Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Maharani
Abstrak :
Penyakit asma telah dikenal secara luas namum belum pernah dijelaskan secara mendetil. Tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT) dapat mendeteksi struktur tidak normal pada penderita asma. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik lesi asma dan hubungannya dengan data klinis pada hasil Tes kontrol asma (ACT). Penelitian dilakukan secara prospektif dengan metode potong lintang terhadap penderita asma yang berobat ke poli asma RSUP Persahabatan Jakarta selama bulan Januari ? Februari 2014, mereka kemudia di rujuk untuk menjalani pemeriksaan HRCT setelah pemeriksaan awal dan mengisi ACT. Dari 34 kasus, 33 (97%) mengalami penyempitan lumen bronkial, 21 (61,7%) mengalami penebalan dinding bronkial, 15 (44,1%) mengalami gambaran mosaik, 5(5,8%) mengalami bronkiektasis dan seluruhnya (100%) mengalami emfisema. Hasil ACT yang didapat adalah pasien terkontrol sebagian (35,2%) dan tidak terkontrol (64,7%). Ketika dihubungkan dengan hasil ACT, maka penyempitan lumen bronkial (p=0,970), penebalan dinding bronkus (p=0,488), gambaran mosaik (p=0,882), bronkiektasis (p=0,137) dan emfisema tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Lesi lainnya yang ditemukan dan berkaitan dengan ACT adalah tuberkulosis (11,8%; p=0,273), granuloma (2,9%; p=1,000), aspergiloma bronkopulmonari alergik (5,9%; p=0,529) dan bronkitis (5,9%; p=1,000). Gambaran lesi karakteristik penderita asma bronkial pada HRCT merupakan hal yang penting, karena dapat memperlihatkan komplikasi lain yang menyertai asma, namun karakteristik lesi tersebut tidak berkaitan dengan hasil ACT. ...... The coexistence of asthma is widely recognized but has not been well described. High resolution computed tomography (HRCT) can detect the structural abnormalities in asthma. This study attempts describe the characteristic lesion of asthma and to correlate these abnormalities with clinical and asthma control test (ACT) data. We perfomed a prospective cross sectional study of 34 asthma patients who were attending outpatient Persahabatan Hospital, Jakarta from January-February 2014, that were subjected to HRCT after initial evaluation and ACT. Thirtythree subjects (97%) had narrowing of bronchial lumen, 21 (61.7%) had bronchial wall thickening, 15 (44.1%) had mosaic attenuation, 5 (5.8%) had bronchiectasis and 34 (100%) had emphysema. The ACT result were partial controlled patients (35.2%) and not controlled (64.7%). When correlated with ACT result, the narrowing of bronchial lumen (p=0.970), bronchial wall thickening (p=0.488), mosaic attenuation (p=0.882), bronchiectasis (p=0.137) and emphysema showed no significant association. Another HRCT findings that correlate with ACT were tuberculosis (11.8%; p=0.273), granuloma (2.9%; p=1.000), aspergilloma bronchopulmonary allergica (5.9%; p=0.529) and bronchitis (5.9%; p=1.000). HRCT findings of characteristic lesion are important in bronchiale asthma patients, because they can describe other complication / comorbidity eventhough they were not correlate well with ACT.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laharsa Madison
Abstrak :
Pemeriksaan HRCT toraks mengevaluasi secara objektif perubahan pada gambaran parenkim paru akibat respons inflamasi termasuk pada pasien pasca COVID-19. Riwayat terapi selama pasien dirawatinapkan merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap gambaran HRCT toraks pasca COVID-19. Penelitian ini menganalisis hubungan antara riwayat terapi tersebut dengan gambaran HRCT toraks dengan subjek yang diperiksakan antara Juni 2020-Juli 2021. Metode yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan kohort pada data sekunder melalui telusur rekam medis. Pada 73 subjek penelitian dilakukan analisis univariat, bivariat (uji kai kuadrat dan fisher) dan multivariat (uji regresi logistik) dengan variabel independen terdiri atas karakteristik individu (usia, jenis kelamin, komorbiditas, derajat COVID-19) dan riwayat terapi (antivirus, antiinflamasi dan antitrombotik) serta variabel dependen berupa gambaran HRCT toraks. Terdapat gambaran sekuele sebanyak 55 subjek (75,3%) dengan rincian 7 subjek (9,6%) dengan gambaran fibrosis, 5 subjek (6,8%) dengan gambaran GGO, 43 subjek (59,9%) dengan gambaran GGO dan fibrosis serta gambaran nonsekuele sebanyak 18 subjek (24,7%). Gambaran sekuele terhadap variabel masing-masing adalah sebagai berikut: laki-laki dan perempuan yaitu 78,8% dan 66,7% (p=0,025, OR= 0,019-0,770), derajat ringan, sedang dan berat-kritis yaitu 56,5%, 75,0% dan 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjek dengan dan tanpa warfarin yaitu 57,1% dan 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjek dengan dan tanpa heparin yaitu 83,3% dan 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari dan >10 hari yaitu 61,0% dan 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Laki-laki-laki lebih banyak memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks daripada perempuan. Derajat