Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lichten, Edward M
Birmingham: Edward M.Lichten, 2007
571.74 LIC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Whitehead, Malcolm
Edinburgh : Churchill Livingstone , 1992
618.175 WHI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Triadi Wijaya
Abstrak :
Pendahuluan: Osteoartritis adalah penyakit sendi yang utamanya ditandai defek rawan sendi dan merupakan penyebab utama disabilitas muskuloskeletal. Modalitas terapi injeksi intraartikular dengan hormon pertumbuhan terus dikembangkan guna mengurangi morbiditas. Ditemukan adanya pengaruh injeksi hormon pertumbuhan intraartikular terhadap regenerasi tulang rawan sendi, namun belum ada standar dosis dalam pemberian injeksi. Penelitian ini memfokuskan pada efek pengulangan dosis mingguan terhadap perbaikan rawan sendi model hewan coba. Bahan dan Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan desain post test only control group. Kelinci Selandia Baru jantan sebanyak 24 ekor dibagi secara acak menjadi grup kontrol dan 3 grup perlakuan. Semua subjek diinduksi OA dengan menyuntikkan kolagenase intraartikular. Subjek pada grup kontrol diinjeksi dengan cairan fisiologis, grup GH1 diinjeksi dengan hormon pertumbuhan sebanyak 1 kali, grup GH3 sebanyak 3 kali/3 minggu, dan grup GH5 5 kali/5 minggu. Kelinci diobservasi dan dipantau berat badannya, lalu dilakukan evaluasi histopatologi makroskopik dan mikroskopik. Hasil: Analisis skor makroskopik Yoshimi pada grup GH5 dibandingkan dengan grup GH1 dan kontrol menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik p=0,002 . Analisis skor mikroskopik Mankin didapatkan tulang rawan pada grup GH1, GH3, dan GH5 dibandingkan kontrol mengalami perbaikan pasca perlakuan yang bermakna secara statistik dan kerusakan yang terjadi minimal p < 0,001. Kesimpulan: Injeksi intraartikular hormon pertumbuhan dosis mingguan selama lima minggu memberikan hasil yang lebih baik secara makroskopis dan mikroskopis terhadap degenerasi tulang rawan pada hewan coba model osteoartritis yang diinduksi dengan injeksi intraartikular kolagenase tipe 2 dibandingkan dengan dosis mingguan selama tiga minggu, dosis tunggal, maupun plasebo.
Introduction Osteoarthritis, a disease of the joint mainly characterized by a defect on the cartilage and subchondral bone, is one of the main musculoskeletal cause for disability. Intraarticular injection of growth hormone are known as the latest choice in therapy modality. There is some unclear evidence regarding effect of growth hormone injection on cartilage regeneration in osteoarthritis, yet further research is needed. This study focused on cartilage regeneration effect on different weekly dose of intraarticular growth hormone injection. Method This experimental study used a randomized post test only control group design. Twenty four male white New Zealand rabbit were randomly divided into 4 groups control, GH1, GH3, and GH5 . All subjects were injected with intraarticular collagenase. Post induction, control group were injected with normal saline. Intervention groups were all injected with human growth hormone in different cycle, one dose in GH1, 3 times 3 weeks in GH3, and 5 times 5 weeks in GH5. All animal were observed, weight checked regularly, and evaluated for histopathological examination. Result Yoshimi score in GH5 group was significantly lower than control and GH1 group p 0,002 . Those results were confirmed with Mankin score showing statistically significant less damaged and more repaired cartilage tissue on GH1, GH3, and GH5 group compared to control p
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Klijn, Jan G.M.
New York: Raven press , 1987
616.994 KLI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asram Nur Anas
Abstrak :
Latar Belakang: Prajurit yang pulang penugasan baik pasca perang ataupun yang pasca penugasan di daerah perbatasan dapat mengalami kecemasan, kecemasan yang dialami oleh prajurit dapat dialami juga oleh keluarga, kecemasan dilaporkan berhubungan dengan kadar kortisol dalam darah, dan dilaporkan ada beberapa faktor risiko terjadinya kecemasan akibat kekerasan. Analisis hubungan kecemasan akibat kekerasan dengan kadar hormone kortisol dan faktor risikonya belum pernah dilakukan khususnya pada populasi prajurit TNI AD di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kecemasan akibat kekerasan dengan kadar hormon kortisol dan faktor risikonya di lingkungan prajurit TNI AD. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan case control yang melibatkan 50 sampel yang terdiri dari keluarga prajurit normal / non cemas dan keluarga prajurit yang mengalami kecemasan, dimana kelompok kontrol (keluarga prajurit normal) berjumlah 20 sampel dan kelompok kasus (keluarga prajurit dengan kecemasan) berjumlah 30 sampel (terdiri dari 20 kecemasan ringan dan 10 kecemasan sedang). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta mulai tanggal 02 Maret 2019 - 30 Mei 2019. Hasil: Hasil uji Mann Whitney U dari variabel umur, kekerasan berulang, dan obesitas diatas menunjukkan nilai p>0.05, hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan bermakna rerata umur, kekerasan berulang, dan IMT pada kelompok hormon kortisol tinggi dibandingkan hormon kortisol normal. Sedangkan Hasil uji Mann Whitney U dari variabel kecemasan diatas menunjukkan nilai p<0.05, hal ini berarti bahwa ada perbedaan bermakna rerata kecemasan pada kelompok hormon kortisol tinggi dibandingkan hormon kortisol normal. Hasil Uji independent t test menunjukkan nilai p = 0.000, hal ini berarti bahwa ada perbedaan bermakna rerata hormon kortisol pada kelompok keluarga prajurit yang mengalami kecemasan dibandingkan kelompok keluarga prajurit normal, yaitu rerata kadar kortisol pada kelompok keluarga prajurit yang mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan kelompok keluarga prajurit normal.. Kesimpulan: Kadar kortisol tinggi ditemukan pada keluarga prajurit yang mengalami kecemasan. Keluarga