Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Ayu Arlita NK
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26228
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsu Rizal
"Kerjasama antara negara baik dalam lingkup bilateral, regional dan multilateral sangat dibutuhkan oleh suatu negara, dimana suatu negara tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya interaksi dengan negara lainnya baik dalam sektor ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN (Asosiation South East Asia Nation) yang mayoritas ruang lingkupnya dibidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Organisasi ASEAN tidak bergerak di bidang pertahanan keamanan apalagi di bidang pakta pertahanan, pertahanan keamanan merupakan isu yang sensitif karena menyangkut integritas dan kedaulatan suatu negara. Politik Indonesia yang bebas aktif bertujuan untuk menciptakan keamanan di dunia, maka kerjasama pertahanan Indonesia dengan negara lain dalam bentuk kerjasama bilateral yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Krisis moneter yang melanda Indonesia semenjak tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 membuat Indonesia harus berjuang menggerakkan roda perekonomian bangsa yang berakibat langsung pada penghidupan masyarakat di segala strata atau tingkatan, implikasi dari krisis ekonomi ini merupakan pengaruh dari globalisasi dunia, dimana manajemen ekonomi makro Indonesia kurang begitu kokoh ditambah dan kurangnya pengawasan dari instansi yang berwenang sehingga banyak timbul KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ) yang melanda ditingkat lembaga instansi pemerintah dan non pemerintah. Beberapa kasus pelanggaran Bank yang dilakukan oleh para koruptor BLBI yang membawa uang Indonesia ke negara Singapura. Bertolak dari banyaknya para koruptor dan dana yang berasal dari Indonesia yang melarikan diri ke Singapura membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai inisiatif untuk mengembalikan dana dan menghukum para koruptor yang ada di negara Singapura. Indonesia selama ini belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura maka kepentingan Indonesia di perjanjian ekstradisi sedangkan kepentingan negara Singapura di DCA (Defence Cooperation Agreement) dimana Singapura tidak mempunyai lahan latihan karena terbatasnya kondisi geografi Singapura, sehingga kerjasama pertahanan ini sangat diperlukan oleh SAF (Singapore Armed Forces) sekaligus untuk menguji alutsistanya yang jauh lebih mutakhir dan modern dari Indonesia. Perjanjian Pertahanan antara Indonesia dan Singapura telah ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring Bali namun setelah itu banyak menuai pro dan kontra terhadap perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Singapura karena dalam perjanjian tersebut jangka waktunya 25 tahun, wilayah latihan yang meliputi Alpha1, Alpha 2 dan Bravo cukup luas serta keterlibatan pihak ketiga yang dilibatkan oleh Singapura. Penolakan perjanjian DCA ini dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, pengamat militer serta dari Komisi I DPRRI dengan alasan perjanjian ini merugikan Indonesia dengan beberapa alasan diantaranya terkoreksinya kedaulatan Indonesia, berpengaruh pada mata pencarian masyarakat Provinsi Kepulauan Riau serta kerusakan alam disekitar Kepulauan Anambas dan Natuna. Penolakan DCA sangat tepat karena tidak ada keuntungan yang begitu besar yang diperoleh Indonesia sedangkan kerugiannya cukup banyak seperti dijelaskan diatas, walaupun melalui perjanjian pertahanan ini bisa meningkatkan profesionalisme TNI dan alih tekhnologi. Diharapkan kerjasama pertahanan antara Indonesia dan Singapura tidak dalam kontek DCA tetapi kerjasama pertahanan antara masing-masing Angkatan Bersenjata yang selama ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1970-an yang daerah latihannya tidak luas serta peningkatan anggaran pertahanan secara bertahap dengan tujuan untuk menjaga seluruh kedaulatan Indonesia serta dengan ditolaknya perjanjian pertahanan RI-Singapura akan memperkuat Ketahanan Nasional Indonesia karena kedaulatan tetap terjaga tanpa di masuki oleh negara lain.

