Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ida Iriani
"Azoospermia sebagai salah satu penyebab infertilitas dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain karena adanya gangguan pada sistem endokrin dan gangguan pada sistem transportasi sperma. Pada penelitian ini telah dilakukan analisis semen dan penentuan kadar FSH dan LH di dalam serum dengan teknik ?Radio Immuno Assay? (RIA) pada pria azoospermia. Hasil analisis semen dari 40 pria azoospermia, 9 pria di antaranya adalah azoospermia dengan fruktosa negatif, dan 31 pria lainnya adalah azoospermia dengan fruktosa positif. Dari 40 pria, 7 orang pria hipergonadotropik (median kadar FSH serum = 28,934 nanogram per mililiter; median kadar LH serum = 30,656 nanogram per mililiter) dan 7 orang pria hipogonadotropik (median kadar FSH serum = 3,917 nanogram per mililiter; median kadar LH serum = 5,951nanogram per mililiter). Dengan uji korelasi jenjang Spearman (Spearman?s Rho) diperoleh kesimpulan ada hubungan antara kadar FSH serum dengan kadar LH serum; tidak ada hubungan antara kadar FSH dan LH serum dengan volume semen; ada hubungan antara kadar FSH serum dengan viskositas semen dan tidak ada hubungan antara kadar LH serum dengan viskositas semen. Dengan uji Mann-Whitney (uji U) diperoleh kesimpulan tidak ada beda antara kadar FSH serum pada azoospermia fruktosa positif dengan kadar FSH serum pada azoospermia fruktosa negatif; Kadar LH serum pada azoospermia fruktosa positif lebih besar daripada kadar LH serum pada azoospermia fruktosa negatif; volume semen pada azoospermia fruktosa positif lebih bayak daripada volume semen pada azoospermia fruktosa negatif. Dan dengan uji X2 diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada beda antara jumlah penderita azoospermia fruktosa positif dengan jumlah penderita azoospermia fruktosa negatif berdasarkan kadar FSH dan LH serum normal, di bawah normal, dan di atas normal."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Suksmaningdyah Widyaningrum
"ABSTRAK
Dermatoglifi adalah gambaran sulur dan p ola sulur yang terdapat pada ujung jari, telapak tangan serta kaki. Pada Denelitian ini telah dilakukan analisis dermatoglifi terhadap penderita limfoma malignum Hodgkin (LH) dan non- Hodgkin (LMNH) yang dibandingkan terhadap kelompok normal. Metode yang digunakan dalam pengambilan gambaran dermatoglifi ujung jari serta telapak tangan, menurut cara yang dilakukan oleh Cummins & Midlo. Dari hasil analisis dermatoglifi terhadap kelompok LH menunjukkan frekuensi pola 'whorl' 40%, 'loop' ulna 56,67%, 'loop ' radial 1,30 dan 'arch' 2%, dengan nilai indeks Dankmeijer 5,0 dan indeks Funithata 68,9. Pada kelomcok LMNE, frekuensi pola 'whorl' 39,46%, 'loop' ulna 56,52%, 'loon' radial 1,34 dan 'arch' 2,68/L, dengan nilai indeks Dankmeijer 6,8 dan indeks Furuhata 68,2. Sedangkan untuk kelompok normal, pola 'whorl' mempunyai frekuensi 37,330A' , 'loop' ulna 60, 'loop' radial 12 dan 'arch' 1,67%, dengan nilai indeks
Dankrneijer 4,5 dan indeks Furuhata 61,2. Jumlah rata-rata total triradius ujung jari tangan kelompok LH 14,07,dengan jumlah rata-rata total sulur 160,13 dan besar sudut atd rata-rata 84,53 derajat. Pada kelompok UVINH, jumlah rata-rata total triradius 13,63, jumlah rata-rata total sulur 146,33 dan besar sudut atd rata-rata 86 derajat. Untuk kelompok normal, jumlah rata-rata total triradius 13,63, jumlah rata-rata total sulur 157,33 dan besar sudut atd rata-rata 79,05 derajat. Frekuensi garis lipatan 'simian' pada kelompok LH adalah 6,67% dan lipatan 'Sydney' 26,67%. Pada kelompok LMNH, frekuensi garis lipatan 'simian' dan lipatan 'Sydney' masing-masing 36,67%. Sedangkan pada kelompok normal, frekuensi garis lipatan 'simian 6,67% dan lipatan 'Sydney 3,33%. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: (1) Derrnatogiifi ujung jari tangan antara kelompok LH, LMNH dengan kelompok normal, tidak menunjukkan perbedaan; (2) Denmatogiifi telapak tangan, yaitu besar sudut atd dan frekuensi garis lipatan telapak tangan antara kelompok LH, LMNH dan normal menunjukkan perbedaan nyata.
ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar Belakang: Gangguan pada aksis hipotalamus hipofisis merupakan salah satu efek samping lanjut akibat radiasi yang dapat menyebabkan terjadinya hipogonadism. Namun sedikit diketahui tentang pengaruh dosis radiasi di hipofisis dengan risiko terjadinya hipogonadism.
Tujuan: Untuk mengetahui adakah perubahan hormon FSH, LH dan testosteron pada pasien pasca radiasi serta mengetahui hubungan antara dosis radiasi di hipofisis dengan perubahan nilai hormon tersebut.
Metode: Penelitian retrospektif pada pasien yang telah menjalani radiasi lebih dari 1 tahun yang lalu. Dosis radiasi di hipofisis didapatkan dari data pada Treatment Planning System (TPS) saat perencanaan radiasi dan nilai hormon FSH, LH, dan testosteron didapatkan dari pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Didapatkan 20 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini dengan rerata usia 40,2±6,66 tahun, median follow up 20,5 (13-66) bulan dan median Dmax hipofisis 49,81 (2,72-73,34) Gy. Tidak didapatkan kasus dengan defisiensi FSH dan LH, namun didapatkan 1 kasus (5%) dengan defisiensi testosteron. Rerata nilai hormon FSH adalah 10,65±5,42 mIU/mL, LH 6,25±2,51 mIU/mL, dan testosteron 4,83±1,40 ng/mL. Terdapat korelasi positif antara Dmax hipofisis dengan FSH (r 0,409) dan korelasi negatif antara Dmax hipofisis dengan LH (r -0,230) dan testosteron (r -0,302). Pada subgrup analisis didapatkan pada kelompok dengan Dmax hipofisis >60 Gy terdapat median nilai FSH yang lebih tinggi (p 0,015) serta median nilai LH dan testosteron yang lebih rendah dibandingkan pada kelompok dengan Dmax hipofisis ≤60 Gy.<
Kesimpulan: Gangguan pada aksis hipotalamus hipofisis dapat menyebabkan perubahan nilai hormon FSH, LH, dan testosteron. Dosis radiasi di hipofisis berhubungan dengan perubahan nilai hormon tersebut.

Background: Disruption of the hypothalamic-pituitary axis is one of the late side effects of radiation which can cause hypogonadism. However, little information about the influence of radiation dose in pituitary due to risk of hypogonadism.
Objectives: To determine changes of patient's FSH, LH, testosterone after radiation and relationship between radiation dose in pituitary.
Methods: Retrospective study of patients who underwent radiation more than 1 year ago. The radiation dose of pituitary is obtained from data in Treatment Planning System (TPS) and values ​​of the FSH, LH,
Results: There were 20 patients who met the inclusion and exclusion criteria in this study with mean age of 40.2 ± 6.66 years, median follow-up of 20.5 (13-66) months and median Dmax pituitary of 49.81 (2.72-73 .34) Gy. There were no cases with FSH and LH deficiency, but there was 1 case (5%) with testosterone deficiency. The mean FSH value was 10.65 ± 5.42 mIU/mL, LH 6.25 ± 2.51 mIU/mL, and testosterone 4.83 ± 1.40 ng/mL. There is positive correlation between pituitary Dmax and FSH (r 0.409) and negative correlation with LH (r -0.230) and testosterone (r -0.302). In the subgroup analysis, it was found that in the Dmax pituitary >60 Gy there was a higher median FSH value (p 0.015) and lower median LH and testosterone values ​​than in the Dmax pituitary ≤60 Gy.
