Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dessy Arianty
"Tujuan dari teknik IMRT adalah untuk meningkatkan rasio terapi sehingga mengurangi dosis ke organ beresiko di sekitarnya. Kualitas perencanaan IMRT tergantung pada jumlah dan arah lapangan radiasi yang ditentukan di TPS dengan mengkompromikan waktu proses pembuatan di TPS, waktu penyinaran, dan distribusi dosis yang dihasilkan. Dalam penelitian ini jumlah lapangan perencanaan IMRT untuk kanker prostat, nasofaring, hipofise, dan tiroid ditentukan untuk mencapai optimasi. Perencanaan IMRT untuk pasien kanker prostat, nasofaring, hipofise dan tiroid dilakukan menggunakan TPS PrecisePlan. Tiga set jumlah lapangan dilakukan untuk setiap pasien dengan 3, 5, dan 7 lapangan untuk kanker prostat dan tiroid, serta 5, 7, dan 9 lapangan untuk kanker nasofaring dan hipofise. Berkas radiasi yang digunakan adalah foton 6 MV dan 10 MV. Dari DVH dianalisis conformity index, homogeneity index, dan dosis pada organ beresiko.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai conformity index semakin baik dengan penambahan jumlah lapangan radiasi dalam semua kasus. Kecenderungan yang sama terjadi juga untuk homogeneity index. Untuk kanker prostat, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dosis di buli-buli antara ke-3 set jumlah lapangan. Di sisi lain dosis pada rektum dengan 90%, 75%, dan 50% relatif terhadap dosis preskripsi, volume persentase minimum selalu terjadi pada perencanaan dengan 5 lapangan dibandingkan jumlah lapangan lainnya. Untuk kanker nasofaring ditemukan bahwa dosis pada medullaspinalis semakin baik dengan meningkatnya jumlah lapangan. Tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara dosis di medullaspinalis pada perencanaan dengan 7 dan 9 bidang. Dan didapatkan pula tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam dosis pada batang otak dan kelenjar parotis.
Untuk tumor hipofise, dosis di batang otak, mata dan lensa mata didapatkan hasil yang masih dalam batas toleransi pada perencanaan dengan 7 dan 9 lapangan. Untuk kanker tiroid ditemukan bahwa dosis terendah di medullaspinalis terjadi pada perencanaan dengan 5 lapangan. Jumlah lapangan radiasi yang optimal dalam perencanaan IMRT adalah 5 lapangan untuk kanker prostat dan tiroid, dan 7 lapangan untuk kanker nasofaring dan hipofise. Penelitian ini sebaiknya dilanjutkan untuk kasus kanker lainnya.

The purpose of IMRT technique is to increase the therapeutic ratio therefore minimizing the dose to surrounding organs at risk. The plan quality depends on the number and direction of the radiation fields that are selected in compromise with TPS processing time, treatment time, and the resulting dose distribution. In this study the number of fields in IMRT plan for prostate, nasopharyngeal, pituitary, and thyroid cancer were determined in order to reach optimization. IMRT planning for prostate, nasopharyngeal, pituitary and thyroid cancer patients were created using PrecisePlan TPS. Three sets number of fields was performed for each patient with 3, 5 7 fields for prostate and thyroid and 5, 7, 9 fields for nasopharyngeal and pituitary. The treatments used 6 and 10 MV X-rays. From DVH values target dose conformity, homogeneity, and dose at organs at risk were analyzed.
It was found that the conformity index was better with increasing the number of fields in all cases. The same trend happened for the homogeneity index. For prostate cancer, there was no significant difference in the dose to bladder among the 3 sets of fields. On the other hand the dose at rectum with 90%, 75%, and 50% was always occurred at minimum percentage volume for 5 fields relative to the other sets fields. For nasopharyngeal cancer it was found that the dose at spinal cord better with the increasing number of field. But there was no significant difference between the dose at spinal cord on the plan with 7 and 9 fields. And there was also no significant difference in the dose at brainstem and parotid gland.
