Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisyah Safrina
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh fortifikan NaFeEDTA dalam tepung tahu terhadap jumlah sel darah merah tikus putih Rattus norvegicus L. jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL , terdiri atas 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi larutan CMC 0,5 ; KK 2 yang diberi CMC 0,5 dan suspensi tepung tahu tanpa fortifikan; dan KP 1, 2 dan 3 diberi CMC 0,5 dan tepung tahu dengan fortifikan NaFeEDTA dosis 2,7 mgFe/kgBB; 5,4 mgFe/kgBB; dan 10,8 mgFe/kgBB selama 14 hari. Pengambilan darah dilakukkan pada hari ke-0 dan setelah perlakuan pada hari ke-14. Jumlah sel darah merah dihitung menggunakan alat hematology analyzer. Hasil uji ANAVA satu arah P < 0,05 menunjukkan pengaruh nyata pemberian fortifikan NaFeEDTA dalam tepung tahu terhadap jumlah sel darah merah antar kelompok perlakuan. Hasil uji LSD P < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah sel darah merah yang nyata antara KK 1 dengan semua kelompok perlakuan KP 1, KP 2 dan KP 3 ; KK 2 dengan semua kelompok perlakuan pada t14 dan antar semua kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah sel darah merah tertinggi terjadi pada KP 2 yaitu 22,26 terhadap KK 1; dan 20,24 terhadap KK 2.
The effect of fortificant NaFeEDTA inserted in tofu flour intake on red blood cell count in male Sprague Dawley rats Rattus norvegicus L. has been studied. Twenty five rats were divided into five groups, consist of normal control group KK 1 which was administered with CMC 0,5 , treatment control group KK 2 which was administered with CMC 0,5 and tofu flour non fortificant, and three treatment groups which was administered with CMC 0,5 and tofu flour added with fortificant NaFeEDTA 2,7 mgFe kgbw KP 1 5,4 mgFe kgbw KP 2 and 10,8 mgFe kgbw KP 3 . All the five groups were treated for 14 consecutive days. Red blood cell count was measured by automatic hematology analyzer. One way ANOVA test P 0,05 showed significant effect of fortificant NaFeEDTA inserted in tofu flour intake red blood cell count in all treatment groups. LSD test P 0,05 showed that the red blood cell count significantly different between KK 1 towards all treatment groups KK 2 towards all treatment groups and all the treatment groups. The highest increase of red blood cell count was detected on KP 2 at t14 which is 22,26 to KK 1 and 20,24 to KK 2.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulthan Rafii Ardiansyah
Abstrak :
Penelitian mengenai produksi biomassa (cyanobacteria) Synechococcus HS-9 dalam sistem fotobioreaktor pengangkut udara (APBR) dengan variasi diameter komponen pengatur arus (baffle) telah dilakukan. Komponen pengatur arus (baffle) dalam sistem fotobioreaktor (PBR) umum digunakan untuk meningkatkan kelarutan gas. Gas yang terlarut dengan baik menyediakan sumber karbon dan oksigen guna proses metabolisme mikroalga. Synechococcus HS-9 merupakan cyanobacteria berbentuk bulat hasil isolasi dari sumber air panas di wilayah Rawa Danau, Banten. Synechococcus HS-9 ditumbuhkan dalam sistem fotobioreaktor kolom gelembung (BCPBR) sebagai kontrol dan fotobioreaktor pengangkut udara (APBR) dengan variasi ukuran diameter baffle berukuran 6 dan 8 cm sebagai perlakuan. Tujuan dilakukan penelitian, yaitu mengetahui pengaruh peningkatan kelarutan gas akibat variasi ukuran diameter baffle terhadap pertumbuhan biomassa Synechococcus HS-9. Selain itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan kandungan total lipid biomassa Synechococcus HS-9 yang ditumbuhkan pada sistem APBR dengan variasi diameter baffle. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi ukuran diameter baffle tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan biomassa Synechococcus HS-9. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah rerata biomassa dan rerata densitas optik pada saat peakyang relatif sama serta panjang fase log yang berkisar 4-5 hari. Meskipun demikian, terdapat perbedaan kandungan total lipid biomassa Synechococcus HS-9 yang ditumbuhkan dalam sistem PBR. Kandungan lipid tertinggi diproduksi oleh biomassa Synechococcus HS-9 yang ditumbuhkan dalam APBR baffle tipe A dengan persentase sebesar 19,78%.
