Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angela Christina
Abstrak :
Latar Belakang: Filariasis limfatik adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda, dapat terjadi di berbagai usia termasuk anak-anak, dan menyebabkan kecacatan sementara dan permanen. Biasanya, pasien dengan infeksi filarial aktif memiliki kadar IgG4 antifilarial yang tinggi, yang dapat diamati dengan pemeriksaan rutin. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa adanya transfer IgG4 via plasenta dan mengetahui penggunaan teknik serologi untuk diagnosis filariasis pada bayi sesuai/tidak untuk menghindari penggunaan obat yang tidak perlu. Metode: Ibu hamil dengan usia kehamilan trimester ketiga yang tinggal di area endemis filariasis (Desa Jati Sampurna dan Jati Karya) diukur kadar serum IgG4 dengan teknik ELISA. Setelah melahirkan, dilakukan pengukuran kadar serum IgG4 pada bayinya (n = 167). Sampel darah yang diukur sebanyak 4 mL, yang diambil pada pk 20.00 dari ibu dan bayinya (usia bayi < 7 hari). Kadar serum IgG4 dikelompokkan menjadi 2 (kelompok tinggi dan rendah) dengan batas 503,3750. Hasil : kadar IgG4 pada bayi berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar IgG4 ibu (r = +0.236; p ≤ 0.05). Semakin tinggi konsentrasi IgG4 pada bayi, semakin tinggi kadar IgG4 pada bayinya. Juga didapatkan perbedaan yang signifikan antara rata-rata kadar IgG4 pada bayi yang ibunya memiliki kadar IgG4 yang tinggi dengan yang rendah (p = 0.004). Setiap bayi yang memiliki kadar IgG4 tinggi (n = 118), ternyata dilahirkan oleh ibu yang memiliki kadar IgG4 yang tinggi. Kesimpulan : tingginya kadar IgG4 selama masa bayi (<1 tahun) tidak mengindikasikan adanya infeksi filariasis pada bayi tersebut. Kadar IgG4 diperkirakan meningkat karena adanya transfer IgG4 melalui plasenta, oleh sebab itu, teknik serologi tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis infeksi filariasis pada bayi.
Introduction : Lymphatic filariasis is a painful infectious disease caused by nematode worms. The infection is usually acquired in childhood and causing temporary or permanent disability. Typically, patients with active filarial infection will have their antifilarial IgG4 level elevated, which can be observed using routine assay. In order to suppress the parasite?s activity, antihelmintic drugs must be taken. But, these drugs have considerable side effect to children, such as GI disturbance. This study aim to investigate the transplacental transfer of IgG4 and whether or not serologic techniques are adequate to diagnosie filarial infection in infants and to avoid the unnecessary drugs use. Methods : Pregnant women in third trimester residing in filarial endemic area (Jati Sampurna and Jati Karya Village) were measured serum IgG4 level using ELISA technique. Several months later, their infants IgG4 serum level is measure as well (n = 167). Four millimeters blood samples were taken at 8 PM from mother and her infant (before 7 days of age). Serum IgG4 level is classified into 2 groups (high and low) by using cut off point 503,3750. Result : There was a significant positive correlation between high serum IgG4 concentration in their mother and her infant (r = +0.236; p ≤ 0.05). The higher IgG4 concentration in mother, the higher IgG4 concentration in their infant. There was also a significant difference between the mean IgG4 concentration in infant whom mother has high level serum IgG4 and low (p = 0.004). Infants, with have high level of serum IgG4 (n = 118), each has a mother with high serum IgG4 level as well. Conclusion : High level of antifilarial IgG4 during infancy (<1 year) does not necessarilly indicate an filarial infection in said infant. The serum IgG4 level is likely to elevated due to the transplacental transfer of maternal IgG4, and thus serologic technique are not recommended in diagnosing filarial infection in infants.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Ayu Lestari
Abstrak :
Filariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui transmisi nyamuk, umumnya adalah Brugia malayi, Brugia Timori, dan Wuchereria bancrofti. Lebih dari seratus dua puluh juta orang terinfeksi oleh filaria, dengan empat puluh juta orang menderita cacat dan lumpuh dikarenakan penyakit ini. Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, didapatkan prevalensi mikrofilaria di Indonesia adalah 19%, yang artinya terdapat empat puluh juta orang yang di dalam tubuhnya mengandung mikrofilaria. Dengan jumlah kasus yang banyak serta penyebaran yang cukup luas, dibutuhkan pencegahan kejadian filariasis. Untuk itu, perlu diketahui faktor risiko dominan yang secara signifikan memberikan pengaruh terhadap kejadian filariasis. Penelitian dilakukan menggunakan desain penelitian case-control dengan subjek penelitian adalah ibu hamil yang tinggal di kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara multivariate dengan metode odd ratio. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat pendidikan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kejadian filariasis pada ibu hamil di kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya. ......Filariasis is a disease that caused by filaria worm which being contagious through mosquito`s transmission, usually Brugia malayi, Brugia Timori, and Wuchereria bancrofti. More than one hundred twenty million people infected by filaria, with fourty million people being disable and handicap. Based on maping which have been done, microfilaria prevalency in Indonesia is 19%, which mean there is fourty people whom the bodies got microfilaria. With many cases and its spreading, preventive needed for filariasis. Then, there`s a need to know dominant risk factor which significantly gives effect in filariasis. Research done using casecontrol in the design, with pregnant woman lived in sub-district Jati Sampurna and Jati Karya being reseach subjects. The obtained data being analysed in multivariate ways with odd ratio method. Research result shows that education level gives higher effect in filariasis in pregnant woman lived in sub-district Jati Sampurna and Jati Karya.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Biyan Maulana
Abstrak :
Filariasis merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih endemis di beberapa daerah di Indonesia. Filaria ditularkan oleh vektor berupa nyamuk. Desa Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat telah diketahui merupakan daerah endemik kecacingan. Diduga faktor pendidikan berperan besar terhadap angka insiden filariasis pada daerah ini yang masih tinggi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan faktor pendidikan terhadap distribusi IgG4 antifilaria pada penduduk daerah tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data hasil penelitian utama yang dikerjakan secara cross-sectional. Data tersebut digunakan untuk menilai hubungan antara faktor pendidikan dengan kejadian filariasis berdasarkan distribusi IgG4 antifilaria di kecamatan Pondok Gede Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat adanya korelasi, data penelitian menunjukkan bahwa kelompok pendidikan rendah sebesar 124 (71,3%) secara signifikan (chi-square: 0,001) lebih tinggi dibandingkan kejadian filaria pada kelompok pendidikan tinggi 45 (51,1%), analisis resiko didapatkan bahwa kelompok pendidikan rendah beresiko untuk mendaptkan IgG4 filaria positif 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan pada kelompok pendidikan tinggi (OR=2,4, CI 95% = 1,4-4). ......Filariasis is one of the contagious disease that still endemic at several place in Indonesia. Filaria is transmited by vector which is a mosquitoes. Jati Sampurna and Jati Karya village in Pondokgede Sub-district, Bekasi District, West Java has been known as filariasis endemic area. Educational factor is presumed as one of many factors that affect filariasis incidence in those villages that still high. This study aimed to determine the connection between educational factor to filariasis incidence in those villages. This study is based on secondary data. Secondary data were obtained from primary research data done by cross-sectional method. These data were used to assess the association of educational factor to filariasis incidence that determined by IgG4 antifilaria distribution at Pondokgede Sub-district, Bekasi District, West Java. Research shows that the corelation is real, research data shows that filarial incidence on low educational group in the amount of 124 (71,3%) significantly higher (chi-square: 0,001) than high educational group 45 (51,1%). Risk analysis shows that low educational grup have higher risk to get IgG4 filaria positif 2,4 times more higher than high educational group. (OR=2,4, CI 95% = 1,4-4).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffry Adijaya Susatyo
Abstrak :
