Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mudzakkir
"Korban kejahatan, setelah menjadi korban kejahatan, harus menghadapi suatu problem hukum yang krusiai yang menyebabkan dirinya mengalami viktlmlsasi sekunder (secondary victimization) karena adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. Sebagal pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana yang sedang diperiksa, korban kejahatan tidak dillbatkan dalam proses peradilan pidana (atau out sidet), keouali hanya sebagai saksi, dan semua reaksi terhadap pelanggar dimonopoli oleh negara (polisi dan jaksa). Hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan pelanggar hukum pidana dan negara (polisi dan jaksa) di lain pihak tidak diatur secara jelas. Masalah posisi hukum korban ini menjadi problem hukum yang mendasar karena menyangkut keberadaannya dalam hukum pidana secara menyeluruh.
Disertasi ini mengkaji tentang posisi hukum korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana yang diatur dalam hukum positif (ius constitum) dan pengaturannya di masa datang (ius constituendum) melalui kajian peraturan perundang-undangan, yurisprudensi MARI, dan telaah pustaka serta dilengkapi dengan kajian hukum pidana Belanda sebagai contoh atau bahan analisis pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
Nilai keadilan yang menjadi pangkal tolak pengaturan korban kejahatan dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah keadilan retributif (retributive Justice) dan keadilan restoratif (restorative Justice). Kedua konsep Ini memiliki sejumlah perbedaan dalam memahami konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana dan posisi hukum korban. Sebagai elemen fiiosofis dari suatu sistem hukum (pidana) perbedaan ini adalah mendasar — atau perbedaan paradigmatik — yang mempengaruhi elemen substantif lainnya. Perkembangan pemikiran hukum pidana hingga sekarang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari retributive Justice kepada restorative Justice. Pengaturan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana melalui pembaruan hukum pidana Tahun 1981 (UU. No. 8 Tahun 1981, tentang KUHAP) secara umum telah mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukum sebagai landasan filosofis peraturan hukum dari undang-undang sebelumnya (HIR), tetapi sejauh mengenai pengaturan korban kejahatan perubahan tersebut tidak sampai mengubah elemen filosofis dan asas-asas hukumnya. Masuknya 'hak-hak korban kejahatan' dalam KUHAP tidak diperkuat oleh landasan filosofis dan teori hukum yang mengakibatkan korban kejahatan tetap tidak diakui eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana yang menjadi baglan dari hukum pidana. Kelemahan aspek pengaturan korban ini berlanjut dalam praktek hukum yakni tidak dikembangkannya metode penemuan hukum yang inovatif untuk mendukung keadilan bagi korban kejahatan. Yurisprudensi MARI cenderung mempersempit (restriksi) dalam melakukan penafsiran hukum tentang penegakan hak-hak korban. Sesuai dengan dasar falsafah Pancasila dan konsep hukum pengayoman, kebijakan pembaruan hukum pidana yang beroiientasi kepada korban kejahatan (victim oriented) yang bertitik-tolak pada keadilan restoratif (restorative justice) diperlukan sebagai kebljakan penyeimbang (balance) pembaruan hukum sebelumnya yang berorlentasi kepada peianggar (offender oriented), atau sebagai kebijakan yang parity bukan priority, dikuatkan oleh kenyataan praktek hukum sehari-hari (aspek empirik), perkembangan teori hukum pidana (aspek teoretik), ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pokok serta kecenderungan masyarakat Internasional atau PBB (aspek yuridik/normatif). Keadilan restoratif (restorative Justice) dijadlkan kerangka dasar pengaturan korban kejahatan menuntut adanya perubahan pemahaman mengenal beberapa konsep dasar dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yaitu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah utamanya melanggar hak korban kejahatan, di samping melanggar kepentingan masyarakat dan negara; pengakuan eksistensi dan posisi hukum korban kejahatan; sistem peradilan pidana sebagai sistem penyelesalan konflik; dan restitusi dan kompensasi sebagai baglan dari hukum pidana dan pemidanaan. Strategi kebijakan terhadap korban kejahatan dilakukan; pertama, memberi perspektif baru (restorative Justice) dalam penyelenggaraan peradilan pidana tanpa campur tangan legislatif dan, kedua, kemudian mengubah peraturan hukum. Dalam penataan sistem peradllan pidana, pertama, mendampingkan penyelesaian perkara pidana menurut konsep restorative Justice dengan sistem peradilan yang berlaku sekarang sebagai sarana penyaring masuknya perkara ke pengadilan dan mencangkokkan restorative Justice ke dalam sistem peradllan pidana sekarang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1783
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toronto: Lexington Books, 1973
364 Int v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hengki
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
S6221
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Penerbit FISIP UI Press, 2011
