Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gustav Syukrinto
Abstrak :
Otitis media efusi (OME) sering terjadi pada anak, dapat timbul tanpa gejala sehingga diagnosis dan penatalaksanaan sering terlambat adakalanya telah terjadi komplikasi. Salah satu komplikasinya berupa gangguan pendengaran, meskipun tidak selalu jelas namun pada anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan bicara, berbahasa dan bila terjadi pada usia sekolah maka anak menjadi kesulitan mengikuti pelajaran atau pendidikan, gangguan tingkah laku sehingga terlihat kurang berprestasi dan tidak fokus. Gangguan pendengaran umumnya terdapat pada kedua telinga, apabila volume cairan sedikit, maka gangguan pendengaran akan minimal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di Kotamadya Jakarta Timur yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi otitis media efusi dan gambaran gangguan pendengarannya pada anak usia 5-18 tahun di kotamadya Jakarta Timur berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni. Metode penelitian berupa survey di populasi masyarakat bersifat deskriptif potong lintang terhadap 396 anak di kotamadya Jakarta Timur sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan. Percontoh dipilih secara multi stage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdasarkan kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomor rumah. Dari hasil penelitian ini didapatkan angka prevalensi OME sebesar 1,52%. Ambang dengar pada anak dengan OME berkisar 10-43,75dB dan gangguan pendengaran terjadi pada 5 dari 6 anak dengan OME.
Otitis Media with Effusion (OME) is common in children. It is usually asymptomatic, causing late diagnosis and management. Sometimes OME is diagnosed very late while there is already complications, one of the complication of OME is hearing impairment. Although not always clear, but in young children OME can cause delayed speech and lingual disability. If this condition happens in school-aged-children, it will be difficult for children to catch up with the education programs and there could be behavior problems. The hearing impairment usually occur at both ear, and its degree accord to the volume of the fluid. This research is a part of research on Profile of Otitis Media at East Jakarta that aims to evaluate the prevalence of OME and the hearing impairment due to OME in 5-18 years old at East Jakarta based on pure tone audiometry examination. The research method is a descriptive cross sectional survey on 396 children at East Jakarta that match with inclusion and exclusion criteria. Sample was chosen using multistage stratified random sampling method, starts from the district to sub district according to population density. It was continued with spatial random sampling based on the house number. The research shows the prevalence of OME in 5-18 years old at East Jakarta was 1,52%. The hearing threshold in children with OME was ranged 10-43,75dB and hearing impairment occur on 5 from 6 children with OME.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duhita Yassi
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini melaporkan gambaran skor nasalance pada defek celah palatum, hubungan antara skor nasalance percontoh celah palatum dan percontoh tanpa celah palatum serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance pada pasien celah palatum berdasarkan klasifikasi Veau. Desain penelitian adalah comparative cross sectional. Pengambilan percontoh dilakukan dengan purposive sampling, dilakukan di Departemen THT-KL FK UI-RSCM serta Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati. Percontoh dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok celah palatum dan tanpa celah palatum sebagai kontrol. Jumlah percontoh adalah 17 untuk masing-masing kelompok. Dilakukan pengumpulan data berupa wawancara, pengisian kuesioner, selanjutnya pemeriksaan THT, audiometri, timpanometri, nasoendoskopi dan nasometri. Didapatkan hasil gambaran rerata skor nasalance percontoh celah palatum Uji Gajah kelompok Veau 1 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88%; celah palatum sub mukosa 55,67% ± 6,2. Pada Uji Hantu didapatkan rerata skor nasalance kelompok Veau 1 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% dan celah palatum sub mukosa 49,02% ± 7,5. Pada Uji Sengau, rerata kelompok Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% dan celah palatum sub mukosa 62,75% ± 6,3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skor nasalance percontoh celah palatum dan tanpa celah palatum pada Uji Gajah dan Uji Hantu (p<0,001), sedangkan pada Uji Sengau tidak bermakna (p>0,05). Pada analisis multivariat secara keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance ((adenoid, Otitis Media Efusi (OME) dan gangguan pendengaran)) dan keberadaan celah palatum berpengaruh secara signifikan terhadap skor nasalance pada semua uji nasalance (p<0,05) pada pengujian terhadap kedua kelompok percontoh, dan tidak berpengaruh secara signifikan pada pengujian kelompok celah palatum saja. Bila dilihat secara parsial faktor adenoid berpengaruh secara signifikan terhadap skor semua uji nasalance baik pada analisis kedua kelompok percontoh maupun pada percontoh celah palatum saja.
