Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bril, Martin
Amsterdam: Prometheus , 1998
BLD 839.313 BRI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Albrow, Martin
London: Macmillan, 1970
352.63 ALB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bainton, Roland H.
New York: New American Library, 1950
922.4 BAI h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bril, Martin
Amsterdam: De Bezige Bij, 1990
BLD 839.36 BRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Keisar Natanael
"Tulisan ini mengangkat tentang bagaimana musik dapat menjadi medium untuk menyingkap eksistensi subjek dengan menggunakan sudut pandang teori fenomenologi ontologi dari Martin Heidegger. Musik sendiri bukan hanya dikenal sebagai objek seni yang mampu menghibur, namun juga berkontribusi dalam sejarah. Musik berperan sebagai penanda waktu dan kultur di seluruh dunia sejak dahulu kala hingga saat ini, dan signifikansinya terhadap peradaban manusia sudah diakui oleh banyak budaya. Penulis menggunakan metode fenomenologi dengan mengkaji analisis dengan menggunakan sudut pandang fenomenologi Heidegger untuk mencari relevansi antara musik dan juga dampaknya untuk menjadi medium bagi seorang individu menyingkap eksistensinya. Dengan mengacu pada karya-karya Heidegger, penulis berusaha melihat bagaimana Heidegger melihat seni dan juga bagaimana ia menjelaskan eksistensi manusia dan bagaimana melalui teori Dasein, Heidegger menjabarkan cara untuk seorang individu menghidupi dirinya secara sepenuhnya. Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa dengan menerapkan konsep fenomenologi ontologis Heidegger dalam konteks musik, musik dapat menyediakan pengalaman eksistensial yang mendalam dan menghubungkan manusia dengan realitas ontologis.
This paper examines how music can be a medium to reveal the existence of a subject by using Martin Heidegger's ontological phenomenological point of view. Music itself is not only known as an art object that can entertain, but also contributes to history. Music has served as a marker of time and culture from the dawn of time to now, all around the world, and its significance to human civilization has been recognized by many cultures. The author uses a phenomenology method by examining the analysis using Heidegger's phenomenological viewpoint to discover the connection between music and also its path to become a medium for an individual to reveal his existence. By referring to Heidegger's works, the writer tries to see how Heidegger sees art and also how he explains human existence and how, through Dasein's theory, Heidegger describes how an individual can fully support himself. Through this paper, the writer would like to convey that by applying Heidegger's ontological phenomenological concept in the context of music, music can provide a deep existential experience and connect humans with ontological reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus, S. Margaretha K.
"ABSTRAK
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menguraikan dengan baik suatu analisa pemikiran Martin Buber dari bukunya Aku dan Engkau. Buku Aku dan Engkau membahas masalah pokok yang menurjt Buber merupakan inti dari hidup manusia. Buber memperkenalkan apa yang dinamainya relasi dalam hidup manusia. Hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain dan manusia dengan Tuhannya. Hubungan manusia dengan Tuhannya menurut istilah Buber dikenal dengan Aku-Engkau Yang Abadi adalah relasi tertinggi. Inilah puncak kehidupan religius yang oleh Buber disamaartikan dengan persatuan mistik. Semua ini ditunjukkan oleh Buber sebagai bukti bahwa manusia tetap memerlukan dimensi religius dalam hidupnya. Buber mengharapkan hal ini sebagai jawaban atas jaman yang sakit sebagai akibat ulah manusia modern dewasa ini...

