Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Nurbowo Ardi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kerenhapukh Dwiputri
Abstrak :
Latar Belakang Hipoksia hipobarik merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah. Saat keadaan hipoksia, terjadi peningkatan produksi radikal bebas yang menyebabkan peroksidasi lipid dengan hasil akhir malondialdehid (MDA). Hipoksia hipobarik intermiten dapat menginduksi berbagai mekanisme adaptasi untuk melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan dapat diukur salah satunya dengan penurunan kadar MDA. Metode Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan melibatkan 30 ekor tikus yang dibagi ke dalam 6 kelompok, yakni kelompok hipoksia hipobarik akut, hipoksia hipobarik (HH) 7 kali, HH 14 kali, HH 21 kali, HH 28 kali, dan kelompok kontrol. Pajanan hipoksia hipobarik intermiten dilakukan dengan prosedur hypobaric chamber training. Kadar MDA diukur melalui metode Will’s dengan absorbansi dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Hasil Kelompok 1 (HH akut) dan 2 (HH 7 kali) mengalami peningkatan kadar MDA dibandingkan dengan kadar MDA pada kelompok kontrol. Kelompok 3 (HH 14 kali) mengalami penurunan kadar MDA dibandingkan dengan kelompok 2. Peningkatan kadar MDA kembali terjadi pada kelompok 4 (HH 21 kali) dan kadar MDA kelompok 5 (HH 28 kali) sama dengan kelompok 4. Dapat terlihat tren perubahan antar kelompok perlakuan meskipun secara statistik perbedaan tidak signifikan. Kesimpulan Perlakuan hipoksia hipobarik akut dan hipoksia hipobarik 7, 21, dan 28 kali pada ketinggian setara 10.000 kaki meningkatkan kadar MDA. Akan tetapi pemberian hipoksia hipobarik 14 kali menurunkan kadar MDA. ......Introduction Hypobaric hypoxia is a hypoxic condition resulting from a decrease in the partial pressure of oxygen in the blood. During hypoxia, there is an increase in the production of free radicals which causes lipid peroxidation with the final result being malondialdehyde (MDA). Intermittent hypobaric hypoxia can induce various adaptation mechanisms to protect the body from damage caused by free radicals and can be measured, one of which is a decrease in MDA levels. Method This study used an experimental design involving 30 rats divided into 6 groups, namely the acute hypobaric hypoxia (1 time), 7 times of hypobaric hypoxia (HH), 14 times of HH, 21 times of HH, 28 times of HH, and the control group. Intermittent hypobaric hypoxia exposure was carried out using the hypobaric chamber training procedure. MDA levels were measured using the Will’s method with absorbance read with a spectrophotometer at a wavelength of 530 nm. Results Groups 1 (acute HH) and 2 (7 times of HH) experienced increased MDA levels compared to MDA levels in the control group. Group 3 (14 times of HH) experienced a decrease in MDA levels compared to group 2. An increase in MDA levels occurred again in group 4 (21 times of HH) and group 5 (28 times of HH) MDA levels were the same as group 4. A trend of change between groups can be seen even though the differences are not statistically significant. Conclusion Acute hypobaric hypoxia treatment and 7, 21, and 28 times of hypobaric hypoxia at an altitude equivalent to 10,000 feet increased MDA levels. However, treatment of 14 times of hypobaric hypoxia reduced MDA levels.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Handoko Triweda
Abstrak :
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten merupakan kondisi hipoksia akibat menurunnya tekanan parsial oksigen dalam darah yang terjadi secara berulang yang dapat dinyatakan sebagai preconditioning hypoxia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hipoksia intermiten dapat menyebabkan adaptasi fisiologis pada berbagai jaringan dan organ tubuh, salah satunya adalah neovaskularisasi. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi otot jantung dengan fokus pada pertambahan jumlah vaskularisasinya yang dilakukan pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit dalam interval 7 hari.Metode: Penelitian eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Kelompok pertama dimasukkan ke dalam chamber hipobarik 1 kali saja. Kelompok kedua dimasukkan 2 kali dalam interval 7 hari, kelompok ketiga 3 kali dalam interval 7 hari dan keleompok keempat 4 kali dalam interval yang sama selama lima menit setiap paparan. Sementara kelompok lima tidak dimasukkan ke dalam chamber sebagai kelompok kontrol. Selanjutnya jantung semua tikus diambil sebagai sampel untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Parameter yang dievaluasi adalah pertambahan jumlah vaskularisasi pada otot jantung.Hasil: Pada perlakuan hipoksia hipobarik akut 1 kali paparan terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah 1,2 kali dari kontrol dengan nilai p yang tidak bermakna 0,476. Selanjutnya peningkatan bermakna terjadi pada paparan 2 kali hingga mencapai maksimal pada paparan 3 kali dengan peningkatan sebasar 2 kali dari kontrol dengan nilai p yang bermakna 0,001 dan tidak mengalami pertambahan lagi setelah paparan 4 kali. Kesimpulan: Terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah otot jantung pada hewan coba tikus Wistar yang mengalami hipoksia hipobarik baik akut maupun intermiten pada ketinggian 25.000 kaki di atas permukaan laut. Peningkatan bermakna terjadi mulai dari paparan 2 kali atau lebih dan pertambahan maksimal terjadi pada paparan 3 kali. Kata kunci: Hipoksia hipobarik intermiten; hypobaric chamber; neovaskularisasi ......Background: Intermittent hypobaric hypoxia is a hypoxic condition caused by decreased oxygen partial pressure in blood which occurs repetitively and can be stated as preconditioning hypoxia. Several studies showed that intermittent hypoxia can cause physiological adaptation in various tissues and organs, one of which is neovascularization. This study was conducted to prove the effect of intermittent hypobaric hypoxia on histological changes of cardiac muscles that focused on the increase of vascularization amount which was conducted at 25,000 feet high for 5 minutes in 7 days interval. Methods: In vitro experimental study was conducted on 25 male Wistar rats Rattus norvegicus aged 40-60 days, weighing more than 220 grams that were divided into 5 groups, each group contained 5 rats. First group was placed into hypobaric chamber only once, second group was placed twice with 7 days interval, third group was placed 3 times with 7 days interval, and fourth group was placed 4 times with the same interval for 5 minutes for every exposure. Meanwhile, the fifth group was not placed into the chamber as control group. Afterwards, the hearts of every rats were taken as samples and histological examination was performed under light microscope. The parameter evaluated was increase vascularization of cardiac muscle. Results: There was an increase of blood vessels number on acute hypobaric hypoxia treatment one exposure as many as 1.2 times compared to control with insignificant p value of 0.063. Significant increase occurred on second exposure until it reached maximum on third exposure with 2 times increased compared to control with significant p value of 0.001 and no further increase was observed after 4 times exposure. Conclusion: There was an increase of cardiac muscle blood vessels in Wistar rats animal models that experienced both acute and intermittent hypobaric hypoxia at 25,000 feet above sea level. Significant increase occurred from two or more exposure and maximum increase occurred on third exposure. Keywords: Intermittent hypobaric hypoxia; hypobaric chamber; neovascularization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia F. S.
Abstrak :
Manusia telah beradaptasi dengan kehidupan di tempat tinggi sejak ribuan tahun lalu. Secara alami telah terjadi proses adaptasi fisiologis sebagai mekanisme kompensasi terhadap hipoksia karena berkurangnya tekanan oksigen di udara. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang aktivitas spesifik katalase pada jaringan jantung tikus percobaan hipoksia hipobarik akut berulang. Sebanyak 25 hewan percobaan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang mendapat perlakuan hipoksia hipobarik (dalam hypobaric chamber), terdiri dari 4 (empat) kelompok yaitu kelompok E (terpapar 1 (satu) kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), kelompok F (terpapar dua kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), kelompok G (terpapar tiga kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), dan terakhir kelompok H (terpapar 4 kali hipoksia hipobarik dalam hypobaric chamber), dan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan. Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata aktivitas spesifik katalase jaringan jantung kelompok kontrol sebesar 0.06762±0.02862 U/mg protein, kelompok E sebesar 0.07480±0.02463 U/mg protein, kelompok F 0.19835±0.04879 U/mg protein, kelompok G 0.08580±0.02600 U/mg protein, dan kelompok H sebesar 0.09533±0.02691 U/mg protein. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktivitas spesifik katalase jantung paling tinggi didapatkan pada kelompok perlakuan dua kali prosedur hypobaric chamber (kelompok F) yang kemudian menurun kembali pada tiga kali prosedur (kelompok G) dan empat kali prosedur (kelompok H). Dari uji statistik diketahui, hanya kelompok yang dua kali terpapar hipoksia hipobarik (kelompok F) yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol.
