Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Efi Ongah
Abstrak :
Penelitian pengaruh pencekokan ekstrak alkohol buah paria (Momordica charantia L.) varietas putih clan hijau terhadap implantasi mencit (Mus musculus L.) betina galur Swiss telah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan clan Laboratorium Reproduksi, Jurusan Biologi FMIPA-Ul. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan perbedaan pengaruh ekstrak alkohol buah paria varietas putih dan hijau terhadap implantasi mencit betina. Pencekokkan dilakukan setiap hari selama 30 hari terhadap 24 ekor mencit betina yang dikelompokkan menjadi 8 kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit betina. Kelompok perlakuan terdiri dari 3 kelompok untuk paria putih dan 3 kelompok untuk paria hijau masing-masing dengan dosis 700, 800 clan 900 mg/ kg b.b./hari. Kelompok kontrol terdiri dari kelompok mencit yang diberi perlakuan dengan akuabidestilata dan CMC 1 %. Uji Kruskal-Wallis pada α = 0,05 teihadap rerata berat ovarium, jumlah korpus luteum, jumlah fetus, jumlah resorpsi fetus dan rerata berat badan fetus tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedelapan kelompok perlakuan. Uji Chi kuadiat pada α = 0,05 terhadap rasio jenis kelamin fetus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedelapan kelompok perlakuan. Kelainan eksternal fetus (hemoragi) ditemukan di ekstrimitas posterior, kepala, dan ekor pada hampir semua kelompok perlakuan. Hemoragi merupakan kejadian spontan yang tidak dipengaruhi oleh pencekokan ekstrak alkohol buah pania varietas putih dan hijau. Ekstrak alkohol buah paria varietas putih dan hijau tidak berbeda dalam mempengaruhi implantasi mencit betina.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Aryani Hayuningtyas
Abstrak :
Latar belakang: Prevotella intermedia terdapat pada implan gigi diduga mengekspresikan mRNA ClpB yang merupakan tanda terjadinya peri-implantitis. Tujuan: Mendeteksi dan membandingan rata-rata ekspresi mRNA ClpB Pi pada implan gigi sehat dan periodontitis kronis. Metode: Plak implan gigi sehat dan periodontitis kronis dikultur dan diekstraksi RNAnya. Kemudian dideteksi dan dilakukan semi-kuantifikasi dengan PCR. Hasil: Ekspresi ClpB implan gigi sehat inkubasi 6x24 jam 117,24%, inkubasi 11x24 jam 98,4%, periodontitis kronis inkubasi 6x24 jam 93,36%, dan inkubasi 11x24 jam 97,86%. Kesimpulan: Rata- rata ekspresi ClpB Pi lebih tinggi pada subjek implan gigi sehat.]
Background: Prevotella intermedia which found on dental implant suspected to express ClpB mRNA as a sign of peri-implantitis. Objectives: To detect and compare the mean expression of ClpB mRNA Pi on healthy dental implant and chronic periodontitis. Methods: Healthy dental implant and chronic periodontitis plaque cultured and the RNA extracted. Then, detection and semi-quantification of ClpB mRNA using PCR. Result: ClpB expression on healthy dental implant incubated for 6x24 hours 117,2%, incubated for 11x24 hours 98,4%, on chronic periodontitis incubated for 11x24 hours 93,36%, and incubated for 11x24 hours 97,86%. Conclusion: The means expression of ClpB mRNA Pi are higher in healthy dental implant.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2012
S45025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Nova Science Pub Inc, 2010
617.693 DEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
York Hunt GN
Abstrak :
ABSTRAK
Suksesnya kehamilan sangat tergantung pada ketepatan dan sistematika proses implatasi dan plasentasi. Implantasi embrio membutuhkan sinkronisasi pada perkembangan trofoblas dan lapisan rahim. Ketidakmampuan embrio untuk menempel dan berimplantasi dengan baik adalah alasan utama kegagalan fertilisasi in vitro (IVF) atau Assisted Reproductive Technology (ART), serta infertilitas wanita, pre-eklampsia, intrauterine growth restriction (IUGR) atau lahir mati. Eksplan dapat menggambarkan proses in vivo secara mirip walaupun tidak dapat digunakan untuk meneliti tahap sel dan fungsional individu. Pada studi ini, kami ingin mengidentifikasi model sel untuk invasi trofoblas manusia. Kami melakukan pencarian literatur melalui PubMed search dan koleksi pribadi untuk menemukan berbagai jenis sel tropoblastic untuk membandingkan karakteristik utama dan umur untuk implantasi manusia dan plasentasi. Sebanyak 5 artikel dari 108 terpenuhi kriteria seleksi ini dipilih dari Pubmed dan 8 artikel tambahan dari koleksi pribadi kami.. Karena model eksplan sulit digunakan untuk mempelajari fungsi sel individu, kami menyimpulkan bahwa penggunaan HTR-8/ SVneo akan lebih unggul dari EVTs, karena EVTs bukan hanya sel invasif, tetapi abadi, murni dan mudah tersedia. Disarankan untuk menggunakan EVTs saat studi regulasi trofoblas dengan TGF. Kami berharap dalam jangka panjang, ulasan ini dapat membantu untuk meningkatkan angka kesuksesan kehamilan di Asia dan Indonesia.
