Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atin Wirantika
"Perkawinan yang dilangsungkan harus sesuai dengan syarat-syarat perkawinan. Penelitian ini membahas mengenai pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh istri pertama terhadap perkawinan suaminya yang sudah meninggal, perkawinan kedua suaminya dilakukan sebelum ia meninggal. Permasalahan penelitian ini adalah akibat hukum pembatalan perkawinan setelah kematian suami sebagaimana putusan Pengadilan Agama Sukabumi perkara nomor 0135/PDT.G/2018/PA.Smi disamping itu pertimbangan hakim pada kasus tersebut dibandingkan dengan kasus serupa dengan pertimbangan hakim yang berbeda.
Penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus, tipologi adalah deskriptif analitis, menggunakan metode analisis kualitatif, menggunakan data sekunder dengan penelusuran dokumen. Hasil penelitian adalah perkawinan dianggap tidak ada. Pertimbangan hakim pembatalan tidak dapat diterima. Terjadinya suatu perkawinan memberikan akibat hukum terhadap status hukum seseorang dan status hukum seseorang sangat penting bagi notaris, disamping hal-hal lain seperti kewarisan dan perjanjian perkawinan.
......The marriage must be in accordance with the terms of marriage. This study discusses the cancellation of husband's marriage and is sued by the first wife against the marriage of her deceased husband, her husband's second marriage was done before he died. The problem of this research is consequences due to the law of the cancellation of marriage after the death of the husband. religious As the decree of the Sukabumi religious court 0135/PDT.G/2018/PA.Smi, In addition, consideration of judges in such cases compared to similar cases with the consideration of different judges.
This research is normative juridical, by asking for approvals and asking for a report, typology is descriptive analytical, using qualitative analysis methods, using secondary data with document search. The results of the research are considered no marriage. Consideration by judge is unacceptable. The occurrence of a marriage gives a legal effect on a person's legal status and a person's legal status is crucial to the notary, in addition to other matters such as inheritance and marital agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkiya Laili Maghfirah
"
Perkawinan poligami merupakan bentuk pengecualian atas asas monogami dalam Undang ndash; Undang Perkawinan, hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 3 ayat 2 Undang ndash; Undang Perkawinan. Dalam melaksanakan suatu perkawinan poligami, salah satu syarat yang diwajibkan oleh Undang ndash; Undang Perkawinan adalah adanya izin dari istri/istri-istri dari suami yang akan beristri lebih dari seorang. Izin dari istri/istri ndash; istri tersebut adalah syarat wajib ketika seorang suami akan mengajukan permohonan untuk berisitri lebih dari seorang ke Pengadilan untuk diberikan izin menikah lagi. Skripsi ini membahas mengenai putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor 43/Pdt.G/2014/PN.BTM tentang pembatalan perkawinan kedua karena poligami yang dilakukan oleh suami tanpa izin istri pertama. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penulis mengacu pada aturan ndash; aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Poligami yang dilakukan oleh si suami dilangsungkan tanpa seizin istri pertama dan tanpa adanya izin dari pengadilan yang berwenang untuk memberikan izin, maka dari itu istri pertama diberikan hak oleh undang ndash; undang untuk membatalkan perkawinan kedua suaminya. Poligami yang dilakukan oleh suami dapat dimintakan pembatalan karena tidak memenuhi syarat ndash; syarat sahnya melakukan poligami. Setelah adanya pembatalan perkawinan, maka akibat hukum yang terjadi adalah perkawinan kedua suami dianggap tidak pernah ada. Dalam hal ini seharusnya suami lebih terbuka kepada pihak istri dan pihak keluarga apabila ingin menikah lagi. Kemudian terhadap Pegawai Pencatat Nikah atau Pejabat Kantor Urusan Agama KUA hendaknya lebih teliti dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam hal meniliti kelengkapan data ndash; data dan surat ndash; surat yang diajukan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan.Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Poligami, Pembatalan Perkawinan.

ABSTRACT<>br>
Polygamy marriage is a form of exception to the principle of monogamy in the Law of Marriage, as can be seen from the provision of Article 3 paragraph 2 of Law of Marriage. In performing a polygamy marriage, one of the conditions required by Law of Marriage is the permission of wife wives from a husband who will take more than one wife. This permission is a mandatory requirement when a husband will apply for more than one wife to the Court to be given a permission to remarry. This thesis discusses about the decree of Batam District Court Number 43 Pdt.G 2014 PN.BTM on cancellation of second marriage due to polygamy performed by husband without first wife permission. By using normative legal research method, the author refers to the existing legal rules to answer the problem. In addition, the first wife is given the right by the law to cancel her husband rsquo s second marriage if it does not obtain the permission from her and authorized court. The cancellation of husband rsquo s polygamy is because it does not meet the legal requirements for polygamy. After the cancellation the legal consequence is the husband rsquo s second marriage is considered never exists. In this case the husband should be more open to the wife and his family if he wants to marry again. In addition, the Office of Religious Affair KUA officer should be more careful in performing their duty, mainly in terms of reviewing the data completeness submitted by the parties that want to conduct a marriage. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Rado
"ABSTRAK
Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Undang-undang Perkawinan hanya menegaskan bahwa antara suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang. Atas dasar itu maka bagian harta bersama suami/istri adalah seimbang yaitu ½ (setengah) bagian suami dan ½ (setengah) bagian istri atau 50% : 50% bila dipersentasekan. Pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan karena perceraian dan kematian terhadap Putusan Mahkamah Agung No.69 K/AG/2009 adalah dengan melihat fakta-fakta dipersidangkan, kemudian diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yaitu untuk istri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri pertama dan istri kedua, ditambah 1/4 x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri ketiga, istri kedua dan istri pertama, ditambah 1/5 x harta bersama yang diperoleh suami bersama istri keempat, ketiga, kedua dan pertama.

