Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radhika Bagas Prabowo
Abstrak :
Pemberi Fidusia dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia dilarang mengalihkan objek jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa persetujuan dari penerima fidusia. Hal ini disebabkan dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) tercantum ketentuan mengenai larangan untuk mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan dari penerima fidusia. Penelitian ini membahas mengenai 1.ketentuan hukum seorang pasangan kawin membebankan jaminan fidusia pada harta benda bergerak milik pasangan lainnya, 2.akibat hukum pengalihan objek jaminan fidusia atas nama pasangan dalam perkawinan sebagai Pemberi Fidusia oleh pasangan lainnya, dan 3.perlindungan hukum bagi penerima fidusia akibat adanya pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan perkawinan dari Pemberi Fidusia. Putusan pengadilan negeri Pekanbaru nomor: 853/Pid.sus/2019/Pn Pbr yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini menyatakan Pemberi Fidusia dalam hal ini tidak memenuhi unsur Pasal 23 ayat (2) jo 36 UU Fidusia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada data sekunder dan bersifat yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris. Hasil penelitian ini yaitu 1.bahwa kebendaan bergerak yang merupakan harta bersama dapat dibebankan dengan jaminan fidusia oleh pasangan kawin dari pemilik benda dengan persetujuan kedua belah pihak, 2.Terdakwa dapat dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia karena memberikan persetujuan secara diam-diam terhadap pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan kawinnya, dan secara keperdataan akibat hukum atas pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan kawin dari pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan wanprestasi, 3.UU Fidusia dan peraturan perundangan terkait memberikan perlindungan hukum terhadap penerima fidusia akibat pengalihan objek jaminan tersebut berupa eksekusi, ganti rugi, serta biaya dan bunga. ......The Fiduciary Giver in a consumer financing agreement with a fiduciary guarantee is prohibited from transferring the object of the fiduciary guarantee to another party without the consent of the fiduciary recipient. This is because Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security (Fiduciary Law) contains provisions regarding the prohibition of transferring fiduciary collateral objects without the consent of the fiduciary recipient. This research discusses 1. the legal provisions of a married couple imposing fiduciary security on the movable property of another spouse, 2. the legal consequences of transferring the fiduciary security object on behalf of the spouse in marriage as the Giver of Fiduciary by another spouse, and 3. legal protection for fiduciary recipients. due to the transfer of the object of fiduciary security by the marriage partner from the Fiduciary. The decision of the Pekanbaru district court number: 853/Pid.sus/2019/Pn Pbr which is the case study in this research states that the Fiduciary Giver in this case does not fulfill the elements of Article 23 paragraph (2) jo 36 of the Fiduciary Law. This research is a normative legal research based on secondary data and is juridical normative with explanatory typology. The results of this study are 1. that movable objects which are joint assets can be charged with fiduciary security by the married partner of the owner of the property with the consent of both parties, 2. The defendant can be sentenced to a criminal under Article 36 of the Fiduciary Law for giving tacit consent to the transfer. the object of fiduciary security by the spouse, and in civil terms the legal consequences of the transfer of the fiduciary security object by the married couple from the owner of the object that is the object of the fiduciary guarantee constitutes default, 3. The Fiduciary Law and related laws provide legal protection for the fiduciary recipient due to the transfer of the guarantee object in the form of execution, compensation, and fees and interest.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Satrio
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
346.016 SAT h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Topan
Abstrak :
Pendaftaran perjanjian perkawinan kepada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlakuan perjanjian perkawinan bagi para pihak yang membuat perjanjian perkawinan serta pihak ketiga diluar para pihak khususnya dalam hal pembagian harta perkawinan ketika perkawinan berakhir dengan perceraian. Hal ini bertujuan agar pembagian harta perkawinan pasca perceraian dapat dibagi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kawin, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) Pasal 29 serta Pasal 35. Tulisan ini mengambil studi kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/PDT.G/2013/PA JS. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan Tidak didaftarkannya suatu perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung berakibat tidak berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, lebih dari itu terdapat pakar yang menyatakan apabila tidak didaftarkan perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut batal, mengingat ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 menyatakan suatu perjanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/Pdt.G/2013/PA JS seharusnya dinyatakan tidak sah karena memuat pengaturan dalam Pasal 1 nya yang melanggar ketentuan dalam asas keseimbangan dalam perjanjian. Pembagian harta perkawinan dalam kasus Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0502/Pdt.G/2013/PA JS seharusnya dibagi berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan Jis Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Saran yang dapat disampaikan adalah Pembuatan Perjanjian Perkawinan harus mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta isi dari perjanjian perkawinan harus berdasarkan asas-asas umum perjanjian dan peraturan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. ......The registration of marital agreement at the office of religion affairs or the office of civil registry is required to provide legal certainty and ensure