Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Junaidi
Abstrak :
ABSTRAK
Awal kemerdekaan Republik Indonesia, ABRI merupakan satu kekuatan yang memegang peranan penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dalam situasi tidak menentu, ABRI tampil dengan dwi fungsinya, yaitu fungsi sosial politik (sospol) dan pertahanan keamanan negara (hankamneg) yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen. Tekad tersebut tidak sepenuhnya terwujud, karena Orde Baru telah mengubah ABRI sebagai alat kekuasaan yang identik dengan gaya militer kaku dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam penyelesaian masalah. Teijadinya reformasi telah mengubah segalanya termasuk dalam tubuh ABRI. Tanggal 1 April 1999 menjadi momen yang penting bagi Polri untuk memulai peijalanan baru sebagai institusi yang mandiri terpisah dari ABRI. Dalam rangka memperbaiki citra, Polri berusaha untuk meningkatkan profesionalisme anggotanya dalam pelaksanaan tugasnya. Salah satunya adalah peningkatan pemahaman anggota Polri terhadap hak asasi manusia (HAM). Pengiriman aparat keamanan (Brimob) ke Aceh dalam rangka menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seiring diberlakukannya Darurat Militer, telah menimbulkan permasalahan yang berkenaan dengan masalah HAM. Hal ini tak lain karena masing-masing pihak (Komnas HAM dan aparat) mempunyai persepsi yang berbeda dalam melihat suatu peristiwa. Dalam kaitannya dengan hal tersebut diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat persepsi anggota anggota Brimob yang pemah bertugas ke Aceh tentang pelanggaran HAM di Aceh, dibandingkan dengan anggota Brimob yang belum pemah bertugas ke Aceh. Sampel diambil menggunakan metode Occidental sampling dengan jumlah 60 orang yang terdiri dari 30 anggota Brimob yang pemah bertugas ke Aceh dan 30 anggota Brimob yang belum pemah bertugas ke Aceh, yang berasal dari Kesatuan Brimob Kelapa Dua. Untuk melihat perbedaan persepsi tersebut dilakukan perhitungan t-test for independent sample pada mean masing-masing kelompok. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara persepsi anggota Brimob yang pemah dan yang belum pemah bertugas ke Aceh tentang pelanggaran HAM di Aceh. Perbedaan persepsi disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu individu yang mempersepsi, obyek persepsi, dan situasi pada saat persepsi berlangsung. Sedang faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan persepsi anggota Brimob terhadap pelanggaran HAM di Aceh adalah: pendidikan pertama kepolisian, penugasan ke daerah operasi lain, dan masa dinas.
2004
S3403
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasyim Riyadi
Abstrak :
ABSTRAK
Tugas akhir ini membahas tentang kebebasan memeluk sebuah agama yang dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari hak asasinya, yaitu hak pribadi yang mereka miliki sejak lahir dan tidak bisa diusik oleh pihak manapun, sehingga dalam hal ini ajaran Ahmadiyah maupun ajaran agama lainnya akan terus berkembang dan sulit untuk dibubarkan apabila mereka mengerti tentang hak asasi memeluk sebuah keyakinan yang telah diatur dalam UU HAM dan penerapan secara pidana, atau sebagai tindak kriminal. Penelitian yang dilakukan adalah dengan deskriptif kualitatif dan tehnik wawancara dengan narasumber yang mewakili berbagai pihak dalam masalah yang dikaji oleh tugas akhir ini.
