Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kandi Tri Susilaningsih
Abstrak :
Fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam Tata Peradilan Pidana, bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, tetapi melalui sejarah perkembangan panjang mengikuti sejarah kebangsaan, perkembangan hukum dan budaya bangsa Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan berasal dari suatu embrio yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan Lembaga Kepenjaraan, sebagai konsekuensi dari adanya jenis pidana penjara, pada pasal 10 KUHP, sehingga selalu ada keterkaitan antara tujuan pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan khususnya pidana penjara, walaupun tolok ukur diantara keduanya berbeda namun saling melengkapi, saling mempengaruhi, dan selalu terkait dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan, pelaksanaa putusan bahkan sampai terpidana bebas, apalagi Lembaga Pemasyarakatan berfungsi juga sebagai Rumah Tahanan Negara, sehingga menghendaki keterpaduan, dan diperlukan koordinasi antar instansi penegak hukum. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk melaksanakan pidana penjara, terkait fungsi kekuasaan kehakiman yaitu membantu hakim mewujudkan putusan pidananya, sehingga diperlukan pengawasan Hakim Wasmat, di sisi lain, sebagai aparat.pemerintah maka dituntut untuk melakukan pembinaan narapidana menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, untuk itu Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang untuk meringankan masa hukuman berupa remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas dan pelepasan bersyarat, dan ini menentukan tolok ukur keberhasilan Lembaga Pemasyarakatan. Pelaksanaannya menemui berbagai hambatan seperti persepsi tentang sistem pemasyarakatan diartikan dengan kelonggaran-kelonggaran, sumber daya manusia yang tidak sebanding dengan kualitas dan kuantitas kejahatan, sarana dan prasarana yang terbatas, rendahnya budaya hukum petugas pemasyarakatan, pengawasan/penegakan hukum yang lemah, lebih-lebih terjadi peredaran uang di Lembaga Pemasyarakatan menjadi pemicu utama terjadinya transformasi penderitaan dari sistem kepenjaraan berupa penderitaan fisik menjadi penderitaan ekonomis, untuk itu diperlukan terobosan pengawasan yang bisa diakses langsung oleh Pengawas yang sifatnya transparan sehingga mampu menyentuh akar permasalahan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16635
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Begg, Moazzam
Abstrak :
Moazzam Begg, warganegara Inggris keturunan Pakistan, adalah seorang bekas tahanan Amerika di Guantanamo. Begg lahir dan besar di Inggris, mengecap pendidikan di sekolah Yahudi ?King David?. Masa kecilnya dilalui dengan manis, kecuali kehilangan Ibu di usia 8 tahun. Lingkungan dan pendidikan Begg membentuknya menjadi seorang pribadi yang sangat demokratis. Di masa sekolah, Begg bahkan aktif ambil bagian dalam kegiatan keagamaan di sekolah. Walau demikian, Begg tetap seorang Muslim. Peperangan dan konflik politik yang terjadi di Bosnia, Chechnya, dan Palestina mulai menggugah kesadarannya akan identitasnya sebagai seorang Muslim. Begg mulai rajin mencari tahu apa yang terjadi di belahan dunia lain, apa kaitannya dengan Muslim dan apa yang dapat dilakukannya. Suatu saat dia menyadari betapa tidak adilnya, dia hidup tenang dengan nyaman di Inggris sementara saudara-saudaranya yang Muslim mengalami penderitaan tak tertahankan di dunia lain. Begg lalu menguatkan hati untuk melakukan berbagai perjalanan dan melihat kondisi di negara-negara yang sedang mengalami perang tersebut. Hidup Begg mulai berubah setelah itu. Dia mulai tekun mempelajari ajaran agamanya, meninggalkan kehidupan lain yang sering dilakoninya bersama rekan-rekannya. Begg menjadi Muslim yang baik, sekaligus moderat dan sangat rasional. Dia menikahi seorang wanita Palestina bernama Zainab. Mereka menjadi satu tim yang kompak dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial di Afganistan dan Pakistan. Membangun sekolah khusus perempuan di Afganistan, membangun saluran air bersih untuk penduduk setempat, dan mengirim