the validity of the marital agreement for the parties involved and third parties outside of the parties, especially in terms of the division of marital assets when the marriage ended by divorce. It is intended that the division of marital assets after divorce can be divided in accordance with the provisions stipulated in the marital agreement, Article 29 and Article 35 Law No. 1 year 1974 on Marriage. The object of this research is a case study of South Jakarta Religion Court Decision No. 0502/PDT.G/2013/PA JS. The method used in this research is normative juridical research using secondary data. This research concluded that any registration of a marital agreement after the marriage resulting invalidity of the marital agreement for the third parties, beyond that there are experts who claim that if the marital agreement has not been registered, the marital agreement become void,given the requirment of law No. 1 of 1974 on marriage Article 29, that states a marriage settlement must be approved by the office regilion affairs officer, after has it registration, it will "apply" to the third party.The marital agreement contained in the case of South Jakarta Religion Court Decision No. 0502/ PDT.G/ 2013/ PA JS should be declared invalid due to the Article 1 of its agreement which is violate the provisions of the balance principle in the agreement. The division of marital assets in the case of South Jakarta Religion Court Decision Nomor 0502/PDT.G/2013/PA JS should be shared based on Article 35 of the Marriage Act Jis Article 96 and Article 97 of the Compilation of Islamic Law. Suggestions for this case are the prosces of establishing a marital agreement must comply with the provisions on Law No. 1 of 1974 on Marriage Article 29 and also The Indonesian Book of the Civil Law and the contents in the marital agreement should be based on the general principles of agreement and regulation concerning the marital agreement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Novianti
Abstrak :
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam KHI adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqaan ghalidzan, dan bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah namun ada perkawinan yang tidak dapat dipertahankan sehingga berakibat pada perceraian. Perceraian menimbulkan akibat terhadap istri, anak dan harta perkawinan. Penulis akan menganalisis hal ini dengan putusan Pengadilan no. 231 / PDT.G / 2014 / PA.Dpk serta upaya hukum yang dapat dilakukan untuk para pihak apabila putusan hakim tidak dilaksanakan. Untuk menganalisis Putusan ini Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil Penelitian ditemukan pengaturan anak pasca perceraian terdapat dalam Pasal 41 Huruf C jo Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 105 C jo Pasal 105 b Kompilasi Hukum Islam dan mengenai harta perkawinan diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Putusan Pengadilan Agama no. 231 / PDT.G / 2014 / PA.Dpk sudah tepat karena Hakim memutus sesuai dengan peraturan yang berlaku.Kata kunci: perkawinan, perceraian, anak, harta perkawinan.
Marriage under Islamic Law Compilation KHI is a contract that is very strong or mitssaqaan ghalidzan and aims to establish a family sakinah, mawaddah,warahmah but there still marriage cannot able to be maintained so that result in divorce. Divorce will be effect on children and marital property. The author will analyse this case with the Verdict no.231 Pdt.G 2014 PA.Dpk and legal effort that can be taken by the parties if the verdict won't able to be held. The author analysed this Verdict using normative jurudical methods. The results of this study are found that the children after divorce be regulated in Art. 41 C jo Art. 45 Law No. 1 Year 1974 and Art. 105 C jo Art. 106 b Compilation of Islamic Law and marital property be regulated in Art. 37 Law No. 1 Year 1974 and Art.97 Compilation of Islamic Law .the Verdict no.231 Pdt.G 2014 PA.Dpk has already been appropriate for the judge decides in accordance with applicable regulations. Keywords marriage, divorce, child, wife, marital property.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S68972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Maryadi
Abstrak :
Tingginya angka perceraian di daerah-daerah yang penduduknya banyak bekerja sebagai TKI di luar negeri berkorelasi dengan permasalahan pelanggaran hak-hak perempuan dan anak dalam keluarga TKI, yang berkisar pada tidak terpenuhinya kebutuhan perempuan dalam hidup berumah-tangga baik nafkah lahir maupun batin, begitu juga kebutuhan anak-anak akan pengasuhan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Salah satu permasalahan hukum yang sangat menonjol dalam hal ini adalah tidak jelasnya pengaturan mengenai harta perkawinan. Meski tidak populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia, lembaga perjanjian perkawinan sebenarnya dikenal baik dalam hukum adat, hukum agama, maupun hukum Negara, dan merupakan alternatif solusi bagi permasalahan hukum tersebut. Kecuali Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Baik UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak tegas mengatur isi perjanjian perkawinan. Karena itu, perjanjian perkawinan dapat saja mengatur mengenai harta perkawinan, sepanjang tidak melanggar hal-hal yang dilarang. Berbagai hal yang perlu diatur dalam suatu perjanjian perkawinan yang dibuat khusus untuk memenuhi kebutuhan hukum calon mempelai TKI meliputi ketentuan mengenai harta bawaan, pisah harta, bukti kepemilikan atas harta, utang dan pembiayaan keperluan rumah-tangga, termasuk biaya mengasuh dan membesarkan anak sekiranya sampai terjadi perceraian. Agar dapat menjadi solusi hukum yang efektif, perjanjian perkawinan harus disosialisasikan dan difasilitasi oleh institusi-institusi formal pemerintah sebagai inisiator didukung oleh unsur-unsur masyarakat sipil. Dalam hal pelaksanaannya, perlu diadakan dukungan penegakan bertingkat dimulai dari level pemerintahan daerah propinsi maupun kabupaten, sampai pemerintahan desa yang paling dekat dan, karena itu, memahami kebutuhan masyarakat setempat. Pada akhirnya, penegakan terpulang pada level rumah tangga, yaitu keluarga dan kerabat, dan pemimpin informal seperti pemuka agama dan tetua adat.