Human being has adapted well in high altitude since many years ago. There are some physiological process of adaptation as a response to hypoxia in the high altitude. This mechanism is due to the decrease of oxygen pressure in the air in the high altitude. The aim of this study was to investigate the spesific activity of catalase in rat heart tissue induced by acute intermittent hypoxia hypobaric. 25 tested animal were divided into 5 groups. The groups were the experimental groups induced by hipoxia hypobaric in hypobaric chamber and the control group. Those experimental groups then divided into four groups. They were group E (only one time induced by hypoxia hypobaric), group F (two times induced by hypoxia hypobaric), group G (three times induced by hypoxia hypobaric), and group H (four times induced by hypoxia hypobaric). This research found that mean+S.D of specific activity of catalase in rat heart tissue of each groups are 0.06762±0.02862 U/mg protein for control group, 0.07480±0.02463 U/mg protein for group E, 0.19835±0.04879 U/mg protein for group F, 0.08580±0.02600 U/mg protein for group G, and 0.09533±0.02691 U/mg protein for group H. Those results showed that the specific activity of catalase in rat heart tissue reached its peak in group F and decreased almost toward normal in group G and group H. Statistical test of those results showed that only group F was significantly different in comparison with control group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aleida Nugraha
Abstrak :
Latar Belakang: Walaupun pesawat terbang telah dilengkapi dengan perangkat oksigen dan kabin bertekanan, kemungkinan hipoksia masih ada apabila terjadi kegagalan dari kedua sistem tersebut. Pengetahuan mengenai rentang waktu terjadinya hipoksia awal dan faktor-faktor kardiorespirasi yang berkorelasi dengan rentang waktu hipoksia awal perlu diketahui dan diteliti. Metodologi: Studi eksperimental dilakukan pada 130 calon siswa Sekolah Penerbang TNI AU berusia 21-26 tahun; pada keadaan permukaan bumi diukur kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi faali kardiorespirasi dan kadar gula darah. Dalam ruang udara bertekanan rendah subyek dipajankan pada kondisi hipobarik dengan ketinggian setara 18.000 kaki. Diukur rentang waktu mulai saat pemajanan sampai terjadi saturasi oksigen 85 % dengan alat pulse oksimeter. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan rerata waktu terjadinya hipoksia awal 199,65 detik ; (95 % CI:192,64 - 206,66 detik). Faktor-faktor yang berkorelasi positif secara bermakna adalah kadar hemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) dan kadar gula darah (r = 0,4108 p = 0,000). Sedangkan frekuensi denyut nadi mempunyai korelasi negatif kuat (r = -0,4324 ; p=0,000). Model regresi yang sesuai untuk prediksi rentang waktu hipoksia awal terdiri dari faktor-faktor kadar hemoglobin frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah. Kesimpulan: Dengan mengetahui kadar hemoglobin, frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah dapat diprediksi rentang waktu terjadinya hipoksia awal.