prajurit dengan kadar hormon kortisol tinggi memiliki kecenderungan 20 kali lebih besar mengalami kecemasan dibandingkan keluarga prajurit dengan kadar kortisol normal. Dari beberapa faktor risiko, tingkat kecemasan secara signifikan berisiko meningkatkan hormon kortisol. Keluarga prajurit yang mengalami kecemasan berisiko lebih besar mengalami peningkatan hormon kortisol dibandingkan keluarga prajurit yang tidak mengalami kecemasan. ......Background: Soldiers returning from post-war assignments or post-assignments in border areas can experience anxiety, anxiety experienced by soldiers can also be experienced by families, anxiety is reported to be related to cortisol levels in the blood, and there are reported several risk factors for anxiety due to violence. An analysis of the relationship between anxiety due to violence and cortisol hormone levels and risk factors has never been done, especially in the Indonesian Army population in Indonesia. Objective: To determine the relationship of anxiety due to violence with the levels of cortisol hormones and the risk factors in the Army soldier. Methods: This research was an observational study with a case control design involving 50 samples consisting of families of normal / non-anxious soldiers and families of soldiers who experienced anxiety, where the control group (normal soldier's family) amounted to 20 samples and case groups (soldiers' families with anxiety) amounted to 30 samples (consisting of 20 mild anxiety and 10 moderate anxiety). This research was conducted at the Central Army Hospital Gatot Subroto, Jakarta starting March 2, 2019 - May 30 2019. Results: The Mann Whitney U test results from age variables, repeated violence, and obesity above showed p> 0.05, this means that there were no significant differences in mean age, repeated violence, and BMI in the high cortisol hormone group compared to the normal cortisol hormone. While the Mann Whitney U test results from the above anxiety variables showed a value of p <0.05, this means that there was a significant difference in the mean anxiety in the high cortisol hormone group compared to the normal cortisol hormone. The independent t test results showed a value of p = 0.000, this means that there was a significant difference in the mean hormone cortisol in the family group of soldiers who experienced anxiety compared to the normal family group of soldiers, namely the average cortisol level in the family group of soldiers who experienced higher anxiety than the family group normal soldier. Conclusion: High cortisol levels are found in families of soldiers who experience anxiety. Families of soldiers with high cortisol levels tend to be 20 times more likely to experience anxiety than a family of soldiers with normal cortisol levels. Of several risk factors, anxiety levels significantly risk increasing the hormone cortisol. Families of soldiers who experience anxiety are at greater risk of experiencing an increase in the hormone cortisol than families of soldiers who do not experience anxiety.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnawati Amqam
Abstrak :
ABSTRAK
Penggunaan jangka panjang insektisida klorpirifos (CPF) akan menimbulkan efek pada Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dan hormon-hormon tiroid (triidiotironin/T3 dan tirotoksin/T4). Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh insektisida CPF terhadap kadar TSH dan hormon-hormon tiroid pada petani sayur dari tinjauan aspek genetik populasi. Studi ini dilakukan dengan desain potong lintang. Terdapat 273 petani sayur yang menjadi subjek, yang diambil pada tiga populasi suku, yaitu Jawa, Sunda, dan Makassar. Terdapat variasi genetik paraoxonase 1 (PON1) pada ketiga populasi dan alel Q banyak ditemukan pada semua populasi. PON1 dapat menjadi prediktor terjadinya gangguan pada kadar hormon-hormon tiroid dan TSH. TCP sebagai metabolit CPF merupakan biomarker kemampuan metabolisme individu terhadap CPF. Pada masyarakat petani yang terpajan klorpirifos, TCP urin yang tidak terdeteksi berperan dalam terjadinya kadar FT3 rendah dan kadar TCP urin yang rendah berperan dalam terjadinya kadar FT4 tertil rendah dan kadar TSH tinggi. Efek CPF terhadap ketiga hormon ini diduga terjadi melalui mekanisme terganggunya sistem neurotransmitter dan proses deyodinasi pada perifer dan hati.
ABSTRACT
Long-term use of chlorpyrifos (CPF) insecticide will affects Stimulating Thyroid Hormone (TSH) and thyroid hormones (triidiotironin/T3 and tirotoksin/ T4). This study aimed to assess the effect of insecticide CPF on levels of TSH and thyroid hormones of the vegetable farmers as the reviews of population genetic aspects. This study was conducted with a cross-sectional design. There were 273 vegetable farmers as subjects, taken in three population, namely Java, Sunda, and Makassar. There was genetic variation of paraoxonase 1 (PON1) in a population of in the three populations and Q alleles found in all populations. PON1 may be a predictor of causing interference to the levels of thyroid hormones and TSH. TCP as CPF metabolite was a biomarker of individual metabolic capabilities toward CPF. In exposed CPF farming communities, undetected TCP urine played a role in occurrence of low FT3 levels while low levels of TCP urine play a role for lower tertile FT4 level and high TSH level. CPF effect to the hormones possiblyoccured through the mechanism of disruption of neurotransmitter system and deiodinase process in peripheral and liver
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Budi Susanto Notosaputro
Abstrak :
ABSTRAK
Neoplasia endometrium dalam klinik muncul sebagai keluhan gangguan haid dalam berbagai bentuk. Keluhan ini merupakan kasus sehari-hari dalam klinik ginekologi. Diagnosis pasti, yang dapat berbentuk hiperplasia kistik, hiperplasia adenomatosa, hiperplasia atipik, atau adanokarsinoma berbagai derajat, hanya mungkin ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik.