bantuan ke negara-negara Muslim yang sedang dalam kondisi tidak stabil. Mereka bahkan memilih tinggal beberapa lama di Afganistan, lalu Pakistan. Komitmen Begg untuk mengabdikan hidupnya bagi kegiatan sosial ini yang membawanya ke tangan Amerika, setelah peristiwa WTC yang tak akan pernah terlupakan itu. Amerika menjadikan aktifitasnya itu sebagai alasan membawanya ke Guantanamo dengan tuduhan sebagai anggota Taliban dan pendukung Al-Qaeda. Tengah malam, 31 Januari 2002, Begg diculik dari rumahnya di Pakistan. Tidak terpikirkan oleh Begg bahwa orang-orang yang menodongkan senjata itu adalah CIA. Begg menduga itu penculikan oleh kelompok kriminal setempat yang pada saat itu memang banyak terjadi di Pakistan. Itulah awal penderitaan Begg. Dia dipenjara di Kandahar, lalu ke Bagram, dan akhirnya ke Guantanamo. Penahanan ini selalu disertai dengan penyiksaan fisik dan mental, serta interogasi yang melelahkan dan membosankan. Selama 3 tahun ditahan, Begg menjalani 300 kali interogasi. Kesabarannya benar-benar diuji. Ditahan tanpa tuduhan jelas dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Bagi saya, kisah ini bukan hal baru. Lewat media massa kita pun tahu bahwa kisah2 seperti ini selalu terjadi sepanjang masa. Seringkali memang berkaitan dengan negara adi kuasa itu. Yang menarik dari buku ini, sekaligus menimbulkan kekaguman saya pada Moazzam Begg adalah sikap dan penilaiannya terhadap segala situasi yang menimpanya. Dia tetap rasional, kritis, dan ..objektif! Dia tidak pernah menyalahkan satu pihak secara total atas semua kerumitan yang terjadi di dunia ini setelah 11 September 2001. Begg menolak sikap Amerika yang berlebihan dan paranoid, tapi juga memahami ketakutan mereka setelah serangan itu. Begg menolak aksi kekerasan (pengeboman, bunuh diri, dan peperangan), tapi dia juga menolak keras jika semua itu dikaitkan dengan Islam. Begg tidak setuju dalam banyak hal dengan Taliban, tapi dia mendukung Taliban memberantas maksiat dan perdagangan anak-anak dan wanita di Afganistan. Begg mengoreksi banyak kekeliruan yang dilakukan pemerintah Amerika, tapi sekaligus juga mengkritisi sikap beberapa pimpinan negara Muslim yang tidak berusaha mengembalikan citra Islam yang positif di mata dunia Internasional. Buku ini memberi banyak pelajaran bagaimana mengatasi kondisi yang sangat tidak normal. Lewat kisahnya, Begg semakin meneguhkan saya bahwa bersikap fleksibel dan selalu memelihara pikiran positif itu akan sangat membantu kita dalam kondisi apapun. Buku ini tidak berkisah soal penderitaan saja. Yang paling menarik adalah bagaimana hubungan antara para penjaga penjara dengan para tahanan. Menurut Begg, mereka semua sama-sama tahanan, karena dalam kenyataannya banyak tentara Amerika yang tidak setuju dengan kebijakan Bush soal tahanan-tahanan itu. Para penjaga ini juga merasa sama-sama tersiksa ditempatkan di Guantanamo dan diperintahkan melakukan penyiksaan yang tidak mereka kehendaki. Alhasil, beberapa penjaga harus mendapatkan hukuman karena dianggap bersekutu dengn tahanan, hanya karena mereka sering terlihat mengobrol akrab dan menjalin persahabatan. Begg sendiri memiliki banyak teman Amerika (para penjaga tahanan) di Guantanamo. Begg bisa melihat betapa hidupnya dan hidup penjaga sama saja. Mereka lalu sering berdiskusi tentang berbagai hal dan keluarga. Bahkan, buku ini juga ditulis Begg atas desakan dan anjuran para tentara Amerika sendiri. Para tentara ini menganggap penting sekali bagi dunia melihat apa yang dterjadi di Guantanamo melalui saksi hidup seperti Begg. Memang beberapa tentara konsisten mendukung Bush, dan lagi-lagi Begg bisa memahaminya. Kebebasan Begg terjadi berkat kerja keras berbagai pihak, khususnya keluarganya. Di luar penjara, keluarga Begg berjuang keras untuk membebaskannya dengan berbagai demo dan jalur hukum. Tak diduga banyak simpati dan dukungan untuk Begg dan rekan-rekannya, khususnya dari warga Inggris Non Muslim. O ya, buku ini senada dengan buku ?For God and Country?. Dan Begg menyingung Yee di buku ini. Ada hal menarik juga, yaitu motif serangan ke WTC. Bagi yang selama ini percaya pada asumsi bahwa serangan ini adalah konspirasi Amerika dan Osama, buku ini mungkin menjawab asumsi itu. Uthman, orang dekat Osama ada di buku ini sebagai teman tahanan Begg di Guantanamo. Menurut Uthman, serangan ke WTC murni inisiatif Taliban atas pendudukan Amerika di negara-negara Muslim. Menurut Uthman, Osama berhasil?:) ------------------------------ Risensi oleh: Kalarensi Naibaho