For pituitary tumor it was found that the dose at organ at risk in the limited tolerance for 7 and 9 fields. And for thyroid cancer it was found that the lowest dose at spinal cord happened in the plan with 5 fields. The optimal number of fields in IMRT planning was 5 fields for prostate and thyroid cancer , and 7 fields for nasopharyngeal and pituitary cancer. This work should be continued for other cases of cancer.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T29006
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yahya Mustofa
"IMRT merupakan salah satu teknik radio terapi menggunakan pesawat linear akselerator dengan banyak lapangan penyinaran yang menggunakan intensitsradiasi yang berbeda-beda untuk mendapatkan dosis maksimal pada organ target tumor dan dosis seminimal mungkin pada organ sehat. Sebelum dilakukan penyinaran ke pasien, diperlukan verifikasi penyinaran IMRT antara perhitungan pada TPS dan pada keadaan sebenarnya di lapangan. Verifikasi dilakukan dengan menggunakan MatriXXEvolution. Dari penelitian yang telah dilakukan pada 5 pasien dengan klinis Glioblastoma Multiforme, dimana 3 pasien dilakukan verifikasi pada setiap lapangan dan gabungan semua lapangan, 2 pasien dilakukan verifikasi gabungan semua lapangan. Didapatkan kesesuaian piksel bagus untuk semua pasien dengan kriteria γ ≤1pada2%deltadose,dan2mmDTA.
Hasil verifikasi untuk semua lapangan penyinaran didapat kesesuaian piksel yaitu 99,64%; 99,81%; 99,69%; 99,35%; 99,67% untuk pasien 1-5. Kesesuaian piksel untuk verifikasi setiap lapangan penyinaran pada pasien 1; 99,38%; 95,47%; 99,63%; 98,98%; 99,86%; pasien 2; 96,56%; 98,65%; 99,54%; 99,63%; 98,00%; pasien 3; 98,67%; 97,70%; 99,81%; 99,52%; 99,26%. Perbedaan pengukuran disebabkan antara lain karena high dose gradient, daerah dosis rendah, dan penumbra. Pengukuran menggunakan detektor selain memiliki keuntungan dari waktu pengukuran yang lebih pendek, juga memiliki kelemahan ukuran detektor berdiameter 4,5mm dan jarak antara detektor7mm. Yang akan menunjukkan perbedaan besar ketika detektor melakukan pengukuran pada posisi tertentu seperti daerah dari dosis gradien, dosis rendah, penumbra sebagai detektor 4,5mm diameter."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1041
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Kristina
"ABSTRAK
Tindakan terapi bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimal berupa
kematian jaringan kanker sebanyak mungkin dan kerusakan minimal pada
jaringan sehat sehingga dilakukan upaya untuk mengoptimalkan hasil pengobatan
radiasi. Dengan perkembangan teknologi, teknik radioterapi juga berkembang
dari konvesional, 3D conformal ke Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT).
IMRT merupakan teknik meggunakan banyak lapangan radiasi dalam
penyinarannya dengan intensitas yang tidak seragam pada setiap arah lapangan
radiasi. Sebelum dilakukan penyinaran pada pasien perlu dilakukan verifikasi
penyinaran IMRT antara perhitungan pada TPS dan pada keadaan sebenarnya
dilapangan. Verifikasi dilakukan dengan mengguunakan film gafchromic EBT2.
Pada penelitian ini dilakukan verifikasi penyinaran IMRT dengan klinis
Glioblastoma Multiforme pada 5 pasien distribusi dosis akumulasi dan 3 pasien
untuk distribusi dosis per lapangan penyinaran menggunakan film gafchromic
EBT2. Didapatkan kesesuaian piksel untuk semua pasien dengan kriteria gamma
≤ 1 dengan 3% dose different dan 3 mm DTA. Hasil verifikasi untuk distribusi
dosis akumulasi pada 5 pasien didapat kesesuaian piksel 100% pada 4 pasien dan
hanya 1 pasien yang mempunyai kesesuaian 99,8%. Kesesuaian piksel gamma
untuk verifikasi setiap lapangan penyinaran pasien pada pasien 1, 87%; 85,4%;
85,9%; 80,5%; 92,3%; 100%; pasien 2; 91,1%; 89,9%; 89,4%; 87,8%; 80,5%;
100%; pasien 3; 79,3%; 88,5%; 77,5%; 84,9%; 83,1%; 99,8%. Hasil kesesuaian
piksel pada distribusi dosis perlapangan penyinaran kurang baik karena dosis
perlapangan penyinaran rendah maka tingkat kehitaman film gafchromic EBT2
rendah. Film gafchromic EBT2 memberikan hasil yang baik pada lapangan
penyinaran akumulasi. Evaluasi dose difference dengan kriteria 3% memberikan
hasil banyak daerah yang tidak cocok (tidak lolos) sehingga kesesuaian piksel
rendah karena dosis pada film disetiap piksel cukup fluktuatif dan adanya
perbedaan resolusi film dengan dose matrix. Evaluasi menggunakan DTA saja
tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi verifikasi IMRT karena pada tiap
pikselnya mempunyai kecocokan (lolos) pada kriteria 3mm sehingga mempunyai
kesesuaian pixel yang baik. Sehingga untuk mengevaluasi verifikasi IMRT harus
menggunakan gabungan DTA dan dose difference yaitu menggunakan evaluasi
nilai gamma.

