Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Sarah Nuraini
"Dialog Antar Peradaban merupakan isu global dan menjadi tema pokok bagi wacana hubungan antara negara-negara Islam dan Barat era tahun 1990-2000. Tema ini dicetuskan oleh Muhammad Khatami dan popular di tataran internasional, terutama saat terbentuk opini bahwa negara Islam selalu terkait dengan kekerasan dan sifat masyarakatnya yang eksklusif. Oleh karena itu, Khatami mencoba membuat formulasi baru dalam menghadapi mantas tersebut melalui pemikiran Dialog Antar Peradaban.
Konteks di atas memperlihatkan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam kajian ini. Antara lain prinsip-prinsip yang terkandung dalam tema Dialog Antar Peradaban, pengaruhnya terhadap kondisi perpolitikan Iran era tahun 1990-2000, dan analisa secara mendalam mengapa Dialog Antar Peradaban dinilai penting oleh Khatami agar dipraktekkan dalam membangun relasi antara dunia Barat dan Islam. Dengan menggunakan metode kualitatif berdasarkan tehnik analisa deskriptif eksploratif, pembahasan beberapa permasalahan tersebut dipaparkan lebih mendalam melalui penelusuran studi kepustakaan dan beberapa dokumen ilmiah yang terkait langsung dengan pernyataan orisinalitas Khatami.
Berdasarkan metode tersebut dapat disimpulkan bahwa Dialog Antar Peradaban bertujuan untuk mencari dan membuka peluang peradaban Islam, khususnya Iran, agar dapat melangkah sejajar bersama-sama dengan peradaban lainnya (Barat) tanpa menghilangkan identitas peradaban Islam itu sendiri. Selain itu, dialog antar peradaban juga menjamin kebebasan individu, terutama-dalam mengembangkan kreativitasnya. Prinsip kebebasan harus dijalankan sehingga relasi dan interaksi antar peradaban dapat semakin terbuka dan berjalan dengan damai. Semuanya ini demi mengangkat kembali penilaian masyarakat internasional terhadap dunia Islam secara umum. Formulasi ide Khatami dapat terlihat ketika suatu negara menjalin interaksi dengan negara lain, demi kebutuhan negara bersangkutan.
Temuan-temuan penelitian menunjukkan ternyata ide Dialog Antar Peradaban dapat menciptakan reorientasi baru, khususnya bagi negara-negara Islam ketika mengembangkan interaksinya dengan negara lain. Secara teoritis, implikasi terhadap perkembangan teoritik menunjukkan bahwa demokrasi dan prinsip nilai Islam dalam suatu negara dapat berjalan beriringan, terutama saat peradaban Islam berhadapan dengan tantangan globalisasi. Namun yang perlu diperhatikan, sebuah pemikiran akan selalu berujung pada level wacana. Ini merupakan kritikan tersendiri terhadap telaah pemikiran Khatami, mengingat Iran masih menerapkan struktur politik yang hirarkis-dominatif.

Dialogue among civilization is a global issue and has created political discourse for the relation between Islamic and Western country during 1990-2000. Khatami proposed this idea and since then became popular on international stage, especially when some opinions always associated Islamic country with violence and the exclusiveness of Islamic society. Therefore, Khatami tried to make a new formulation through his idea-Dialogue among Civilization-to response that reality.
According Khatami's thought, there are several problems need more explanation. Those are some principles on dialogue among civilization, the influence of this idea to Iran's political condition during 1990-2000, and analysis for the importance of this idea, mainly when Khatami strongly believed his idea as an alternative paradigm for international relationships between Islamic and Western world. The research will be analyzed by qualitative methods, based on descriptive-explorative technical analysis.
