Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abuza, Zachary
Lanham: Rowman and Littlefield, 2016
303.6 ABU f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Mastuti
"Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia, terutama dalam dua tahun terakhir. Keberadaan GAM dengan kekuatan yang seperti sekarang tentu tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kemunculan dan periode awal gerakannya, karena pada waktu itulah pondasinya dibangun. Oleh sebab itu, masalah GAM tidak akan dapat ditangani dengan baik tanpa menelaah periode awalnya. Dengan mengkaji periode tersebut, diharapkan dapat diketahui sebab-sebab kelahirannya, ideologi, taktik dan strategi, para pendukung, tujuan, dan tahapan aksi yang akan mereka lakukan.
Permasalahan-permasalahan yang ada akan coba ditelaah dengan menggunakan teori etnisitas dari David Brown, teori collective action dari Charles Tilly, dan konsep perang gerilya dari Nasution. Dalam eksplanasi ditekankan bahwa baik struktur maupun aktor memiliki peran yang sama pentingnya dalam melahirkan peristiwa.Tulisan yang tergolong dalam sejarah sosial politik ini pada prinsipnya ingin menjawab dua permasalahan utama, yaitu: bagaimana bentuk pemberontakan GAM dan mengapa GAM dapat bertahan lama.
Dari hasil penelitan yang dilakukan, diperoleh jawaban bahwa GAM merupakan gerakan separatis yang causal factor dari kelahirannya adalah karena bangkitnya nasionalisme etnis Aceh sebagai ekses dari kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistis. Adapun penyebab GAM dapat bertahan sampai sekarang adalah karena akar-akar ideologisnya telah tertanama baik seiring keberhasilan penanaman kesadaran pada periode pertama dan juga karena adanya perubahan kebijakan pemerintah pusat dalam menangani gerakan-gerakan daerah. Ketidakjelasan sikap dan langkah dari pemerintah telah membingungkan aparat yang bekerja di lapangan. Mereka serba takut dalam melakukan tindakan yang membawa dampak fatal terhadap kondisi keamanan secara menyeluruh.
Kekecewaan yang berkembang luas dalam diri masyarakat Aceh terhadap perlakuan pusat telah menyebabkan munculnya tindakan-tindakan perlawanan, yang kemudian dengan cantik dimanfaatkan oleh GAM untuk mengekspoiltir dukungan massa. Di sini terjadi keseiringan gerak tentara GAM dengan gerakan perlawanan rakyat yang sesungguhnya gerakan perlawanan itu tidak bersifat separatis seperti GAM. Meskipun ada pengentalan perlawanan namun GAM tidak akan sampai menggulirkan sebuah revolusi, sebab koalisi yang terbangun tidak cukup kuat untuk melakukannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sjohirin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana
"Konflik berkepanjangan yang berlangsung selama 29 tahun di Aceh dapat diakhiri dengan menghasilkan Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Redistribusi tanah kepada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka sebagai salah satu resolusi konflik tertuang dalam Memorandum of Understanding pada poin 3.2.5 yaitu tentang Pemerintah akan mengalokasikan tanah pertanian kepada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Kemudian diperkuat dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengamanatkan pembentukan Badan Reintegrasi Aceh untuk mempercepat proses reintegrasi. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kepastian dan kekuatan hukum atas sertipikat tanah serta akibat hukum atas jual beli sertipikat yang diperoleh oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Penelitian ini bersifat eksplanatoris dengan bentuk preskriptif dan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder serta data primer dan sekunder dengan melakukan wawancara mendalam dengan Pejabat Badan Reintegrasi Aceh, Pejabat Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Bupati Aceh Timur, Bupati Aceh Utara, Bupati Pidie Jaya, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka penerima sertipikat dan notaris. Redistribusi tanah untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang bersumber dari kawasan hutan belum bisa di proses karena belum ada pelepasan status kawasan hutan belum dilepaskan statusnya, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sejak tahun 2019 sampai 2021 total redistribusi tanah untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka yang bersertipikat hak milik personal dan komunal sebanyak 448 orang dengan total lahan seluas 894,62 hektar yang tersebar di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie Jaya. Program redistribusi tanah pertanian untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka terkendala oleh status tanah masih dalam kawasan hutan serta akan diterbitkan sertipikat hak milik yang bersifat komunal untuk mencegah transaksi jual beli. Kepastian hukum atas sertipikat yang diperoleh adalah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu perlunya Peraturan Presiden untuk mempercepat redistribusi tanah untuk realisasi reintegrasi di Aceh.