A country needs cooperation in bilateral, regional or multilateral because it is very difficult for one country to exist without interaction with other countries in economy, politics, socio-culter, security and defence matters. Indonesia as one of the founding members of ASEAN (Association of South Asia Nations) whose scope of cooperation involves economic, political, and socio-culter affairs realize this. ASEAN itself is not a defence pact as it is a sensitive issue for the integrity and sovereignty of member countries. Indonesia?s politics which is free and active aims at creating security in the world. This drives Indonesia to have defence cooperation with other countries in a mutually beneficial bilateral agreement. The 1997-2001 Monetary Crises forced Indonesia to drive its economy and brought direct impact to the livelihood of Indonesians in all walks of life. The crises it self was the effect of globalization. At that time Indonesian?s macro economy was not so strong and made worse due to lack of institusional control. As a result, corruption, collusion, nepotism (popularly abbreviated as KKN) widely happened in government and non-government institutions. One of the big cases was BLBI (Liquidity Assistance of Bank of Indonesia). In this case many corruptors brought the funds to Singapore. Recognizing the fact that many corruptors and theirs funds went to Singapore, President Susilo Bambang Yudhoyono decided to regain the funds and bring the corruptors in Singapore to Indonesian court. Indonesia did not have extradition agreement with Singapore before. The initiative will be possible if Indonesia and Singapore have signed an agreement. For Singapore, the agreement should be in the contex of DCA (Defence Cooperation Agreement) in which Singapore with its limited lands needs areas in Indonesia to test their more modern and sophisticated weaponries. The Defence Agreement was signed on 27 April 2007 in Tampak Siring, Bali with pro and contra about it. Those who disagree argue that the length of cooperation which is 25 years is too long. Besides that the practice zones, Alpha 1, Apha 2 , Bravo are large and enable Singapore to invite third parties in their exercises. Rejection comes not only from commission 1 of Indonesian Parliament but also from many elements of society, academicians and military observers. They argue that this agreement has affected Indonesian sovereignty and income of people in Riau islands, let alone the natural damage around Anambas and Natuna islands. This thesis supports the rejections and argues that Indonesia does not get much out of it compared to the loss as mentioned above although the agreement can improve Indonesian Armed Forces (TNI) professionalism and technology transfer. The agreement should be in the context of defence cooperation and not in the context of DCA. This has been done since 1970s with limited areas of combat practice. The dismissal of this agreement can be seen as a way to strength Indonesian national resilience as the sovereignty can be kept intact without the interference of another country while gradually increasing the defence budget to protect all Indonesian territory and sovereignty."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T29145
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Tri Tjahjawati S.
"Kerjasama pihak pemerintah Indonesia dengan pihak pemerintah Amerika Serikat dalam bidang penelitian biomolekul terwujud dalarn ketjasarna Narnru-2. Laboratorium penelitian bidang medis ini masuk dalarn kategori BSL 3 (Biosafety Level 3) yang artinya laboratorium ini agen-agen yang dite6ti dapat mengakibatkan potensi terkena penyakit berbahaya. Dalarn perkembangannya peneli!ian oleb pibak Narnru-2 yang beranggotakan staf peneliti dari Indonesia dan yang dari Amerika Serikat diwakili pihak militer dan peneliti (yang mempunyai hak kekebalan diplomatik), diduga tidak hanya melal,:ukan kegiatan penelitian narnun ada indikasi vaksin yang diteliti dijadikan senjata biologi. Kecurigaan ini disebabkan oleh beberapa hal, contohnya : staf peneliti dari Amerika Serikat mempunyai hak kekebalan diplomatik (hal ini memudahkan mereka untuk membawa keluar masuk barang tanpa adanya pemeriksaan dan bebas bea cukai), tidak transparannya penelitian yang dilakukan baik pada saat pengiriman, penelitian maupun hnsilnya, naiknya status Namru-2 dari detasemen menjadi komando (hal ini semakin menyulitkan pihak pemerintah Indonesia untuk mengontrol kegiatan yang dilakukan oleh Namru-2), penetapan kategori Namru dalarn BSL 3 ( bila ada kebocoran kuman di lahocatorium tersebut malca pemeriksa internasionai berhak untuk memeriksa selrnub wilayah Indcnesia dengan radins 500 km, dalam radius ini bampir semua wilayah dari Jakarta, Jawa Tengah, dan dan Jawa Barat akan diperiksa semua termasuk area vital dan penting) Dengan kecurigaan tersebut maka dikhawatirkan akan adacya ancaman terhadap