ABSTRACT
A sucessful pregnancy highly determined by proper and systematic process of implatation and placentation. Embryo implantation requires careful synchrony of development between the trophoblast and the lining of uterine. Inability of the embryo to attached and implant properly is a major reason for in vitro fertilization (IVF) or Assisted Reproductive Technology (ART) failure and female infertility, pre-eclampsia, intrauterine growth restriction (IUGR) or stillbirth. Explants would closely mimic in vivo, but it cannot be use to study at individual cellular and functional level. In this study, we want to identify the cell model for human trophoblastic invasion. A literatures review using pubmed search engine along with our personal collection on various tropoblastic cell types to compare the main characteristics and lifespan of trophoblastic cell models for human implantation and placentation have been done. 5 out of 108 in total number articles were scutinized and selected from Pubmed along with 8 more articles from personal collection. Since explant model will be difficult to study the individual cell function, we concluded using HTR-8/SVneo will be more superior than primary EVTs, because they are not only an invasive cell line, but they are immortalized, pure and are easily available. It is recommended to use EVTs when study on the regulation of trophoblastic with TGF. We hope in the long term, this review can help to improved successful pregnancy rates in Asia and Indonesia.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70404
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Zulhandani
Abstrak :
Pendahuluan: Indonesia adalah negara dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia (sekitar 10% dari total kasus di dunia) dan 6,5% dari infeksi TB merupakan kasus TB ekstrapulmonal, dimana 50% diantaranya menyerang tulang belakang. Saat ini regimen pengobatan TB masih mengandalkan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral. Pemberian OAT dalam jangka panjang memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi sebesar 8,3%, sehingga perlu dicari alternatif laindalam pengobatan TB. Penelitian ini bertujuan untuk menilai penggunaan teknologi pelepasan obat terkontrol atau slow release sebagai modalitas terapi lokal pada infeksi TB muskuloskeletal khususnya tulang belakang. Dengan ditempatkannya rifampisin yang bersifat hidrofobik di dalam kapsulasi senyawa hidrofilik non-imunogenik serta non karsinogenik seperti Polyvinil Alcohol (PVA), diharapkan memiliki kemampuan slow releasesehingga dapat diimplantasi pada fokus infeksi sebagai terapi lokal selama tenggat waktu yang diharapkan tanpa pasien harus mengkonsumsi obat oral. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji eksperimental invivo pada 12 tikus Sprague Dawley betina berusia 5-7 bulan dengan berat 180 – 220 gram dengan menggunakan desain penelitian post test only control group. Evaluasi dilakukan dengan mengukur kadar rifampisin dalam jaringan tulang belakang serta kadar SGOT dan SGPT dalam darah. Analisis dilakukan menggunakan metode deskriptif dan uji perbandingan menggunakan SPSS 25. Hasil: Penelitian dilakukan hewan uji dengan median usia 5 bulan (5 – 7) yang terdiri dari 12 subjek betina (100%). Rerata berat badan hewan uji yaitu 196.5±3.92 gram. Sebanyak 7 subjek penelitian memiliki berat badan diatas 200-gram dan 5 subjek lainnya dengan berat dibawah 200-gram. Hasil uji normalitas ditemukan adanya distribusi data yang tidak normal pada usia (sig. <0.05), sementara pada variabel berat badan ditemukan adanya distribusi data yang normal (sig. >0.05). Penilaian secara kualitiatif menunjukkan bahwa