Filariasis merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh cacing dari genus Filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Di Indonesia kasus filariasis keberadaannya masih tinggi. Desa Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat telah diketahui merupakan daerah endemik kecacingan. Diduga lama tinggal di daerah tersebut berpengaruh terhadap insidensi filariasis di kedua desa tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi IgG4 antifilaria pada penduduk daerah tersebut dan perbandingannya dengan lama menetap dan status kependudukan. Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data hasil penelitian utama yang dikerjakan secara cross-sectional. Data?data tersebut digunakan untuk menilai hubungan faktor risiko infeksi filaria pada ibu hamil yang tinggal di daerah endemik kecacingan berdasarkan distribusi IgG4 antifilaria di kecamatan Pondok Gede Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Hasil Penelitian menunjukkan terdapat peningkatan IgG4 anti-filaria terhadap status kependudukan (p = 0,017) dan korelasi positif antara jumlah IgG4 anti-filaria dengan lama tinggal dalam tahun (p = 0,003). ......Filariasis is a contagious disease caused by worms of the genus Filaria which transmitted through the bite of various species of mosquitoes. In Indonesia the existence of filariasis cases are still high. Jati Sampurna and Jati Karya village in Pondokgede Sub-district, Bekasi District, West Java has been known as filariasis endemic area. Length of stay is presumed as one of many factors that affects filariasis incidence in those villages. This study aimed to determine the distribution of IgG4 antifilaria on the region and its comparison with the length of stay and residence status. This study is based on secondary data. Secondary data were obtained from primary research data done by cross-sectional method. These data were used to assess the association of risk factors filarial infection in pregnant women living in endemic areas based on the distribution of IgG4 antifilaria in Pondok Gede, Bekasi district, West Java. Research shows there is an increase in anti-filarial IgG4 against residence status (p = 0.017) and a positive correlation between the number of anti-filarial IgG4 with length of stay in years (p = 0.003).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devita Febriani Putri
Abstrak :
Filariasis limfatik adalah penyakit tular vektor yang disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timari. Fiiariasis ditargetkan untuk dieliminasi pada tahun 2020 oleh WHO dengan merekomendasikan pengobatan masal (MDA) dengan dosis tunggal kombinasi DEC 6 mg/kg berat badan + ALB 400 mg, selama 5 - 10 tahun. Teknik diagnostik yang digunakan adalah pemeriksaan mikroiilaria pada sediaan darah malam, namun teknik ini memiliki banyak kekurangan, sehingga perlu digunakan metode diagnosis lain, serologi, untuk memantau program eliminasi filariasis. Diagnosis serologi dengan antigen rekombinan B.malayi Bml4, mendeteksi antibodi IgG4 antifilaria. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan penurunan prevalensi mikrofiiaria berdasarkan mikroskopis dengan penurunan respon antibodi IgG4 antifilaria berdasaxkan uji ELISA dengan antigen rekombinan Bml4 sebelum dan sesudah pengobatan masal, serta melihat sensitivitas dan spesitisitas antigen rekombinan Bml4 sebagai alat diagnosis baru untuk memantau pengobatan masal filariasis. Studi longitudinal dilakukan di daerah endemik filariasis B. timori di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Pengukuran kadar lgG4 anti tilaria menggunakan ELISA-Bml4 dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik untuk dilihat sensitivitas dan spesiiisitasnya. Kemudian dilihat pola penurunan kadar IgG4nya terhadap teknik mikroskop selama pengobatan 5 tahun. Dari 51 sampel serum yang diperiksa, didapatkan hasil sensitifitas (94%) dan Nilai Duga Negatif (NDN) yang tinggi 88% (p=0.000). Dengan intervensi pcngobatan dapat menurunkan kadar IgG4 antifilaria yang bermakna pada kelompok Mf+ELISA+ (True positw dan Mf-ELISA+ (False Positf), sehingga uji diagnostik serologi menggunakan ELISA-Bm14 dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan program pemberantasan filariasis di Indonesia. ......Lymphatic iilariasis is a disease transmitted by mosquito vectors which is caused by 3 spesies of tilarial worms, Wuchereria bancrojli, Brugia maiayi, and Brugia limori. Filariasis has been targetted to be eliminated by WHO in the year of 2020 using mass drug treatment in population with combination drugs of DEC 6 mg/kg body weight plus Albendazole 400 mg for 5 - 10 years. Diagnostic tool used in the program is microscopic examination of night blood samples however there are some constraints. Ti1?I¢f0l?C, other diagnostic tools such as serological assay has to be used in monitoring the filariasis elimination program. Serological diagnosis using recombinant antigen B. malayi Bm14 has been developed to detect IgG4 antibody anti tilaria. The purpose of this study is to determine the decrease of iilariasis prevalence detected by two different