The conflict that lasted for 29 years in Aceh could be ended by producing a Memorandum of Understanding for Peace between the Government of Indonesia with Free Aceh Movement on August 15, 2005 in Helsinki Finland. Land redistribution to former Free Aceh Movement combatants as one of the conflict resolutions is contained in the Memorandum of Understanding at point 3.2.5, which is about the Government will allocate agricultural land to former Free Aceh Movement combatants. Then it was strengthened in Law Number 11 of 2006 concerning the Government of Aceh which mandated the establishment of the Aceh Reintegration Agency to accelerate the reintegration process. The purpose of this study is to analyze the legal certainty and strength of land certificates and the legal consequences of buying and selling certificates obtained by former Free Aceh Movement combatants. This research is explanatory in a prescriptive form and uses primary and secondary legal materials as well as primary and secondary data by conducting in-depth interviews with Aceh Reintegration Agency officials, Officials of National Land Agency in Aceh, regents of Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie Jaya, former Aceh Free Movement combatants who received certificates, and notary public. The redistribution of land for former Aceh Free Movement combatants originating from forest areas can’t be processed because there has been no release of the status of the forest area and its status hasn’t been released, in accordance with the applicable laws and regulations. During 2019 to 2021 the total land redistribution for former Aceh Free Movement combatants with personal and communal ownership certificates are 448 peoples with a total land area of 894.62 hectares spread across the districts of Aceh Timur, Aceh Utara and Pidie Jaya. The agricultural land redistribution program for former Free Aceh Movement combatants is constrained by the status of land still in forest areas and a communal certificate of ownership will be issued to prevent buying and selling transactions. Legal certainty for the certificate obtained is in accordance with the applicable legislation. Therefore, need for Presidential Regulation to accelerate land redistribution for the realization of reintegration in Aceh."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Yudha Apriliasari
"Memorandum of Understanding Helsinki merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM sebagai bentuk penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh secara damai, menyeluruh, dan berkelanjutan. Implementasi atas butir-butir MoU menjadi instrumen bagi pemeliharaan perdamaian positif jangka panjang di Aceh. Pemerintah dan Eks kombatan GAM menjadi aktor penting dalam implementasinya, karena beberapa butir MoU menargetkan langsung pada kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan Eks Kombatan GAM. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, skripsi ini akan menjelaskan bagaimana implementasi MoU Helsinki memperbaiki kesejahteraan eks kombatan GAM pascakonflik. Skripsi ini menggunakan pendekatan welfare criminology dan didukung dengan pemikiran peacemaking criminology dari Richard Quinney dalam menganalisis seberapa jauh implementasi MoU Helsinki berperan sebagai pemelihara perdamaian di Aceh, dan sebagai tolok ukur untuk mengukur keseriusan pemerintah dalam pemenuhan kesejahteraan sosial bagi eks kombatan GAM, serta menjelaskan permasalahan dalam pengimplementasiannya hingga saat ini.