Conclusion: Disorders of the hypothalamic-pituitary axis can cause changes in the values ​​of FSH, LH, testosterone. The radiation dose of pituitary is related to changes in hormone values.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiener, L.H.
Amsterdam/Antwerpen: Contact, 2007
BLD 839.313 WIE v
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Dewi Artati
"Latar belakang : Pubertas prekoks sentral (Central precocious puberty CPP) merupakan perkembangan karakteristik seks pubertas sebagai konsekuensi dari aktivasi prematur aksis Hipotalamus Hipofise Gonad (HHG) sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak laki-laki. Beberapa penelitian memperlihatkan perbedaan hasil dari terapi Leuprolide Acetate (LA) untuk pasien CPP menyangkut dosis dan waktu pemberian terhadap supresi sekresi gonadotropin.
Tujuan : Untuk mengetahui efek terapi LA dengan cara pemberian yang berbeda-beda, yaitu setiap bulan dan 3 bulan terhadap supresi sekresi LH pada pasien CPP.
Metode : Meta-analisis terhadap tinjauan systematic review yang tersedia pada Cohrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST serta referensi terdaftar lainnya mengenai terapi LA untuk supresi sekresi LH pada pasien CPP. Tiga peneliti secara independen melakukan tinjauan terhadap abstrak dan naskah lengkap, masing-masing untuk menentukan kriteria inklusi dan ekstraksi data.
Hasil : Ditemukan 2 penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dimasukkan dalam meta-analisis ini. Meta-analisis menunjukkan bahwa supresi LH bervariasi dengan berbagai dosis dan waktu pemberian LA yang berbeda. Penelitian-penelitian tersebut membandingkan terapi LA dosis 11,25 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 7,5 mg/bulan, 22,5 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 7,5 mg/bulan dan 22,5 mg/3 bulan dibandingkan dengan kontrol 11,25 mg/3 bulan.
Kesimpulan : Terapi LA 7,5 mg/bulan menghasilkan supresi kadar LH lebih besar dibandingkan 11,25 mg/3 bulan dan 22,5 mg/3 bulan; sementara terapi LA dosis 22,5 mg/3 bulan memberikan supresi yang lebih besar dibandingkan dengan dosis 11,25 mg/3 bulan.

Background : Central precocious puberty (CPP) is a characteristic development of sexual puberty as a consequence of premature activity of hypothalamic hypophyse gonadal (HHP) axis before 8 years old for girls or 9 years old for boys. Several studies have showed different results in Leuprolide Acetate (LA) therapy for CPP in terms of administration doses and time of treatment on suppression of gonadotropine secretion.
Objective : To determine the effects of different administration of LA therapy, monthly doses and every three month, on suppression of LH secretion in CPP patients.
Method : Meta-analyses of systematic review on available literature from Cochrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST and other registered reference about therapy to suppress LH secretion in CPP patients. Three researches independently conducted reviews on abstract and full-texts for inclusion criterion and data extraction, respectively.
Result : There are two studies fulfill inclusion criterion and included in the meta-analyses. Meta-analyses showed that LH suppression varies with different administration doses and time of LA. These studies compare LA therapy using 11,25 mg/3 month with control 7,5 mg/month, 22,5 mg/3 month with control 7,5 mg/month, and 22,5 mg/3 month with control 11,25 mg/3 month doses.