362.88 VIK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
Depok: Rajawali Press, 2021
362.88 ZUL v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Ayu Amalia Sari
"ABSTRAK
Tujuan utama dari bantuan tunai bersyarat adalah untuk memberikan kesejahteraan
yang lebih baik pada penerima manfaat yang ditargetkan. Namun demikian,
implementasi program yang buruk dapat meningkatkan perilaku anti sosial seperti
kriminalitas. Dalam kasus Indonesia, akan menarik untuk melihat bagaimana Program
Keluarga Harapan (PKH), salah satu program bantuan tunai bersyarat andalan negara ini
mempengaruhi kejahatan. Penelitian ini menggunakan dua set data utama, yaitu Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes). Dengan menggunakan
IV Probit, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat endogeneity antara modal
sosial dan kejahatan. Maka, pengaruh PKH terhadap probabilitas rumah tangga untuk
menjadi korban kejahatan secara langsung, bukan melalui modal sosial. PKH
berkorelasi negatif terhadap probabilitas rumah tangga untuk menjadi korban kejahatan.

ABSTRACT
The main objective of Conditional Cash Transfer is to provide better well-being on the
targeted beneficiaries. Nevertheless, the poor implementation of the programs could
increase anti social behavior like crime. In the case of Indonesia, it will be interesting
to see how Program Keluarga Harapan (PKH), one of the countrys flagship
Conditional Cash Transfer affect crime. This study utilizes two main data sets, which
are Survei Sosia lEkonomi Nasional (Susenas) and Potensi Desa (Podes). Using IV
Probit, result show that there is no endogeneity between social capital and crime. Thus,
the influence of PKH on the probability of households to be victims of crime directly,
not through social capital. PKH has negatively correlated with the probability of
households to become victims of crime.
"
2019
T54572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzy Marasabessy
"Tesis ini membahas mengenai korban kejahatan, yang akan mengalami viktimisasi lanjutan (post victimization) karena adanya penolakan dan pengabaian dari sistem peradilan pidana. Sebagai pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana, korban kejahatan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan pidana, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, sampai pemeriksaan perkara di pengadilan. Korban hanya dilibatkan sebatas memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Posisi korban sebagai pihak yang dirugikan, telah diambil alih oleh penyidik dan penuntut umum yang mengatasnamakan negara. Sementara itu dalam proses peradilan seringkah hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menyarankan korban kejahatan dapat dilindungi hak-hak yuridisnya serta lebih berperan dalam sistem peradilan pidana dimana korban kejahatan dapat ikut menentukan mengenai model penghukuman apa yang diinginkannya terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana atas dirinya. Apakah model penghukuman (retributif) atau ganti kerugian (restoratif).
......This thesis topics about criminal casualties, that will get post victimization because of the existence of the refusal and carelessness from the criminal justice system, as the side that suffer and is damage resulting from the violation of criminal law, criminal casualties had not been involved in the process of the criminal judicature, from the investigation stage, the demanding, to the case inspection in the court, casualties are only involv in being limit gave the testimony as casualties 's witness, the position of casualties is as the side that incure a loss, taken over by the investigator and the public prosecutor by the name of State. In the meantime in the process of the judicature often the law too much put the rights forward deffendant, where as casualties 's rights are ignored, this thesis research is the juridical research normative and juridical sociological, results of the research suggest criminal casualties could be protect by his juridical rights as well as more play a role in the criminal judicature system where criminal casualties could be decisive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26103
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mavelia Nandari Sinuhaji
"Kebahagiaan menurut ekonomi sering kali dibatasi ketat secara kuantitatif, yaitu terbatas dalam pendapatan. Oleh karena itu, studi ekonomi kebahagiaan berupaya untuk menggunakan indikator pengukuran lain untuk melengkapi ukuran kesejahteraan yang lebih luas. Penelitian ini menjadikan kejahatan sebagai indikator baru pengukuran kebahagiaan dengan menggunakan sampel perdesaan dan perkotaan. Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kebahagiaan dan kejahatan di tingkat perdesaan dan perkotaan. Hasil studi membuktikan bahwa kejahatan benar mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Berdasarkan sampel yang digunakan, tindak kejahatan memang lebih sering terjadi di perdesaan, namun tingkat kejahatan di perkotaan tetap lebih tinggi dibandingkan perdesaan.