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21452
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jeannette Lesmana
Abstrak :
ABSTRAK
Pasal 29 (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 mewajibkan penyampaian laporan adanya perjanjian perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai syarat mengikat dan berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, namun dalam kenyataannya ditemukan akta Perjanjian Perkawinan yang terlambat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Disamping itu ditemukan pula Akta Pernyataan Keputusan Rapat yang menyatakan terdapat pengoperan hak-hak atas saham suami dan isteri dalam keadaan Akta Perjanjian Perkawinan mereka belum disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Dengan adanya penyimpangan tersebut, maka terdapat ancaman kebatalan atas akta Perjanjian Perkawinan dan pengoperan hak-hak atas saham tersebut.
ABSTRACT
Article 29 (1), Law of Republic of Indonesia No 1 of 1974, obliges the delivery report to the Officer of the Civil Registry Office as binding conditions and the occurrence of Prenuptial Agreement for the third parties, at the time of or before the marriage take place, but in fact there is a Prenuptial Agreement that late to be reported and verified by the Officer of the Civil Registry Office. Beside that, there is a Deed of Resolutions of Extraordinary General Meeting of Shareholders which stated there was transfer of rights of the shares between husband and wife in the condition that their Prenuptial Agreement has not been verified by the Officer of the Civil Registry Office. With deviation described above mention, then there is threat of nullification on the Prenuptial Agreement and transfer the rights of the shares.
2013
T32999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hauna Nur Azizah
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai keabsahan perjanjian perkawinan dibawah tangan yang disahkan oleh notaris terhadap pihak ketiga dan harta perkawinan dalam perkawinan campuran dengan Studi Putusan Pengadilan Tinggi DKI. Jakarta Nomor 477/PDT/2019/PT.DKI. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengesahan perjanjian perkawinan tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan harus dikesampingkan, oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas dalam tesis ini mengenai akibat hukum terhadap pihak ketiga yang tersangkut serta mengenai keabsahan dari harta perkawinan yang diperoleh selama perkawinan tersebut. Untuk menjawab pemasalahan tersebut digunakan metode yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Adapun analisis data dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute apprach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan hasil penelitian ini perjanjian perkawinan dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak sah dan mengikat para pihak dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang memperbolehkan dibuatnya dalam bentuk dibawah tangan dan ketentuan diadakan setelah perkawinan dapat dibenarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tertanggal 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan tidak dimaknai sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Oleh karena Para Pihak yang ternyata sudah bercerai, maka akta pengesahan perjanjian kawin dibawah tangan yang disahkan Notaris (akta authentik) menjadi “tidak mempunyai nilai pembuktian dan harus dikesampingkan”. Adapun Perjanjian Kawin dibawah tangan tersebut tidak didaftarkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sehingga hanya berlaku secara intern (suami-istri) dan selama belum didaftarkan terhadap pihak ketiga beranggapan perkawinan itu masih sah dengan kebersamaan harta perkawinan. Adanya kebersamaan harta dalam perkawinan campuran, WNI yang menikah dengan WNA tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik atas tanah berdasar ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). ......This thesis discusess about the legal validity of a prenuptial agreement under-hand which was ratified by a Notary to a third party and marital asset in intermarriage based on DKI Jakarta High Court Judgement case number 477/PDT/2019/PT.DKI. The decided that the legalization of the marriage agreement does not apply toward a third party and must be ruled out, therefore the autor is interested in discuss the legal consequences of the third party involved and the validity of the marital asset that is obtained during the marriage. To solve these problems, a normative juridical method with a typology of descriptive analytical was used. The data analysis was carried out using a statute approach and a case approach. Based on the result of this research show that an under-hand marriage agreement made by legitimate parties and binds the parties with the condition of section 29 subsection (1) of the Marriage Law, which allows it to be made under hand and provisions to be held after marriage can be justified based on the Constitutional Court Decision Number 69 / PUU-XII / 2015 dated 27 October 2016, where the