Bandung: Mizan Pustaka, 2006
365.42 BEG n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Finkelstein, Ellis
Aldershot: Avebury, 1993
365 FIN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Yusuf
Abstrak :
Berbagai negara di dunia telah mengatur tentang kompensasi, diantaranya Inggris dengan British Commend paper of 1961 and 1964, di New Zealand dengan New Zealand Compensation Act of 1963 dan Australia dengan Criminal Injuries Compensation Act 196. Ketentuan-ketentuan ini dengan jelas mencantumkan kewajiban negara untuk memberikan kompensasi pada korban kejahatan. Kompensasi juga dikenal di Amerika Serikat, kompensasi dikenal di 27 negara bagian (Amerika Compensation program 1965). Di Denmark, di German dan Norwegia juga dikenal program kompensasi. Negara adalah yang paling berkewajiban untuk memperhatikan keadaan warganya. Negara, melalui aparatnya, berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah kejahatan yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula. Kunter mengingatkan bahwa korban mempunyai hak untuk mengklaim negara. Dalam menyatakan pendapatnya ini, Kunter memberi contoh adanya tanggung jawab pabrik/perusahaan terhadap pekerjanya. Penderitaan, kecelakaan yang dialami pekerja merupakan tanggung jawab pabrik/perusahaan. Demikian pula dengan negara. Apapun yang akan dianut dalam hal teori pemidanaan tetapi yang harus tetap diingat adalah bahwa dengan "hilangnya" terpidana di balik tembok penjara dia tidak kehilangan haknya sebagai warga negara. Perlindungan yang diberikan oleh UU No. 8/1981 terhadap "harkat dan martabat manusia" tetap mengikat terpidana juga ke dalam penjara. Proses baru terhenti pada saat terpidana dilepaskan kembali ke masyarakat sebagai seorang warga negara yang telah menyelesaikan pidana yang diberikan negara kepadanya melalui pengadilan. Tanggung jawab moral hakim mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara. Lebih kuat lagi alasan ini bilamana kita mengingat bahwa putusan pengadilan (hakim) diberikan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tegaknya keadilan bagi terpidana juga merupakan tanggungjawab hakim selama yang bersangkutan berada dalam penjara.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18240
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ania
Abstrak :
Penelitian ini berjudul "Implementasi Aspek Keselamatan Standart Minimum Rules (SMR) Di Lembaga pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis. Dalam Aspek keselamatan terdapat beberapa standar yakni tentang klasifikasi/pemisahan, disiplin, penggunaan kekerasan, penggunaan alat pembatas gerak dan pengaduan. Alasan kenapa penulis memilih aspek tersebut adalah karena keselamatan dan Hak Asasi Manusia berhubungan erat, keselamatan di Lapas merupakan kebutuhan utama baik untuk petugas maupun narapidana. Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan implementasi aspek keselamatan Standart Minimum Rules (SMR) pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkotika Cipinang dipengaruhi oleh pertama overkapasitas pada Lapas, dikarenakan meningkatnya jumlah narapidana/tahanan kasus narkoba, sehingga pemisahan kategori narapidana atau klasifikasi pada Lapas overkapasitas terbentur dengan masalah terbatasnya sarana dan prasarana yang terdapat didalam Lapas. Kedua disiplin dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan tergantung pada kepatuhan narapidana tersebut dan pengelolaannya dilakukan oleh pemuka atau tamping bukan oleh petugas. Ketiga Komunikasi keluar ataupun pengaduan yang akan dilakukan narapidana akan disensor terlebih dahulu atau atas seijin Kalapas. Upaya-upaya yang dilakukan mengatasi hambatan implementasi aspek keselamatan SMR pada Lapas Narkotika Cipinang dengan menambah sarana blok hunian narapidana atau