Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Machitah
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan suatu pemeriksaan kecepatan melarut dan kecepatan absorpsi secara in vitro terhadap dua sampel Paracetamol 500 mg. Pemeriksaan kecepatan melarut dilakukan dengan alat solubility simulator, dalam cairan lambung buatan pH 1,2 dan pH 3,0. Jumlah Paracetamol yang terlarut dalam Medium disolusi ditentukan dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 243 nm. Dari hasil pemeriksaan ini, didapatkan kecepatan melarut dan dua tablet Paracetamol yang diperiksa menunjukkan perbedaan, misalnya pada tablet A, jumlah maksimum zat yang melarut tercapai pada menit ke 30, sedangkan untuk tablet B jumlah maksimum yang melarut dicapai pada menit ke 48. Profil melarut kedua sampel ini, cukup baik dimana terjadi kenaikan jumlah melarut yang cukup tajam dari menit ke 6 sampai ke 18. Pemeriksaan kecepatan absorpsi dilakukan dengan menggunakan alat absorption simulator dalam cairan lambung buatan pH 1,2 dan pH 3,0; cairan usus buatan pH 6,5, yang dimasukan kedalam cairan plasma buatan pH 7,5 dengan melalui lapisan lemak. Dari hasil pemeniksaan ini, didapatkan bahwa kecepatan absorpsi dan tablet Paracetamol yang diperiksa menunjukan perbedaan bermakna secara statistik.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dolla Delifia
Abstrak :
Pati merupakan bahan penolong yang telah lama digunakan pada pembuatan tablet sebagai pengisi, pengikat, pelincir dan fungsi lainnya sebagai penghancur. Salah satu pati yang belum pernah digunakan sebagai bahan penghancur adalah pati biji durian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pati biji durian sebagai bahan penghancur eksternal dalam pembuatan tablet parasetamol secara granulasi basah yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV. Pati biji durian diperoleh dengan metode ekstraksi dan pengeringan. Pati biji durian digunakan sebagai bahan penghancur eksternal dalam pembuatan tablet secara granulasi basah dengan parasetamol (71,4%) sebagai model obat; dikalsium fosfat sebagai bahan pengisi; pasta amilum 10% sebagai bahan pengikat, magnesium stearat (1%) dan talk (3%) sebagai pelincir. Formula A merupakan formula standar dengan menggunakan 20% pati singkong sebagai penghancur. Formula F merupakan pengembangan dari formula A dengan mengganti 20% pati singkong dengan 20% pati biji durian. Formula F menghasilkan tablet dengan kekerasan, waktu hancur, dan disolusi yang lebih baik dibandingkan dengan formula A. Selanjutnya konsentrasi pati biji durian dikurangi untuk masing-masing tablet pada formula B, C, D, dan E yaitu 5%,10%, 12.5%, dan 15%. Dari keempat formula B-E hanya formula E yang menghasilkan tablet dengan kekerasan, waktu hancur, dan disolusi yang paling baik. Uji disolusi untuk semua formula tablet parasetamol hanya formula E dan F yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV. Starches are the most common additional materials in tablet formulation which have been used for a long time as diluent, binder, lubricant, dan others fuction as disintegrant. One of the starch that haven’t been developed as disintegrant in tablet formulation is durio seed starch. The objective of this research was to observe the ability of durio seed starch as disintegrant in wet granulation of parasetamol tablet formulation which are appropriate to pharmacopeial requirements. Durio seed starch obtained by extraction and drying method. Durio seed starch used as external disintegrant in wet granulation tablet formulation with paracetamol (71,4%) as a drug model; calcium phosphate dihidrate as a diluent; cassava starch paste 10% as a binder; magnesium stearat (1%) and talk (3%) as a lubricant. Formula A represent a standard formula with use cassava starch 20% as disintegrant. Formula F is a development of formula A with change cassava starch 20% with durio seed starch 20%. Formula F produce tablet with a better hardness, disintegrant time, and dissolution test than formula A. Furthermore durio seed starch concentration are reduced for each tablet in formula B, C, D, and E (5%, 10%, 12,5%, and 15%). Starting at formula B to formula E, only formula E produce tablet with the best hardness, disintegrant time, and dissolution test. The dissolution test for all paracetamol tablet formula only formula E and F which are appropriate to pharmacopeial requirements.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Tharia