ABSTRACT
Therapy aims is to obtain optimal results to kill cancer tissue with minimal
damage in healthy tissue, so we need to optimize the radiation treatment.
Technology has developed from conventional radiotherapy, 3D conformal to
Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). IMRT is a technique which has many
radiation field with non uniform intensity in every from many directions. Before
the irradiation done in patients we need to verify the IMRT delivery between TPS
and the calculations on the actual conditions the field using gafchromic EBT2
film. In this study IMRT verification were done on glioblastoma multiforme on 5
patients verification with are 2 patient verified using composite field 3 patients
were verificed using per-field radiation using film gafchromic EBT2. Pixel
passing level criteria for all patients using gamma criteria of 3% ≤ 1 with a
different dose and 3 mm DTA. Verification for the distribution of the accumulated
dose on 5 patients are 100% pixel passing on 4 patients and 1 patient 99.8%.
Verification of each pixel passing gamma radiation field in patients 1 patient,
87%, 85.4%, 85.9%, 80.5%, 92.3%; patient 2; 91.1%, 89.9 %, 89.4%, 87.8%,
80.5%; patient 3; 79.3%, 88.5%, 77.5%, 84.9%, 83.1%. The results of passing
pixel per field radiation distributions is not good because of low radiation doses
per field. Gafchromic EBT2 film give good results in the accumulation of
radiation field. Evaluation of dose difference with the criteria of 3% give the
results of many areas that do not pass resolution between with the dose matrix
from TPS. Evaluation using DTA can not be used to evaluate IMRT verification
because at each pixel a pass on 3mm criteria so as to have a good fit pixel. So the
evaluation should IMRT verification using a combined DTA and dose difference
is using the evaluation value of gamma."
2011
S43775
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Esterina
"Radioterapi masih menjadi pilihan utama terapi kanker baik di dunia maupun di Indonesia. Pengobatan dengan radioterapi dimulai dengan tahap perencanaan radioterapi pada Treatment Planning System (TPS). Perencanaan radioterapi ini mutlak diperlukan untuk menghidari kecelakaan radiasi berupa over dosis atau under dosis pada pasien. Tujuan dari penelitan ini adalah mengevaluasi ketidakpastian dosimetri pada Teknik 3D-CRT dan IMRT sehingga didapatkan gambaran ketepatan/akurasi dan penyimpangan dosis radiasi yang diterima pasien dengan dosis yang direncanakan di TPS. Penelitian untuk teknik 3D-CRT menggunakan phantom CIRS thorak model 002LFC dan IMRT menggunakan solid water phantom mengikuti protokol standar pengujian sesuai Tecdoc 1583 tahun 2008 dan pengujian sesuai rekomendasi AAPM Task Group 119. Pengukuran dosis dilakukan menggunakan bilik ionisasi volume aktif 0,65 cm3 pada Linac energi 6 MV pada tujuh Linac. Besarnya prosentase titik pengukuran yang berada diluar toleransi ke tujuh Linac berturut-turut adalah sebesar 6,66%, 10%, 17,39%, 10%, 26,66%, 56,66%, 30%. Beberapa Linac melebihi tolerasi karena algoritma TPS tidak mampu memodelkan dengan baik penggunaan wedge. Besarnya deviasi dosis untuk 3D-CRT yang berada diluar rentang toleransi pada umumnya terjadi pada kasus uji empat untuk titik 10, yang pada perencanaannya menggunakan berkas tangensial pada material inhomogen, kasus uji 6 yang menggunakan blok dan material inhomogen. Hasil penelitian pada teknik IMRT dilihat dari nilai confidence limit (CL) yang menggambarkan kesesuaian hasil pengukuran dosis dengan hasil perencanaan. Nilai CL untuk pengukuran dosis titik perencanaan IMRT pada daerah dosis tinggi pada Linac A sampai Linac F berturutturut adalah sebesar 3,95%, 2,83%, 6,30%, 2,33%, 5,49%, 9,27% dengan batasan yang ditetapkan TG 119 adalah 4,07%. Nilai Confidence Limit (CL) hasil pengukuran dosis titik perencanaan IMRT pada daerah dosis rendah pada Linac A sampai Linac F berturut-turut adalah sebesar 4,64%, 3,96%, 4,88%, 5,05%, 3,33%, 10,40% dengan batasan yang ditetapkan TG 119 adalah 4,05%. Hasil pengujian IMRT, Linac yang memakai algoritma AAA secara umum menghasilkan deviasi yang berada dalam rentang toleransi, sedangkan yang memakai algoritma superposisi banyak pengukuran dengan deviasi yang berada di luar rentang toleransi. Kata Kunci : 3D-CRT, IMRT, TG-119, Confidence Limit