ABSTRACT
This thesis describe about the freedom of having a religion for every individual as their human rights, the rights that they owned since they were born, a personal rights that can not be interfere by any human being. This Ahmadiyah or any other religion that expand in this nation can not be stop at once, especially when they realise their human rights that already in Human Rights Law and can be brought to justice, as criminal action. This research is qualitative descriptive with in depth interview technique with realiable sources that represent a few party that involved in this research subject.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S6467
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3277
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggarani Utami Dewi
Abstrak :
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang berkedudukan di daerah oleh pemerintah daerah mengalami perdebatan khususnya mengenai legalitas penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu oleh komisi ini. Tesis ini akan menjawab permasalahan mengenai implementasi KKR dalam era non transisional serta pengaturan mengenai pembentukan dan implementasi KKR yang berkedudukan di daerah. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan fokus pada studi kepustakaan, wawancara dengan para ahli, dan studi perbandingan pada KKR era non transisional di tujuh negara, yakni Korea Selatan, Brazil, Thailand, Maroko, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa enam dari tujuh negara tersebut membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi lebih dari lima tahun yang lalu, dan hanya Thailand yang membentuk KKR dalam dua bulan setelah berakhirnya konflik. Dari enam negara tersebut, seluruhnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan reparasi, kompensasi, ataupun ganti rugi bagi korban sebelum dibentuknya KKR. Brazil, Kanada, dan Australia telah lama mencabut kebijakan yang diduga melanggar HAM. Seluruh negara selain Maroko telah memiliki peraturan yang melindungi privasi dan kerahasiaan warga negara pada saat KKR dibentuk. Pengungkapan kebenaran oleh KKR pada ketujuh negara tersebut difokuskan agar tercapai rekonsiliasi nasional. Di Indonesia, KKR Aceh dibentuk oleh Pemerintah Aceh sebagai mandat dari Perjanjian Helsinki dan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Namun karena dibentuk dengan qanun yang setingkat dengan Peraturan Daerah, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengalami berbagai hambatan dalam proses penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM seperti kesulitan dalam mengakses dokumen pemerintah atau memanggil pejabat pemerintah untuk dimintai keterangannya. Berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Korea Selatan dan Kanada, yakni meskipun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ada yang berkedudukan di daerah namun pembentukannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Propinsi Papua saat ini juga sedang menyiapkan naskah pendukung penerbitan Peraturan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Dalam rancangannya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua akan mengungkapkan kebenaran mengenai peristiwa konflik yang melibatkan negara sejak integrasi Irian Jaya. Oleh karena pemerintah daerah telah menginisiasi pembentukan KKR di daerah, maka seharusnya pemerintah pusat dapat mempercepat penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai panduan pemerintah daerah dalam menyusun peraturan mengenai KKR di wilayahnya. ......The establishment of Truth and Reconciliation Commission (TRC) in regions by the regional government has experienced debate, especially regarding the legalitiy of investigating incidents indicate of gross human rights violations in the past. This thesis will analyst two issues regarding the implementation of TRCs in the non transitional era and establishment and implementation of TRCs in regional. The research used qualitative methods with focus on literature studies, interviews with experts, and comparative studies on seven countries (South Korea, Brazil, Thailand, Morocco, Canada, the United States, and Australia). The results of this study concluded that six of the seven countries formed a TRC to expose gross human rights violations that occurred more than five years before, and only Thailan formed a TRC within two months after the end of conflict. Of the six countries, all of them had issued various reparation, compensation or compensation policies for victims prior to the establishment of the TRC. Brazil, Canada and Australia have long since repealed policies that allegedly violated human rights. All countries other than Morocco already had regulations protecting the privacy and confidentiality of citizens when the TRC was formed. Revealing the truth by the TRC in the seven countries was focused on achieving national reconciliation. In Indonesia, the Aceh TRC was formed by the Government of Aceh as a mandate from the Helsinki Agreement and Article 230 of Law Number 11 of 2006 concerning the Governance of Aceh through Qanun Number 17 of 2013 concerning the Aceh Truth and Reconciliation Commission. However, because it was formed under a qanun that was at the same level as a regional regulation, the Aceh Truth and Reconciliation Commission experienced various obstacles in the process of investigating incidents of human rights violations such as difficulties in accessing government documents or summoning government officials for questioning. It is different from the Truth and Reconciliation Commissions in South Korea and Canada, that is, although there are Truth and Reconciliation Commissions based in the regions, their formation is carried out by the central government. The Province of Papua is also currently preparing a text supporting the issuance of a Presidential Regulation on the Truth and Reconciliation Commission in Papua. In its design, the Papua Truth and Reconciliation Commission will reveal the truth about the conflict events involving the state since the integration of Irian Jaya. Because the regional governments have initiated the formation of TRCs in the regions, the central government should be able to accelerate the drafting of the Truth and Reconciliation Commission Bill as a guide for local governments in drafting regulations regarding TRCs in their regions.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Giovanni Joseph