Abstrak :
Pengaruh penyimpanan terhadap kadar sirup parasetamol telah diteliti. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kondisi penyimpanan terhadap penurunan kadar parasetamol serta menentukan kondisi penyimpanan yang optimal untuk sediaan sirup parasetamol. Pada penelitian ini, sirup parasetamol disimpan selama enam minggu dalam dua kondisi penyimpanan, yaitu dalam suhu kamar (28 ? 31oC) maupun dalam suhu dingin (0 ? 4 oC). Analisis dilakukan pada 0,2, 4, dan 6 minggu. Penetapan kadar parasetamol dilakukan secara kromatografi lapis tipis (KLT). Sirup parasetamol diencerkan dalam etanol kemudian dielusi dengan menggunakan fase gerak toluen ? isopropanol (20:30) dan panjang elusi 10 cm. Deteksi dilakukan dengan menggunakan lampu D2 (deuterium) dan W (tungsten), detektor UV, dan panjang gelombang analisis 248 nm. Hasil analisis menunjukkan bahwa parasetamol mengalami degradasi selama penyimpanan baik pada suhu kamar maupun suhu dingin. Penyimpanan pada suhu kulkas lebih baik daripada pada suhu ruang. Hal ini dibuktikan melalui uji statistik menggunakan uji t.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S32621
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekky Ilham Hamidi
Abstrak :
Pencemaran senyawa farmasi khususnya paracetamol akibat produksi yang menghasilkan air limbah industri telah menjadi ancaman bagi lingkungan dan makhluk hidup terutama di negara berkembang seperti Indonesia, yang mana efektivitas biaya dari proses penyisihan merupakan faktor utama. Pada penelitian ini akan dimanfaatkan jenis alga wild algal biomass (WAB) dari situ agathis UI mixed-culture sebagai agen penyisihan paracetamol dengan menggunakan proses biosorpsi. Efek parametrik dilakukan dengan melakukan variasi perlakuan aktivasi, waktu, pH, temperatur, konsentrasi paracetamol, jumlah biomassa alga, sebagai parameter uji dengan bentuk eksperimen sistem batch dalam skala laboratorium. Efisiensi penghilangan paracetamol meningkat secara signifikan tanpa perlakuan aktivasi jika dibandingkan metode aktivasi NaOH dan H3PO4. Dalam pengujian pemilihan perlakukan aktivasi dilakukan pula analisis dengan menggunakan pendekatan evaluasi siklus hidup atau life cycle assessment (LCA). Didapatkan bahwa perlakuan tanpa aktivasi memiliki dampak lingkungan terendah dibandingkan dua metode aktivasi lainnya. Kondisi optimum dari penyisihan polutan ditinjau dengan metode batch, hasilnya menunjukkan penyerapan maksimum paracetamol didapat pada jenis adsorben non modifikasi, waktu kontak 120 menit, konsentrasi adsorben 2 g/L konsentrasi polutan 50 mg/L, pH 5, dan suhu 60oC. Kuantifikasi paracetamol dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada λmax 281 nm dan kurva kalibrasi standard. ......Pollution of pharmaceutical compounds, especially paracetamol due to the production of industrial wastewater, has become a threat to the environment and living things, especially in developing countries such as Indonesia, where the cost-effectiveness of the removal process is a major factor. In this study, a mixed-culture wild algal biomass (WAB) from the Agathis UI will be utilized as a paracetamol removal agent using the biosorption process. The parametric effect was carried out by varying the activation treatment, time, pH, temperature, concentration of paracetamol, amount of algal biomass, as test parameters in the form of a batch system experiment in a laboratory scale. Paracetamol removal efficiency was significantly increased without activation treatment when compared to the NaOH and H3PO4 activation methods. In testing the selection of activation treatment, an analysis is also carried out using a life cycle assessment (LCA) approach. It was found that the treatment without activation had the lowest environmental impact compared to the other two activation methods. The optimum condition of pollutant removal was reviewed by batch method, the results showed that the maximum absorption of paracetamol was obtained at the non-modified adsorbent type, contact time was 120 minutes, adsorbent concentration was 2 g/L, pollutant concentration was 50 mg/L, pH 5, and temperature was 60oC. Paracetamol quantification was carried out using a UV-Vis spectrophotometer at max 281 nm and a standard calibration curve.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Gustin Ekaputri
