Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sumual, Jolanda Maureen Hendriyete
Abstrak :
Konflik di Aceh adalah konflik yang paling lama dan paling buruk terjadi dalam sejarah Indonesia, lebih dari 20 tahun. Konflik di Aceh secara singkat disebabkan karena masalah distribusi dan identitas, yang berhubungan dengan faktor struktural, politik, ekonomi/sosial dan budaya. Efek utama dari konflik di Aceh adalah rakyat sipil menjadi korban konflik, muncul gerakan-gerakan pemberontakan serta separatis di Aceh, dan penggunaan cara represif melalui kekuatan militer oleh pemerintah, terutama pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Ketika konflik sudah menahun, proses memulai dialog tidaklah mudah untuk dilakukan. Bahkan ketika pemerintah Orde Baru tumbang, para pemimpin GAM tidak bisa melepaskan diri dari prasangka buruk, walaupun ada keinginan dari pemerintahan Gus Dur selanjutnya, pada awal Mei 1999 untuk melakukan cara dialog, sebagai usaha menyelesaikan konflik di Aceh. Konflik di Aceh bersifat sangat politis, sensitif, dan telah menimbulkan ketidakpercayaan (lack of trust) antara kedua belah pihak. Dengan alasan ini, tampak jelas bahwa tidaklah mudah bagi pemerintah RI dan GAM, untuk tiba-tiba duduk bersama di meja perundingan, tanpa mediasi pihak ketiga. Inilah kemudian yang menyebabkan pemerintah RI dan GAM memilih untuk menghadirkan pihak ketiga. Organisasi yang kemudian masuk sebagai pihak ketiga adalah Henry Dunant Centre yang akan menjadi fasilitator pertemuan-pertemuan dan negosiasi-negosiasi antara pemerintah RI dan GAM, serta menjadi mediator yang akan membantu pemerintah RI dan GAM mencari solusi-solusi penyelesaian konflik di Aceh. Secara prinsip, proses-proses yang dilakukan oleh HDC adalah dalam menjalankan perannya adalah fact finding to dialogue, dialogue to Humanitarian Pause, establishment of Joint Council and Joint Committees/Monitoring Teams, Pause to renewed of Pause followed byMoratorium on Violence, Commander to Commander Meetings, Attempted Peace Zones, Dialogue for Peace (hope for Democratic Consultations and wider consultative processes for the GOI and GAM). Walaupun pada akhirnya HDC harus meninggalkan Indonesia (Aceh) dengan dijalankannya Martial Law di Aceh pada tahun 2003, namun sebagai pihak ke-3 dalam upaya resolusi konflik di Aceh, HDC telah memberikan masukan positif bagi negara ini dengan mengawali suatu pertemuan perundingan secara damai antara pemerintah Indonesia dan GAM.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
Abstrak :
Dengan metode kualitatif, penelitian ini mengkaji permasalahan bagaimana dan mengapa Henry Dunant Centre (HDC) dapat terlibat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik di Aceh antara Pemerintah Indonesia dan GAM serta menganalisa penyebab berbagai kegagalannya. Kecuali dalam konteks pembicaraan sejarah konflik di Aceh, penelitian ini mengambil periode mulai dari awal tahun 2000 sampai diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003. Dalam hubungan internasional, peran diplomasi resmi (official) atau diplomasi track one tidak selamanya berhasil dalam menyelesaiakan konflik, terutama konflik internal. Anarkisnya situasi konflik internal membuat diplomasi resmi sering mengalami frustrasi dalam menyelesaiakan kasus yang ada. Karena itu, konflik internal biasanya diselesaikan tidak melalui lembaga-lembaga resmi internasional tetapi oleh organisasi non pemerintah (NGO) yang dikenal sebagai un-official diplomay atau track two diplomacy. Fleksibilitas dan sifat netral membuat NGO lebih mudah terlibat dan diterima oleh semua pihak tanpa terikat pada protokoler atau ketakutan tiadanya pengakuan terhadap kedaulatan maupun legitimasi. Fokus konsentrasi NGO yang penuh terhadap masalah yang ia hadapi membuatnya lebih mampu memahami permasalahan yang ada dan relatif tidak terbebani oleh keterbatasan waktu. Resiko yang dihadapi ketika peran fasilitasi atau mediasi yang ia lakukan gagalpun tidak terlalu berat, baik bagi NGO itu sendiri maupun bagi pihak-pihak yang terlibat konflik. Alasan inilah yang menjadikan mengapa NGO, seperti HDC, lebih mudah diterima sebagai aktor pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik internal daripada aktor resmi lain, seperti PBS, organisasi regional atau antar negara. Kegagalan peran pihak ketiga dalam memediasi konflik pada dasarnya bukanlah karena ketidakmampuannya bertindak sebagai pihak penengah, tetapi karena tiadanya political will dari pihak-pihak yang terlibat konflik itu sendiri dan dukungan maupun tekanan masyarakat internasional untuk menyelesaikan konflik yang ada. Ini karena dalam konflik internal ada kelaziman umum dimana para pemimpin kelompok bersengketa memiliki sifat patologi yang lebih senang mengobarkan propaganda perang total yang mengutamakan kemenangan mutlak dan menafikan kemungkinan kompromi atau dialog dengan lawannya daripada menyelesaiakan dengan cara damai.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library