"
1985
S16081
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Awal dan Akhir. Kehidupan manusia selalu berawal dan berakhir, begitulah kenyataan hakekat yang kita terima sebagai manusia. Berawal dari kelahiran yang begitu amat sangat dirayakan scbagai suatu kebahagiaan selepas penderitaan, Iayaknya pelangi setelah prahara hujan ataupun terang matahari pagi yang muncul setelah kegelapan malam, sebuah masa penuh dengan nuansa sukacita. Namun, hidup juga pasti akan berakhir. Akhir tersebut bernama kematian, yang selalu dipandang sebagai satu momen yang menjadi momok mengerikan, satu tilik dalam hidup yang membuat hidup menjadi hancur dan berakhir, sebuah masa penuh dengan nuansa dukacita. Martin Heidegger, dalam buku Being and Time, memberikan alternatif pemahaman yang berbeda terhadap problem kematian. Kematian bukanlah suatu hal yang sedemikian mengerikan, yang dengan sewenang-wenang merenggul nyawa dan mengakhiri begitu saja kehidupan manusia tanpa belas kasih, sehingga manusia kehilangan makna dirinya, yang berujung pada kehilangan ke-otentik-annya. Kematian, menurut Heidegger, seharusnya dipandang scbagai suatu kemungkinan unik dan tersendiri di antara berbagai kemungkinan dalam kehidupan. Kematian sebagai kemungkinan tersebut haruslah diterima manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan demikian, manusia akan menyadari dan menerima bahwa dirinya memiliki kemungkinan yang niscaya, yang mengakhiri kemungkinan-_kemungkinan lain. Kesadaran tersebut membuat manusia keluar dari kesehariannya, mencoba mencapai makna terdalam dirinya, dan kemudian mengantisipasi masa depan melalui perjalanan hidup yang bermakna, otentik. Akhirnya, kematian akan menjadi penutup yang manis dan momen selebrasi bagi cerita kehidupan manusia, bukan lagi dukacita, melainkan sebagai suatu pintu gerbang menuju ke ke-otentik-an manusia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16043
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sunaidi Efatra
"ABSTRAK
Manusia sebagai poros penyelidikan guna menemukan kenyataan sesungguhnya mulai dari Plato hingga Descartes masih belum selesai. Realitas sesungguhnya, yang dinamakan dengan Ada (Being), setiap pemikir selalu berdialektika satu sama lainnya sehingga tidak pernah menemukan titik akhir dari sebuah sintesa utuh yang tidak bisa diperdebatkan lagi. Titik persoalannya adalah karena berangkat dari perspektif esensial yang bersifat deskriptif-kategorial dalam menyelidiki Ada sehingga dikotomi subyek (manusia) dan Obyek (dunia) tidak bisa dielakkan. Baru kemudian pada Edmund Husserl mulai ada perubahan konseptual dalam mengatasi dikotomi tersebut. Melalui metode fenomenologi, Husserl menyelaraskan antara subyek dan Obyek dengan tidak ada pemisahan. Keduanya saling mengandaikan dalam memperoleh pengetahuan. Walaupun demikian, pada puncak penelitian, Husserl akhirnya masih melakukan diskriminasi terhadap obyek dalam konsep ego transendentalnya. Sehingga pencarian kenyataan yang hakiki melalui penyelidikan yang bersifat konseptual mulai dipertanyakan lagi. Kehadiran Kierkegaard ikut membawa perubahan yang mendasar, yaitu bahwa penelitian tentang esensi Ada yang selalu berangkat dari konsepsi-kategoris harus dibalik dengan penelitian yang menggunakan perspektif eksistensial. Being, tidak lagi dipahami sebagai Ada, tetapi Mengada. Artinya, manusia tidak semata-mata dipandang sebagai pelaku pasif dalam memahami dan menyelidiki Ada, tetapi manusia justru sebagai pelaku aktif dalam memaknai Ada. Dalam puncak memaknai Ada, bagi Kierkegaard, manusia dengan pilihan bebasnya harus melompat ke realitas e ketuhanan. Bagi Martin Heidegger, pengalaman tentang Ada yang dimaknai oleh Kierkegaard masih berbau moralitas dan religius. Manusia belum dipandang sebagai subyek yang mampu berdiri sendiri dalam memaknai hidupnya. Perlu kemudian memberikan sudut pandang yang lain, yaitu eksistensial-ontologis dalam memaknai Ada. Eksistensial bertujuan meneropong kondisi manusia yang otentik, dan kemudian diselaraskan dengan temporalitas yang memberikan makna tentang keberadaan manusia dalam dunia. Karena kondisi Dasein yang paling mendasar adalah Ada-menuju-kematian secara eksistensial-ontologis, maka puncak totalitas Ada Dasein itu akhirnya ditemukan pada momen Kematian. Sebab pada momen ini adalah zenit totalitas Ada Dasein di satu sisi, dan momen berakhirnya eksistensi Dasein dalam dunia di sisi lain. Oleh karena itu, pada Heidegger, manusia sebagai pemberi makna pada Ada dalam memaknai dirinya dan dunia, yang berpuncak pada kematian. Namun manusia dalam memaknai dirinya dan dunia keseharian menghadapi dilema. Di satu sisi, pemaknaan Ada-nya yang otentik melalui Mengada-menuju-kematian selalu tidak stabil karena is selalu terlupa. Di sisi lain, karakter keseharian Dasein selalu bernuasa inotentik di mana Dasein tidak bisa lari darinya. Meskipun secara eksplisit dia sudah menyatakan diri sebagai Ada yang otentik, tetapi secara implisit, bekas-bekas inotentik masih melekat pada otentisitas tersebut. Sehingga keutuhan manusia eksistensial-ontologis yang otentik itu secara tidak langsung masih berwarna ganda"
2007
T37417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini memaparkan teks tragedi sebagai peristiwa atau keadaan yang dialami tokoh cerita dengan menggunakan pendekatan semiotik guna menjelaskan peristiwa tanda, simbol, serta interpretasi yang menjadi acuhan peristiwa kemanusiaan..."
META 7:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>