Radiotherapy is still the main choice of cancer therapy both in the world and in Indonesia. Radiotherapi’s treatment begins with the radiotherapy planning stage in the Treatment Planning System (TPS). This planning is absolutely necessary to avoid radiation accidents in the form of over dose or under dose to the patient. The purpose of this study was to evaluate the uncertainty of dosimetry in the 3D-CRT and IMRT techniques in order to obtain an overview of the accuracy and the amount of radiation dose deviation received by the patient with the planned dose at the TPS. Research for 3D-CRT technique using phantom CIRS thorax model 002LFC and IMRT using solid water phantom following the standard testing protocol according to Tecdoc 1583 in 2008 and testing according to the recommendations of AAPM Task Group 119. The dose measurement was carried out using an active volume ionization chamber of 0.65 cm3 on Linac energy 6 MV on seven Linac.The magnitude of the deviation of the dose calculated from the TPS with the measured dose for 3D-CRT on the seven Linacs was 6,66%, 10%, 17,39%, 10%, 26,66%, 56,66%, 30%. Some Linacs exceed the tolerance because the TPS algorithm is not able to properly model the use of wedges. The magnitude of the dose deviation for 3D-CRT which is outside the tolerance range generally occurs in the four test case for point 10, which is designed to use tangential beams on inhomogeneous materials, test case 6 using inhomogeneous blocks and materials. The results of research on the IMRT technique, the value of the confidence limit (CL) which describes the suitability of the dose measurement results with the planning results, for dose measurement of IMRT planning points in the high-dose area on Linac A to Linac F respectively 3.95%, 2.83%, 6.30%, 2.33%, 5.49%, 9.27% with the limit set by TG 119 is 4.07%. The Confidence Limit (CL) measurement results of the IMRT planning point in the low dose area in Linac A to Linac F are 4.64%, 3.96%, 4.88%, 5.05%, 3.33%, respectively. 10.40% with the limit set by TG 119 is 4.05%. The result of the IMRT test, Linac using the AAA algorithm generally produces deviations that are within the tolerance range, while those using the superposition algorithm have many measurements with deviations that are outside the tolerance range. Keywords: 3D-CRT, IMRT, TG-119, Confidence Limit."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helga Silvia
"ABSTRAK
Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis kesesuaian dosis teknik IMRT dan VMAT antara distribusi dosis pada TPS dengan distribusi dosis yang terukur oleh dosimeter film gafchromic EBT2, MatriXXEvolution dan EPID pada kasus kanker KNF, paru dan prostat. Percobaan dilakukan menggunakan Pesawat Linac Varian Rapid Arc dengan TPS Eclips yang dimiliki oleh Rumah Sakit MRCCC SHS. Pengolahan data dari ketiga dosimeter tersebut menggunakan software MATLAB, Omni Pro IMRT dan portal dosimetry. Untuk perbandingan dilakukan analisis data sekunder yang telah dilakukan oleh pihak RS MRCCC SHS. Hasil penelitian menunjukkan indeks gamma rata-rata data sekunder pasien masih dalam toleransi dengan nilai >90%. Hasil pengukuran menggunakan film EBT2, MatriXXEvolution dan EPID dengan kriteria gamma 3% / 3mm pada kasus kanker KNF, paru dan prostat menunjukan bahwa indeks gamma yang diperoleh melewati batas toleransi yang diizinkan yaitu lebih dari 90%. Selisih indeks gamma antara dosimetri film gafchromic, MatriXXEvolution dan EPID pada teknik VMAT dan IMRT tidak terlalu jauh, dengan rentang 0,01 – 5,36%. Perbedaan indeks gamma menunjukkan bahwa direkomendasikan pengukuran menggunakan detektor MatriXXEvolution daripada menggunakan film dosimetri EBT2 dan EPID. Selisih persentase rata-rata indek gamma pada teknik IMRT dan VMAT berada pada rentang 0,02 – 5,31%. Selisih antara hasil pengukuran dan data sekunder menggunakan MatriXXEvolution dengan hasil penelitian Miura et al. diperoleh dengan rentang 0 – 6%. Data penelitian ini sangat mendukung penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hussein et al., (2013), Nalbant et al., (2014), Elawady et al, (2014), Pham (2013), Miura et al., (2014).