Elapsed Time To Early Hypoxia At Simulated Altitude 18.000 Feet In Hypobaric Chamber Indicated By 85% Oxyhaemoglobin Saturation And Its Influencing Factors Among Indonesian Air Force Flight Cadets.Background. Although aeroplanes are equipped with oxygen equipment and cabin pressurization, possibilities of hypoxia incidence still exists if there are system's failure. Information on elapsed time to early hypoxia should be available, and its correlation with cardiorespiratory factors should be investigated. Methods. An experimental study on 130 Indonesian Air Force Flight Cadets age 21-26 years was conducted. Haemoglobin, oxyhaemoglobin saturation, cardiorespiratory function and blood sugar at ground level was measured In hypobaric chamber subjects were exposed to simulated altitude 18.000 feet environment. Elapsed time between the beginning of hypobaric exposure to early sign of hypoxia indicated by 85% oxyhaemoglobin satin-lion was measured. Result. Average elapsed time to early hypoxia was 199, 65 seconds; (95 % CI:192,64 - 206,66 seconds). Significant positive correlation was found to haemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) and blood sugar levels (r = 0,4108 ; p = 0,000). Pulse rate showed negative correlation with elapsed time to early hypoxia (r = -0,4324 ; p = 0,000). The suitable regression model for estimating elapsed time to early hypoxia include haemoglobin,pulse rate, and blood sugar levels. Conclusion. Predicted elapsed time to early hypoxia could be estimated by using haemoglobin, pulse rate, and blood sugar levels.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
Abstrak :
Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya. Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer. Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087). Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah. ...... Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor. Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation. Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087). Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Sangkalia
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Penelitian terdahulu mengenai pengaruh hipoksia terhadap penglihatan warna masih kontroversial. Penglihatan warna penting dalam penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hipoksia setara 18.000 kaki melalui ruang udara bertekanan rendah terhadap penglihatan warna. Studi dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta pada bulan Desember 1996. Sampel terdiri dari 101 orang laki-laki, calon penerbang sipil PLP Curug, berusia 17-23 tahun dan tamat SLTA. Disain penelitian kuasi eksperimen pre dan post test. Diperiksa faktor-faktor faali seperti: nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik, rib dan kadar saturasi oksigen darah. Digunakan buku Ishihara 38 lembar untuk pemeriksaan penglihatan warna dengan cara menilai waktu baca lembar 1-38 (detik) dan kebenaran baca lembar 1-21 (9i). Hasil penelitian : Melalui uji t berpasangan, ditemukan perbedaan bermakna (p<0,05) antara: saturasi 02 darah, nadi, waktu baca dan kebenaran baca pada permukaan tanah dibanding pada 18.000 kaki. Pada 18.000 kaki: kadar saturasi 02 darah 68,17 % ±2,92 lebih rendah dibanding pada permukaan tanah; nadi 116,32 ±12,21 permenit lebih tinggi dibanding pada permukaan tanah; waktu baca 72,18 ± 15,05 detik rata-rata lebih lama 15,52 detik dibanding pada permukaan tanah; kebenaran baca 97,43 ± 3,36% lebih rendah dibanding pada permukaan tanah. Studi ini menunjukkan bahwa waktu baca dan kebenaran baca buku Ishihara pada permukaan tanah maupun pada 18.000 kaki masih dalam batas normal. Analisa multiple regression dan simple regression menunjukkan bahwa diramalkan waktu baca lebih singkat apabila tekanan diastolik lebih besar pada permukaan tanah diramalkan waktu baca lebih singkat apabila denyut nadi meningkat. Kesimpulan Studi penjajagan ini menunjukkan bahwa hipoksia setara 18.000 kaki meningkatkan waktu baca dan meningkatkan skor kesalahan baca tetapi tidak menyebabkan defisiensi penglihatan warna. Dibutuhkan penelitian lanjut dengan alat pemeriksaan warna yang lain untuk membandingkan studi ini.