marriage agreement is not interpreted as an agreement made before marriage (prenuptial agreement) but can also be made after the marriage takes place (postnuptial agreement). Because the parties are already divorced, the deed of ratification of the marriage agreement under-hand of a Notary (authentic deed) become “.. doesn’t have the value of evidentiary and must be ruled out”. The marriage agreement under-hand is considered not validated by a marriage registrar or a notary that is only valid internally (husband-wife) and as long as it has not been registered with a third party it is consider that the marriage is still valid with togetherness of marital assets. The existence of togetherness of assets in intermarriages means that Indonesian citizens who are married to foreigners are not allowed to have ownership rights to land based on the provisions of the Basic Agrarian Law (UUPA).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Erdinal Rasjidin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurens Gunawan
Abstrak :
Di masa sekarang ini, di mana manusia semakin berpikir kritis dan maju, perjanjian kawin haruslah dapat dipandang sebagai suatu kebutuhan yang harus diperhitungkan keberadaannya bagi para calon pengantin yang akan menikah. Dalam praktiknya, jika suatu perkawinan harus putus atau terjadi perceraian maka hampir dapat dipastikan menimbulkan berbagai persoalan, terutama mengenai pembagian harta selain persoalan anak dan persoalan-persoalan lainnya. Dengan dibuatnya perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya pernikahan maka setidaknya kita dapat meminimalisir persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul jika perkawinan harus putus. Selain itu perjanjian kawin juga memberikan kebebasan bagi para pihak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap aset-aset mereka tanpa harus meminta persetujuan pihak lainnya. Perjanjian kawin juga sebaiknya dibuat dengan akta notariil sehingga dapat memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna dan pasti mengikat terhadap pihak ketiga. Pendaftaran ke Panitera Pengadilan Negeri dan pengesahan perjanjian kawin yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan sebaiknya dilakukan walaupun di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak disyaratkan melakukan pendaftaran ke Panitera Pengadilan Negeri. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh para pihak maupun pihak ketiga yang akan melakukan perbuatan hukum dengan pasangan suami isteri bersangkutan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, sedangkan tipologi penelitian yang digunakan adalah evaluatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Metode analisis data dalam penulisan tesis ini adalah kualitatif, dengan demikian hasil penelitian tesis ini berbentuk evaluatif analitis. Pokok permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana manfaat perjanjian kawin terhadap harta benda suami isteri khususnya dalam akta Perjanjian Kawin Nomor X, kemudian permasalahan yang kedua adalah dapatkah perjanjian kawin digunakan sebagai alat pembuktian yang kuat bagi pasangan suami isteri khususnya dalam Akta Perjanjian Kawin Nomor X. Dan permasalahan yang terakhir adalah dapatkah perjanjian kawin tidak mendapat pengesahan pegawai pencatat perkawinan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlisa
Abstrak :
Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat berbagai macam hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah. Oleh karena itu dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat terjadi unifikasi di bidang hukum perkawinan. Namun jika kita perhatikan isi dari Undang-Undang Perkawinan tersebut akan nampak bahwa Undang-Undang tersebut hanya mengatur hal-hal yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedangkan penjabarannya lebih lanjut dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya. Namun peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan kemudian di dalamnya hanya mengatur sebagian dari Undang-Undang Perkawinan dan khusus mengenai hukum harta perkawinan belum tercakup di dalamnya. Jadi oleh karena itu bagi mereka yang melangsungkan pernikahan dan tunduk pada B. W. sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan mengenai harta perkawinan mereka tetap tunduk pada ketentuan B.W. sedangkan bagi mereka yang menikah setelah berlaku Undang-Undang Perkawinan maka Undang-Undang tersebut berlaku baginya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis yang bersumber dari bahan kepustakaan yang menganalisa dan memberikan gambaran mengenai perbedaan pengaturan harta benda perkawinan dalam B.W. dan Undang-Undang Perkawinan. Karena antara B.W. dan Undang-Undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang cukup besar. Oleh karena itu kita masih perlu mempelajari hukum harta perkawinan yang ada dalam B.W. disamping Undang-Undang Perkawinan karena ketentuan tersebut masih berlaku bagi sebagian anggota masyarakat Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36535
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>