ABSTRACT
The purpose of this research was to evaluate and analyze the compatibility dose IMRT and VMAT technique between the dose distribution in the TPS and the dose distributions which measured by the film dosimeter gafchromic EBT2, MatriXXEvolution and EPID in the case of KNF cancer, lung and prostat. The experiments were done by using Varian linac Plane Rapid Arc with TPS Eclips owned by the MRCCC Siloam Hospital Semanggi. The data processed of the three dosimeters were using MATLAB software, Omni Pro IMRT and Dosimetry portal. For the comparative analysis of secondary data has been made by MRCCC SHS. The results showed an average gamma index of secondary data patients within tolerances with values > 90%. The measurement results EBT2 film, MatriXXEvolution and EPID of using criteria gamma 3% / 3mm in the case of NPC cancer, lung and prostate indicates that the gamma index gained over the limit allowed tolerance of more than 90%. Gamma index difference between the film dosimetry gafchromic, MatriXXEvolution and EPID on VMAT and IMRT techniques are not too far away, with a range of 0.01 to 5.36%. Differences show that the gamma index measurement using a MatriXXEvolution better than using EBT dosimetry film 2 and EPID. The difference in the average percentage of gamma index on IMRT and VMAT technique to be in the range of 0.02 to 5.31%. The difference between the measurement results and secondary data using MatriXXEvolution and the results Miura et al. Measurement in the range of 0-6%. Data from this study strongly support previous research by Hussein et al., (2013), Nalbant et al., (2014), Elawady et al, (2014), Pham (2013), Miura et al., (2014)"
2016
T44945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Ati Nur Fatimah
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat dasar perencanaan teknik 3D-CRT dan IMRT lapangan kecil berdasarkan acuan AAPM TG-119. Pada penelitian ini dilakukan perencanaan teknik 3D-CRT dan IMRT di fantom homogen dan inhomogen pada dua geometri target berbeda. Perencanaan pada geometri target C-shape dan circular dilakukan dengan 7 arah berkas MLC statik untuk teknik 3D-CRT, dan dMLC untuk teknik IMRT pada dua kedalaman berbeda yaitu 5 g/cm² dan 10 g/cm². Optimisasi dan kalkulasi dosis menggunakan TPS Pinnacle³ untuk berkas foton 6MV. Parameter perencanaan digunakan acuan AAPM TG-119 dengan membandingkan indeks konformalitas (CI), homogenitas (HI), dan capaian dosis. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan PTW Semiflex 0.125 cc, Exradin A16, dan Film Gafchromic EBT3. Hasil penelitian menunjukan CI untuk geometri target C-shape berkisar antara 0.710-0.999 pada kedalaman 10 g/cm² dan 0.691-1.613 pada kedalaman 5 g/cm². Sedangkan untuk geometri circular CI berkisar antara 0.334-1.122 dan 0.729-1.165 masing-masing untuk kedalaman 10 g/cm² dan 5 g/cm². Nilai HI untuk target C-shape dan circular berkisar 6.3%-58.7% dan 5.4%-87.1% untuk kedalaman 10 g/cm² serta 7.0%-80.4% dan 5.9-67.5% untuk kedalaman 5 g/cm². Hasil menunjukan sebagian besar pengukuran dosis mengalami penurunan dibandingkan nilai dosis perhitungan TPS. Penurunan tersebut semakin besar dampaknya pada medium inhomogen dibandingkan pada pengukuran di medium homogen

ABSTRACT
The purpose of this study was to create benchmark plan for smallfield IMRT based on AAPM TG-119. In this study we created 3D-CRT and IMRT treatment plans for homogen and inhomogeneous medium for two geometrical targets. C-shape and circular target were simulated using 7 static MLC for 3D-CRT and 7 static dMLC IMRT field at two different depths, 5 g/cm² and 10 g/cm². Dose optimization and calculation were done using Pinnacle³ treatment planning system for 6 MV photons beam. Planning objectives were set according to the AAPM TG-119 goals and compared conformity index (CI), homogeneity index (HI) and also dose goals. The measurement were done with PTW Semiflex 0.125 cc, Exradin A16, and Gafchromic EBT3. The results shows, the conformity index for C-shape target was in range of 0.710-0.999 at 10 g/cm² depth and 0.691-1.613 at 5 g/cm² whereas CI for circular target was in range 0.334-1.122 and 0.729-1.165 for 10 and 5 g/cm² depths respectly. In addition, the homogeneity index for C-shape and circular were in the range of 6.3%-58.7% and 5.4%-87.1% for 10 g/cm² depth whereas it was found at 7.0%-80.4% and 5.9-67.5% for 5 g/cm². The results showed that the most of measured dose are underestimate dose-compared to the dose plan. Moreover, the measurement dose at inhomogeneous medium is much lower difference compared to planning dose."
