Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bertinus Haryadi Nugroho
"Transportasi laut memiliki peran penting dalm perekonomian, sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya, untuk menjamin pelayaran yang tertib dan teratur. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah undangundang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut suatu perbuatan ditetapkan menjadi tindak pidana. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif serta sanksi pidana, dan beberapa tindak pidana tersebut sebenarnya bukanlah perbuatan-perbuatan yang karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime), sehingga penetapan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan overcriminalization.
Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah konsep kriminalisasi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remidium. Apakah kriminalisasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebabkan overcriminalization. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memiliki konsep yang jelas dalam penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai overlapping offenses/crimes, adalah Pasal 291, 316, 324, 325, dan 326. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai crimes of risk prevention, yaitu Pasal 286, 294, 302, 303, dan 323. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan cara memasukkan Pasal 316 ke dalam KUHP, melakukan dekriminalisasi terhadap Pasal 324, 325, dan 326, serta melakukan depenalisasi terhadap pasal-pasal lainnya.
......Sea transport has an important role economic performance, so we need laws that govern it, to ensure the orderly and regular shipping. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage is the administrative laws that have criminal penalties. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy's problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is the most strategic step because in this step, a behavior is set to be a criminal act. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage to load acts punishable with administrative sanctions and criminal penalties, and some are in fact criminal acts that are not as fundamentally at odds with fairness, morals and general principles of civilized society (mala in se, natural crime), so the determination of the acts are a criminal offense in the Shipping Act 2008 No. 17 on a voyage overcriminalization.
This research to answer the question how the concept of criminalization in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, whether criminal law is really a ultimum remidium. Is the criminalization of the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage causing overcriminalization. This research is a normative juridical research. From the result showed that Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage did not have a clear concept in the use of criminal law as an ultimum remidium. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as overlapping offenses / crimes, is Article 291, 316, 324, 325, and 326. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as crimes of risk prevention, namely Article 286, 294, 302, 303, and 323. Need for revision of Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, by entering into the Criminal Code Article 316, to the decriminalization of Article 324, 325, and 326, as well as doing depenalization to other articles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Barda Nawawi Arief, 1943-
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008
345 BAR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ronny Oktahandika
"Perkembangan Ekonomi di Indonesia mendorong timbulnya permasalahan baru dalam jaminan fidusia seperti munculnya hak-hak baru dan modus-modus baru kejahatan dalam Jaminan Fidusia. Dalam beberapa putusan pengadilan, Majelis Hakim lebih memilih menggunakan ketentuan Pasal 378 atau Pasal 372 KUHP daripada menggunakan Pasal 35 atau Pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Hal tersebut telah mengesampingkan asas hukum lex specialis derogate legi generali. Kurangnya ketentuan pidana dalam UUJF menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap perbuatan pidana yang berhubungan dengan jaminan fidusia. Kebijakan hukum pidana dalam UUJF masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya mengenai penegakan dan pemberian kepastian hukum. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami pengaturan dan aspek-aspek hukum pidana dalam UUJF, kendala dalam praktek penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana yang akan datang. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang, konseptual dan kasus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa aspek hukum pidana dalam UUJF penerapannya masih minim untuk dilakukan, pengesampingan asas hukum lex specialis derogate legi generali dapat diberlakukan dalam hal objek jaminan fidusia tidak didaftarkan, terdapat beberapa tindak pidana yang berhubungan dengan jaminan fidusia yang tidak diatur didalam UUJF, dalam hal kebijakan hukum pidana, UUJF masuk kedalam ruang lingkup hukum keperdataan, penggunaan hukum pidana digunakan sebagai ultimum remidium sehingga pemberian sanksi pidana ditujukan untuk mendorong penyelesaian ekonomi terlebih dahulu dibanding pidana badan. Konsep keadilan restoratif melalui mediasi penal dapat dijadikan sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan.