Dalam patogenesisnya, rangkaian jejas ini umumnya berkaitan erat dengan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang tinggi dan berlangsung lama tanpa diimbangi oleh hormon progesteron akan menyebabkan berlangsungnya perangsangan yang terus menerus pada sel epitel kelenjar sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan. Untuk dapat bekerja, hormon ini membutuhkan suatu protein spesifik dalam sel sasaran yang dikenal sebagai "reseptor". Pada dasarnya receptor mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) mengenal dan mengikat hormon estrogen, dan 2) mengantar hormon estrogen dari sitoplasma ke inti sel sehingga berlangsung respons sel yang spesifik. Dalam inti sel, kompleks reseptor-estrogen ini berikatan dengan bagian kromatin yang disebut "akseptor". Dengan berlangsungnya rangkaian ikatan ini, inti sel mulai membentuk mRNA yang dikeluarkan ke sitoplasma dan sel mulai membentuk protein spesifik yang pada akhirnya menghasilkan pembelahan sel.

Pengenalan terdapatnya reseptor estrogen ini bermanfaat dalam pengobatan maupun penentuan prognosis penderita. Suatu adenokarsinoma endometrium misalnya, bila memiliki cukup reseptor dapat diberikan pengobatan hormonal yang jauh lebih menguntungkan dari pada sitostatika. Demikian juga tumor demikian menunjukkan prognosis yang lebih baik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pulasan imunoperoksidase dalam mengenal reseptor estrogen, sekaligus mempelajari pola distribusi dan intensitasnya dalam sel sasaran serta melihat hubungannya dengan jenis neoplasia. Diharapkan penelitian ini selanjutnya akan bermanfaat bagi ahli patologi anatomik, para ahli klinik yang menangani penderita, saerta bagi para peneliti sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini diperiksa sejumlah 36 kasus, 5 (=13,9%) di antaranya terdiri atas adenokarsinoma endometrium berdiferensiasi baik. Jumlah kasus ini lebih kurang sebanding dengan jumlah kasus yang telah didiagnosis sebagai neoplasia endometrium di Bagian Patologi Anatomik FKUI selama 7 tahun {1980--1986) yaitu sebanyak 1240 kasus, di antaranya 186 (=15%) kasus adalah karsinoma.