2016
T45643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramlah
"Prediksi dengan model mesin learning regresi telah banyak digunakan untuk penelitian. Salah satu model mesin learning yang digunakan untuk prediksi adalah random forest regressor. Mesin learning membutuhkan data training untuk mempelajari pola dan hubungan antar data. Model regressor yang sedangkan dikembangkan dalam bidang medis saat ini adalah model yang dapat memprediksi dosis pada perencanaan IMRT. Data perencanaan dalam format DICOM (format asli data) dieksport ke bentuk CVS (Comma Separated Values). Kemudian data dibagi menjadi data training dan testing yang dipilih secara random. Algoritma yang digunakan untuk memprediksi adalah random forest yang akan di training menggunakan 7-fold validation dan kemudian model akan di uji dengan data baru yaitu data testing yang belum pernah dilihat oleh model. Data yang dievaluasi yaitu parameter untuk mendapat HI (Homogenety Index) untuk organ target, dan dosis mean dan max untuk OAR (Organ At Risk). Random forest mampu memprediksi nilai sebenarnya dengan kesalahan dievaluasi menggunakan MAE pada fitur PTV D2 (0,012), D50 (0,015) dan D98 (0,018) serta pada fitur OAR (mean dan  max) paru kanan (0,104 dan 0,228), paru kiri (0,094 dan 0,27), jantung (0,088 dan 0,267), spinal cord (0,069 dan 0,121) dan (V95) Body (0,094).

Predictions with machine learning regression models have been widely used for research. One of the machine learning models used for prediction is the random forest regressor. Machine learning requires training data to determine patterns and relationships between data. Nowadays, the regressor model that being developed in the medical field is able to predict dose in IMRT planning. Planning data in DICOM format (original data format) was exported to CVS (Comma Separated Values) format. Then, the data was divided into training and testing data which were selected randomly. The algorithm used to predict is a random forest that was trained using 7-fold validation and the model was evaluated with new data, namely testing data that have not been seen by the model. The evaluated data are parameters to obtain HI (Homogenety Index) for target organs, and mean and max doses for OAR (Organ At Risk). Random forest was able to predict the true value with errors and it was evaluated using MAE for PTV D2 (0,012), D50 (0,015) and D98 (0,018), for OAR (mean and  max) right lung (0,104 and 0,228), left lung (0,094 and 0,27), heart (0,088 and 0,267), spinal cord (0,069 and 0,121) and (V95) Body (0,094).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Vernanda
"

Salah satu kekurangan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) adalah dosis serap di jaringan sehat yang cukup tinggi. Berkas proton memiliki karakteristik yang mampu mengkompensasi kekurangan tersebut. Karakteristik bragg peak yang dimiliki berkas proton memungkinkan dosis tinggi hanya pada target. Kasus Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) terletak di sekitar banyak organ vital, sehingga deposisi dosis yang melebihi batas akan berdampak signifikan. Proton juga merupakan partikel bermassa yang menunjukkan pola interaksi dengan heterogenitas jaringan yang berbeda dengan foton. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dosis perencanaan berkas proton pada kasus NSCLC dengan teknik IMPT serta membandingkan efektivitasnya dengan teknik IMRT. Perencanaan dilakukan menggunakan TPS Eclipse pada fantom air dan citra fantom in-house thorax dynamic. Perencanaan pada fantom air menggunakan 1 lapangan pada 0o dan 3 lapangan pada 45o, 135o, dan 225o. Perencanaan pada fantom in-house thorax dynamic dilakukan menggunakan single field, sum-field, dan multiple field. Nilai Conformity Index (CI) dan Homogeneity Index (HI) antara perencanaan IMPT dan IMRT tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Gradient Index (GI) perencanaan IMPT berkisar antara 4,15-4,53, sedangkan nilai GI perencanan IMRT sebesar 7,89. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya. Histogram distribusi dosis planar menunjukkan bahwa hasil perencanaan IMPT memberikan dosis rendah di luar target lebih sedikit dibandingkan hasil perencanaan IMRT. Selain itu dilakukan juga pengukuran dosis hasil perencanaan IMPT pada lima posisi target, serta empat posisi OAR. Hasilnya dibandingkan dengan data pengukuran IMRT. Nilai dosis titik pada target tidak berbeda secara signifikan, namun nilai dosis empat posisi OAR adalah nol, yang menunjukkan reduksi signifikan dibandingkan teknik IMRT.