diagnostic tools, microscopic examination for microfilariac and ELISA using Bml4 recombinant antigen for IgG4 antibody before and after mass treatment and the comparison between the two diagnostic tools in terms of Sensitivity and specificity. A longitudinal study is done in B. timori endemic area in Alor district, Nusa Tenggara Timur. Measurement of IgG4 anti filaria titer using ELISA-Bm] 4 is compared to microscopic examination to detect microfilariae in determining the infected persons. The decrease of IgG4 titer as well as microtilarial counts are also observed during 5 years mass treatment. A total of 51 sera samples was examined by microscopic and ELISA showing sensitivity is (94%) and negative predictive value is also high, 88% (p~#0.000). After intervention with mass treatment, the titer of IgG4 decreased significanlty in Mf+E,LISA+ (True Parity) group as well as Mf-ELISA-+ (False Parity) gmup. The result indicates that serological method, ELISA-Bml4, can be used to dctemiine the progress of the filariasis elimination program in Indonesia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32355
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardra Christian Tana
Abstrak :
Filariasis masih merupakan kesehatan masyarakat di Indonesia. Program pemberantasan filariasis sudah dilakukan sejak tahun 2002 melalui pengobatan masal Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg BB-Albendazol 400mg pada penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis. Adanya data prevalensi filariasis yang akurat sebelum dan sesudah pengobatan sangat diperlukan untuk mengetahui pengobatan dihentikan atau diteruskan. Oleh karena itu diperlukan teknik diagnostik yang sensitif untuk menghitung prevalensi filariasis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifitas teknik diagnosis filariasis Brugia Rapid terhadap teknik membran filtrasi. Penelitian dilakukan di desa Mainang, daerah endemis filariasis limfatik B. timori, di Pulau Alor, Kabupaten Alor, NTT. Daerah penelitian merupakan daerah endemis dengan prevalensi filariasis sebesar 27%. Pengumpulan sampel dilakukan oleh tim Parasitologi FKUI. Metode yang dilakukan adalah uji observasional. Dari hasil penelitan didapatkan sensitivitas dari pemeriksaan Brugia Rapid mencapai 95,4%, sedangkan spesifisitasnya hanya mencapai 25,67%. Sedangkan nilai duga positif dari uji tersebut adalah 30,96%, dan nilai duga negatifnya adalah 94,12%. ......Filariasis is a public health problem in Indonesia. Filariasis elimination program has been going since 2002 through mass treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6 mg/BW ? Albendazole 400 mg in civilian who lived in filarial endemic area. Presence of an accurate filarial prevalence data before and after treatment is needed to know whether the treatment is stopped or continued. Therefore a sensitive and specific diagnostic tool for detecting filarial is needed. The purpose of this research is to know the sensitivity and specificity of IgG4 immunological assay (Brugia Rapid) compared to conventional microscopic examination in detection of filariasis. This research is done in Mainang, Alor Island, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Research area is an Brugia timori endemic area with prevalence of 27%. Sample is collected by Parasitology Team FMUI. The method used in this research is observational study. From the study the sensitivity of Brugia Rapid in detecting filaria is 95,4%, and a specificity of 25,67%. The positive predictive value is 30,96% and the negative predictive value is 94,12%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Praba Ginandjar
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Penentuan daerah endemis merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan dalam program eliminasi filariasis. Dalam program eliminasi filariasis global WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis. Untuk filariasis brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam bentuk dipstik (disebut brugia rapid) yang pengerjaannya sangat mudah dan singkat. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah brugia rapid dapat digunakan untuk mendeteksi IgG4 anti-filaria terhadap B. timori dan menentukan daerah endemis filariasis timori. Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik dengan desain cross-sectional. Sebagai pembanding digunakan metode baku emas diagnosis filariasis secara mikroskopis melalui deteksi mikrofilaria dengan teknik membran filtrasi (data sekunder), Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mainang di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, menggunakan 500 sampel. Untuk melihat perbedaan hasil membran filtrasi dan brugia rapid dalam mendeteksi infeksi filariasis digunakan uj: Chi-square Mc-Nemar. Hasil dan kesimpulan: Dalam peneltitian ini diperoleh angka infeksi filariasis berdasarkan pemeriksaan membran filtrasi sebesar 27,2%, sedangkan berdasarkan brugia rapid sebesar 77%. Uji McNemar menyatakan kedua metode tersebut memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Hasil pemeriksaan dengan brugia rapid memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 31,59% terhadap membran filtrasi. Disimpulkan bahwa: Metode brugia rapid dapat digunakan sebagai indikator daerah endemis filariasis timori. Brugia rapid dapat mendeteksi adanya infeksi filariasis timori, namun tidak dapat digunakan untuk memperkirakan angka mikrofilaria. Brugia rapid memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan membran filtrasi. Brugia rapid dapat mendeteksi populasi normal endemik, karier mikrofilaremia dan pasien filariasis kronis di daerah endemis filariasis timori. ......Scope and method: Identification of endemic area is needed to initiate global elimination program of filariasis. In such program, WHO proposed a serodiagnostic method to determine the endemic areas. The best serodiagnostic method for brugian filariasis is anti-filarial IgG4 antibody detection, which is now being available in dipstick format (named brugia rapid test). The test is easy to perform and the result can be read in ten minutes. In this study I intended to test the ability of brugia rapid to detect filariasis infection in order to determine timorian filariasis endemic area. This was a cross-sectional diagnostic test study done in Mainang Puskesmas, Alor Island, East Nusa Tenggara. A total of 500 people were participated in this study. Conventional method, filtration membrane technique, was used as control method (secondary data). The result was analyzed by McNemar Chi-square test. Result and conclusion: This present study showed that filariasis infection rate based on filtration membrane technique (mf rate) was 27.2%, while brugia rapid was 77.0%. McNemar test clarified that both methods were significantly different (p=0.000). Examination using brugia rapid has 100% sensitivity and 31.59% specificity against filtration membrane. Based on the results, it was concluded that: Brugia rapid method could be applied as indicator to determine timorian filariasis endemic areas. Brugia rapid was able to detect timorian filariasis infection, but mf rate cannot be predicted by brugia rapid. However, brugia rapid gave more sensitive result compared to filtration membrane. Besides, brugia rapid was able to detect endemic normal, microfilaraemic carriers and chronic lymphoedema patients.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Siti Nuraeni
Abstrak :
ABSTRAK
Tungau debu rumah (TDR) merupakan alergen pencetus asma. Sebanyak 85% pasien asma, alergi terhadap Dermatophagoides pteronyssinus. Atopi adalah kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE sebagai respons terhadap paparan alergen. Paparan berulang pada proses desensititasi menginduksi peningkatan sel T regulator yang memproduksi IL-10 sehingga dapat menginduksi produksi IgG4. Selama ini, IgE spesifik alergen dijadikan penanda adanya alergen namun hanya terdeteksi pada orang yang atopi. Untuk menghindari adanya pajanan alergen sebagai sumber alergi baik pada subjek atopi maupun normal, diperlukan pengembangan metode yang dapat memindai daerah/lokasi yang diduga menjadi habitat TDR. Hal ini penting agar dapat dilakukan upacaya pencegahan dan pengendalian asma. Berdasarkan hal tesebut, peneliti tertarik untuk mengetahui respon IgE dan IgG4 dan korelasinya dengan kepadatan TDR. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2018 sampai April 2019. Sebanyak 25 pasien asma atopi dan 21 subjek normal dilakukan pengukuran kadar serum IgE dan IgG4 Der p menggunakan metode indirek ELISA. Sampel debu rumah diambil dari rumah pasien, diidentifikasi dan dihitung jumlahnya menggunakan metode Hart & Fain. Hasil penelitian menunjukkan spesies TDR yang paling mendominasi yaitu D. pteronyssinus. Kadar serum IgE spesifik Der p pada pasien asma atopi lebih tinggi dibandingkan pasien normal (p=0,002) sedangkan kadar serum IgG4 spesifik Der p baik pada pasien asma atopi maupun normal tidak menunjukan beda signifikan (p=0,667). Kepadatan D. pteronyssinus baik di ruang tidur maupun ruang keluarga menunjukkan korelasi positif dengan kadar serum IgG4 Der p baik pada asma atopi maupun normal (Spearman,Rho=0,388,p=0,008). IgG4 spesifik Der p dapat dijadikan prediktor adanya TDR di rumah.