sampel bubuk tulang pada kelompok perlakuan lokal memperlihatkan warna lebih kemerahan jika dibandingkan bubuk tulang pada kelompok perlakuan oral. Namun dalam pemeriksaan kadar rifampisin secara kuantitatif menggunakan metode HPLC, menunjukkan tidak terdeteksi kadar rifampisin pada kedua kelompok dimana rifampisin seharusnya terdeteksi pada retention time untuk sekitar menit 15,06 dengan panjang gelombang 254nm. Pada uji hipotesis antara perlakuan dan penanda fungsi hati berupa SGOT dan SGPT dilakukan dengan uji t-test tidak berpasangan, menunjukkan hasil yang signifikan (p=0.005 dan p=0.002). Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metode pemberian rifampisin secara peroral dengan implantasi lokal rifampisin terenkapsulasi PVA dimana angka SGPT pada sampel darah kelompok perlakuan oral menunjukkan angka yang lebih tinggi. Namun sebaliknya SGOT pada kelompok perlakuan lokal justru menunjukkan angka yang lebih tinggi. Kesimpulan: Deteksi kandungan rifampisin pada sampel jaringan tulang belakang menggunakan metode HPLC pasca implantasi sediaan rifampisin terenkapsulasi PVA pada hari ke 14, belum mampu membuktikan terjadinya slow release di dalam jaringan hidup secara kuantitatif dan belum dapat dinilai lebih efektif dari segi penyerapan obat ke dalam jaringan tulang belakang jika dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral. Namun pemberian rifampisin terenkapsulasi PVA secara lokal pada tulang belakang menunjukkan efek hepatotoksitas yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian rifampisin secara oral dibuktikan dengan meinigkatnya angka SGPT di dalam darah. ......Introduction: Indonesia is a country with the third most cases of tuberculosis (TB) in the world (about 10% of worldwide TB cases) and 6.5% of TB infections are extrapulmonary, of which 50% affect the spine. Current reliance on combination of oral Anti Tuberculosis Drugs (ATD) and long term medication has given a fairly high incidence of side effects of 8.3%. Under these circumstances, it is necessary to look for other alternatives in TB treatment. This study aims to assess the use of controlled or slow release drug technology as a local therapy modality in musculoskeletal TB infection cases, especially the spine. With the encapsulation of hydrophobic drug substances inside a non-immunogenic and non-carcinogenic hydrophilic compound such as Polyvinyl Alcohol (PVA), it is expected to have a slow release capability so that it can be implanted in the focus of infection as local therapy during the expected deadline without having the patient to take oral medication. Method: This study is an in vivo experimental study on 12 female Sprague Dawley rats aged 5-7 months weighing 180 – 220 grams using a post test only control group research design. The evaluation was carried out by measuring the level of rifampicin in spinal tissue and the level of SGOT and SGPT in the blood sample. We analyze the result using a descriptive method and a comparison test using SPSS 25. Results: The study was conducted on Sprague Dawley rat with a median age of 5 months (5 – 7) consisting of 12 female subjects (100%). The average body weight of the test subject was 196.5±3.92 grams. A total of 7 study subjects weighed above 200-grams and 5 other subjects were weighed under. The results of the normality test found that there was an abnormal distribution of data for age (sig. <0.05), while the weight variable was found to have a normal distribution of data (sig. >0.05). The qualitative assessment showed that the bone powder samples in the local treatment group showed a more reddish color than in the oral treatment group. However, quantitative