dengan nilai glasgow outcome scale (p=0,708) dan luaran mortalitas (p=0,472). Hasil berikutnya adalah tidak didapatkan adanya hubungan antara onset perdarahan intraserebral (p=0,09) dan hipertensi (p=1,00) dengan luaran mortalitas. Didapatkan hubungan antara tingkat kesadaran pada saat masuk (GCS) dengan luaran mortalitas pasien perdarahan intraserebral (p=0,013). Jika dilihat dari lokasi perdarahan, maka pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara lokasi perdarahan intraserebral dengan luaran mortalitas (p=0,370). Kesimpulan : Disimpulkan bahwa PISS ditemukan lebih banyak pada pria yang berusia lanjut (usia 40-60 tahun) dengan lokasi tersering di ganglia basal. Adapun faktor yang berperan pada luaran PISS (mortalitas) pada penelitian ini adalah nilai GCS awal. Semakin tinggi GCS awal pasien saat datang maka semakin tinggi pula kemungkinan hidup pasien PISS. Sedangkan faktor lainnya seperti hipertensi dalam penelitian ini, bukanlah merupakan faktor yang berperan terhadap luaran mortalitas PISS. Dengan dilakukannya tindakan operatif maka lama perawatan pasien (length of stay) akan lebih, dan tindakan operatif sendiri tidak mempengaruhi Glasgow Outcome Scale (GOS) dibanding dengan yang tidak dioperasi.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
Abstrak :
Pendahuluan: Trauma maksilofasial dapat terjadi karena beberapa etiologi dan yang paling sering terjadi ialah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya akan menjalani perawatan rawat inap dengan durasi yang lama berkaitan dengan rangkaian perawatan yang harus dilakukan. Terdapat beberapa sistem penilaian tingkat keparahan dari trauma yang terjadi yang sudah diperkenalkan dan digunakan, dan sistem penilaian Facial Injury Severity Scale (FISS) oleh Bagheri et al telah digunakan secara luas untuk menilai derajat keparahan cedera maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat berhubungan dengan cedera kranial, sehingga penilaian kesadaran perlu dilakukan. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem penilaian kesadaran pasien pasca trauma yang telah digunakan secara luas selama empat dekade terakhir. Namun, kemampuan kedua sistem penilaian tersebut dalam menunjukkan hubungan tingkat keparahan trauma dan tingkat kesadaran dengan lama rawat inap masih jarang digunakan dalam penelitian. Tujuan: Untuk mengevaluasi indeks keparahan trauma maksilofasial menggunakan (FISS) dan tingkat kesadaran (GCS) dengan lama rawat inap pada pasien trauma maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Metode: Studi restrospektif, menggunakan data sekunder dengan menganalisis rekam medis trauma maksilofasial semua rentang usia di IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Hasil dan pembahasan: Sebanyak 346 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Analisis multivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan skor FISS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan skor FISS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif, di mana semakin bertambah skor FISS, akan menambah lama rawat inap. Analisis multivariat juga menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan Nilai GCS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan nilai GCS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif di mana semakin berkurang nilai GCS, akan menambah lama rawat inap.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dari skor FISS dan GCS terhadap lama rawat inap pasien. ......Introduction: Maxillofacial trauma can occur due to several etiologies and the most common is trauma due to traffic accidents. Patients with maxillofacial trauma will usually undergo inpatient treatment with a long duration due to the series of treatments. There are several trauma severity rating systems that have been introduced and used, and the Facial Injury Severity Scale (FISS) rating system by Bagheri et al has been widely used to assess the severity of maxillofacial injuries. Maxillofacial trauma can be one of the conditions that can be associated with cranial injuries, so an assessment of consciousness needs to be done. The Glasgow Coma Scale (GCS) is a system for assessing the consciousness of posttraumatic patients that has been widely used over the past four decades. However, the ability of the two scoring systems to show the relationship between trauma severity and level of consciousness with length of hospitalization is rarely used in