......Economic development in Indonesia encourage the emergence of new problems in fiduciary such as the emergence of new rights and new crimes in fiduciary. In several court decisions, the Judges prefers to use the provisions of Article 378 or Article 372 KUHP rather than Article 35 or Article 36 Fiduciary Act. This has ruled out the legal principle of lex specialis derogate legi generali. The lack of criminal provisions in Fiduciary Act results in ineffective law enforcement of criminal acts related to fiduciary. The criminal policy in Fiduciary Act still cannot fulfill the community needs, especially regarding of the law enforcement and legal certainty. This research is aimed at knowing and understanding the regulation and criminal aspects in Fiduciary Act, the obstacles of law enforcement and criminal policies in the upcoming laws. In this study, the type of research used was Normative Juridical using historical, legal, conceptual and case approaches. The results of the study concluded that the existence of criminal law aspects in the form of special criminal provisions in Fiduciary, whose application is still minimal, the legal principle of lex specialis derogate legi generali can be applied in Article 35 and Article 36 Fiduciary Act in terms of the fiduciary object was not registered, there are several criminal acts related to fiduciary that are not regulated in Fiduciary Act. In terms of criminal policy, The Fiduciary Act was included in the scope of civil law, criminal law used as ultimum remidium so that criminal sanctions are intended to encourage economic settlement first. The concept of restorative justice through penal mediation can be used as an alternative dispute resolution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
London: Global Law and Business, 2012
346.092 2 HED
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Josua Paruhum P
"Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat secara global termasuk di Indonesia membawa dampak kemudahan terhadap kegiatan yang semula merupakan aktifitas konvensional yang dilakukan oleh masyarakat, seperti praktik perjudian online. Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru termasuk perjudian online merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan perkembangan IPTEK masa kini yang perlu ditanggulangi dengan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih efektif. Semakin komplek permasalahan yang dihadapi masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menghadapi kejahatan modern perlu diiringi dengan pembedahan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana dengan demikian jelas bahwa kebijakan hukum pidana memainkan peran yang strategis dalam menangani permasalahan kejahatan demi kepentingan pembangunan hukum modern Namun kebijakan hukum pidana dalam memberantas perjudian online menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan tersebut diantaranya memastikan penegakan hukum yang efektif dan konsisten terhadap agen dan pemain perjudian online di Indonesia. Penelitian yang penulis lakukan ini memfokuskan pada pembahasan menelaah kebijakan penegakan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana perjudian online di Indonesia serta implementasi kebijakan penegakan hukum dalam upaya memberantas dalam tindak pidana perjudian online di Indonesia berdasarkan analisis studi putusan. Penelitian ini juga melakukan perbandingan kebijakan hukum pidana terhadap perjudian online di negara Australia dan Inggris sebagai contoh negara yang memiliki peraturan yang mengizinkan dan mengatur perjudian secara legal. Berbeda dengan di Indonesia, Perjudian di Australia dan Inggris dianggap sebagai industri yang sah dan diatur oleh lembaga pengawas yang berwenang. Dengan memahami realita kebijakan hukum pidana yang dihadapi, penelitian ini diharapkan akan memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat penegakan hukum dan menekan perjudian online di Indonesia. Upaya ini diharapkan dapat melindungi masyarakat, meminimalisir kerugian ekonomi dan menjaga integritas hukum di negara Indonesia.
......The rapid development of information technology globally, including in Indonesia, has brought about the ease of activities that were previously conducted conventionally by society, such as online gambling practices. The emergence of new dimension crimes, including online gambling, is a negative impact of societal and technological advancements that need to be addressed with more effective crime prevention efforts. The increasingly complex problems faced by society and law enforcement agencies in dealing with modern crimes need to be accompanied by a comprehensive examination of the development of the criminal law system, which includes the development of the culture, structure, and substance of criminal law. Thus, it is clear that criminal law policies play a strategic role in addressing crime issues for the sake of modern law development. However, the criminal law policy in eradicating online gambling faces several challenges, including ensuring effective and consistent law enforcement against online gambling agents and players in Indonesia. This research focuses on discussing the policy of criminal law enforcement in combating online gambling offenses in Indonesia and the implementation of law enforcement policies in efforts to combat online gambling offenses in Indonesia based on the analysis of court decision studies. This research also compares the criminal law policies on online gambling in Australia and the UK as examples of countries that have regulations allowing and regulating gambling legally. Unlike in Indonesia, gambling in Australia and the UK is considered a legitimate industry and is regulated by authorized regulatory bodies. By understanding the reality of the criminal law policies faced, this research is expected to provide policy recommendations that can strengthen law enforcement and suppress online gambling in Indonesia. These efforts are expected to protect society, minimize economic losses, and maintain legal integrity in the country of Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Fajar Putra Dipayana
"Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah kasus pencemaran nama baik. Dari data yang ada, pencemaran nama baik berada pada urutan jumlah yang sering dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan Pasal pencemaran nama baik (dalam KUHP/diluar KUHP) menjadi pasal yang sering disoroti oleh publik, kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung, pada umunya menggunakan pasal tersebut untuk menyerang balik dengan melaporkanya ke Polisi. Sementara penyelesaian masalah pencemaran nama baik, melalui hukum pidana, masih selalu diutamakan (Primum remedium) oleh penegak hukum, yang akibatnya hukum pidana sebagai sarana balas dendam, shock terapy, bahkan sarana barter kasus. Menurut penulis penanggulangan masalah dengan hukum pidana haruslah dengan alternative terakhir (ultimum remedium), perlu menerapan kebijakan penal yang juga diimbangi dengan kebijakan non-penal dalam penegakan hukum pencemaran nama baik, serta perlu mengkaji sejauh mana ketentuan rumusan pasal pencemaran nama baik jika dilihat dari kacamata doktin dan teori hukum. Dari hasil penelitian, sementara dapat disimpulkan bahwa perlu trobosan suatu kebijakan pidana yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah pencemaran nama baik, dimana merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana, lebih menitik beratkan pada pemulihan keadaan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku dan masyarakat. Melalui Pendekatan Restorative Justice akan menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi kekurangan, keterbatasan dan kelemahan penyelesaian pencemaran nama baik dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.