......Happiness in economics is often strictly limited in quantitative terms, i.e. limited to income. Therefore, economic studies of happiness seek to use other measurement indicators to complement broader measures of well-being. This study uses crime as a new measurements indicator of happiness using rural and urban samples. The study aims to examine the relationship between happiness and crime at the rural and urban levels. The results prove that crime does affect people's happiness. Based on the sample used, crime is more common in rural areas, but urban crime rates remain higher than rural areas."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.S. Gunadi Sjarif
"Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat) dengan keberadaannya sebagai Negara hukum (rechtstaat) memiliki konsekuensi yang melekat padanya, bahwa konsepsi (rechtstaat) maupun konsepsi (the rule of law), menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada Negara yang di sebut (rechtstaat). Pada setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia, apakah dalam kategori “berat”, atau ringan “ringan”, akan menimbulkan kewajiban bagi Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation), bentuk pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Perlindungan terhadap saksi dan korban, menjadi sesuatu yang penting dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena merupakan kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional. Tuntutan terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian diikuti oleh Undang-Undang Nomor. 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia khususnya pelanggaran HAM berat. Kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu regulasi yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan serta terbukanya wacana tentang persoalan pemulihan (reparasi) bagi saksi dan korban. sehingga mampu mengatasi kelemahan-kelamahan yang selama ini terjadi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban. Dari pengalaman tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang sudah dilaksanakan di Indonesia yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi. Bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan menimbulkan korban, tetapi karena pelaku mendapat vonis bebas, dengan demikian tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban. Kegagalan dari beberapa pengadilan HAM berat untuk melakukan proses penghukuman yang efektif dan memberikan remedies kepada korban menyisakan banyak pertanyaan mengenai proses pengadilan yang terjadi. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain membebaskan para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-hak korban, yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban.
......
Indonesia is a State of law (rechtstaat) with its existence as a state law (rechtstaat) have consequences attached to it, that the conception (rechtstaat) and conceptual (the rule of law), putting human rights as one of the characteristic of the state of the call (rechtstaat). At any violation of human rights, whether in the category of "heavy" or light "light", will give rise to an obligation for the State to seek recovery (reparation), a form known as the recovery of compensation, restitution and rehabilitation. Protection of witnesses and victims, to be something important in the case of human rights violations that heavy, because it is a criminal offense that is classified as high impact both nationally and internationally. Demands on the resolution of cases of gross human rights violations have prompted the enactment of Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, which was then followed by Law Number. 26 Year 2000 on Human Rights Court, is intended to address issues of human rights violations particularly serious human rights violations. Then the enactment of Law Number 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims is one regulation that is expected to break the deadlock and open discourse on issues of recovery (repair) of witnesses and victims. so as to overcome the weaknesses that have occurred in the context of the protection and fulfillment of the rights of victims and witnesses. From the experience of the three trials gross human rights violations that have been implemented in Indonesia, namely the case of gross human rights violations in East Timor, Tanjung Priok and Abepura. None of the victims received compensation and restitution. That decision-making in such cases states have serious human rights violations and cause casualties, but because the perpetrator gets acquittal, thus there is no obligation to make restitution to the victim. Failure of a human rights court to make the process effective punishment and provide remedies to victims leaves many questions about the litigation occurred. The failure of these human rights court, in addition to freeing the defendants, also unable to fulfill the rights of victims, which includes the right to compensation, restitution and rehabilitation for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>