research, Objective: To evaluate the index of severity of maxillofacial trauma using FISS and level of consciousness (GCS) with length of hospitalization in maxillofacial trauma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Metode: Retrospective study, using secondary data by analyzing Maxillofacial Trauma medical records for all age ranges in the emergency room at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Result and Discussion: A total of 346 patients who met the inclusion criteria were included in this study. Multivariate analysis showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS Score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and FISS Score (p>0.05). The relationship between length of hospitalization and FISS score shows a weak relationship and has a positive pattern, where the increasing FISS score will increase the length of hospitalization. Multivariate analysis also showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and GCS score (p>0.05). The relationship between the length of hospitalization and the GCS score shows a weak relationship and has a negative pattern, where the decreasing the GCS score, the longer the length of hospitalization. Conclusion: There was no significant difference between the FISS and GCS scores on the patient's length of hospitalization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Agustiono
Abstrak :
Kasus cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit (IGD) cenderung meningkat yang memerlukan penanganan yang khusus sehingga terdapat pemulihan cedera yang memadai. Penelitian ini untuk menilai peranan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan faktor risiko lainnya terhadap kegagalan menjadi skor 15 pada cedera kepala pada jam ke 24 di IGD. Metode: Penelitian dilakukan di RSUPCM dan RS FK UKI Jakarta pada bulan Agustus 1997 dengan desain kohor, pasien cedera kepala baru yang datang berobat di IGD dilakukan pemeriksaan dan diamati skor GCSnya, penyakit penyerta lain, karakteristik demografi lainnya setiap 6 jam selama 24 jam pertama yang dilakukan oleh dokter. Hasil: Diperoleh 133 subyek cedera kepala, pada pemeriksaan GCS pertama 37 di antaranya mempunyai skor GCS 3-14, dan sisanya dengan skor 15. Faktor rumah sakit tempat perawatan dan anjuran tirah baring memberikan pengaruh risiko kegagalan secara bermalrna terhadap kegagalan pasien cedera kepala pada jam ke 24 perawatan di IGD rumah sakit. Apabila dibandingkan dengan kasus yang dianjurkan tirah baring, maka kasus yang tanpa tirah baring mempunyai risiko kegagalan 102 kali lipat (ratio kegagalan suaian 102,53; 95% interval kepercayaan 5,69-1848,27). Kesimpulan: Pada semua penderita cedera kepala dengan skor GCS 14 atau lebih rendah diperlukan tirah baring. ......Background: Head injuries currently tend to increase and need special management in the hospital emergency departments. In order to achieve appropriate recovery, the assessment of Glasgow Coma Scale (GCS) score and other risk factors should be managed properly. The purpose of this research is to assess the risk factors related to the consciousness recovery of head injury patients at. Methods: The research was held Jakarta Dr Cipto Mangunkusumo, and Indonesian Christian University School of Medicine hospitals in August 1997 among new head injury patients and were 6 hourly for the first 24 hours of hospitalization physically examined by the doctors and special attention was taken for GCS score, and accompanying diseases. Results: 133 new head injury patients admitted to the emergency department and in the first GCS examination, 37 of them had GCS 3-14 score and the rest had GCS score 15, has been identified that the first GCS score statistically significant influenced the failure risk factors of the observed patients after 24 hours hospitalization, and compared to subjects who had bed rest, the patients did not have bed rest had 102-folds of failure to recover (adjusted failure ratio 102.53; 95% confidence intervals 5.69-1848.27). Conclusion: All head injury cases need a bed rest to minimize the failure to be recover.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Tjandra
Abstrak :