The study about biomass production (cyanobacteria) of Synechococcus HS-9 in airlift photobioreactor (APBR) with diameter variation of flow adjustor component (baffle) has been done. Flow adjustor component (baffle) is common to be used in photobioreactor (PBR) system for increasing gas solubility. Dissolved gas providing carbon and oxygen for microalgae metabolism. Synechococcus HS-9 is a coccoid cyanobacteria isolated from hot spring located in Rawa Danau, Banten. Synechococcus HS-9 was incubated in bubble column photobioreactor (BCPBR) as control dan airlift photobioreactor (APBR) with baffle diameter size variation of 6 and 8 cm as treatment. The aim of this study to determine effect of increased gas solubility due baffle diameter size variation in biomass production of Synechococcus HS-9. Other than that, this study aimed to determine differences of total lipid content from Synechococcus HS-9 biomass that is grown in APBR with baffle diameter size variation. The results shown that baffle diameter size variation has no significant effect to Synechococcus HS-9 biomass growth. This phenomenon can be seen from similarity of average biomass number and optical density at peakalso from the log phase length that ranges from 4-5 days. Nevertheless, there were differences in the total lipid content of Synechococcus HS-9 biomass grown in the PBR system. The highest lipid content was produced by Synechococcus HS-9 biomass grown in type A baffle APBR with a percentage of 19.78%.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Pradana Loeis
Abstrak :
Otak adalah sebuah organ yang sangat peka terhadap perubahan oksigenasi jaringan. Latihan fisik aerobik memiliki banyak manfaat, diantaranya meningkatkan cardiac output yang secara tidak langsung akan meningkatkan oksigenasi jaringan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal pada gyrus dentatus tikus. Desain penelitian ini adalah eksperimental dengan mengamati persentase sel saraf normal pada setiap sediaan otak tikus yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kontrol, latihan fisik (training) dan detrain. Hasil rata-rata persentase sel normal perkelompok sebagai berikut, kontrol 24,8%, training 41,1%, dan detrain 25,2% Hasil dari uji Post Hoc LSD menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol terhadap training (p<0,001) dan training terhadap detrain (p< 0,001) namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kontrol terhadap detrain (p< 0,853). Hasil penelitian ini mendukung teori tentang peningkatan oksigenasi jaringan ke otak akan meningkatkan jumlah sel saraf yang normal pada daerah gyrus dentatus otak tikus. ...... Brain is an organ which is very sensitive to changes in tissue oxygenation. On the other hand, aerobic exercise has many benefits, including increased cardiac output which will indirectly increase tissue oxygenation. The purpose of this study was to determine the effect of aerobic exercise and detrain on the gyrus dentatus number of normal neuron. This study used experimental design to observe the percentage of normal nerve cells in each mouse brain. The mice were divided into three groups, control, physical exercise (training) and detrain. Average percentage of normal cells per group as follows, controls 24.8%, 41.1% training and detrain 25.2% Results of Post Hoc test of LSD showed significant difference between the control group of the training (p <0.001 ) and training to detrain (p <0.001) but no significant difference between the control detrain (p <0.853). The results supported the theory of increased tissue oxygenation to the brain will increase the number of nerve cells in the area of ​​gyrus dentatus rat brain.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Dian Anggraeni
Abstrak :
