Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lamongan: Unisda, 2012
324.2 IKA h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S6086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kang, Young Soon
Jakarta: UI-Press, 2008
324.2 KAN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salahuddin Wahid
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002
324.2 SAL m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mahmud Budianto
Abstrak :
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah (Presiden Soeharto) menginginkan agar sistem kepartaian di Indonesia disederhanakan. Hal itu ditujukan untuk melakukan kontrol peran umat Islam di pemerintahan. Berbagai strategi pun dilancarkan, yaitu mulai penolakan rehabilitasi Masyumi, pembentukan PDII sampai strategi pengembosan masa parpol di pemerintahan melalui strategi monoloyalitas. Tidak hanya sampai pada tahap itu, pemerintah selanjutnya menganjurkan agar partai politik yang ada untuk mengelompok. Pada dasarnya pengelompokan yang diinginkan pemerintah adalah agar di Indonesia hanya ada dua parpol saja. Kedua parpol yang terbentuk itu akan memudahkan pemerintah melakukan kontrol politik. Sebagai Partai Islam terbesar, Nahdlatul UIama (NU) menyadari kondisi politik yang terjadi pada masa itu. Dalam Muktamarnya (1971) NU menyatakan sikap untuk berusaha mempertahankan keberadaan (eksistensi) kepartaian terhadap strategi yang dilancarkan pemerintah. Selain itu NU pun mempertimbangkan wadah nonpolitis apabila hams meninggalkan kepartaian karena kondisi politik yang akan terjadi. Proses pengelompokan pun berjalan dan seiring dengan itu NU terus berusaha mempertahankan eksistensi partainya. Sikap maupun usaha NU itu pun kenyataannya harus tunduk kepada fusi parpol yang diinginkan pemerintah. Akhirnya pada tanggal 5 Januari 1973, NU berfusi dengan Parmusi, PSII dan Perti membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12448
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2017
297.272 NAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Laode Ida
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak tahun 1984, melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, Nahdiatul Ulama (NU) menyatakan sikap kembali ke khittah 1926. Gagasan kembali ke khittah 1926 ini sudah melalui proses perjalanan panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokohnya sendiri, karena kiprahnya sebelum itu bukan saja telah mengabaikan tugas-tugas pengabdiannya kepada masyarakat sesuai misinya mengembangkan ajaran ahlus sunnah wal.jamaah, melainkan juga telah menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan pada tingkat intern NU.

Penelitian kualitatif ini berupaya mengkaji faktor-faktor penyebab munculnya konflik pada era kembali ke khittah 1926, dengan menggunakan konsep dan pendekatan paradigma defensisi sosial (social defenition) dalam sosiologi, suatu pedekatan yang dipengaruhi kuat oleh pemikiran-pemikiran Max Weber.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa era kembali ke khittah 1926 semakin mengkristalkan faksi-faksi dalam NU. Ada tiga faksi utama yang saling berhadapan, yakni faksi politik, faksi Syuriah, dan faksi cendekia. Faksi politik menunjukkan orientasinya yang bersifat 'materi', dan belum bisa melepaskan antara aktivitas sebagai politisi dengan sebagai warga NU. Kesulitan utamanya karena watak politik telah mengendap dalam diri mereka. Sementara faksi Syuriah tetap berupaya mempertahankan tatanan normatif dari NU, sehingga pola-pikir dan tindakan kalangan Syuriah ini terasa begitu kaku. Padahal faksi cendekia, secara relatif niemiliki pola pikir dan tindakan yang berbeda dengan kedua faksi lainnya, yakni cenderung secara bebas membeni penafsiran terhadap gagasan kembali ke khittah 1926, berikut berbagai.pemikiran dan tindakan lain sebagai ekspresi pemikiran yang bersifat 'ideas'.

Posisi faksi cendekia di bawah pengaruh kuat Abdurrahman Wahid cukup kuat dalam perjalanan NU selama 10 tahun terakhir. Faksi ini mampu membendung arus keinginan faksi politik untuk membawa NU kembali berpolitik. Ini bisa dilakukan atas kerjasama dengan-faksi Syuriah, yang juga tak menghendaki keinginan faksi politik. Ini menunjukkan pula bahwa sasaran tembak utama NU kembali ke khittah adalah sayap politik NU. Tetapi pada saat yang bersamaan pula, posisi Syuriah mengalami pelemahan yang sama dengan pada saat NU dipimpin oleh K.H. Idham Chalid. Ini terbukti dengan beberapa tindakan yang dilakukan oleh kepemimpinan Abdurrahman Wahid, yang sebenarnya secara normatif dianggap menyimpang, namun tetap saja diamaafkan.