Diperiksa pula 10 sediaan endometrium normal masa proliferasi den sekresi dan 2 sediaan endometrium dalam gangguan keseimbangan horman. Diagnosis histopatologik ditegakkan berdasarkan hasil pulasan rutin hematoksilineosin. Untuk mengenal reseptor estrogen dipergunakan pulasan imunoperoksidase dengan memakai antibodi anti-estradiol, dikerjakan pada jaringan yang telah difiksasi dan dibuat blok parafin. Hasil pulasan umumnya memuaskan karena 1) antibodi yang digunakan memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, 2) kromogen memberikan warna merah-coklat yang kontras terhadap latar belakang yang kebiruan, dan 3) pulasan tending dengan hematoksilin Mayer tidak menghalangi pembacaan warna kromogen. Spesifisitas pulasan dikontrol dengan sediaan yang sama tetapi tidak diberikan antibodi anti-estradiol, melainkan diberikan serum non-imun. Pulasan non-spesifik berlangsung juga pada jaringan ikat kolagen den sel granulosit, namun secara morfologik mudah dibedakan dari sel epitel kelenjar.
Pembacaan dilakukan.dengan pembesaran 450 kali pada 10 lapangan, hanya sel epitel kelenjar yang dinilai serta dirinci atas inti dan sitoplasma. Dilakukan pengukuran semikuantitatif atas distribusi reseptor estrogen maupun intensitas pulasannya.

Peniiaian distribusi reseptor estrogen dinyatakan dalam % positif polpulasi sel kelenjar. Jumlah nilai yang diperoleh dikonversikan dalam bentuk derajat distribusi, dinyatakan dalan derajat 1 {20 - 40% positif) sampai dengan derajat 3 ' (> 60% positif) dan basil yang negatif (< 20% positif).Penilaian intensitas pulasan dirinci atas +, ++, dan +++ berdasarkan kepadatan granula yang terpulas.

Pada endometrium normal, sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar memperlihatkan keterkaitan dengan periode siklus haid. Derajat terendah didapatkan pada masa proliferasi awal, menoapai nilai tertinggi dalam masa proliferasi lanjut, menetap selama masa sekresi awal, kemudian menurun menoapai nilai minimal dalam masa sekresi lanjut.

Guna melihat hubungan antara status reseptor dengan derajat perubahan histopatologik, dilakukan pengujian statistik menurut Kendall dengan 2 variabel kategori berderajat. Bila didapatkan hubungan bermakna, kemaknaan hubungan itu ditentukan dengan menggunakan koefisien kemaknaan dari Kendall pula.

Analisis status reseptor dalam hubungannya dengan perubahan histopatologik dari normal hingga karsinoma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar yang mencapai derajat III didapatkan pada 40% kasus dari kelompok endometrium normal, namun hanya 11,11% kasus dari kelompok neoplasia. Rendahnya jumlah kasus dalam kelompok yang terakhir ini menunjukkan perbedaan perilaku biologik antara kedua kelompok. Selanjutnya dari kelompok neoplasia dilakukan analisis tersendiri.

Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi reseptor dalam inti sel kelenjar mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis neoplasia (0,001 < p < 0,01; r = 0,29). Makin keras neoplasia, makin luas sebaran reseptor 'estrogen dalam inti sel kelenjar. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan sebaran yang menyimpang dari pola umum.

Distribusi reseptor estrogen dalam sitoplasma sel kelenjar maupun intensitasnya dalam inti dan sitoplasma tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan jenis neoplasia.
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Davrina Rianda
Abstrak :
Pada usia subur, wanita akan mengalami berbagai perubahan hormonal, baik yang bersifat fisiologis ataupun patologis. Perubahan ini berpengaruh terhadap kesiapan organ reproduksi untuk memasuki menstruasi, implantasi, kehamilan, dan paskapersalinan. Perubahan kadar hormon yang bersifat patologis, misalnya pada hormon testosteron yang berfungsi sebagai prekursor langsung estradiol, dapat bermanifestasi sebagai gangguan menstruasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar hormon testosteron berdasarkan usia pada perempuan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini merupakan studi comparative cross-sectional analitik yang melibatkan 80 perempuan usia subur (15 - 45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi. Data merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan di Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2009 hingga 2011. Data pada penelitian ini diambil dari data sekunder hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data dianalisis dengan analisis bivariat uji Mann-Whitney. Penelitian menunjukkan kadar hormon testosteron pada usia kurang dari 35 tahun lebih tinggi dengan median 26,67 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; maks. 133,2 ng/dl) dibandingkan kadar hormon testosteron pada usia lebih dari atau sama dengan 35 tahun dengan median 16,19 ng/dl (min. 5,59 ng/dl; maks. 58,13 ng/dl) yang secara statistik bermakna (p=0,049). Hasil lain didapatkan kadar hormon testosteron pada subyek dengan kadar insulin puasa normal lebih tinggi dengan median 30,96 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; maks. 133,2 ng/dl) dibandingkan kadar hormon testosteron pada subyek dengan kadar insulin puasa abnormal dengan median 20,06 ng/dl (min. 5,6 ng/dl; maks. 61,08 ng/dl) yang secara statistik bermakna (p=0,018). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kadar testosteron berdasarkan jenis pekerjaan, gizi, dan gejala mental emosional. Dapat disimpulkan bahwa terdapat peran usia dan kadar insulin puasa terhadap kadar hormon testosteron.
In reproductive age, women will experience various hormonal changes, which happen physiologically or pathologically. These changes affect the preparation of reproductive organ in order to undergo menstruation, implantation, pregnancy, and postpregnancy. The pathologic changes of hormone level, such as testosterone as the direct precursor of estradiol, could be manifested as menstrual disorders. The purpose of this study is to compare testosterone level by age in women of reproductive age with menstrual disoders. This is an analytic comparative cross-sectional study which included 80 women of reproductive age (15 ? 45 years old) with menstrual disorders. The data used on this study was collected from Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo from 2009 until 2011. This study used secondary data which was resulted from laboratory examination and SCL-90 questionnaire from the research ?Role of Adiponectin on Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) Related to Genetics, Endocrine, and Metabolic Factors?. Data is analyzed with Mann-Whitney test bivariat analytic. This study suggested that testosterone level in women under 35 years old is higher with median 26,67 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; max. 133,2 ng/dl), compared to testosterone level in women aged 35 years old or above with median 16,19 ng/dl (min. 5,59 ng/dl; max. 58,13 ng/dl), which is statistically significant (p=0,049). Another result is that the testosterone level in group with normal level of fasting insulin is higher with median 30,96 ng/dl (min. 2,85 ng/dl; max. 133,2 ng/dl), compared to testosterone level in subject with abnormal fasting insulin level with median 20,06 ng/dl (min. 5,6 ng/dl; max. 61,08 ng/dl) which is statistically significant (p=0,018). There is no significant difference in testosterone level by occupational status, nutritional status, and mental emotional symptoms. In conclusion, age and fasting insulin level have roles for testosterone level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>