COVID-19 adalah faktor paling berpengaruh dan menentukan pemilihan terapi rawat inap. Kelompok subjek dengan warfarin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa warfarin. Kelompok subjek dengan heparin memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih banyak daripada tanpa heparin. Kelompok subjek dengan durasi terapi antiinflamasi ≤10 hari memiliki gambaran sekuele pasca COVID-19 pada HRCT toraks lebih sedikit daripada dengan terapi antiinflamasi >10 hari. ...... Chest HRCT is an objective examination to evaluate alteration in lung parenchyma due to inflammation response including in post COVID-19 patients. Inward patient therapy history is one of factor to be suspected has an influence to chest HRCT features in post COVID-19 patients. This study analyzes a relation between therapy history and chest HRCT features was examined between June 2020 and June 2021. Observational analytic with retrospective approach method is used by medical record explore as secondary data. In 73 subjects in this study, univariate analysis, bivariate analysis (chi square and fisher’s test), and multivariate analysis (logistic regression) had done to perform the description of independent variable consists individual characteristics (age, sex, comorbidity, COVID-19 severity degree) and therapy history (antiviral, antiinflammation, antithrombotic), and chest HRCT features as dependent variable. There are sequelae features in 55 subjects (75.3%) consist of 7 subjects (9.6%) with fibrotic features, 5 subjects (6.8%) with GGO and 43 subjects (59.9%) and also 18 subjects (24.7%) non-sequelae features. Sequelae features for each variable are: male and female are 78,8% vs 66,7% (p=0.025, OR= 0.019-0.770), mild, moderate, and severe-critical COVID-19 severity degree are 56,5% vs 75,0% vs 88,2% (p=0,031-1,096-6,962), subjects with and without warfarin are 57,1% vs 82,7% (p=0,007, OR=0,016-0,517), subjects with and without heparin are 83,3% vs 60,0% (p=0,024, OR= 1,250-23,222), subject with antiinflammation therapy duration ≤10 days is higher risk than >10 days are 61,0% vs 93,5% (p=0,026, OR=1,276-42,609). Males are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than females. The severity degree of COVID-19 is the most influencing factor and this determines on inpatient therapy selection. Warfarin history subjects are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without warfarin. Heparin history subjects are larger number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in without heparin. Anti-inflammatory therapy duration ≤10 days are smaller number with post COVID-19 sequelae features in chest HRCT than in > 10 days.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisyani Sunaryo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Uveitis granulomatosa merupakan suatu keadaan inflamasi ocular yang tersering disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena isolasi mikroorganisme langsung dari mata sulit dilakukan. Tidak terdiagnosisnya atau keterlambatan diagnosis dapat berakibat penurunan tajam penglihatan yang signifikan sampai mengakibatkan kebutaan. Foto toraks dan HRCT toraks merupakan pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis guna tata laksana yang tepat. Metode: Uji diagnostik dengan desain potong lintang menggunakan radiografi konvensional toraks dan HRCT toraks berdasarkan database populasi Indonesia, terhadap 28 subjek penelitian, menggunakan data primer dalam kurun waktu Januari 2015 sampai Juli 2015. Hasil: Didapatkan nilai sensitivitas 62,5 , spesifisitas 100 , PPV 100 , dan NPV 64,7 . Uji McNemar didapatkan nilai p 0,075 dan nilai Kappa r 0,41 antara temuan lesi pada foto toraks dan HRCT toraks. Kesimpulan: Foto toraks positif berperan dalam memprediksi kemungkinan adanya kelainan paru pada pasien uveitis, tetapi hasil foto toraks itu sendiri kurang memiliki peran dalam memprediksi tidak adanya kelainan paru pada pasien uveitis
ABSTRACT
Backgrounds and Objectives Granulomatous uveitis is ocular inflammatory condition that mostly caused by Mycobacterium tuberculosis. Certain diagnosis becomes tough due to convoluted direct isolation of the microorganism from the eyes. Delayed treatment or under diagnose may cause significant reduction of eyesight that leads to blindness. Chest x ray and HRCT are two radiological inquirements that can be done in empowering the diagnosis and giving proper treatment. Methods A cross sectional diagnostic study between chest x ray and HRCT based on population database in Indonesia, conducted in 28 subjects in the period of January 2015 to July 2015. Results Sensitivity index 62,5 , specificity 100 , PPV 100 , and NPV 64,7 . McNemar study shows p 0.075 and Kappa value r 0.41 between the lesions found by chest x ray and HRCT. Conclusions Positive chest x ray has a major role in predicting the possibility of lung abnormalities in patients with uveitis. On the other side, chest x ray has less power in excluding the lung abnormalities in patients with uveitis.