Conclusion : LA therapy 7,5 mg/month gives greater LH suppression compared with 11,25 mg/3 month and 22,5 mg/3 month; while LA therapy 22,5 mg/3 month provides greater suppression compared with 11,25 mg/3 month.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Pratama
"Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah kelainan endokrin yang paling banyak ditemukan dan memengaruhi 5–20% perempuan pada usia reproduksi. Kadar LH dan rasio LH dengan FSH lebih tinggi pada pasien SOPK nir-obese dibandingkan obese. Sekresi LH dan FSH dipengaruhi oleh pulsatilitas GnRH neuron GnRH di hipotalamus. Kisspeptin diduga sebagai regulator utama sekresi GnRH, sedangkan neurokinin B (NKB) dan dinorfin mengatur sekresi kisspeptin neuron KNDy. Namun, patofisiologi gangguan neuroendokrin pada pasien SOPK nir-obese belum dipahami sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui hubungan kadar kisspeptin, NKB dan dinorfin dengan rasio LH/FSH serta hubungannya dengan polimorfisme dan metilasi DNA gen KISS1. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang di Klinik Yasmin, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Kencana dan klaster Human Reproduction, Infertility and Family Planning IMERI UI pada bulan September 2021 sampai Januari 2023 dengan subjek penelitian 120 pasien SOPK nir-obese. Dilakukan pengukuran parameter komposisi tubuh, skor Ferriman-Gallwey dan pemeriksaan kadar FSH, LH, rasio LH/FSH, kisspeptin, NKB, dinorfin, leptin, adiponektin, AMH, glukosa darah puasa, insulin puasa, HOMA-IR, testosteron, dan SHBG. Dilakukan analisis polimorfisme rs4889 dan rs5780218 gen KISS1 danmetilasi DNA gen KISS1. Analisis bivariat dan analisis jalur dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel. Terdapat hubungan negatif antara dinorfin dengan kisspeptin, sedangkan kadar NKB tidak berhubungan dengan kisspeptin. Tidak ada hubungan kadar kisspeptin dengan rasio LH/FSH; namun, dinorfin berhubungan positif dengan rasio LH/FSH pada pada analisis bivariat maupun analisis jalur. Kadar AMH berhubungan dengan rasio LH/FSH baik pada kedua analisis. Pada analisis jalur, terdapat hubungan positif antara HOMA-IR dengan FAI dan antara FAI dengan AMH. Pada analisis polimorfisme gen KISS1tidak terdapat hubungan antara frekuensi genotipe maupun frekuensi alel rs4889 dan rs5780218 gen KISS1 SOPK nir-obese dengan kadar kisspeptin dan rasio LH/FSH. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara metilasi DNA dengan kadar kisspeptin dan rasio LH/FSH. Terdapat hubungan antara peningkatan dinorfin dengan penurunan kadar kisspeptin. Hubungan dinorfin dengan rasio LH/FSH kemungkinan disebabkan oleh rendahnya kadar progesteron. Peningkatan AMH berhubungan dengan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese. AMH merupakan variabel perantara HOMA-IR dan FAI terhadap rasio LH/FSH. Tidak ada hubungan polimorfisme rs4889 dan rs5780218 gen KISS1 serta metilasi DNA gen KISS1 dengan kisspeptin dan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi terapi terhadap dinorfin dan AMH dalam tatalaksana pasien SOPK nir-obese.

Polycystic ovary syndrome (PCOS) is the most common endocrine disorder affecting 5–20% of reproductive age women. LH levels and LH/FSH ratios are higher in lean PCOS patients than in obese patients. LH and FSH secretion are influenced by GnRH pulsatility of GnRH neurons in the hypothalamus. Kisspeptin is thought to be the main regulator of GnRH secretion, whereas neurokinin B (NKB) and dynorphin regulate kisspeptin secretion in KNDy neurons. However, the pathophysiology of neuroendocrine disorders in lean PCOS patients is not well established. This study aims to determine the relationship between kisspeptin, NKB and dynorphin levels with the LH/FSH ratio and the relationship between polymorphism and DNA methylation of the KISS1 gene. This study used a cross-sectional design at the Yasmin Clinic, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Kencana and the IMERI UI Human Reproduction, Infertility and Family Planning cluster from September 2021 to January 2023 with 120 lean PCOS patients as subjects. Body composition parameters, Ferriman-Gallwey score, FSH, LH, LH/FSH ratio, kisspeptin, NKB, dynorphin, leptin, adiponectin, AMH, fasting blood glucose, fasting insulin, HOMA-IR, testosterone, and SHBG were measured. Analysis of KISS1 gene polymorphisms of rs4889 and rs5780218 and DNA methylation were performed. Bivariate analysis and path analysis were