ABSTRACT
This paper reported nasalance score in cleft palate patients, the correlation between nasalance score in cleft palate and non cleft palate patients and also factors related with nasalance score in cleft palate patients in Veau criteria. The design of this study is comparative cross sectional, with purposive sampling in ENT Department of Indonesian University-Cipto Mangunkusumo Hospital and Instalation of Medical Rehabilitation Fatmawati Hospital. Sample devided in to 2 groups, cleft palate and non cleft palate group with 17 samples in each group. Data was collected with interview, questioner application, ENT examination, audiometry, tympanometry, nasoendoscopy and nasometry. The result of this study reported mean of nasalance score in cleft palate patients, Uji Gajah in Veau 1 patients is 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88% and sub mucous cleft palate 55,67% ± 6,2. In Uji Hantu the nasalance score are Veau 1 patients 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% and sub mucous cleft palate 49,02% ± 7,5. In Uji Sengau, the score are Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% and sub mucous cleft palate 62,75% ± 6,3. There is significant difference in nasalance score between cleft palate and non cleft palate patients in Uji Gajah and Uji Hantu (p>0,05) but no differences in Uji Sengau. In multivariate analysis, in general the factors related with nasalance score ((adenoid, Otitis Media with Effusion, hearing loss)) and also existancy of cleft palate is significantly correlated with nasalance score in all nasalance test (p<0,05) in both groups analysis but no signifficant correlation in cleft palate group analysis. Partially, adenoid is significantly correlated with nasalance score in both group analysis and cleft palate group analysis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Agustawan Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: Otitis media efusi adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak-anak di negara berkembang. Diagnosis dan penatalaksanaan OME pada anak sering terlambat karena jarang dikeluhkan. OME merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Salah satu faktor risiko OME yang saat ini banyak dihubungkan dengan kelainan di telinga tengah adalah refluks laringofaring. Tujuan: Mengetahui peran refluks laringofaring sebagai faktor risiko OME pada anak-anak. Metode:Pemeriksaan penapisan 396 anak pada tahap pertama dan 1620 anak pada tahap kedua untuk mencari 46 anak yang masukkategori OME sebagai kelompok kasus, kemudian pemilihan 46 anakkelompok non OME sebagaikontrol secara acak, menyepadankan usia dan jenis kelamin. Pada kedua kelompok dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan THT dan pemeriksaan laring dengan nasofaringoskopi serat lentur untuk mendiagnosis refluks laringofaring. Hasil: Proporsi refluks laringofaring pada kelompok OME lebih tinggi dibandingkan non OME, yaitu sebesar 78,3% dan 52,2%.Terdapat hubungan bermakna antara refluks laringofaring dan OMEdengan nilai odds ratio (OR)3,3 dan interval kepercayaan (IK) 95% antara 1,33 sampai 8,187; p=0,01). Kesimpulan:Refluks laringofaring merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya otitis media efusi.
Background: Otitis media with effusion (OME) is the most cause of hearing impairment in children of developing countries. OME is usually late in diagnosis and management due to the lack of patient’s complaints. OME is a disease that has many risks factor. One of the risk factor in developing OME, that is currently being studied, is its relationship with laryngopharyngeal reflux. Purpose: To know the role of laryngopharyngeal reflux as a risk factor for OME. Methods: Examination of the first stage was performed to 396 children and the second stage was performed to 1620 children. Using the exclusion and inclusion criteria, 46 children were accounted as the case group. Forty six children for control group was randomly taken from non OME patients whichmatched with age and sex from the case group. Both groups were treated equally with history taking, questionnaire filling, ENT examination and larynx examination using fiberoptic flexible laryngoscope to diagnose whether there is laryngopharyngeal reflux or not. Results: The proportional of laryngopharyngeal reflux in OME group is higher compared to non OME group, with 78,3% and 52,2%. There is a significant relationship between laryngopharyngeal reflux and OME with an odds ratio (OR) 3,3 and confidence interval (CI) 95% of 1,33-8,187 (p=0,01). Conclusion: Laryngopharyngeal reflux is a risk factor that has significant relationship with OME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library