The research concludes that dialogue among civilization has some purposes. First, this idea can obtain an opportunity far--Islamic civilization mostly Iran-for balancing other civilization (Western). Second, it also ensures individual freedom to develop their creativity. This principle must be carried out in order that the relation and interaction among civilization become wider and peaceful. The manifestation of Khatami's thought can be observed from interaction of many nations in the world. Dialogue among civilization also formed new orientation for Islamic countries when raised its relation with other country. From theoretical influence, it shows that democracy and Islamic principles can bring together, especially when Islamic civilization confronting globalization's challenges.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jayusman
"Dalam sejarah DI/TII Jawa Tengah, masa kepemimpinan Amir Fatah (1949-1950) merupakan periode awal dari gerakan tersebut secara keseluruhan. Dalam periode tersebut, aktivitas gerakan baru terbatas pada daerah Tegal-Brebes. Peranan Amir Fatah dalam masa-masa awal gerakan DI/TII Jawa Tengah ini sangatlah menonjol. Namun demikian, sejauh ini belum ada studi yang membahas secara khusus dan mendalam mengenai hal tersebut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan apabila studi ini dilakukan.
Permasalahan yang akan dicari jawabannya lewat studi ini adalah: mengapa Gerakan DI/TII Amir Fatah muncul di daerah Tegal- Brebes, bagaimana pertumbuhan dan perkemhangannya selama di bawah kepemimpinan Amir Fatah, serta bagaimana Iangkah Pemerintah untuk menyelesaikan pemberontakan tersebut ?
Gerakan DI/TII Amir Fatah dapat dikategorikan sebagai aksi kolektif yang sifatnya proaktif. Ini disebabkan karena gerakan tersebut memperjuangkan sesuatu yang belum dimiliki, yaitu diakuinya kedaulatan Negara Islam Indonesia (NII).
Studi ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang berlaku dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, serta penulisan. Data diperoleh dari sumber-sumber sejarah baik primer maupun sekunder. Sumber primer meliputi arsip, koran, dan majalah sejaman, serta hasil wawancara dengan para pelaku sejarah. Sedangkan sumber sekunder diperoleh dari sejumlah buku dan artikel.
Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan.
Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII).
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Dalam meiakukan aksi-aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis.
Dalam menyelesaikan pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara, yaitu operasi militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando Gerakan Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah itu, ditambah dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII telah berhasil memaksa Amir Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama itu, dan kemudian menyerah. Kekecewaan itu muncul karena dalam struktur organisasi Divisi IV Syarif Hidayat yang baru terbentuk, posisinya berada di bawah Satibi Mughny, yang dahulu merupakan anak buahnya.
Dalam kesatuan tersebut Amir Fatah hanya menjabat sebagai Komandan Brigade, sedangkan Satibi Mughnya menduduki jabatan Kepala Staf Divisi.
Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.

In the history of DI/TII of Central Java, the leadership of Amir Fatah (1949-1950) was the first period of the movement entirely. In this period, the activities of the movement was only in Tegal and Brebes. Amir fatah had a great part in Central Java in the first of DI/TII movement So far, there weren't any studies ,specifically and deeply, that discussed about it. Through this study, we want to know why Amir Fatah's DI/TII movement appeared in Tegal-Brebes, How it grew and developed under Amir Fatah leader ship, and How Government faced this movement.
Amir Fatah's movement could be Categorized as a collective action that was pro-active, because it struggle from something that they hadn't had before, it was the recoaizing of the Indonesian Islamic Country (NII) sovereignty.
This study based on the steps of the method of history : heuristic, critic, interpretation and also in writing. The Batas have been got from the primary and secondary history resources. And also from the interview results of the actor of the history. The secondary resources were from the books and articles.
The movement appeared after the aggression of Dutch Military II when the NII was proclaimed in Pengarasan Village, April 28, 1949. It was also supported by the Hisbullah Army (Laskar Hisbullah) and Islamic Council(Majelis Islam), and the farmers in the village (a group of society).
This group gave their support to DI/TII because of Islamic Ideology in order to proclaim Indonesian Islamic Country (Negara Islam Indonesia).
Amir Fatah was the former of DI/TII of Central java. He supported the movement very much even before he was loyal to the Indonesian Republic (RI). It was caused by many reason : first, He had the same ideology with S.M. Kartosuwiryo and also both of them supported Islamic Ideology faithfully. Second, according to Amir and his friends that the Government apparatus of Indonesia and Also the army (TNI) that were in Tegal-Brebes had been influenced by "the leftist" and had disturbed the Moslem. Third, the influence of "the leftist" had made the RI government and the army (TNI) not respect to the struggle of Amir and his followers in Tegal-Brebes. Even the Islamic Council (Majelis Islam), that had been formed before Militer Aggression II, should be given to the TNI under Wongsoatmojo. Fourth, Major Wongsoatmojo give a command to arrest him.