ABSTRACT
As many as 85% of asthma patients are allergic to Dermatophagoides pteronyssinus. Repeated exposure to allergens induces an increase in regulator T cells that produce IL-10 which can affect B cells to switch to IgG4. Allergen-specific IgE was used as a marker of allergen exposure but was only detected in people who were atopic while in normal subjects this IgE marker did not appear, So an immunological marker was needed which could be used to scan for exposure. This is important so that efforts can be made to prevent and control asthma. Based on this, the researchers were interested in knowing correlation Der p density with the response of IgE and IgG4 spesific Der p. Twenty Five atopic asthma and 21 normal subjects were measured for serum IgE and IgG4 spesific Der p levels using the indirect ELISA method. Dust samples were taken from the patient's home, identified and counted using the Hart & Fain method. The results showed that the most dominant TDR species was D. pteronyssinus. IgE specific Der p level in atopic asthma were higher than normal (p=0.002) while IgG4 specific Der p level in both atopic asthma and normal did not show significant differences (p=0.667). Density of D. pteronyssinus showed a positive correlation with IgG4 spesific Der p level (Spearman r=0.388, p=0.008) compared to IgE spesific Der p.IgG4 can be used as a predictor of the presence of house dust mites in atopic asthma and normal subjects.
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chailan
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian: Filariasis lirnfatik pada manusia merupakan penyakit infeksi kronis sistem limfatik yang disebabkan parasit nematoda W. bancrofti, B. malayi dan B. tumori yang hidup dalam peredaran darah dan limfe. Diagnosis filariasis masih bergantung pada pemeriksaan mikroskopik sediaan darah yang diainbil inalam Bari. Tcknik ini spesifik dan rnerupakan gold standard untuk pemeriksaan filariasis, tetapi kurang sensitif. Pada filariasis bankrofti, kendala tersebut telah dapat diatasi dengan teknik deteksi antigen, namun pada filariasis malayi yang menjadi penyebab utama morbiditas filariasis di Indonesia belum berhasil. Upaya memperbaiki diagnosis filariasis malayi difokuskan pada deteksi isotipe IgG4-antifilaria menggunakan antigen rekombinan. Dalam penelitian ini diukur respons IgG4 serum filariasis malayi terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan antigen kasar BrnA; perubahan repons IgG4-antifilaria setelah pengobatan; Berta sensitivitas dan spesifisitas tes F.1,ISA antigen tersebut. Sebagai pembanding digunakan gold standard diagnosis filariasis yakni, deteksi mikroftlaria secara mikroskopik. Hasil dan keslmpulan : Hasil memperlihatkan pada B. malayi, antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan antigen BmA masing masing mampu mendeteksi 98.0% dan 94% kelompok mikrofilaremik. Tempi pads kelompok normal endemik ads perbeaaan yang nyata (p<0.01) dari respons IgG4 terhadap antigen BmA dibandingkan terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2. Sebanyak 85% memberikan respons positif terhadap antigen BmA dan hanya 45% positif terhadap antigen Bm-SPN-2. Didapat pcrbcdaan yang amat nyata (p <0.001) dad respons IgG4 terhadap kodua antigen pada serum mikrofilaremik filariasis bankrofti. 91% memberi respons positif terhadap antigen BmA dan hanya 9% positif terhadap antigen BmSPN 2. Pengobatan DEC pada penderita mikrofilaremik memperlihatkan penurunan respons IgG4 terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan BmA messing-messing 55% dan 46%. Sensitivitas dan spesifisitas tes-ELISA Bm-SPN-2 juga lebih balk daripada tes-FIJSA BmA. Kesimpulan : antigen rekombinan RmSPN-2 lebih balk daripada antigen DmA. Tea ELISA BmSPN 2 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada tes ELISA BmA dlam mendeteksi infeksi aktiffilariasis malayi.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
Abstrak :
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur. ......Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library