......Governmental Cooperation side of Indonesia with governmental side of United States in the field of research of fonn biomolekul in cooperation of Namru-2. Laboratory research of this medical area eoter in category ofBSL 3 ( Biosafety Level 3) with the meaning this laboratory of accurate agents can result potency hit malignancy. In its growth of research by side of Narnru-2 which is have Indonesian researcher staff member to and which from United States deputized by military side and researcher ( having diplomatic immunity rights), anticipated do not only activity of research but there vaccine indication which is accurate to be made biological weapon. This suspicion because of several things, the example : researcher staff of United States have diplomatic immunity rights ( this matter facilitate them to bring exit enter goods without existence of duty postfroe and inspection), is not transparent by research him goodness at the time of delivery, research and also result him, go up status him ofNarnru-2 of detachment become commando (this matter progressively complicate governmental side of Indonesia to control activity by Namru-2), stipulating of category ofNamru in BSL 3 if any leakage of germ in the laboratory hence international examiner is entitled to check eotire'all Indonesia region with radius 500 km, in this radius most of all region ofJakarta, Central Java, and and West Java will be checked all in important and vital area). With the suspicion hence felt concerned about there will be of threat to defence of national health area. Because defence of national one of [the] element the core important SDM ( Human Resource), hence if buman being as the especial"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33469
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Komunikasi Publik Kemhan,
720 WIRA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Saraswati Djajaprawira
"ABSTRAK
Skripsi ini menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan Mitterrand dalam kerjasama pertahanan Peranois dengan Jerman Barat Periode 1981-1987. Masalah ini menarik dibahas karena sebelum pemerintahan Mitterrand usaha kedua negara untuk untuk membina kerjasama pertahanan antara tersebut selalu menemui kegagalan. 1981-1987, kerjasama antara. Perancis dan Jerman Barat telah memperlihatkan hasil-hasil yang nyata. Ada beberapa masalah yang akan diuraikan untuk mengetahui kepentingan Perancis dibalik kerjasama ini. Pertama, berkaitan dengan masalah keamanan yang tentunya dipengaruhi oleh situasi perimbangan kekuatan di kawasan Eropa Barat. Selama tahun Ancaman Uni Soviet dirasakan semakin meningkat jika ditinjau dari perbandingan kekuatan dan kapabilitas militer antara NATO dan Pakta Warsawa. Perancis yang menganut kebijakan pertahanan independen, sejak menarik diri dari struktur militer terpadu NATO (1966), menyadari bahwa keamanan Perancis tidak terlepas dari keamanan Eropa yang dilindungi oleh NATO. Keraguan Perancis terhadap kredibilitas jaminan perlindungan AS, ditambah oleh gejala-gejala pasifisme dan netralisme yang melanda Jerman Barat, adalah faktor yang mendorong Perancis untuk membina kerjasama pertahanan dengan Jerman Barat. Kedua, kondisi dalam negeri Perancis yang ditandai oleh kegagalan kebijakan perekonomian sosialis menyebabkan Mitterrand melakukan konpensasi dalam kebijakan luar negerinya. Ketiga, Perancis ingin memainkan peranan di bidang pertahanan di Eropa bersama Jerman Barat dan diikuti oleh negara-negara Eropa Barat lainnya. Tujuan ini tidak terlepas dari cita-cita de Gaulle untuk meraih Grandeur (kebesaran, kekuatan, prestise). Untuk menelaah permasalahan ini, penulis mempergunakan kerangka pemikiran dari William D. Coplin mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain. Untuk melengkapi penjelasan masalah ini diketengahkan pula pendekatan K.J. Holsti mengenai tujuan-tujuan politik luar negeri."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1987
S7794
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Arullah
"Penelitian ini membahas mengenai hubungan diplomasi pertahanan antara Indonesia dan Turki. Dalam konteks ini, praktik diplomasi pertahanan Indonesia berupa kerjasama pertahanan dengan Turki dalam bidang industri pertahanan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunkan metode penelitian kualitatif, Data didapatkan melaui praktik wawancara dengan Menteri Pertahanan RI periode 2009-2014. Selain itu, data sekunder didapatkan dari hasil pencarian dokumen resmi, website resmi serta sumber-sumber lainnya. Hasil penelitian ini menjawab pertanyaan mengenai faktor yang mendasari mengapa Indonesia menjalin kerjasama industri pertahanan yang strategis dengan Turki dibandinkan dengan negara industri pertahanan yang lebih maju. Kontribusi diplomasi pertahanan terhadap Turki bagi Indonesia yaitu meningkatnya hubungan dua negara, meningkatnya kapabilitas militer dan menuju kemandirian industri pertahanan. "
