Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yurizal Firdaus
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3007
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tanti Budi Suryani
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak 1989, konflik antar etnik menjadi akar kekerasan yang menggantikan perang antara negara bangsa di dunia. Konflik etnik menjadi unik karena penanganannya menjadi resisten terhadap upaya resolusi yang sifatnya rasional karena seringkah memperebutkan tujuan-tujuan yang tidak terukur salah satunya adalah etnosentrisme. Kelompok - kelompok etnik dapat bertikai yang disebabkan oleh etnosentrisme, dapat dijelaskan melalui proses transmisi kebudayaan setiap kelompok etnik dalam enkulturasi. Pada masa enkulturasi individu mempelajari apa yang menjadi standar alamiah kelompoknya dalam melakukan perbandingan antarkelompok. Sumner (1906) menyebutnya sebagai etnosentrisme, untuk menggambarkan situasi penerimaan dari siapa yang secara kultural seperti dirinya dan penolakan terhadap siapapun yang berbeda. Melalui sosialisasi, individu menggunakan sentimen primordial untuk mendefinisikan batas-batas kultural yang dimiliki oleh kelompoknya berbeda dari kelompok yang lain. Etnosentrisme ini kemudian dijelaskan dengan menggunakan teori identitas sosial dari Tajfel (1970) Dari catatan rangkaian konflik antar etnis di Indonesia, konflik di KalBar cukup memprihatinkan. Pertama, karena hingga bulan Januari 2000, terdapat 68.934 orang pengungsi etnis Madura. Dan sampai kini proses penanganan baik korban konflik antarsuku yang mengungsi maupun rekonsiliasi antar etnis yang bertikai belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kedua, dari sejarah konflik di KalBar dapat diasumsikan bahwa konflik yang teijadi sudah sangat mengakar dan laten sifatnya. Yang sulit untuk dipercaya kemudian adalah bahwa dalam 11 kali konflik sebelumnya antara suku Madura dan suku Dayak, suku Melayu berada di pihak yang netral. Hubungan yang semula dinilai sangat mesra berdasarkan penelitian Sudagung (1984) ternyata terdapat beberapa fakta yang menunjukkan akan adanya perbedaan budaya yang mendasari konflik diantara orang Melayu dengan orang Madura. Dimana identitas agama Islam yang semula mempersatukan mereka, ternyata pada awal kasus Parit setia runtuh dan etnis Melayu merasa dianggap kafir dan dihina. Perbedaan budaya lainnya yang tidak dapat diterima oleh suku Melayu adalah: kebiasaan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum dan sangat mudah untuk menggunakannya dalam pemecahan masalah, pendirian tempat ibadah yang secara eksklusif, serta pelaksanaan pernikahan yang eksklusif (Alqadrie 1999). Dari penjelasan dan fakta-fakta yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa faktor yang membuat terjadinya konflik terbuka dapat disebabkan oleh sejarah permusuhan sebelumnya, stereotip yang terbangun tentang suku Madura dalam periode saat hidup berdampingan, serta dominasi suku Madura sebagai kelompok pendatang terhadap suku Melayu yang menjadi penduduk asli. Disamping itu dalam konflik antar etnis Melayu dan etnis Madura terdapat perbedaan budaya yang mendasarinya. Hal ini menimbulkan perkembangan superioritas kelompok dan inferioritas kelompok lain yang dikenal dengan istilah etnosentrisme. Etnosentrime kedua suku tersebut sangat mungkin terjadi melalui proses identifikasi sosial pada masa enkulturasi dan sosialisasi dari masingmasing kelompok etnis. Maka menjadi hal yang menarik untuk diteliti sejauh mana etnosentrisme etnis Melayu Sambas terhadap etnis Madura di Sambas dengan menggunakan kerangka sudut pandang teori Identifikasi Sosial yang diawali studi mengenai perilaku antar kelompok oleh Henri Tajfel (1970). Pengambilan data secara kuantitatif dan kualitatif. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah accideAtal sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Hasil yang diperoleh dalam pengolahan data secara kuantitatif berupa skor mean skala alat ukur etnosentrisme dan dimensi-dimensinya. Disain kualitatif yang dipilih pada penelitian ini berupa studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan derajat etnosentrisme yang cukup tinggi dari orang melayu Sambas terhadap orang Madura di KalBar. Gambaran etnosentrisme orang Melayu Sambas memilliki kecenderungan untuk menilai segala sesuatu berdasarkan acuan nilai yang dimiliki kelompok daripada kecenderungan untuk menganggap kelompoknya lebih unggul dibandingkan kelompok lain. Gambaran etnosentrisme orang Melayu Sambas di KalBar pada dimensi orientasi pada kelompok diwujudkan dalam penekanan pada pembentukan identitas sosial yang positif terhadap kelompok sendiri. Penanaman nilai dalam mendidik anak mengenai cara-cara kekerasan yang digunakan dalam interaksi dengan etnis Madura memiliki derajat yang paling kecil. Gambaran etnosentrisme orang Melayu Sambas di KalBar pada dimensi superioritas kelompok diwujudkan dalam bentuk penggunaan perbandingan sosial antar kelompok sebagai dasar untuk mengevaluasi identitas sosial, dimana untuk memperoleh identitas sosial yang positif, perbandingan difokuskan pada pembentukan aspek positif terhadap kelompok sendiri. Sementara perwujudan dimensi superioritas kelompok dalam bentuk merendahkan budaya dan kelompok lain memiliki derajat yang kecil. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel demografi dengan dimensi etnosentrisme yang dimiliki subyek penelitian. Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah jumlah subyek yang terlibat dalam penelitian lanjutan pelu ditambah untuk memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai derajat etnosentrisme subyek. Selain itu mengingat item-item pernyataan unfavorable yang sangat sedikit pada alat penelitian ini yang digunakan untuk menghindari respon negatif subyek, maka pada penelitian lanjutan perlu digunakan metode open-ended question yang bertujuan menggali informasi tentang sikap, pandangan dan perasaan subyek terhadap kelompok tertentu tanpa membuat subyek merasa dipojokkan.
2002
S3126
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library