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kasus peredaran obat keras PCC yang beredar di Kota Kendari pada bulan September 2017, adapun tujuan dari Penelitian ini adalah memahami bagaimana peredaran obat keras ditinjau dari hukum kesehatan dan etika profesi apoteker, memahami pengaturan dan peranan BPOM dalam pengawasan peredaran obat keras di Indonesia, dan menganalisis kasus peredaran obat keras Paracetamol Caffeine Carisoprodol PCC di Kendari. Bentuk penelitian yang akan Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan studi literatur, serta pendapat dari narasumber. Kemudian tipe penelitian yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan perskriptif. Kesimpulan dari penelitian iniadalah dalam menangani kasus peredaran obat keras PCC di Kendari ini diperlukan kerjasama antara instansi pemerintah untuk menangani hal tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing instansi pemerintah. Untuk mencegah kasus serupa terulang kembali, diperlukan juga aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai kewenangan instansi pemerintah dalam mengatasi penyalahgunaan obat keras di Indonesia.
ABSTRACT
This thesis discusses the case of distribution of PCC drugs in Kendari, September 2017. The purpose of this research is to understand how the distribution of drugs in terms of health law and pharmacist ethics, understand regulatory and supervisory role of BPOM in the drugs circulation in Indonesia and analyze cases of the circulation of Paracetamol Caffeine carisoprodol PCC drug case in Kendari. Forms of research in this study is a normative legal research, using the literature, as well as the opinion of the expert. Then the type of research which the author used in this research is descriptive and prescriptive. The conclusion in the case is cooperation between government agencies to deal with such matters is necessary. To prevent the recurrence of similar cases, it also required the rule of law which expressly governs the authority of government agencies in addressing the abuse of drugs in Indonesia.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Widyatama
Abstrak :
Latar Belakang: Nyeri masih menjadi penyebab utama kegagalan prosedur office hysteroscopy. Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), salah satunya ketoprofen masih digunakan secara rutin untuk mengatasi nyeri selama prosedur office hysteroscopy. Namun penggunaan ketoprofen menimbulkan beberapa efek samping, paling sering pada saluran pencernaan dengan gejala dan tanda seperti mual, muntah, dispepsia, diare, dan ulkus peptikum. Dalam pedoman RCOG (Royal College of Obstetricians and Gynaecologists), parasetamol juga dapat digunakan dalam manajemen nyeri untuk office hysteroscopy. Namun, belum ada bukti klinis yang menunjukkan efikasi parasetamol untuk manajemen nyeri pada office hysteroscopy. Tujuan: Untuk mengetahui efikasi pemberian parasetamol tablet 1000 mg per oral dibandingkan dengan ketoprofen tablet 100 mg per oral dalam manajemen nyeri saat prosedur office hysteroscopy dan cramping 30 menit setelah prosedur office hysteroscopy serta efek samping, refleks vagal, dan tingkat kenyamanan pada pasien selama prosedur. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda untuk menilai intensitas nyeri selama prosedur office hysteroscopy dan cramping dalam 30 menit setelah prosedur office hysteroscopy pada kelompok parasetamol 1000 mg per oral dibandingkan dengan kelompok ketoprofen 100 mg per oral. Kedua kelompok masing-masing terdiri dari 30 subjek. Alokasi subjek dilakukan dengan randomisasi blok. Penilaian intensitas nyeri selama prosedur (saat alat hysteroscope masuk ke dalam ostium uteri externum) dan cramping dalam 30 menit setelah prosedur office hysteroscopy dilakukan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dalam kuesioner. Hasil: Karakteristik subjek penelitian mempunyai usia