measurement using the HPLC method, showed no detectable levels of rifampicin in both groups where rifampicin should have been detected at 15.06 minutes of retention time with a wavelength of 254nm. The hypothesis test between treatment and liver function markers in the form of SGOT and SGPT was carried out using unpaired t-test, showing significant results (p = 0.005 and p = 0.002). There was a significant difference in the two groups which explained that there was a relationship between the method of giving rifampin orally and local implantation of PVA-encapsulated rifampicin where the SGPT number in the blood sample of the oral treatment group showed a higher number. On the other hand, the SGOT in the local treatment group actually showed a higher number. Conclusion: Detection of rifampicin content in spinal tissue samples using the HPLC method after implantation of PVA-encapsulated rifampicin preparations on day 14 has not been able to prove its slow release capability in living tissue quantitatively and cannot concluded to be more efficient in terms of absorption into the spinal tissue compared to oral administration. However, local administration of PVA-encapsulated rifampicin in the spine showed a lower hepatotoxicity effect than oral rifampicin as evidenced by an increase of SGPT levels in the blood.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pritta Ameilia Iffanolida
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Metode seleksi embrio terbaik banyak dikembangkan untuk memperoleh transfer embrio tunggal dalam siklus fertilisasi in vitro (FIV). Blastokista merupakan tahap embrio terbaik yang didapat dari embrio dengan morfologi normal atau 2 pro-nukleus (2PN) maupun morfologi abnormal atau 3 pro-nukleus (3PN). Transfer blastokista masih memberikan tingkat keberhasilan implantasi dan kehamilan yang rendah karena penilaian morfologi yang baik tidak selalu mempunyai status kromosom yang baik. Aneuploidi dan mosaik diketahui masih ditemukan dalam populasi blastokista, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan kelainan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara morfologi dan perkembangan blastokista dengan kejadian aneuploidi dan mosaik, serta faktor yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang. Embrio diperoleh dari siklus FIV dan dikultur sampai tahap blastokista, penilaian morfologi blastokista dilakukan menggunakan skoring Gardner dengan 3 parameter yaitu grade ekspansi blastokista, inner cell mass, dan tropektoderm. pre-implantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) dilakukan dengan cara biopsi blastokista pada hari ke 5 atau 6 dan analisis kromosom dilakukan menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Hubungan antara morfologi blastokista dan status kromosom serta faktor yang mempengaruhinya kemudian dianalisis. Hasil: Didapatkan 70 embrio dari 25 pasien, dengan pembagian 45 embrio 2PN dan 25 embrio 3PN. Frekuensi aneuploidi pada sampel 2PN dan 3PN berturut turut 42% dan 4%, sedangkan mosaik 2PN 16% dan 3PN 8%, pada embrio 3PN juga didapati kromosom triploid sebesar 52%. Didapatkan hubungan bermakna antara grade tropektoderm embrio 2PN dengan status kromosom (p<0,05), sedangkan embrio 3PN tidak didapati hubungan antara parameter morfologi dengan kromosom. Blastokista dengan grade ³3AA memiliki persentase euploidi sebesar 46%. Usia maternal, usia paternal, jumlah oosit, laju fertilisasi, volume dan motilitas sperma berhubungan dengan status kromosom (p<0,05). Kesimpulan: Grading blastokista berhubungan dengan status kromosom, dan usia maternal merupakan faktor yang paling berhubungan dengan kejadian aneuploidi dan mosaik.