......The high number of social media users in Indonesia is followed by a high number of defamation cases. Based on the data, defamation is the number one that is often reported to the authorities. Even the defamation article (in the KUHP/outside the KUHP) becomes an article that is often highlighted by the public, then parties who feel offended, generally use this article to attack back by reporting it to the Police. While the resolution of defamation cases through criminal law is still prioritized (primum remedium) by law enforcers, as a result, criminal law becomes a means of revenge, shock therapy, and even a means of bartering cases. According to the author, solving problems with criminal law should be the last alternative (ultimum remedium), it is necessary to apply a penal policy that is also balanced with a non-penal policy in enforcing defamation law, and it is necessary to examine the extent to which the provisions for drafting defamation articles are viewed from a doctrinal and legal theory. Based on the research results, it can be concluded that it is necessary to make a breakthrough in a criminal policy that is offered in order to achieve a sense of justice in resolving defamation problems, which is a new approach in efforts to resolve criminal cases, focusing more on recovering the situation and focusing attention on the victim, actors, and society. Through a Restorative Justice Approach, it will be the best solution to overcoming deficiencies, limitations, and weaknesses in resolving defamation in realizing justice, benefits, and legal certainty in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Anto Wibowo
"Program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dimaksudkan untuk membantu bank-bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas pada saat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 justru disalahgunakan oleh bank-bank penerimanya. Fenomena ini telah membuka dimensi baru dalam wajah kejahatan dan pelakunya di Indonesia, yang semula hanya melihat bank sebagai pihak yang dirugikan (korban) namun kini telah menempatkan bank (maupun pengurusnya) sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kebijakan hukum pidana dalam hukum positif terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan, kemudian dikaitkan dengan kebijakan pemberian release and discharge, serta bagaimana sebaiknya perumusan kebijakan hukum pidana dalam rangka pembaharuan perundang- undangan di masa yang akan datang. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam hukum positif, kemudian menganalisa penerapan (aplikasi) kebijakan hukum pidana berkaitan dengan pemberian release and discharge, serta mengevaluasi konsep kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan dalam rangka pembaharuan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan sebagaimana yang terdapat pada Undang-Undang tentang Perbankan (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) ternyata lebih ditujukan kepada subjek manusia (pengurus bank, yang diperluas hingga mencakup pihak terafiliasi), sedangkan terhadap bank (korporasi) adalah berwujud pada kebijakan yang sifatnya non penal (sanksi administratif). Selanjutnya berkaitan dengan pemberian release and discharge berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, dilihat dari sudut kebijakan (policy) merupakan kebijakan yang sifatnya integral dengan program pembangunan nasional pada saat itu, sehingga membawa perubahan arah kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi (penegakan hukum). Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana terhadap bank sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan pada tahap legislasi maupun tahap aplikasi ternyata dirasakan masih lemah dan cenderung berpihak kepada kepentingan korporasi. Untuk itu perlu dilakukan pembaharuan undang-undang perbankan yang meliputi kriminalisasi beberapa perbuatan sebagai tindak pidana perbankan, pertanggungjawaban pidana korporasi, serta penjatuhan sanksi pidana dengan mekanisme penyelesaian di luar persidangan (put of court) terhadap bank sebagai sebagai pelaku kejahatan di bidang perbankan.