rata-rata 48,3 tahun dengan durasi prosedur rata-rata 26 menit. Sebagian besar subjek adalah multipara (55%), belum menopause (53,3%), tidak ada dismenore (80%), tidak ada nyeri panggul kronik (90%), dan tidak pernah sectio caesaria (75%). Baik pada kelompok parasetamol maupun kelompok ketoprofen tidak bermakna secara statistik terhadap nyeri selama prosedur (nilai p = 0,266), dan cramping setelah 30 menit prosedur (nilai p = 0,499). Sebagian besar subjek merasakan nyeri dengan median 2 (0 – 8), cramping 30 menit setelah tindakan dengan median 0 (0 – 5), dan tingkat kenyamanan dengan median 9 (7 – 10). Selain itu, sebagian besar subjek tidak merasakan efek samping apapun (95%) dan seluruhnya tidak mengalami refleks vagal (100%). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan bermakna nilai VAS pada pemberian parasetamol 1000 mg tablet per oral dibandingkan dengan ketoprofen 100 mg tablet per oral untuk manajemen nyeri selama prosedur dan cramping 30 menit pasca prosedur office hysteroscopy. ......Introduction: Pain is still the main cause of failure of office hysteroscopy procedures. Non- steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), one of which is ketoprofen, are still used routinely to treat pain during office hysteroscopy procedures. However, the use of ketoprofen causes several side effects, most often in the digestive tract with symptoms and signs such as nausea, vomiting, dyspepsia, diarrhea and peptic ulcers. In the RCOG (Royal College of Obstetricians and Gynecologists) guidelines, paracetamol can also be used in pain management for office hysteroscopy. However, there is no clinical evidence showing the efficacy of paracetamol for pain management during office hysteroscopy. Objective: To determine the efficacy of administering paracetamol tablets 1000 mg orally compared with ketoprofen tablets 100 mg orally in managing pain during office hysteroscopy procedures and cramping 30 minutes after office hysteroscopy procedures as well as side effects, vagal reflexes, and the level of comfort in patients during the procedure. Methods: This study was a double-blind, randomized clinical trial to assess the intensity of pain during the office hysteroscopy procedure and cramping within 30 minutes after the office hysteroscopy procedure in the paracetamol 1000 mg orally group compared with the ketoprofen 100 mg orally group. Both groups each consisted of 30 subjects. Subject allocation was carried out by block randomization. Assessment of pain intensity during the procedure (when the hysteroscope instrument enters the external uterine ostium) and cramping within 30 minutes after the office hysteroscopy procedure was carried out using the Visual Analogue Scale (VAS) in the questionnaire. Results: The characteristics of the research subjects were an average age of 48.3 years with an average procedure duration of 26 minutes. Most of the subjects were multiparous (55%), had not had menopause (53.3%), had no dysmenorrhea (80%), had no chronic pelvic pain (90%), and had never had a caesarean section (75%). Neither the paracetamol group nor the ketoprofen group had statistical significance regarding pain during the procedure (p value = 0.266), and cramping after 30 minutes of the procedure (p value = 0.499). Most subjects felt pain with a median of 2 (0 – 8), cramping 30 minutes after the procedure with a median of 0 (0 – 5), and a comfort level with a median of 9 (7 – 10). In addition, the majority of subjects did not feel any side effects (95%) and all did not experience vagal reflexes (100%). Conclusion: There was no significant difference in VAS scores when administering paracetamol 1000 mg tablets orally compared with ketoprofen 100 mg tablets orally for pain management during the procedure and cramping 30 minutes after the office hysteroscopy procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifky Jamal
Abstrak :