Latar Belakang: Hiperglikemia akut maupun kronis dapat menyebabkanperubahan patalogis pada lapisan serabut saraf retina RNFL . Pada tahap dinilapisan sel ganglion GCs mengalami apoptosis, yang diregulasi oleh proteinBrn3b. Proses ini diketahui terjadi lebih awal sebelum perubahan histopatologispada RNFL terjadi pada diabetes. Proses apoptosis ditandai dengan, peningkatanstres oksidatif, peningkatan NO, NF-??, TNF-?, dan Caspase 3 pada patogenesisglaukoma primer sudut terbuka GPSTa . Asumsi klinis saat ini bahwa penderitadiabetes melitus dalam jangka waktu lama lebih dari 5 tahun kemungkinan besarberisiko terjadinya glaukoma. Namun kenyataannya dalam pengalaman klinistidak semua pasien diabetes melitus dapat terjadi GPSTa. Berdasarkan temuanklinis tersebut diduga ada peran faktor genetik yang mendasari etiologi dariGPSTa pada pasien diabetes melitus. Tujuan: Mengetahui peran gen Brn3b pada apoptosis di RGCs dan kaitannyadengan perubahan kuantitas NO, Caspase 3, NF-?B, dan TNF-? sebagai prediksiglaukoma dini pada tikus diabetes. Metode: Penelitian ekperimental in vivo menggunakan tikus jantan SpraqueDawleyusia ge; 2 bulan dengan berat 150-200 gram diambil secara random sejakNopember 2015 hingga Juli 2016. Hewan coba dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok perlakuan diinjeksi intraperitoneal STZ 50 mg/kg dalam 0.01M buffersitrat dalam ph 4.5 dan kelompok kontrol tidak ada perlakuan. Glukosa darahpuasa diperiksa 3 hari setelah injeksi STZ, dan dikonfirmasi ge; 250 mg/dL.Jaringan retina dibagi menjadi dua bagian pada kelompok perlakuan maupunkontrol yakni retina kanan untuk IHK Caspase 3 dan TNF-? dan retina kiridibagi dua bagian yaitu untuk pemeriksaan quantitative Real-time PCR RNAdiekstraksi untuk analisis ekspresi gen Brn3b dan pemeriksaan ELISA NO danNF-?B. Hasil: Terjadi penurunan ekpresi gen Brn3b pada tikus perlakuandibandingkan ekspresi gen Brn3b kontrol sebesar 1.2677 kali bulan kedua, 1.1348kali bulan keempat, dan 2.4600 kali bulan keenam. Disisi lain terjadi penurunankuantitas NO dan peningkatan kuantitas Caspase 3, NF-?B, dan TNF-?. Kesimpulan: Ekspresi mRNA Brn3b berbanding terbalik dengan apoptosis padaRGCs. Kuantitas NO, Caspase 3, NF-?B, dan TNF-? dipengaruhi oleh ekspresiBrn3b pada RGCs akibat hiperglikemia pada tikus diabetes.
Background: Acute and chronic hyperglycemia may pathologically changeretinal nerve fiber layer RNFL . At early stage, ganglion cells GCs undergoapoptosis, which is regulated by a Brn3b protein. This change is known to occurat earlier time before retinal histological changes can be detected in diabeticpatients. The apoptosis process is marked by an increase in oxidative stress, a risein NO, NF-??, caspase 3, and TNF-? levels in pathogenesis of primary open angleglaucoma POAG . Current clinical assumption proposes that individualssuffering from diabetes mellitus for more than 5 years have greater risk ofglaucoma. Nonetheless, clinical experience shows that not all diabetic patientsdevelop POAG. Based on clinical examinations it is suspected that there is agenetic factor that caused the etiology of POAG in diabetes mellitus patients. Purpose: To learn the role of Brn3b gene in apoptosis of RGCs and its effect onthe changing of quantity of NO, Caspase 3, NF-?B, and TNF-? as early predictorof glaucoma in diabetic rats. Methods: Experimental in-vivo study was carried out using male SpraqueDawleyrats with age ge; 2 months, weighing 150-200 grams. The rats wererandomly selected from November 2015 to July 2016. The animals were dividedinto two groups. Group receiving intraperitoneal injection of STZ 50 mg/kg in0.01M citric buffer and pH 4,5; 2 and control group with no treatment. Fastingblood glucose was checked 3 days after injection of STZ and hyperglycemia wasdetermined as fasting blood glucose ge; 250 mg/dL. Retinal tissue was divided intotwo parts both experimental and control groups respectively : a right retina forIHC Caspase 3 and TNF-? ; b left retina was divided into two parts for thepurpose of quantitative Real-Time PCR test RNA extraction for Brn3b geneexpression analysis and ELISA test NO and NF-?B. Results: Experimental group showed a decrease in Brn3b expression compared tocontrol group 1.2677-fold lower on 2nd month; 1.1348-fold lower on 4th monthand 2.4600-fold lower on 6th month . On the other hand, there was a decrease ofNO and there was increased of Caspase 3, NF-?B and TNF-? quantity. Conclusion: The expression of mRNA Brn3b is inversely proportional toapoptosis in RGCs. The quantity of NO, Caspase 3, NF-?B and TNF-? isinfluenced by expression of Brn3b in RGCs caused by hyperglycemia in diabeticrats.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library