Penyakit HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Masalah yang berkembang adalah karena angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi, disebabkan antara lain karena keterlambatan mendapatkan pengobatan Anti Retroviral (ARV). Di Indonesia pengobatan ARV umumnya dimulai bila jumlah sel CD4 < 200 sel/mm3 atau bila stadium klinis 3 atau 4. Informasi tentang pengaruh jumlah sel CD4 sebelum pengobatan ARV terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS berdasarkan kelompok kategori <50 sel/mm3, 50-<200 sel/mm3 dan > 200 sel/mm3, saat ini belum tersedia di Indonesia. Untuk mengetahuinya, maka dilakukan penelitian ini. Desain penelitian kohort retrospektif, dilakukan pengamatan terhadap kematian pada populasi dinamis selama satu tahun (366 hari), dari Januari 2005 hingga Januari 2010. Subjek penelitian 158 pasien HIV/AIDS berusia > 15 tahun, naïve dan mendapat regimen ARV lini pertama di RSPI Prof.DR.Sulianti Saroso pada tahun 2005-2010. Prosedur analisis ketahanan hidup menggunakan metode Kaplan-Meier (product limit), analisis bivariat dengan Log rank test (Mantel cox) dan analisis multivariat dengan cox regression / cox proportional hazard model. Penelitian ini mendapatkan probabilitas ketahanan hidup keseluruhan satu tahun pasien HIV/AIDS dengan pengobatan regimen ARV lini pertama adalah 0,86 (CI 95% 0,79-0,91). Incident rate kematian (Hazard rate) kelompok jumlah sel CD4 <50 sel/mm3 adalah 8/10.000 orang hari (29/100 orang tahun), kelompok jumlah sel CD4 50-<200 sel/mm3 adalah 3/10.000 orang hari (11/100 orang tahun) dan kelompok jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 adalah 2/10.000 orang hari (7/100 orang tahun). Hazard Ratio(HR)-adjusted kelompok jumlah sel CD4 <50 sel/mm3 terhadap kelompok jumlah sel CD4 > 200 sel/mm3 adalah 3,4 (p= 0,058 ; CI 95% : 0,96-12,16), HR-adjusted kelompok jumlah sel CD4 50-<200 sel/mm3 terhadap kelompok jumlah CD4 > 200 sel/mm3 adalah 1,7 (p= 0,48 ; CI 95% : 0,4-7.04). HR-adjusted pasien dengan TB 3,57 kali terhadap pasien tanpa TB (p=0,015 ; CI 95% : 1,27-9,99). Jumlah sel CD4 sebelum pengobatan ARV tidak mempunyai pengaruh secara statistik terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS yang mendapat regimen ARV lini pertama. Namun penelitian mendapatkan penyakit Tuberkulosis (TB) mempunyai pengaruh secara statistik terhadap ketahanan hidup satu tahun pasien HIV/AIDS yang mendapat regimen ARV lini pertama. ......HIV/AIDS disease is one of public health concerns in Indonesia. The growing issues related to high morbidity and mortality rate. This is due to such as lately initiated of Antiretroviral (ARV) therapy. In Indonesia ARV therapy is begun when the CD4 cell counts dropped below 200 cell/mm3 or if clinical stadium fall into 3rd or 4th. Nowadays in Indonesia, Information about the influenced of baseline CD4 cell count to one year survival among patient HIV/AIDS with first line ARV regimen therapy, base on strata <50 cell/mm3, 50- <200 cell/mm3 and > 200 cell/mm3 was not available, therefore this research will be conducted. Study design was retrospective cohort, with one year (366 days) duration of observation to death, in dynamic population from January 2005 to January 2010. The subjects of study were 158 HIV/AIDS patients, with inclusion criteria: > 15 years old, naïve, and were treated by first line ARV regimen at RSPI Prof.DR. Sulianti Saroso in year 2005-2010. The procedures of survival analysis used Kaplan-Meier method (product limit), and Log rank test (Mantel cox) for bivariate analysis and cox regression / cox proportional hazard model for multivariat analysis. The overall of one year survival probability in HIV/AIDS patients with first line ARV regimen therapy was 0,86 (CI 95% 0,79-0,91). Incident rate of death (Hazard rate) in CD4 <50 cell/mm3 group was 8/10.000 persons days (29/100 persons years), in CD4 50-<200 cell/mm3 group was 3/10.000 persons days (11/100 persons years) and in CD4 > 200 cell/mm3 group was 2/10.000 persons days (7/100 persons years). The Hazard Ratio(HR)-adjusted CD4 <50 cell/mm3 patients compared to CD4 > 200 cell/mm3 patients was 3,4 (p= 0,058 ; CI 95% : 0,96-12,16), the HR-adjusted CD4 50-<200 cell/mm3 patients compared to CD4 > 200 cell/mm3 patients was 1,7 (p= 0,479 ; CI 95% : 0,4-7.04). HRadjusted tuberculosis patients was 3,57 time more risk to death than patients without tuberculosis (p=0,015 ; CI 95% : 1,27-9,99). This study found that the baseline CD4 cell counts have not significant statistical associated to one year survival of HIV/AIDS patients with first line ARV regimen therapy, after has controlled to other independent variables. But this study found that tuberculosis has significant statistical association to one year survival of HIV/AIDS patients who received first line ARV regimen therapy.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
T28437
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Yunda Setyowati
Abstrak :
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara akibat dari kombinasi dua penyakit pernapasan, yaitu bronkitis kronis dan emfisema. Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa piroksikam mengikat reseptor formil peptida-1 (FPR-1) untuk menghambat aktivasi neutrofil dan mengurangi pelepasan anion superoksida dari neutrofil yang diinduksi N-Formil-L-metionin-L-leusil-L-fenilalanin (fMLF) secara in vitro. Pada penelitian ini, dilakukan eksperimen secara in vivo pada antagonis FPR-1 yaitu piroksikam terhadap histologi paru. Penelitian ini menggunakan mencit betina DDY yang dibagi menjadi 6 kelompok: kontrol dan kontrol negatif yang diberikan CMC Na 0,5% secara oral, kontrol positif diberikan inhalasi budesonid 1mg/kg BB/hari, serta 3 kelompok variasi dosis piroksikam 0,026mg/20gBB mencit/hari; 0,052mg/20gBB mencit/hari; 0,104mg/20gBB mencit/hari secara oral. Mencit dipaparkan asap rokok (6 batang rokok/hari selama 8 minggu), kemudian diobati baik dengan piroksikam atau budesonid selama 3 minggu. Dalam studi histologi, dilakukan pewarnaan Periodic acid–Schiff (PAS) dan masson’s trichrome. Berdasarkan penelitian, Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada penebalan dinding bronkus (p<0,05). Dosis 0,026mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada jumlah sel goblet (p<0,05). Dosis 0,104mg/20gBB piroksikam memberikan perbedaan bermakna pada proporsi fibrosis (p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas anti-inflamasi piroksikam dapat dikaitkan dengan penurunan penebalan dinding bronkus, jumlah sel goblet, dan proporsi fibrosis. ......Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is given by the symptoms of airway limitation of two respiratory disease, chronic bronchitis and emphysema. On the previous experiment found that piroxicam binds to formyl peptide receptor-1 (FPR-1) to inhibit neutrophil activation and reduce superoxide anion that released from neutrophil induced by N-Formyl-L-methionyl-L-leucyl-L-phenylalanine (fMLF) with in vitro method. In this study, in vivo experiments were conducted on the FPR-1 antagonist piroxicam on lung histology. This experiment is done by using female DDY mice, divided into 6 different groups: control and negative control were given CMC Na 0,5% orally, positive control was given 1mg/kg BW/day of budesonide inhalation, and three variation dose groups of piroxicam 0,026mg/20gBW mice/day; 0,052mg/20gBW mice/day; 0,104mg/20gBW mice/day orally. Mouse were exposed to CS (6 cigarettes/day for 8 weeks), then treated with piroxicam either budesonide for 3 weeks. In lung histological studies, Masson’s trichrome and Periodic acid–Schiff (PAS) staining were performed. Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced bronchial wall thickening (p<0,05). Doses 0,026mg/20gBW piroxicam significantly reduced number of goblet cells (p<0,05). Doses 0,104mg/20gBW piroxicam significantly reduced fibrosis proportion (p<0,05). Based on this result, the anti-inflammation activity of piroxicam may be attributed to the reduction of bronchial wall thickening, number of goblet cells, and fibrosis proportion.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heltty