Universitas Pertahanan Indonesia, [date of publication not identified]
345 JPUPI 6:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalyn Theodora
"Perjanjian Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) adalah model perjanjian yang baru bagi Indonesia sedangkan pada negara-negara maju model perjanjian ini sudah banyak diadopsi baik yang bersifat bilateral maupun multilat- eral. Perjanjian ini diinisiasi oleh Filipina tahun 2006 kepada Indonesia, namun karena tidak ada respon akhirnya Filipina kembali mengirimkan tahun 2013. Hal ini dikarenakan dalam proses penyusunan dalam negeri selalu mengalami dead- lock. Sementara itu, semakin memanasnya dinamika ancaman keamanan non tradisional seperti terorisme tahun 2016 di laut Sulu, Sulawesi dan makin kuat ser- ta meluasnya ancaman terorisme hingga ke wilayah perbatasan tiga negara (Indo- nesia-Malaysia-Filipina) menyebabkan Menteri Pertahanan Indonesia pada per- temuan Trilateral berinisiatif untuk mengadakan latihan bersama baik di laut maupun di darat dengan membentuk posko militer bersama. Inisiatif tersebut di- sepakati oleh Menhan Malaysia dan Menhan Filipina namun hal tersebut tidak dapat terealisasi karena terkendala oleh Parlemen Filipina yang mensyaratkan bahwa ketika Filipina hendak menjalin kerjasama dengan negara lain harus sudah memiliki SoVFA yang harus disepakati secara bilateral. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus SoVFA. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan memilih nara- sumber yang terlibat langsung dalam proses penyusunan SoVFA, observasi lang- sung pada saat penyusunan perjanjian dan mendapatkan data dari instansi pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa hubungan diplomasi In- donesia-Filipina yang selama ini telah berjalan dengan baik dikaitkan dengan penyusunan perjanjian SoVFA kurun waktu tahun 2013-2019 ditinjau dari per- spektif Ketahanan Nasional. Penelitian ini mempergunakan konsep diplomasi per- tahanan, teori perjanjian internasional dan ketahanan nasional sebagai pisau ana- lisis dalam penelitiannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbe- daan sistem hukum kedua negara yang mengakibatkan perjanjian ini lama untuk dicapai kata kesepakatan terutama di internal Indonesia.

The Status of Visiting Forces Agreement (SoVFA) agreement is a new model agreement for Indonesia while in developed countries this model of agree- ment has been adopted both bilaterally and multilaterally. This agreement was ini- tiated by the Philippines in 2006 to Indonesia, but because there was no response, the Phil-ippines finally sent it back in 2013. It happened because in the domestic drafting process there is always a deadlock. Meanwhile, the increasing dynamics of non traditional security threats such as terrorism in 2016 in the Sulu sea, Sula- wesi and the increasing and widespread threat of terrorism to the three-state bor- der region (Indonesia-Malaysia-Philippines) caused the Indonesian Defense Min- ister at the Trilateral meeting to take the initiative together both at sea and on land by forming joint military posts. The initiative was agreed upon by the Malaysian Defense Min-ister and the Defense Minister of the Philippines, but this could not be realized because it was constrained by the Philippine Parliament which requires that when the Philippines wants to establish cooperation with other countries it must have SoVFA that must be agreed bilaterally. This study used a qualitative research method with the SoVFA case study approach. The technique of collect- ing data is through in-depth interviews by selecting speakers who are directly in- volved in the process of drafting the SoVFA, direct observation during the prepa- ration of agreements and obtaining data from government agencies. This study aims to ana-lyze the diplomatic relations between Indonesia and the Philippines which have been running well so far related with the preparation of the SoVFA agreement in the period 2013-2019 from the perspective of National Resilience. This study uses the concept of defense diplomacy, the theory of international agreements and na-tional resilience as a knife of analysis in his research. The re- sults of the study show that there are differences in the legal systems of the two countries which resulted in this agreement being long to reach an agreement word especially in Indonesia
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library