ABSTRACT
Background: Several method of assessing embryo viability have been employed over these year to obtain single embryo transfer in IVF cycle. Blastocyst, known as the best morphological embryo derived from both normal or 2 pronucleus (2PN) and 3 pronucleus (3PN) still not give the best implantation and pregnancy rate. However, morphology assesment only did not properly evaluate chromosomal status of the embryos. A good morphology blastocyst still can harbour aneuploidy and mosaic, and it is needed to find factor that effect aneuploidy and mosaic. Therefore, the aim of this study was to investigate the correlation between blastocyst morphology with aneuploidy, mosaicism and other related factor. Methods: A cross-sectional study to compare blastocyst morphology with chromosomal status. Embryo collected from IVF-ICSI cyles then cultured until blastocyst stage, Blastocyst scoring was done by Gardner scoring system with 3 parameter including blastocyst expansion, inner cell mass and tropectoderm. Preimplantation genetic testing for aneuploidi (PGT-A) was done by tropectoderm biopsy on day 5 or 6 which were the screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. The relationship between blastocyst morphology and chromosomal status and other related factor were evaluated. Results: A total 70 blastocyst were collected, 45 derived from 2PN zygot and the other 25 from 3PN zygot. The frequency of aneuploid in 2PN and 3PN continuosly 42% and 4%, meanwhile mosaic frequency were 15% and 8%. Triploidy chromosome were found 52% in 3PN embryo. Tropectoderm grading and chromosomal status was found significally different (p<0.05), while in 3PN embryo there in no correlation between blastocyst morphology and chromosomal status. >3AA blasctocyst grading had higher euploidy percentage compare to <3AA grading. Maternal age, oocyte number, fertilization rate, sperm volume and sperm motility have correlation with chromosomal status (p<0.05). Conclusions: Blastocyst grading had correlation with chromosomal status, and maternal age is the key factor that affect aneuploidy and mosaicism.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusydi
Abstrak :
Latar Belakang : Deteksi adanya penyakit jantung koroner PJK pada pasien bradikardi simptomatik yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen perlu diketahui secara dini. Saat ini penggunaan modalitas canggih seperti kateterisasi jantung dan CT kardiak menjadi pilihan utama dalam deteksi adanya PJK pada pasien blok nodus atrioventrikular AV total namun dengan risiko dan biaya yang masih relatif mahal. Gambaran fragmentasi kompleks QRS fQRS pada elektrokardiografi berkaitan dengan adanya jaringan parut atau iskemia pada miokard, namun belum ada studi sebelumnya yang menghubungkan fQRS dengan PJK pada pasien blok nodus AV total yang akan dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Tujuan : Mengetahui hubungan antara fragmentasi kompleks QRS dengan penyakit jantung koroner pada pasien dengan blok nodus AV total yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen. Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik kasus kontrol dengan menggunakan data sekunder rekam medis pasien blok nodus AV total yang sudah dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen dan angiografi koroner di Rumah Sakit PJN Harapan Kita. Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2017. Dilakukan pencatatan karakteristik pasien, faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kejadian PJK serta hasil pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner. Pembacaan ekg dilakukan oleh dua orang spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan di divisi aritmia. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri atas 23 kasus dan 23 kontrol. Gambaran fQRS pada pasien blok nodus AV total menunjukkan kecenderungan 2,4 kali mengalami PJK dibandingkan dengan yang tanpa fQRS, walaupun secara statistik memperlihatkan hasil yang tidak bermakna OR = 2,4; p = 0,236 . Hasil uji Kappa menunjukkan kesepakatan yang baik kedua observer dengan nilai Kappa inter-observer 0,487 serta intra-observer 0,737 dan 0,783. Kesimpulan : Fragmentasi kompleks QRS pada pasien blok nodus AV total memiliki kecenderungan 2,4 kali untuk prediksi PJK namun tidak bermakna secara statistik.Kata Kunci : Fragmentasi kompleks QRS, penyakit jantung koroner, blok nodus AV total, pacu jantung permanen ......Background Detection of coronary artery disease CAD in symptomatic bradycardia patients requiring permanent pacemaker implantation should be known early. Currently the use of advanced modalities such as cardiac catheterization and cardiac CT are the primary choice in detection of CAD in total atrioventricular blok patients with relatively high cost and risk. The description of fragmented QRS complex fQRS in electrocardiography associated with the presence of ischemia or scar in the myocardium that can be an alternative detection of CAD in patients with total AV block requiring permanent pacemaker implantation. Objectives To determine the relationship between fragmented QRS complex and coronary artery disease in patients with complete atrioventricular AV nodal block requiring permanent pacemaker implantion. Methods This study is an analytic study of case control using secondary data of medical record of complete AV block patients who have performed permanent pacemaker and