Abstrak :
ABSTRAK
Kanker adalah suatu penyakit pertumbuhan sel akibat adanya kerusakan gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kanker dapat menyebabkan kematian. Kemoterapi merupakan salah satu penatalaksanaan kanker yang dapat menimbulkan berbagai efek samping, diantaranya adalah anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penelitian- penelitian yang sudah ada menyebutkan bahwa kacang hijau dapat mengatasi anemia, dimana kacang hijau mengandung zat-zat yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukkan dan maturasi sel-sel darah. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jus kacang hijau terhadap kadar hemoglobin dan jumlah sel darah (eritrosis, leukosit, dan trombosit) dalam konteks asuhan keperawatan pasien kanker dengan kemoterapi di RSUP Fatmawati Jakarta. Disain penelitian ini adalah kuasi- eksperimen dengan tipe nonequivalent control group design pre dan post test. Jumlah sampel sebanyak 56 responden (28 responden kelompok intervensi yang mendapat jus kacang hijau selama tujuh hari dengan pemberian dua cangkir perhari, setiap cangkir berisi 250 cc dan 28 responden kelompok kontrol yang tidak mendapat jus kacang hijau). Sampel diperoleh dengan menggunakan simple random sampling. Evaluasi kadar hemoglobin dan jumlah sel darah dilakukan setelah pemberian jus kacang hijau yaitu di hari kedelapan baik pada kelompok intervensi maupun kontrol. Hasil penelitian diperoleh adanya peningkatan kadar hemoglobin dan sel darah pada kelompok intervensi (p=0,000), artinya bahwa pemberian jus kacang hijau pada pasien kanker dengan kemoterapi berpengaruh terhadap peningkatan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah. Penelitian ini dapat memperkaya keilmuan keperawatan dimana dapat dijadikan sebagai intervensi keperawatan dalam penatalaksanaan pasien kanker dengan kemoterapi. Rekomendasi hasil penelitian ini perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar, berbagai derajat keganasan, memperhatikan adanya penyakit penyerta, dosis obat kemoterapi, dan perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap pengambilan serta analisa sampel darah.
ABSTRACT
Cancer is abnormal growth of cells due to destruction of genes that control growth and differentiation of cells. Cancer is a leading disease, cause of death. Chemotherapy is one of the cancer treatment that could provide many side effects, such as anemia, leucopenia, and thrombocytopenia. The purpose of this study is to explore the effect of mung bean juice on the level of hemoglobin and the number of blood cells (erythrocyte, leukocyte, and platelet) in cancer patients who got chemotherapy treatment at Fatmawati General Hospital, Jakarta. The design was a quasi experimental using a non equivalent control group with pre and post test approach. A simple random sampling was employed and 56 subjects were obtained in this study, divided into two groups (the intervention group got mung bean juice for seven days; and, the control group did not mung bean juice). The level of hemoglobin and blood cells counts were evaluated on the eighth day.The finding showed that there were an increasing the level of hemoglobin and blood cells in intervention group (p= 0,000), meaning that mung bean juice has an effect in increasing level of hemoglobin and blood cells counts in cancer patients with chemotherapy. This study can enrich nursing science and can be used as an nursing intervention in management of cancer patients with chemotherapy. It is recommended to conduct further research using more samples, various of ferocity level, accompanying disease, chemotherapy dose, and strict controlling in test and analysis blood sample.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library