......Bank Indonesia Liquidity Support program (BLBI) that is meant to help banks that strucking a snag liquidity upon happening monetary crisis on year 1997 but misused by bank its receiver. This phenomenon have opened new dimension in criminal offenders at Indonesia, which just originally see bank as side as harmed (victim) but is now have placed bank (and also its executive corporate) as subject at criminal banking. One that as about problem is how penal policy that most decants in law to bank as the offender of criminal banking, then concemed by application release and discharge policy, and how better penal policy formulation to bank as the offender of criminal banking in order to reconditioned legislation at proximately. Observational intent thus it is analyses penal policy that is decanted in positive law, then analyses implementation (application) penal policy gets bearing with application release and discharge, and evaluates penal policy concept to bank as the offender of criminal banking in order to jurisdictional reconditioned. This research utilize bibliographical research method with secondary data as source of its data. Result observationaling to point out that penal policy to bank as the offender of criminal banking as it were that there be on Banking Act (Act Number 7/1992 as it were changed by Act Number 10/1998) apparently more being addressed to subjek man (bank administrator, one that expanded until ranges the affiliation person), meanwhile to bank (Corporation) are tangible on policy that its character non penal (administrative sanction). Hereafter gets bearing with application release and discharge base Presidential Instruction Number 8/2002, seen from policy perspective, its constituting policy that its character integral with nationa! program development at that moment, so taking in changing penal policy aim on application phase (criminal law enforcement) to arsonists at banking area. On eventually gets to be concluded that criminal law policy to bank as as the offender of criminal banking on legislation phase and also application phase apparently been felt still frail and tend gets to side to Corporation behalf. So it needs to update the rules (Banking Act) with that covers criminalisation some conduct as acts banking crime, inserted its corporate criminal liability, and punishment with a mechanism of out of court system to bank (Corporation) as the offender of criminal banking."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26063
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dila Romi Aprilia
"Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah illegal logging. Tindak pidana illegal logging sangat marak di Indonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan terorganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnyamemberantas illegal logging adalah karena illegal logging adalah termasuk kategori 'kejahatan terorganisasi'. Oleh karena itu adanya kebijakan hukum pidana yang tegas mengatur dan penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging perlu diwujudkan. Kebijakan hukum pidana yang diterapkan dalam rangka penanggulangan dan penegakan hukum tindak pidana illegal logging diatur dan dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, namun mengenai definisi yang dimaksudkan dengan illegal logging tidak dirumuskan secara limitatif sehingga banyak para praktisi hukum yang menafsirkan illegal logging sendiri-sendiri. Mengenai ancaman pidana yang dikenakan adalah pidana pokok yakni penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib. Kebijakan hukum tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya dirasakan tidak memenuhi aspek kepastian dan keadilan. Hal ini terlihat dalam kasus illegal logging yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Blora dan Bojonegoro. Oleh karenanya selain kebijakan hukum pidana dibutuhkan pula penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen antara lain kepolisian, PPNS kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam prakteknya proses penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging ditandai dengan penanganannya yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, sawmill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan saja yang dipidana. Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam dalam penegakan hukum.
......The wealth of forests is a gift and trust from God Almighty that is priceless. Therefore, forests must be managed and be best utilized by noble character as the embodiment of worship and gratitude to God Almighty. Forests are many benefits to the sustainability of human life and other living creatures. One benefit is the direct result of forest wood that has high economic value. Timber is harvested and then used by the community. Utilization of wood should be based on permission from the Ministry of Forestry. But in reality there are many violations committed by the community, causing damage to the forest, one of which is illegal logging. Crime is rampant illegal logging in Indonesia and involves many actors and a crime is neat and organized. The basic thing that it is difficult to eradicate illegal logging is due to illegal logging is categorized as "organized crime". Therefore the policy of strict criminal laws regulating and enforcing criminal laws against illegal logging needs to be realized. Criminal law policy adopted in the framework of prevention and criminal law enforcement of illegal logging is regulated and defined in the statutory provisions of article 50 and article 78 of Law No. 41 of 1999, but the definition is meant by illegal logging limitatif formulated not so much legal practitioners who interpret their own illegal logging. Regarding the penalty imposed is the principal criminal imprisonment and fines, an additional penalty of deprivation of proceeds of crime and the or tools to do the crime, compensation and discipline sanctions. Criminal law policy of illegal logging and the application of sanctions does not meet the perceived certainty and fairness aspects. This is seen in cases of illegal logging that occurred in the District Court jurisdiction Blora and Bojonegoro. Therefore in addition to criminal law policy also required law enforcement against illegal logging crimes committed through the criminal justice system. The Criminal Justice System consists of components such as police, investigators forestry, Attorney, Justice and Correctional Institutions. In practice the process of criminal law enforcement against illegal logging is very weak. One of the weak enforcement of laws against illegal logging crimes marked with handling that is not integral (holistic) as intellectual actors who are directly related to such investors, buyers, shippers, document forgers, which acts as a liaison sawmill rarely convicted, and only those field are convicted. In addition, many factors that led to weak law enforcement against illegal logging crimes so they are a constraint in law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29475
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>