Ketegangan dan konflik internal yang muncul, dengan demikian, sebagai akibat dari tarik menariknya kepentingan ketiga faksi itu. Masing-masing faksi berupaya menafsirkan dan memanfaatkan NU sebagai basis dari manuver-manuver mereka, sehingga pada saat ruang manuver mengecil sebagai akibat dari adanya tembok pembatas berupa tatanan normatif NU, maka kekecewaan tak bisa dihindari. Sementara yang memiliki akses terbesar adalah faksi cendekia,'Abdurrahman Wahid dan kubu pendukungnya.

Faksi cendekia ini umumnya terdiri dari keluarga NU generasi ketiga, kalangan intelektual NU dari berbagai latar belakang pendidikan. Penafsiran terhadap konsep kembali ke khittah 1926 yang berbeda, serta upaya membangun NU masa depan yang sesuai dengan irama tuntutan zaman menurut versi generasi ketiga ini, memberi kesan bahwa gerakan NU merupakan gerakan "civil society", atau paling tidak merupakan gerakan budaya. Di sini pula muncul konsep demokrasi dalam NU, di mana faksi cendekia mengembangkan gagasan-gagasan demokrasi yang cenderung liberal, cenderung berseberangan dengan arus pemikiran negara, sedangkan faksi Syuriah dan faksi politik cenderung larut pada arus pemikiran negara kuat (strong state).

Berikut gambaran abstraktif dari tarik menariknya faksifaksi dalam NU yang berkaitan pula dengan pengaruh kekuasaan (lihat gambar di file PDF)

Kecuali itu, keberadaan kalangan cendekiawan dengan kecenderungan pemikiran mereka, telah mampu merelatifkan klaim tokoh-tokoh sepuh yang disebut 'berkharisma',atau tokoh yang berpengaruh. Ini menunjukkan bahwa proses pelemahan pengaruh tokoh dalam NU juga,dilakukan oleh tokoh-tokoh NU sendiri. Proses pelemahan pengaruh ini lebih tepat dikatakan sebagai "peremahan", yang sekaligus menimbulkan reaksi dari kalangan tokoh atau warga NU lainnya: munculnya ketegangan dan konflik. Sementara itu, tampilnya Abdurrahman Wahid, merupakan gambaran tokoh yang memiliki kewibawaan tradisional.

Upaya menafsirkan khittah dan membangun sebuah ideologi gerakan seperti itu, bukanlah berarti NU melepaskan misi awal gerakannya yakni pengembangan ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Hanya saja, dominasi pemikiran faksi cendekia, banyak mempengaruhi gerak perjalanan NU selama 10 tahun terakhir. Akibatnya NU seakan-akan melupakan inisi awal gerakannya itu, apalagi berbagai pemikiran yang dilontarkan --utamanya oleh Abdurrahman Wahid-- dianggap menyimpang dari tradisi NU selama ini. Di sini pulalah yang memunculkan ketagangan dan konflik antara faksi cendekia dengan Syuriah, di mana faksi politik-cenderung memanf aatkan situasi seperti ini.

Penyebab konflik yang lain adalah di satu sisi banyaknya status (berikut peran yang dimainkan oleh) Abdurrahman Wahid, sementara di pihak lain tak sedikit tokoh NU, apakah dari faksi Syuriah, politik, maupun lainnya, yang kurang memahami adanya kemajemukan status itu, atau mengingkan Abdurrahman Wahid untuk tetap tampil dalam status utamanya sebagai ketua PBNU, mengabaikan status-status lainnya. Tensi atau ketegangan semakin naik pada saat Abdurrahman Wahid, dalam realitanya seperti itu, kurang memperhatikan keinginan anggota komunitas yang dipimpinnya, atau cenderung hanya memperhatikan diri sendiri --layaknya seperti pemikir bebas saja.

Dapat disimpulkan bahwa perebutan pengaruh dan ruang manuver di NU (apakah untuk kepentingan perebutan status, politik, atau ekonomi) oleh para tokoh-tokohnya meLabirkan dinamika tersendiri dalam NU selama 10 tahu terakhir.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>