2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christian Febriandri
Abstrak :
Latar belakang: Pasien bekas TB yang telah diobati akan mengalami perubahan struktur anatomi paru permanen sehingga dapat meningkatkan risiko kejadian gejala sisa. Gejala sisa yang terjadi dapat meninggalkan lesi di paru dan ekstra paru. Pada lesi paru biasanya diawali dengan perubahan struktur bronkial dan parenkim paru seperti distorsi bronkovaskuler, bronkietaksis, emfisematus dan fibrosis. Fungsi paru pada pasien 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan TB kategori I ditemukan nilai tes fungsi paru cenderung lebih rendah walapun sudah menyelesaikan obat anti tuberculosis (OAT) selama 6 bulan. Metode: penelitian menggunakan metode potong lintang pada 65 pasien yang mendapatkan OAT lini I di Poli Paru RSUP persahabatan. Subjek penelitian akan menjalani pemeriksaan spirometri, DLCO, darah rutin dan HRCT toraks. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median usia subjek 45 tahun dengan usia paling muda 18 tahun dan usia paling tua 60 tahun. Jenis kelamin pada penelitian ini didapatkan laki-laki sebanyak 33 subjek (51%). Sebanyak 66% subjek terdapat kelainan spirometri. Hasil spirometri dengan kelainan terbanyak yaitu gangguan restriksi dan obstruksi (campuran) pada 29 (44%) subjek, gangguan restriksi sebanyak 13 (21%) subjek, satu (1%) subjek gangguan obstruksi dan 22 (33%) subjek tidak ditemukan kelainan. Derajat lesi pada HRCT toraks menggunakan modifikasi Goddard score didapatkan derajat lesi ringan sebanyak 33 (51%), sedang 20 (31%), berat 8 (12%) subjek. Karakteristik lesi terbanyak pada parenkim paru secara berurutan fibrosis, kalsifikasi, bullae, retikuler opasitas, ground glass opacity (GGO), nodul, konsolidasi dan jamur. Lesi saluran napas yang terbanyak secara berurutan yaitu bronkietaksis, ateletaksis, dilatasi trakea. Gangguan kapasitas difusi terbanyak yaitu derajat ringan 25 (38%), moderate 22 (33%) dan berat 3 (5%). Pada penelitian ini ditemukan perbedaan bermakna antara derajat kelainan kapasitas difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks dan terdapat risiko 8,68 kali (IK 95% 2,3-32,72).. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara derajat gangguan difusi paru terhadap derajat lesi pada HRCT toraks. Penurunan fungsi paru setelah menyelesaikan pengobatan TB dapat terjadi sehingga diperlukan pemeriksaan fungsi paru dan HRCT toraks secara berkala. ......Background: Former TB infection patients will experienced changes in anatomical structure of the lung. Hence, it wil increased risk of sequelae. Sequelae can occur in extra pulmonary. Lung lesions changes in the structure of the bronchial and lung parenchyma such as bronchovascular distortion, bronchietacsis, emphysema and fibrosis. Lung functions in patients 6 months after completing TB treatment found that lung function test tend to be lower even after completing treatment for 6 months. Methods: This studi used a cross-sectional method on 65 patients whom received anti tuberculosis drugs at Lung Polyclinic, Persahabatan Hospital. Research subjects will undergo spirometry, DLCO, blood test and HRCT thorax. Results: In this study median age of subjects was 45 years. The youngest was 18 years and oldest was 60 years. Male population was 33 (51%) subjects. Total 66% subjects have lung function impairment. Resulst of spirometry showed mixed disorder in 29 (44%) subjects, restriction disorder in 12 (19%) subjects, one subjects with obstructive disorders and 22 (33%) subjects are normal. Based on Goddard modificaion score showed mild degree in 33 (51%) subects, moderate 20 (31%) dan severe 8 (12%) subjects. The most characteristic lesions in the lung parenchymal were fibrosis, calcification, bullae, reticular opacity, GGO, nodules, consolidation and fungi. The most common airway lesions were bronchietacsis, atelectasis and trachel dilatation. The most common lung diffusion impairment is mild 25 (38%), moderate 22 (33%) and severe 3 (5%). In this study found that there was a significant difference among lung diffusion impairment and degree of lesion based on HRCT thorax with OR 8.68 (CI 95% 2.3- 32.72). Conclusion: There was significant relationship between lung diffusion impairment and degree of lesions based on HRCT thorax. Decrease lung function after completing TB treatment can occur so that routine lung function test and HRCT thorax imaging are recommended.
2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library