Helsinki MoU is an agreement between the Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement GAM as the solution of long term conflict in Aceh in peaceful, whole, and sustainable. Implementation of the points of MoU becomes instrument for keeping the long term positive peace in Aceh. The government and the Ex GAM Combatant become important actors in the implementation, because some the MoU points directly target the welfare of Ex GAM Combatants. Using qualitative approach, this undergraduate thesis will explain how implementation of Helsinki MoU repairs the welfare of Ex GAM Combatants post conflict. This undergraduate thesis uses a welfare criminology approach that is supported by Richard Quinney's peacemaking criminology to analyze how far the implementation of Helsinki MoU takes role as the keeper of peace in Aceh, and as an indicator to measure the Government's seriousness in fulfilling social welfare for Ex GAM combatants, and to explain the problems in implementating the MoU until now."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safwan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas eksklusi sosial terhadap akses tanah yang melibatkan mantan GAM sebagai aktor pelaku serta korban. Studi kualitatif ini mengangkat studi kasus di Kota Langsa, Aceh Besar dan Aceh Utara. Lokasi penelitian ditetapkan berdasarkan peta kekuatan politik GAM. Hasil observasi, studi ini membagi kelompok GAM berdasarkan tiga golongan yaitu; elit, menengah dan marginal. Argumentasi tesis ini adalah eksklusi terhadap kalangan marginal mendorong terjadinya eksklusi lain. Eksklusi adalah bentuk adaptasi dengan cara mengeksklusi pihak lain. Studi ini menggunakan pendekatan power of exclusion yang melihat diekslusinya seseorang disebabkan oleh empat power yaitu regulasi, legitimasi, market dan force yang terjadi melalui proses licensed exclusion dan intimates exclusion. Hasil penelitian menunjukan penggunaan kekuasaan elit GAM pasca konflik berdampak terhambatnya kalangan marginal GAM dari pada program land settlement sehingga mendorong munculnya ragam ekskusi yang lebih kompleks pada beberapa daerah. Realisasi program land settlement menunjukkan potensi eksklusi terhadap marginal GAM. Relasi legitimasi dan market dalam intimate exclusion di Langsa menunjukkan cara marginal GAM mengakses tanah melalui
legitimasi solidaritas sesama GAM. Kasus Aceh Besar, relasi force dan legitimasi dalam land reform menunjukkan cara marginal GAM mengokupasi tanah korporasi. Praktik inklusi yaitu upaya marginal GAM mengikutsertakan masyarakat dalam land reform adalah manifestasi dari berkerjanya modal social bonding. Kekuatan lingkungan juga
berkontribusi terhadap tereksklusinya kalangan GAM dari akses tanah. Sedangkan licensed exclusion di kasus Aceh Utara menunjukkan cara jaringan patronese GAM yaitu elit GAM lokal dengan relasi elit GAM di tingkat Pusat yang mengakses tanah melalui regulasi dalam bentuk konsesi.

ABSTRACT
This thesis discusses social exclusion of land access involving former GAM as actors and victims. This qualitative study raises case studies in Langsa City, Aceh Besar and North Aceh. The location of the study was determined based on a map of GAM's political power. Based on observations, this study divides GAM groups into three groups namely; elite, middle and marginal. The argument of this thesis is the exclusion
of marginal groups encourages other exclusions. Exclusion is a form of adaptation by excluding others. This study uses a power of exclusion approach that sees a person's exclusion caused by four powers, namely regulation, legitimacy, market and force that occur through a process of licensed exclusion and intimates exclusion. The results of the study showed that the use of GAM's elite power after the conflict had hampered the marginalization of GAM rather than the land settlement program, which led to the emergence of more complex types of executions in several regions. The realization of the land settlement program shows the potential for exclusion of marginalized GAM. The relation of legitimacy and market in intimate exclusion in Langsa shows how GAM's marginal access to land through legitimacy of solidarity among fellow GAM. The case of Aceh Besar, force relations and legitimacy in land reform shows the marginal ways GAM has occupied corporate land. The practice of inclusion, namely GAM's marginal effort to involve the community in land reform, is a manifestation of the working of social bonding capital. Environmental forces also contribute to the exclusion of GAM from land access. Whereas licensed exclusion in the North Aceh case shows the way GAM's patronese network is the local GAM elite with GAM elite relations at the central level accessing land through regulations in the form of concessions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library