One deficiency of the Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) technique is that the absorbed dose in healthy tissue is quite high. Proton beams has characteristics that can compensate for these deficiencies. The bragg peak characteristic of a proton beam allows high doses only to the target. Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) cases are located around many vital organs, so the doses that exceed the limit will has a significant impact. Protons are also heavy particles that show patterns of interaction with tissue heterogeneity, which is different with photons. This study aims to determine the dose distribution of proton beam planning in the NSCLC case with the IMPT technique and to compare its effectiveness with the IMRT technique. Planning was done by using TPS Eclipse on the water phantom and in-house thorax dynamic phantom. Planning parameter on the water phantom used 1 field at 0o and 3 fields at 45o, 135o, and 225o. Moreover, we used single field, sum-field, and multiple fields techniques on the in-house thorax dynamic phantom. Conformity Index (CI) and Homogeneity Index (HI) showed a bit differences between IMPT and IMRT planning. The Gradient Index (GI) of IMPT planning ranges between 4.15-4.53, while the GI value of IMRT is 7.89. The planar dose distribution histogram showed that the results of IMPT planning gave fewer out of target doses than IMRT planning results. In addition, evaluation was also made on the target of IMPT planning at five area of interest, as well as four OAR positions. The results are compared with IMRT measurement data. The point dose value at the target did not differ significantly, however the absorbed dose of the four OAR positions are zero which had a large deviation compared to the IMRT technique.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrianti M
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memverifikasi distribusi dosis pada teknik 3D-CRT dan IMRT dengan menggunakan dosimeter TLD rod dan film gafchromic EBT3 pada kasus payudara yang telah dibuat di TPS berdasarkan data klinis di Siloam Hospital TB Simatupang. Penelitian ini dilakukan menggunakan Linac Trilogy dengan TPS menggunakan modul Eclipse versi 11 yang memproduksi berkas foton dengan radiasi 6 dan 10 MV. Film EBT3 dengan ukuran 4 4 cm2 diiradiasi menggunakan energi 6 MV dalam variasi dosis 0 - 260 cGy. Penelitian ini menggunakan lapangan radiasi 10 10 cm2. Film dipindai menggunakan flatbed scanner Epson V700 dalam evaluasi pixel value. Perhitungan dan plot antara netOD dan dosis untuk mendapatkan kurva kalibrasi yang digunakan untuk memperoleh dosis pengukuran pada pasien. TLD rod dengan ukuran 3 mm diiradiasi dengan energi 6 MV dalam dosis 200 cGy. TLD dibaca menggunakan TLD reader Harshaw dalam bentuk muatan coulomb. Perhitungan dan plot antara muatan dan dosis akan mendapatkan faktor kalibrasi yang digunakan untuk memperoleh dosis pengukuran pada pasien. TLD dan film EBT3 ditempelkan pada 5 titik di masker yang digunakan pasien dimana titik 1 daerah trakea, titik 2 daerah aksila, titik 3 daerah mammaria interna, titik 4 daerah nipple, dan titik 5 mammae inferior. Hasil perbedaan dosis menunjukkan penggunaan film gafchromic EBT3 pada verifikasi dosis titik kasus kanker payudara lebih baik daripada TLD rod pada teknik 3D-CRT dan teknik IMRT. Perbedaan dosis antara TPS dan film EBT3 dalam rentang 0,66 sampai dengan 5,67 teknik 3D-CRT dan -0,67 sampai dengan -7,57 teknik IMRT . Perbedaan dosis antara TPS dan TLD rod dalam rentang -2,63 sampai dengan 29,14 teknik 3D-CRT dan -16,41 sampai dengan -46,84 teknik IMRT . Uji statistika menunjukkan korelasi kuat 1,00 tetapi tidak signifikan sig < 0,05 serta terdapat perbedaan dosis titik rata-rata yang signifikan antara film EBT3 dan TLD rod pada kelompok pasien sebelum dan setelah dilakukan operasi. Tidak terdapat perbedaan dosis titik rata-rata antara kelompok sebelum dan setelah dilakukan operasi baik teknik 3D-CRT maupun IMRT dan tidak terdapat perbedaan dosis titik rata-rata antara teknik 3D-CRT dan IMRT.