In his military actions, Amir had been success in mobilizing many recourses of his follower in normative, utilities, and coercive. But still there were some problems that they had to face it, that was from the Antareja Movement of Indonesian Republic (Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI) and Guerrilla of Indonesian Republic (Gerilya Republic Indonesia (GRI), also from "The leftist" especially the communist.
The government of Indonesian Republic had two ways to face the revolt of DI/TII : Military and Political Operations . The military operation was done by the forming of the command of the National Banteng Movement (Gerakan Banteng National/GBN). Politically, the Government offered amnesty to the insurgents. The execution of the two ways by the government was in the same time that Amir had been very disappointed of the intern of DM because his friends insisted him to reconsider their struggle and then to give up. His disappointment also because his new position in the structure of division II organisation/Syarif Hidayat was under Satibi Mughny that used to be his crew member. In this unit Amir was only the Brigade Commander, but Satibi Mughny was the chief of Division Staff.
DI/TII movement developed very quick under the Leadership of Amir Fatah until 1950. He also had influenced Moslem Forces (Angkatan Oemat Islam/AOI) and Battalion 426 to make a revolt. But he failed to influence Battalion 423 because of the preventive of Diponegoro Division Commander."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardias Gufron
"Tesis ini menfokuskan kajian penelitian pada pemikiran politik Mohammad Natsir tentang Negara Islam dan dan beberapa aspek pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran Politik yang di maksud di sini adalah upaya pencarian landasan intelektual bagi konsep negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pemikiran politik Mohammad Natsir dalam hal ini, merupakan Vtihad politik Mohammad Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang berlangsung.
Kajian ini dilakukan guna menemukan penyebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya pemikiran politik Mohammad Natsir tentang Negara Islam. Penelitian ini dilakukan juga guna menjelaskan aspek-aspek yang menjadi kontroversi dalam pemikiran politik Mohammad Natsir. Selain itu penelitian juga mencoba menjelaskan konsep negara Islam menurut pemikiran Mohammad Natsir dan implikasi serta proyeksi ke depan pemikiran tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode Hermeneutika. Hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi. Hermeneutika yang dimaksud penulis di sini adalah understanding process of understanding (Proses pemahaman terhadap sebuah pemahaman). Dalam kaitan ini penulis mencoba menginterpretasikan teks yang terdapat di dalam sumber data utama (buku tulis dan catatan) yang ditulis secara langsung oleh Mohammad Natsir dan juga sumber data sekunder berupa catatan orang lain mengenai pemikiran Mohammad Natsir. Melalui metode ini penulis berupaya menjelaskan apa makna dari tafsir teks-teks dalam sumber data utama maupun sumber data sekunder tersebut, sehingga penulis dapat mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara Islam menjadi kontroversial karena hasil interaksi Mohammad Natsir dengan Iingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupannya. Sementara itu, dalam konsep Negara Islam, Natsir berpendapat bahwa suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut Negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik dalam teori maupun praktiknya sehingga bagi Natsir negara berfungsi sebagai alat atau perkakas bagi berlakunya hukum Islam. Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Namun pandangan Natsir ini ternyata sangat kontradiktif dengan sikap Natsir yang bersikeras men]adikan Islam sebagai dasar negara. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hulcum itu Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kepada peneliti ilmu politik agar dapat menyempurnakan pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir yang belum memenuhi tuntutan masyarakat modern dalam bemegara, terutama konsep tentang demokrasi. Sedangkan kepada para Praktisi politik penulis menyarankan agar dapat mengambil pemikiran Mohammad Natsir yang berhubungan dengan konsep negara sebagai "alat" dan pemikiran liberalnya tentang bolehnya mengadopsi sistem pemerintahan apa saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library