ABSTRACT Back ground : Related previous studies indicated the controversial result on the relationship between hypoxia and color vision. Color vision is one of the major individual factors for pilots which relates to many aircraft accidents especially in hypoxia condition. This study aimed to identify the relationship between color vision and the hypoxic hypoxia among pilot candidates in a hypobaric chamber at the cruising altitude of 18.000 ft (FL 180). The number of samples collection are 101 pilot candidates from PLP Curug, ages 17-23 yr. The design of study was a pre and post test and Ishihara plates were used to measure color vision. Results . A t-paired test analysis showed the significant differences (p< 0,05) among variables : pulse, oxygen saturation levels, reading time and error scores at ground level (GL) and at flight level of 18.000 ft (FL180). At 18.000 ft, study results reported : increased of pulse rate (mean 116 ± 12,21 per minutes), increased of SaO2 (mean 68,17% ± 2,92%), increased of reading time (72,18 } 15.05 seconds) and increased of error scores {41,58%). Multiple regression and simple regression analysis showed that increasing of diastolic at GL would decrease reading time and increases of pulse rate. At FL 180 would decrease reading time. Conclusions: This preliminary study indicated, that there was an increase of reading time and increase of error scores by using Ishihara plates at FL 180 but these results had not made a deficiency of color vision. Advanced study with any other device to examine color vision are needed to compare the result of preliminary study.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Kokohana Arisutawan
Abstrak :
Latar belakang: Keadaan hipoksia hipobarik intermiten menyebabkan penurunan tekanan atmosfer sehingga terjadi penurunan tekanan partial oksigen. Salah satu respon fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoksia adalah melakukan angiogenesis. Penelitian ini untuk membuktikan efek dari hipoksia hipobarik intermiten tersebut terhadap perubahan histologi jumlah pembuluh darah otot rangka. Metode: Penelitian ini adalah eksperimental in vitro pada 25 ekor tikus Wistar (Rattus norvegicus), jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan lebih dari 220 gram yang dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok berisi 5 ekor tikus. Setiap kelompok mendapat perlukan berbeda-beda yaitu dimasukkan ke chamber hipobarik sebanyak 1x, 2x, 3x 4x dan kelompok kontrol. Pajanan 1 kali merupakan pajanan hipoksia akut. Pajanan hipobarik dilakukan selama 5 menit dengan interval tujuh hari. Selanjutnya otot rangka semua tikus diambil sebagai untuk dilakukan pemeriksaaan histologi di bawah mikroskop cahaya. Variabel yang dievaluasi adalah jumlah pembuluh darah otot rangka pada masing-masing kelompok coba. Hasil: Keadaan hipoksia dicapai pada setiap kelompok uji. Saturasi dalam setiap ujicoba dibawah 60%. Perubahan perilaku akibat hipoksia di temukan pada semua uji coba. Rerata jumlah pembuluh darah otot rangka kelompok kontrol adalah 45,60 ± 7,96. Jumlah pembuluh darah pada kelompok satu dan dua dibawah kelompok kontrol (38,60 ± 3,44 dan 41,00 ± 6,44). Pada kelompok yang mendapat pajanan 3 dan 4 kali, jumlah pembuluh darah di atas kelompok kontrol (48,00 ± 5,87, dan 46,20 ± 8,29). Pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI terjadi peningkatan dibandingkan hipoksia akut. Pada uji Anova, tidak ditemukan perbedaan bermakna secara statistik terhadap perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada semua kelompok. Simpulan: Terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah otot rangka yang mengalami HHI dibandingkan dengan hipoksia akut. Terdapat perubahan jumlah pembuluh darah otot rangka pada hewan coba tikus Wistar, namun tidak berbeda bermakna secara statistik.
Background: Hypoxia hypobaric intermittent condition may cause a decrease of atmospheric pressure that leads to a decrease in partial oxygen pressure. One of the body physiologic response to hypoxia are angiogenesis. This research aims to prove the effect of intermittent hypoxia hypobaric on histological changes of skeletal muscle Methods: This research is an experimental in vivo study on 25 Wistar rats (Rattus norvegicus), male aged 40-60 days, with body weight of 220 grams that is divided into 5 groups, each group has 5 mice. Each of the group got different treatment : once, twice, thrice and four time exposed into hypobaric chamber and control group. Once time exposed is acute hypoxia. Hypobaric exposure were given for 5 minutes with interval of 7 days. Skeletal muscle of the mouse were taken to do histological examination beneath light microscopy Variable that should be evaluated are number of blood vessels in the skeletal muscle in each of the group. Results: Hypoxia condition can be achieved in test group. Saturation in the test group are beneath 60%. Changes in behavior in hypoxic condition can be found in all test group. The average of all skeletal muscle in control groups are 45,60 ± 7,956. The number of skeletal muscle in group 1, 2 are beneath control group (38,60 ± 3,435 dan 41,00 ± 6,442). In the group that has been exposed three or four times, the number are higher compared to control groups (48,00 ± 5,874, dan 46,20 ± 8,289). Skeletal muscle vassels that have HHI occour increase compared to acute hypoxia. In ANOVA test group, we cannot find any statistically significant difference between the number of skeletal muscle between all groups. Conclusion: An increasing in the number of skeletal muscle vessels that are experiencing HHI compared with acute hypoxia. There was a change in the number of skeletal muscle vessels in Wistar rats, but not statistically significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library