ABSTRACT
The aim of thisresearch is to verify dose distribution in 3D CRT and IMRT by using TLD rod dosimeter and Gafchromic EBT3 films on breast cases that have been made in TPS based on clinical data at Siloam Hospital TB Simatupang.This research was conducted using Linac Trilogy with TPS using Eclipse module version 11 which produces photon beam with radiation of 6 and 10 MV.EBT3 films of size 4 4 cm2 were irradiated using 6MV photon beams in dose variation of 0 260 cGy. Radiation field of size 10 10 cm2 was used in this research. The irradiated EBT3 film was scanned using Epson V700 flatbed scanner to evaluate the pixel value. The calculation and plot between netOD and dose was used to get the calibration curve which will be used to obtain dose measurement for patients. TLD rod of size 3 mm was irradiated using 6 MV in dose variation of 200 cGy. TLD was read by using HarshawTLD reader in coulomb. The calculation and plot between netOD and dose will generate calibration factor used to get dose measurement for patients. TLD and EBT3 film were taped to 5 points in the mask used by patients where 1 point is the OAR trachea and 4 points is the PTV50. The results of dose difference at PTV50 with point orientation.TLD and EBT3 film were taped to 5 points in the mask used by patients wherethe first point is in the OAR trachea , the second point is in the axilla, the third point is in the mammaria interna, the fourth point is in the nipple, and the fifth point is in the mammae inferior. The result of differences in dose shows the use of gafchromic EBT3 film in dose verification on breast cancer is better than TLD rod in 3D CRT technique and IMRT technique. The dose difference between TPS and EBT3 film ranged from 0.66 to 5.67 3D CRT technique and 0.67 to 7.57 IMRT technique . The dose difference between TPS and TLD rod is in the range 2.63 to 29.14 3D CRT technique and 16.41 up to 46.84 IMRT technique . The statistical test showed a strong correlation 1.00 but insignificant sig "
2017
T47602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meirisa Ambalinggi
"Intensity modulated radiation therapy (IMRT) memberikan peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan distribusi isodose dengan bentuk target sehingga mengurangi dosis ke organ-at risk. Namun kemampuan IMRT ini disertai oleh kompleksitas lapangan penyinaan IMRT sehingga direkomendasikan untuk melakukan patient-spesific pretreatment quality assurance. QA yang umum digunakan adalah QA berbasis pengukuran, tetapi ini merupakan prosedur yang memakan waktu. Sehingga dibuat suatu alat ukur dari proses jaminan kualitas yang disebut metrik kompleksitas. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi metrik kompleksitas berbasis bukaan pada bukaan multileaf collimator (MLC) yang digunakan dalam klinis dan menganalisis korelasinya dengan gamma pass rate (GPR). Nilai metrik kompleksitas dihitung menggunakan Matlab. Ionization chamber 2D array MatriXX Evolution digunakan untuk verifikasi dosis. Distribusi dosis 2D dianalisis dengan software OmniPro-I'mRT dan dibandingkan menggunakan kriteria indeks gamma 3%/3mm dan 3%/2mm dengan low dose threshold 10%. Hasil uji korelasi metrik kompleksitas dan GPR menunjukkan EAM memiliki korelasi yang baik dengan GPR untuk kedua kasus. Nilai koefisien korelasi untuk kasus CNS adalah –0,918 (3%/3mm) dan –0,864 (3%/2mm), sedangkan untuk kasus payudara nilai koefisien korelasinya adalah –0,983 (3%/3mm) dan –0,961 (3%/2mm). Sedangkan untuk MCS, CAM, CPA, dan MU/Gy memiliki korelasi yang lemah dengan nilai GPR.

Intensity-modulated radiation therapy (IMRT) provides an increased ability to adjust the isodose distribution to the target shape, thereby reducing the dose to organ-at-risk. However, IMRT’s capabilities come with the complexity of IMRT’s treatment field, so it is recommended to carry out patient-specific pretreatment quality assurance. The commonly used QA is measurement-based; however, it is time-consuming. So that made a measuring instrument of the quality assurance process called the complexity metric. This study aims to evaluate aperture-based complexity metrics for multileaf collimator (MLC) apertures used in clinical practice and analyze its correlation with gamma pass rate (GPR). Complexity metric are calculated using Matlab. A 2D array MatriXX Evolution ionization chamber was used for dose verification. The 2D dose distributions were analyzed using OmniPro-I'mRT software and compared using the gamma index criteria of 3%/3mm and 3%/2mm with a low dose threshold of 10%. The correlation test results of complexity metrics and GPR show that the EAM correlates well with GPR for both cases. The correlation coefficient values for CNS cases are –0.918 (3%/3mm) and –0.864 (3%/2mm), while for breast cases the correlation coefficient values are –0.983 (3%/3mm) and –0.961 (3%/2mm). The MCS, CAM, CPA, and MU/Gy have a weak correlation with the value of the GPR."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>