ABSTRACT
In Indonesia marital problems have got arrangements in Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage. Article 1 of Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage is defined marriage as a bond between the inner and outer man with one woman as husband and wife with the intention of forming a family (household) are happy and eternal based on God . The principle of monogamy in the Marriage Undangundang No. 1 Thn 1974 on Marriage is not absolute, it means merely a briefing on the formation of monogamous marriage with roads complicate and restrict the use of the institution of polygamy and not removing altogether the system of polygamy The provisions of Article 65 paragraph (1) letter b of Undang-undang No. 1 Thn 1974 on Marriage determine the second wife and so do not have rights to common property which existed prior to the marriage with a second or subsequent wife was happening. This study is a descriptive analysis using normative juridical approach. Marriage Act merely confirms that between husband and wife have equal rights and status. On that basis it is part of the joint property of husband/wife is balanced ie 1/2 (half) of the husband and 1/2 (half) part of the wife or 50 % : 50 % when percentage. Consideration judge gave judgment in the division of property in a marriage by divorce and the death of the 69 Supreme Court K/AG/2009 is to look at the facts council, then terminated under the provisions of the legislation is to first wife half of the property along with husband acquired during the marriage, plus 1/3 x joint property acquired with the husband 's first wife and second wife, plus ¼ x joint property acquired by husband and wife with the third, the second wife and his first wife, plus 1/5 x property along the husband and wife obtained with the fourth, third, second and first.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renata Patricia
"Skripsi ini fokus membahas penetapan-penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan poligami karena tidak memiliki keturunan laki-laki dalam kaitannya dengan Pasal 4 ayat 2 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 4 ayat 2 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan salah satu alasan pengadilan dapat memberikan izin poligami bagi seorang suami yaitu jika istri tidak dapat melahirkan keturunan. Bagi masyarakat adat yang menarik garis keturunan laki-laki, maka memiliki anak laki-laki menjadi penting. Dalam hal ini, terdapat pembahasan kasus di penetapan pengadilan apakah ketiadaan keturunan laki-laki dapat dijadikan alasan poligami. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian terhadap penetapan-penetapan pengadilan. Adapun penetapan- penetapan pengadilan yang dimaksud adalah penetapan pengadilan di Provinsi Bali dimana masyarakat menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Dalam kasus yang menjadi bahan penelitian, pengadilan tetap memberikan izin poligami bagi suami walaupun istri masih dapatmelahirkan keturunan berjenis kelamin perempuan. Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 4 ayat 2 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena kata keturunan tidak diperjelas sebagai keturunan berjenis kelamin laki-laki maupun keturunan berjenis kelamin perempuan. Penulis mengajukan dua pokok permasalahan dalam penelitian yaitu 1. Bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi pihak-pihak yang akan mengajukan poligami? dan 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan izin poligami karena tidak memiliki keturunan laki-laki?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Berdasarkan hasil penelitian penulis, pertimbangan hukum hakim telah sesuai dengan mengacu kepada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta hukum adat terutama hal sistem kekeluargaan yang masih berlaku dalam masyarakat Indonesia.

The focus of this thesis discusses the Decrees of the Court that grant the permit for polygamy because it does not have male descendants in relation to Article 4 paragraph 2 c Law No. 1 of the Year 1974 on Marriage. In Article 4 paragraph 2 c Law No. 1 of the Year 1974 on Marriage, one of the reasons that Court may give permission for polygamy is is if the wife can not give birth to descent. For the indigenous communities that attract male lineage, having the male descendant is important. In this case, there is a discussion of the case in the Decrees of the Court of whether the absence of male descendants can make a party to polygamy. To answer these problems, doing research on the Decrees of the Court is necessary. The Decrees of the Court is from the Court in Bali which is the community embraced the system of family men. In the case that became the research material, the court nonetheless permit polygamy for her husband even though his wife still can give birth to offspring of the female sex. This is contrary to the sound of Article 4 paragraph 2 c Law No. 1 of the Year 1974 on Marriage because the word, descendant, never made clear as male sex descendant or female sex descendant. Whereas, in the Costumary Societies in Indonesia, the sex of the descendants still has a significant impact. The writer propose two principal problems in this study, which are 1. How terms that must be met for the parties that submit for polygamy and 2 . How the legal considerations made by the judges in grant of the permit for polygamy because it does not have male descendants. This research used normative juridical method with explanatory typology. Based on the results of the writer 39 s research, the legal considerations of the judges has been consistently refers to Law No. 1 of the Year 1974 on Marriage and also Adat Law, especially the Kinship System that still applies in Costumary Societies in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library