Multimodal analgesia adalah rekomendasi teknik manajemen nyeri akut pascaseksio sesarea. Teknik yang paling sering dipakai adalah dengan menggunakan analgesik intravena diikuti dengan penggunaan analgesik oral. Analgesik oral dalam teknik multimodal analgesia untuk manajemen nyeri pascaseksio sesarea masih belum dikaji lebih jauh. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 58 pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok sama besar untuk penanganan nyeri pascabedah. Kelompok O sebanyak 29 orang diberikan oksikodon controlled release 10 mg oral setiap 12 jam dan parasetamol 1000 mg oral setiap 8 jam sedangkan kelompok T sebanyak 29 orang diberikan terapi tramadol 50 mg oral tiap 6 jam dan parasetamol 1000 mg oral tiap 8 jam. Penilaian nyeri pascabedah menggunakan Numerical Rating Scale (NRS) dalam posisi dan interval waktu yang berbeda yaitu jam ke-1, 6, 12, 18 dan 24 pascapemberian obat pertama. Seluruh sampel menyelesaikan penelitian dan didapatkan tidak ada perbedaan secara karakteristik antar kelompok. Oksikodon controlled release 10 mg dan parasetamol 1000 mg lebih efektif dibandingkan tramadol 50 mg dan parasetamol 1000 mg dalam mengatasi nyeri pascaseksio sesarea dengan NRS kelompok O lebih rendah signifikan dibandingkan kelompok T pada tiap posisi pengukuran. ......Multimodal analgesia is recommended technique for pain management after cesarean section. The most commonly used technique is by using intravenous analgesics, followed by oral analgesics. However, the use of oral analgesics in multimodal analgesia techniques has not been extensively studied for managing pain after C-Section. This study is a double-blind randomized clinical trial on 58 patients undergoing cesarean section under spinal anesthesia. The sample was divided into two equal groups, each consisting of 29 patients, for the treatment of postoperative pain. Group O was given 10 mg oral controlled-release oxycodone 12-hourly and 1000 mg oral paracetamol 8-hourly, while Group T was given 50 mg oral tramadol 6-hourly and 1000 mg oral paracetamol 8-hourly. The postoperative pain was assessed using Numerical Rating Scale (NRS) at different positions and time intervals; 1, 6, 12, 18 and 24 hours after analgesic administration. The study showed no differences in the characteristics of these two groups. At every measurement on each different position, Analgesics given on group O was more effective in relieving after cesarean pain than group T with significantly lower NRS score (p<0.001). The combination of 10 mg oral oxydocone and 1000 mg oral paracetamol was significantly more effective in relieving pain after cesarean delivery, compared with the combination of 50 mg oral tramadol and 1000 mg oral paracetamol.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Muchzalita
Abstrak :
Peracikan adalah pekerjaan kefarmasian yang merupakan bagian utama dari pelayanan apotek. Penelitian mengenai pelayanan resep belum ada di apotek Depok. Obat racikan parasetamol sering diresepkan pada anak-anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan resep racikan puyer parasetamol di beberapa apotek Depok. Parameter yang dievaluasi adalah: keragaman bobot, harga, lama pelayanan, informasi, pemberi pelayanan resep puyer parasetamol. Selain itu, juga dievaluasi mengenai aktivitas dan peran apoteker di apotek. Dua puluh dari 68 apotek dipilih secara acak. Obat racikan puyer parasetamol diperoleh dengan cara penebusan resep dan pelayanan kefarmasian diperoleh dari kuesioner. Jumlah apotek individu adalah 80%, sisanya adalah apotek jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar obat puyer parasetamol (97,50%) tidak memenuhi keragaman bobot (Farmakope Indonesia IV). Harga bervariasi antara Rp. 5000,- - Rp. 17.800,- dan lama pelayanan peracikan bervariasi antara 9 - 41 menit. Pemberi informasi di apotek sebagian besar dilakukan bukan oleh apoteker. Informasi mengenai obat masih terbatas. Jumlah apoteker sebagai APA dan PSA adalah 13,33%. Jumlah apotek yang buka 24 jam adalah 22,22%. Apoteker yang bekerja selama 31-60 jam/minggu adalah 52,63%. Sebanyak 48,57% apotek melayani 0-5 lembar resep racikan per hari. Sebagian besar apotek (68,89%) meracik dengan mortir dan alu. Sebagian besar apotek (68,89%) membersihkan alat dengan cara dicuci sabun. Sebanyak 40% apoteker sering melakukan pelayanan secara langsung kepada pasien. Kesimpulan penelitian ini adalah kualitas obat racikan dalam hal keragaman bobot masih kurang baik dan kualitas pelayanan masih harus ditingkatkan.