coronary angiography at PJN Harapan Kita hospital. The study was conducted in April Agustus 2017. Recorded patient characteristics, factors known to influence CAD events as well as results of echocardiography and coronary angiography. The EKG readings were performed by two cardiologist consultants in the arrhythmia division. Results The total sample of this study was 46 consisting of 23 case and 23 control. The description of Fqrs in patients with total AV nodal block showed a trend of 2.4 times for CAD prediction compared with those without Fqrs, although statistically showed a non significant OR 2.4 p 0.236 . Kappa test results showed good agrreement both observers with Kappa inter observer value 0.487 and intra observer 0.737 and 0.783. Conclusion Fragmented QRS complex in patients with complete AV nodal block had a tendency of 2.4 times for CAD prediction but statistically not significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Anindya Tyagitha
Abstrak :
Latar belakang : Angka kejadian infertilitas di Indonesia diperkirakan kurang lebih mencapai 6% atau terdapat kurang lebih 3-4,5 juta pasangan yang mengalami kesulitan mempunyai keturunan. Pada tahun 2012 dilaporkan bahwa 28,4% siklus merupakan transfer embrio beku dibandingkan pada tahun 2003 dimana dilaporkan siklus embrio beku dilakukan hanya 16,1% pada program Fertilisasi In Vitro (FIV). Walaupun transfer embrio beku telah semakin sering dilakukan, tetapi metode untuk persiapan endometrium yang paling efektif, antara alamiah atau artifisial, masih belum diketahui secara jelas. Tahap persiapan endometrium sebelum transfer embrio merupakan tahap yang sangat penting dalammencapai reseptivitas endometrium dan keberhasilan kehamilan. Tujuan : Mengetahui luaran program FIV pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial di Klinik Yasmin, RSCM Kencana. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik dengan menggunakan metode uji potong lintang, periode 1 Januari 2011-31 Desember 2018. Pengambilan sampel dengan cara total sampling. Subjek penelitian ini merupakan seluruh wanita yang mengikuti FIV dengan tranfer embrio beku yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang dilakukan di RSCM. Data yang didapatkan dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui angka implantasi dan kehamilan pada transfer embrio beku dengan metode alamiah dan artifisial. Hasil : Dari 147 subyek yang memenuhi kriteria penelitian, didapatkan 19 subyek menjalani persiapan endometrium dengan metode alamiah dan 128 menjalani persiapan endometrium dengan metode artifisial. Angka implantasi metode alamiah vs metode artifisial (32 % vs 29%); angka kehamilan biokimiawi (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); angka kehamilan klinis (42,1% vs 34,4%; p > 0,05); serta angka kehamilan lanjutan (36,8% vs  28,9%; p > 0,05). Kesimpulan :  Persiapan endometrium secara alamiah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terjadinya implantasi dan kehamilan biokimiawi dibandingkan persiapan secara artifisial. Sedangkan angka kehamilan klinis dan kehamilan lanjutan tidak berbeda bermakna. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menambah besar sampel, terutama pada kelompok persiapan endometrium secara alamiah. ......Background : Infertility incidence in Indonesia is estimated to reach approximately 6% or approximately 34.5 million couples who have difficulty having children. In 2012 it was reported that 28.4% of cycles were frozen embryo transfers compared to 2003 where it was reported that only frozen embryo cycles performed only 16.1% in the In Vitro Fertilization (FIV) program. Although frozen embryo transfers have increasingly been done, the most effective method for endometrium, between natural or artificial, is still not clearly known. The endometrial preparation stage before embryo transfer is a very important stage in achieving endometrial receptivity and the success of pregnancy. Objective : Knowing the outcome of the FIV program on frozen embryo transfer using natural and artificial methods at the Yasmin Clinic RSCM Kencana. Methods : This research was an restropective analytical study using a cross-sectional test method for the period of January 1, 2011-December 31, 2018. Sampling by total sampling. The subjects of this study were all women who took part in FIV with frozen embryo transfer that met the inclusion and exclusion criteria performed at RSCM. The data obtained were analyzed bivariately using the chi-square test to determine implantation and pregnancy rates in frozen embryo transfer using natural and artificial methods. Results : 1 47 subjects who met the study criteria, 19 subjects underwent endometrial preparation by natural methods and 128 were subjects who underwent endometrial preparation by artificial methods. The rate of implantation of natural methods vs. artificial methods (32% vs 29 %); biochemical pregnancy rates (89,5% vs 53,1%; p < 0,05); clinical pregnancy rate (42,1% vs 34,4%; p > 0,05) and on going  pregnancy rates (36.8% vs 2 8,9%; p > 0,05). Conclusion : Natural endometrial preparations have a higher tendency for implantation and biochemical pregnancy, while  clinical pregnancy rate and on going pregnancies not significantly difference. Further research is needed to increase sample size, especially in natural preparation group.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library