membangun gedung Lapas baru untuk hunian narapidana, dan membuat kebijakan Lapas tentang peraturan disiplin, kebijakan peran dan tanggung jawab masing-masing tamping dan pemuka di semua bidang, kebijakan mengenai mekanisme pengaduan. ......The study is titled "Safety Aspect Implementation of the Standard Minimum Rules (SMR) at Class IIA Cipinang Narcotic Correctional Institution". The background of the title selection is based on empirical and theoretical studies. In the safety aspect that there are some standards on the classification / separation, discipline, use of force, the use of a limiting motion and complaint. The reason why the author chose this aspect is due to the safety and human rights are closely linked, safety in prisons is a major requirement for officers and inmates. Location of research done at Classs IIA Cipinang Narcotics Correctional Institution. The research method used in this research is using qualitative approach. The results shows that safety aspect implementation of the standard minimum rules (SMR) in the Cipinang Narcotics Correctional Institution first affected by overcapacity, due to the increasing number of inmates / detainees drug case, so the separation of category or classification of inmates in Correctional Institution overcapacity collided with the problem of limited means and infrastructure that may be in Correctional Institution. Both discipline and order in the Correctional Institution inmates are dependent on compliance and managed by leaders or tamping not by officers. Third Communication complaints out or to be carried prisoners to be censored or for permission first from Kalapas. Efforts were made to overcome barriers to the implementation of the safety aspects of SMR at Narcotics Prison Cipinang by adding residential block inmates or means of building new Correctional Institution for housing inmates, and make policy on Correctional Institution disciplinary rules, policies, roles and responsibilities of each tamping and leaders in all areas, the policy on complaints mechanism.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dilulio, John J., Jr.
New York: Free Press, 1990
365 DIL g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhia Sabaruddin
Abstrak :
Sistem pemasyaraktan sebagai metode pembinaan para pelanggar hukum berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dalam kerangka sistem pemasyarakatan, pembinaan narapidana adalah masalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek dan eksistensinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi serta memperlihatkan hak asasi pelanggar hukum, baik sebagai individu, mahluk sosial maupun religisus. Namun sistem pemasyarakatan seperti tersebut di atas dalam kenyataanya tidaklah mudah. Seperti aksi kerusuhan selama tahun 2001, yang telah membuat daftar panjang mengenai kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan klas I Cipinang. Situasi dan kondisi yang digambarkan berkenaan dengan masalah kerusuhan di LP Cipinang merupakan kejadian yang sangat mungkin terjadi dan tidak dapat dipungkiri. Apa yang digambarkan tersebut merupakan bagian dari kehidupan dalam tembok lembaga pemasyarakatan yang pada dasarnya merupakan kondisi umum dan secara universal terdapat di lembaga pemasyarakatan seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai pola kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, serta mencari tahu apa yang menjadi faktor penyebab kerusuhan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik-teknik berupa wawancara dengan narasumber antara lain : Petugas, Narapidana dan Mantan Narapidana. Dari hasil penelitian data dan wawancara yang dilakukan kepada narasumber tersebut diketahui pola dan faktor penyebab kerusuhan dalam LP Cipinang adalah : Pola kerusuhan yang terjadi dapat disimpulkan terdiri dari : 1. Kerusuhan antar blok 2. Kerusuhan antar etnis 3. Kerusuhan antara narapidana dengan petugas Sedangkan mengenai faktor penyebab kerusuhan, antara lain : - Daya tampung yang melebihi kapasitas - Akumulasi kekecewaan - Ada disharmonisasi hubungan - Ada penguasaan sumber daya tertentu oleh kelompok narapidana - Diskriminasi perlakuan - Fasilitas dan sarana yang kurang memadai - Kurang adanya fokus kegiatan pembinaan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
