Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Amir Nurdianto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S26068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Dirga Pradana
"This research explains about the right of passage regulations for foreign warship according to UNCLOS 1982 which is consist of right of innocent passage, transit passage, and archipelagic sea lane passage. Then, this research discusses about archipelagic state practice related to the right of passage regulation for foreign warship in archipelagic state, especially Indonesia and Philippines. At Last, in this research discusses about violation related to the right of passage for foreign warship in archipelagic water, in this case violation which is conducted by USS Carl Vinson USA in The Bawean Case. This chapter will analyzed the facts about that case, kind of violations conducted by USS Carl Vinson USA, and action that Indonesia should do in order that kind violation will not happen again.

Skripsi ini menjelaskan tentang pengaturan hak lintas kapal perang asing menurut UNCLOS 1982 yang mana terdiri dari hak lintas damai, hak lintas transit, dan hak lintas`alur laut kepulauan. Lalu skripsi ini membahas tentang praktik terkait pengaturan hak lintas kapal perang asing di Negara Kepulauan, terutama yang akan dibahas di Skripsi ini adalah Indonesia dan Filipina. Terakhir dalam Skripsi ini membahas tentang pelanggaran terkait hak lintas kapal perang asing di wilayah kepulauan dalam hal ini adalah pelanggaran yang dilakukan oleh USS Carl Vinson Amerika Serikat dalam Kasus Bawean. Didalam bab tersebut akan dianalisa apa saja fakta-fakta dalam kasus tersebut, pelanggaran apa saja yang dilakukan, dan juga tindakan apa saja yang dapat dilakukan Indonesia agar kejadian serupa tidak terulang lagi."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maretha Wulandini
"Pengakuan terhadap prinsip negara kepulauan Indonesia dalam UNCLOS 1982 harus dibayar dengan mengakomodir kepentingan yang sah dan hak-hak tertentu negara pengguna perairan negara kepulauan, berupa hak lintas kapal dan pesawat udara asing melalui alur laut kepulauan. Indonesia kemudian menentukan skema alur laut kepulauan, yang dikenal dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terdiri dari ALKI I, ALKI II, dan ALKI III beserta cabangcabangnya. Namun, menurut Amerika Serikat dan Australia, penetapan tiga ALKI tersebut belum cukup mengakomodir kepentingan mereka. Menurut Amerika Serikat, Indonesia telah membatasi hak terbang diatas perairan kepulauan Indonesia dan terjadi ketidakkonsistenan penetapan hak lintas dalam UNCLOS 1982. Hasjim Djalal, pakar hukum laut interrnasional menjelaskan bahwa sehubungan dengan belum ditentukannya ALKI dari timur ke barat, maka kapalkapal asing yang melalui perairan Indonesia dari arah timur ke barat berhak menentukan sendiri jalur pelayaran mereka. Apabila Indonesia menginginkan kapal asing melintas di jalur yang dikehendaki, maka Indonesia harus secepatnya menentukan alur laut kepulauan Indonesia timur-barat. Penelitian ini akan mengkaji apakah Indonesia perlu memenuhi tuntutan dunia internasional untuk membuka ALKI Barat-Timur, dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan implikasi yang mungkin terjadi jika ALKI Barat-Timur tersebut diwujudkan.

Recognition of the principles of Indonesia archipelagic state in UNCLOS 1982, should be paid to accommodate the legitimate interests and rights of certain countries that use the waters in the archipelagic state, in the form of a right of passage of foreign ships and aircrafts through archipelagic sea lanes. Indonesia then determines the archipelagic sea lanes scheme, known as the Indonesian archipelagic sea lanes (ALKI) consisting of ALKI I, ALKI II and III and their branches. However, according to the United States and Australia, the establishment of three ALKI are not sufficient to accommodate their interests. According to the United States, Indonesia has restricted the right to navigate over the waters of Indonesia and there is an inconsistency in the determination of a right of passage based on UNCLOS 1982. Hasjim Djalal, an expert on the International Law of the Sea explained that considering the fact that the ALKI from east to west has yet to be determined, the foreign ships through Indonesian waters from east to west, has the right to determine their own shipping line. If Indonesia wants every foreign ships to pass in the desired track, then Indonesia should immediately determine the Indonesian east-west archipelagic sea lane east-west. This study will examine whether Indonesia needs to fulfill the demands of the international community to open ALKI West-East, taking into account various aspects and implications that may occur if the East-West ALKI is realized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khadijah
"Pesatnya aktivitas pelayaran menyebabkan sengketa teritorial dan maritim yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya hak untuk berlayar, khususnya bagi kapal perang. Penguasaan secara de facto oleh Tiongkok atas fitur-fitur laut di Spartly, Paracel dan Scarborough Shoal dapat berimplikasi pada keberlakuan hukum domestik Tiongkok yang membatasi hak lintas damai kapal perang asing di laut teritorial dan aktivitas militer asing di ZEEnya. Klaim Tiongkok ini ditentang oleh Amerika dengan cara mengirimkan kapal perangnya untuk berlayar di perairan yang masih bersengketa tersebut di bawah misi FONOP. Dalam meneliti permasalahan ini, Penulis menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif.
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah klaim Tiongkok tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional, dengan demikian hak lintas damai tidak berlaku di perairan sekitar fitur-fitur yang diklaim negara tersebut dan kapal asing tetap dapat berlayar di bawah rezim kebebasan navigasi yang tertuang dalam Pasal 58 1 UNCLOS. Oleh sebab itu, seharusnya Amerika mengirimkan kapal perangnya untuk melakukan kebebasan navigasi. Selain itu, Tiongkok tidak berhak mengklaim ZEE dari fitur-fitur yang diklaimnya tersebut sehingga kebijakan atas aktivitas militer tidak dapat diterapkan. Tiongkok adalah negara yang telah meratifikasi UNCLOS, maka seyogyanya negara tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut.

Territorial and maritime disputes occurring in the South China Sea have raised awareness among international communities regarding the impediment of navigational rights. China rsquo s de facto control on the sea features such as Spartly, Paracel and Scarborough Shoal possibly implies the enforcement of Chinese domestic laws that limit the innocent passage of foreign warships in territorial sea and foreign military activities in EEZ. However, America opposes Chinese claims by sending its warships to sail near disputed waters under FONOP mission. The research method used in this thesis is yuridis normatif.
The conclusions derived from the problem are, Chinese claims cannot be justified by international law, therefore the right of innocent passage is not applicable in the waters surrounding the claimed features and foreign warships are able to sail under the regime of freedom of navigation provisioned in Article 58 1 UNCLOS. Therefore, America should have sent its warships under the freedom of navigation regime. On the other hand, China is not capable of claiming EEZ derived from the features, therefore the country cannot restrict military activities in the region. Moreover, as member of UNCLOS, China has obligation to follow the rules set up in the convention.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sadono A
"Pasca diterimanya konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa, unclos 1982, Indonesia menjelma menjadi negara kepulauan terbesar yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan daratan sebesar 70% : 30%."
Jakarta: Seskoal Press, 2019
023.1 JMI 7:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library