Compounding is pharmaceutical job that main part of pharmacy service. The research of dispensing is not yet in Depok pharmacy. Compounding prescription of paracetamol is prescribed to the children frequently. The aims of this research were to evaluate compounding prescription of paracetamol divided powder service in several Depok pharmacies. The parameters that evaluated were weight variety, price, service duration, information, dispenser paracetamol compounded divided powder. In addition, activity and function of pharmacists were also evaluated. Twenty of 74 pharmacies were chosen randomly. Paracetamol compounded divided powder was obtained by prescription and pharmaceutical care were obtained by questionnaires. A number of private pharmacies were 80%, the balance were dependent pharmacies. The results showed that the paracetamol divided powder (97,50%) do not fulfill the requirements (4th Pharmacopeia of Indonesia) predominantly. Variation in price was between Rp. 5000,- - Rp. 17.800 and dispensing duration was between 9 - 41 minutes. The most information service of pharmacies were not given by pharmacist and the drug’s information was insufficient. A number of pharmacists as an APA and PSA were 13,33%. A number of pharmacies that open 24 hours were 22,22%. Duration work of pharmacists during 31-60 hours/week were 52,63%. At the rate of 48,57% pharmacies were served 0-5 compounding prescription daily. Partly of pharmacies (68,89%) were compounded by mortars and pestles. Partly of pharmacies (68,89%) were cleaned the equipments by soap. At the rate of 40% pharmacists were frequently served patient directly. The conclusion was quality service compounding divided powder based on w
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2010
S32939
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Yosep Dhimas
Abstrak :
Konsumsi obat-obatan seperti parasetamol yang tinggi berkontribusi terhadap jumlah limbah farmasi di perairan. Di sisi lain, proses pengolahan limbah farmasi menjadi tantangan krusial karena beberapa hambatan. Microbial Fuel Cell (MFC) muncul sebagai alternatif menjanjikan dengan kemampuannya mendegradasi limbah farmasi tanpa memerlukan energi eksternal, bahkan menghasilkan listrik. Penelitian ini bertujuan merancang model skema dan persamaan MFC kompartemen ganda degradasi parasetamol yang valid. Metode penelitian ini ialah pembuatan model MFC kompartemen ganda berbentuk tiga dimensi menggunakan model kinetika Monod-Butler-Volmer. Hasil estimasi parameter model MFC degradasi parasetamol menunjukkan nilai parameter KPCT rata-rata sebesar 2,94 × 10-3 mol/m3; KOksigen 3,34 × 10-3 mol/m3; kAnoda 1,76 × 10-3 mol/(m3·s); dan kKatoda 3,20 × 10-3 mol/(m3·s). Hasil perbandingan data simulasi dengan eksperimen menunjukkan AARD rentang 1,9-3,21%. Perolehan parameter kinetika tertinggi pada pH yang bervariasi terdapat pada data simulasi variasi pH kompartemen anoda 8,2, yaitu KPCT sebesar 1,43 × 10-3 mol/m3; KOksigen 2,09 × 10-3 mol/m3; kAnoda 1,46 × 10-3 mol/(m3·s); dan kKatoda 1,43 × 10-3 mol/(m3·s). Data simulasi menunjukkan penurunan profil konsentrasi parasetamol linear, sehingga sistem MFC diproyeksi dapat menjadi metode alternatif untuk mendegradasi parasetamol. ......The consumption of pharmaceuticals such as paracetamol, which remains high every year, contributes to the amount of pharmaceutical waste in water bodies. The process of treating pharmaceutical waste presents a crucial challenge due to several obstacles. Microbial Fuel Cells (MFCs) have emerged as a promising alternative with their ability to degrade pharmaceutical waste while generating electrical energy without requiring external energy. This study aims to design a valid model scheme and equations for a dual-chamber MFC for paracetamol degradation. This research was conducted with the aim of designing a valid dual compartment MFC schematic model and equation for paracetamol degradation in a 3D dual-chamber MFC model using the Monod-Butler-Volmer kinetic model. The parameter estimation results showed average parameter values of KPCT at 2.94 × 10-3 mol/m3; KOxygen at 3.34 × 10-3 mol/m3; kAnode at 1.76 × 10-3 mol/(m3·s); and kCathode at 3.20 × 10-3 mol/(m3·s), with AARD in the range of 1.9-3.21%. The highest kinetic parameter values for varying pH were found in the simulation data for anode pH variation 8.2, with KPCT at 1.43 × 10-3 mol/m3; KOxygen at 2.09 × 10-3 mol/m3; kAnode at 1.46 × 10-3 mol/(m3·s); and kCathode at 1.43 × 10-3 mol/(m3·s). Simulation data shows a linear decrease in the paracetamol concentration profile, so that MFC system is projected to be an alternative method for degrading paracetamol.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurvira Zanirah