performed to determine the relationship between variables. There was a negative relationship between dynorphin and kisspeptin, while NKB levels was not related to kisspeptin. There was no relationship between kisspeptin levels and the LH/FSH ratio; however, dynorphin was positively related to the LH/FSH ratio in both bivariate and pathway analysis. AMH levels was positively correlated with the LH/FSH ratio in both analyses. In path analysis, there is a positive relationship between HOMA-IR and FAI as well as between FAI and AMH. In the analysis of the KISS1 gene polymorphism, there was no significant difference between the genotype and allele frequencies of rs4889 and rs5780218 of the lean KISS1 gene with kisspeptin levels and the LH/FSH ratio. There was no significant difference between DNA methylation with kisspeptin levels and LH/FSH ratio. There is a relationship between the increased dynorphin and decreased kisspeptin levels. The association of dynorphins with the LH/FSH ratio may be due to low levels of progesterone. Increased AMH is associated with increased LH/FSH ratio in lean PCOS patients. AMH is an intermediary variable between HOMA-IR and FAI with the LH/FSH ratio. There is no relationship between the rs4889 and rs5780218 KISS1 gene polymorphisms and KISS1 gene DNA methylation with kisspeptin and the LH/FSH ratio in lean PCOS patients. Further research is required to determine the therapeutic potential of dynorphin and AMH in the management of lean PCOS patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Maulana
"Tujuan: Untuk mengetahui efektifitas, kenyamanan, dan toksisitas dari alat testicular shield buatan sendiri pada preservasi fertilitas pasien di Instalasi Radioterapi pada Rumah Sakit pusat rujukan nasional di Indonesia.
Metode: Penelitian deskriptif analitik, dilakukan perhitungan dosis pada TPS dan Film Dosimetry, Pemeriksaan laboratorium hormon FSH, LH, dan Testosteron pre dan post radiasi serta penilaian toksisitas kulit daerah skrotum paska radiasi dan kenyamanan penggunaan pada pasien kanker abdominopelvis yang menjalani terapi radiasi.
Hasil: Total terdapat 6 pasien yang menyelesaikan proses perencanaan radiasi dengan 5 pasien berhasil menyelesaikan tatalaksana radiasi. Didapatkan Dosis rerata testis 0,8 Gy dan rerata dosis testis dibandingkan dosis preskripsi sebesar 1,8% dengan pengurangan dosis sekitar 80%. Terdapat peningkatan hormon FSH (63,5%), LH (32,2%), dan penurunan Testosteron (3,7%). Panggunaan testicular shield dapat mencegah terjadinya hipogonadisme primer akibat radiasi. Rerata skor kenyamanan 9,4 dengan tanpa ditemukan peningkatan toksisitas kulit paska radiasi.
Kesimpulan: Alat testicular shield yang dibuat pada studi ini terbukti memiliki efektitas yang baik untuk mengurangi dosis yang diterima testis dengan tidak menimbulkan rasa tidak nyaman saat digunakan dan tanpa penginkatan toksisitas kulit skrotum.
Kata Kunci: Pasien kanker abdominopelvis, Preservasi Fertilitas Pria. Terapi Radiasi, Testicular Shield, FSH, LH, Testosteron, Kenyamanan, Toksisitas kulit.

Purpose: To determine the effectiveness, comfort and toxicity of In-house testicular shield devices in preserving patient fertility in radiotherapy installations at national referral hospital centers in Indonesia.
Method: Descriptive analytical research, dose calculations were carried out on TPS and Film Dosimetry, laboratory examination of FSH, LH and Testosterone hormones pre and post radiation as well as assessment of skin toxicity in the skin scrotal area post radiation and comfort of use in abdominopelvic cancer patients undergoing radiation therapy.
Results: A total of 6 patients completed the radiation planning process with 5 patients successfully completing radiation treatment. The average testicular dose was 0.8 Gy and the average testicular dose compared to the prescribed dose was 1.8% with dose reduction to testis approximately 80%, After Radiotheraphy there was an increase in the hormones FSH (63,5%), LH (32,2%), and a decrease in Testosterone (3.7%). The use of a testicular shield can prevent primary hypogonadism due to radiation. The mean comfort score was 9.4 without escalation in skin toxicity.
Conclusion: The testicular shield device created in this study was scientifically proven to have good effectiveness reducing dose received by testis with excellent comfort and without escalation in scrotal skin toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library