T7945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Hardaningsih
Abstrak :
Kejahatan merupakan perilaku yang bertentangan dengan hukum dan norms sosial lainnya serta merugikan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat berkeinginan memberantas kejahatan dan kejahatan itu sendiri bisa dilakukan oleh laki-laki maupun wanita, balk dewasa maupun anak-anak. Di dalam pemberantasannya bentuk dan caranya berbadabeda satu dengan yang Iainnya berkembang sesuai dengan jamannya. Kejahatan berkaitan erat dengan pemidanaan, dalam perkembangannya pidana mengalami perubahan balk bentuk, sifat maupun tujuannya_ Sekarang pemberian pidana dimaksudkan sebagai sarana pembinaan yang merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang dikenal dengan sistem pemasyarakatan. Di dalam sistem pemasyarakatan bahwa pelaksanaan pidana tidak dimaksudkan untuk perampasan kemerdekaan seseorang, tetapi sebagai sarana untuk membina narapidana. Narapidana tidak saja sebagai obyek namun juga sebagai subyek dalam mencapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana maka lembaga pemasyarakatan merupakan Ujung tombak untuk mencapai tujuan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Namun di dalam pelaksanaan pembinaan tersebut lembaga pemasyarakatan mempunyai hambatan-hambatan baik yang berasal dari dalam lembaga pemasyarakatan seperti petugas pemasyarakatan dan narapidana itu sendiri, juga berasal dari luar lembaga pemasyarakatan seperti partisipasi masyarakat yang menunjang suksesnya pembinaan yang telah dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di LPW Tangerang, kasus yang terbanyak adalah narkotika dan psikotropika. Pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana disesuaikan dengan minat dan bakat dan narapidana itu sandiri, sehingga nantinya pembinaan (terutama ketrampilan) yang diterimanya tersebut dapat dijadikan modal usaha bila keluar dari LPW Tangerang ini. Bila hash pembinaan terhadap narapidana ini dinilai dart banyaknya residivis, maka LPW Tangerang dapat dikatakan telah berhasil dalam membina narapidana. karena hanya ada beberapa orang saja yang menjadi residivis, selebihnya dapat menjadi manusia yang taat pada hukum dan berguna bagi keluarga dan masyarakat sekitamya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thompson, Leon Whitey
Fiddletown: Winter Book, 1995
365 THO a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Sunaryo
Abstrak :
Setiap bangsa dan negara, termasuk bangsa Indonesia, mempunyai cita-cita untuk mencapai tujuan nasionalnya. Upaya untuk mencapai tujuan nasional itu selalu terkait dengan aspek kesejahteraan dan keamanan. Di Indonesia, upaya untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945, dilaksanakan melalui pembangunan nasional secara terus menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap serta berencana. Disadari bahwa pembangunan nasional, disamping telah menghasilkan kemajuan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, juga membawa dampak ikutan antara lain semakin kompleks dan beragamnya masalah dan bentuk kejahatan, yang pada gilirannya apabila tidak ditangani secara baik akan menghambat pembangunan itu sendiri, dan melemahkan ketahanan nasional. Sebagai negara berdasarkan hukum (rechtsstaat), salah satu upaya yang dilakukan oleh negara untuk mencegah dan menanggulangi kriminalitas, lebih jauh untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, adalah membina para pelanggar hokum yang oleh pengadilan dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, di Lembaga Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan narapidana yang berlaku dewasa ini, secara konsepsual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan dimasa lampau yang tujuannya adalah penjeraan atau pembalasan terhadap para pelaku tindak pidana. Dalam sistem pemasyarakatan, penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. Tujuan itu telah berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>