Abstrak :

Peningkatan produksi industri tekstil dan farmasi yang terjadi selama beberapa tahun menyebabkan air limbah yang dihasilkan meningkat. Methylene blue merupakan senyawa yang paling banyak digunakan dalam industri tekstil, sementara itu parasetamol merupakan senyawa yang paling banyak diproduksi dalam industri farmasi. Kurang efisiennya pengolahan air limbah yang ada sekarang menyebabkan kedua polutan terbawa masuk ke dalam lingkungan. Penilitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas reaksi Fenton heterogen dengan katalis serbuk besi dalam penghilangan senyawa methylene blue dan parasetamol. Katalis serbuk besi dikarakterisasi dengan SEM-EDX, XRD, PSA, dan AAS. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa katalis serbuk besi berbentuk prisma asimetris; tersusun dari campuran hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), dan oksida (III) besi; berukuran 0,04 µm hingga 90 µm; serta memiliki kandungan besi sebesar 60,19%. Eksperimen skala laboratorium dengan sistem batch dilakukan untuk melihat pengaruh parameter oksidasi Fenton terhadap penghilangan senyawa methylene blue dan parasetamol. Efisiensi penghilangan warna senyawa methylene blue mencapai 87,52% pada kondisi eksperimen pH 3; konsentrasi katalis 1 g/L; H2O2 16 mM; dan konsentrasi polutan 50 mg/L. Model BMG memiliki korelasi data yang terbaik dalam penelitian ini. Efisiensi penghilangan senyawa parasetamol mencapai 84,47% pada kondisi eksperimen pH 3; konsentrasi katalis 0,5 g/L; H2O2 16 mM; dan konsentrasi polutan 400 mg/L. Hasil menunjukkan terjadinya interferensi yang disebabkan H2O2 dan ion besi dalam pembacaan COD. Eksperimen dengan kedua polutan menunjukkan bahwa efisiensi reaksi Fenton bergantung dengan konsentrasi katalis, konsentrasi polutan dan konsentrasi H2O2.

 

 


The increase in textile and pharmaceutical industry production that occurred over several years caused the resulting wastewater to increase. Methylene blue is the most widely used compound in the textile industry, while paracetamol is the most widely produced compound in the pharmaceutical industry. The inefficient treatment of conventional wastewater causes both pollutants to get carried into the environment. This research was carried out to determine the effectiveness of heterogeneous Fenton reactions with iron powder catalysts in the removal of methylene blue and paracetamol compounds. Iron powder catalysts are characterized by SEM-EDX, XRD, PSA, and AAS. The results indicate that the iron powder catalyst is in the form of an asymmetric prism; composed of hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), and iron oxide (III); diameter 0.04 μm to 90 μm; has an iron content of 60,19%. Batch scale experiments were conducted to look at the effect of parameters on the removal of methylene blue and paracetamol compounds. The color removal efficiency of methylene blue compounds reached 87,52% under experimental conditions pH 3; catalyst concentration 1 g/L; H2O2 16 mM; and pollutant concentrations of 50 mg/L. The BMG model has the best data correlation in this experiment. While the efficiency of paracetamol compound removal reached 84.47% in experimental conditions pH 3; catalyst concentration 0,5 g/L; H2O2 16 mM; and pollutant concentrations of 400 mg/L. Experiments with both pollutants showed that Fenton's reaction efficiency depended on catalyst concentration, pollutant concentration, and H2O2 concentration.

 

 

Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>