Abstrak :
Pembatasan internet merupakan upaya penjinakkan rakyat Indonesia dari sikap kritis. Kebebasan berpendapat dan berekspresi telah menjadi bagian dari hak asasi manusia setiap individu dan harusnya hak asasi manusia dijunjung lebih tinggi. Demokrasi dapat menjadi alasan dan alat Kekerasan Politik oleh Negara. Negara hanya beradaptasi menyamarkan kekerasan. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian Analitik. Metode yang digunakan studi kasus terhadap kasus pembatasan internet di Papua karena penelitian spesifik meneliti kasus di Papua. Data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara langsung. Peneliti juga melakukan telaah data sekunder untuk keterangan dari pihak ahli hukum maupun lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia ketika merespon pembatasan internet maupun dari putusan pengadilan. Penelitian mengkonfirmasi lima bentuk atau dimensi dari kuasa terhadap masyarakat: Pengendalian melalui paksaan atau ancaman (koersi) yang dapat dilakukan melalui pemolisian maupun kekuatan militer, pengendalian unsur-unsur ekonomi, pengendalian proses pengambilan keputusan, atau kekuatan politik, pengendalian definisi dan akses ke pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai, atau kekuatan ideologis; dan pengendalian perhatian manusia dan waktu hidup, atau kekuatan pengalihan. Pembatasan internet melanggar hak asasi manusia masyarakat Papua karena merugikan hak masyarakat Papua. ......Internet restrictions are an attempt to tame the Indonesian people from a critical attitude. Freedom of opinion and expression has become part of the human rights of every individual and human rights should be upheld on a higher level. Democracy can be the reason and tool for political violence by the state. The state adapts only to disguise violence. The type of research used is analytical research. The method used is a case study on cases of internet restrictions in Papua because the research specifically examines cases in Papua. The primary data in this study were obtained through direct interviews. The researcher also conducted a review of secondary data for information from legal experts and human rights institutions when responding to internet restrictions or from court decisions. Research confirms five forms or dimensions of power over society: Control through Coercion or Threats (Coercion) which can be exercised through policing or military force, Control of economic elements, Control of decision-making processes, or political power, Control of definition and access to knowledge, beliefs, and values, or ideological strengths; and Control of human attention and life time, or distraction power. Internet restrictions violate the human rights of the Papuan people because they harm the rights of the Papuan people.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khansa Denaputri Karyadi
Abstrak :
Penelitian ini mengeksplorasi dan menganalisis pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Tentara Rusia selama Perang Chechnya Kedua. Selama periode Perang Chechnya kedua yang berlangsung dari 1 September 1999 hingga 19 April 2009 telah ditemukan sejumlah tindakan yang dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam rentetan peristiwa Perang Chechnya kedua, banyak terjadi persekusi dan pembunuhan terhadap warga sipil dan anggota milisi Chechnya yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum internasional, khususnya berkaitan dengan prinsip hak asasi manusia. Pembangunan kamp filtrasi seperti Khankala, Pap-5, Internat dan GUOSCH merupakan contoh pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh tentara Rusia selama invasi Perang Chechnya kedua. Selain itu, beberapa fakta lain yang ditemukan oleh organisasi pengamat dan pejuang hak asasi manusia internasional menunjukkan dugaan adanya pelanggaran lain yang dilakukan tentara Rusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus deskriptif dan eksploratif untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain berita koran dan daring, buku, artikel jurnal, dan laporan hasil penelitian lembaga internasional. Penelitian ini menyimpulkan tentara Rusia telah melanggar norma-norma universal yang dimuat dalam pasal-pasal DUHAM, yaitu hak dalam hidup tanpa diskriminasi dan penyiksaan, hak dari penahanan secara sewenang-wenang, hak perlindungan diri dan keluarganya, hak atas pergerakan, hak atas kebebasan berekspresi, serta hak atas standar hidup dan pendidikan. Mereka melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan cara mengebom tanpa diskriminasi, melakukan operasi Zahistka, memberlakukan buruk terhadap para pengungsi, penangkapan secara sewenang-wenang, penculikan dan penghilangan serta pembunuhan massal. ......This study will explore and analyse all the human right violation that done by Russian Army during Second Chechen War. During the period of Second Chechen War that Occurs between 1/09/1999 until 19/04/2009, there’re some action that can be found in which can be categorize to human right violation. During series of event that took place during Second Chechen War, there were many persecution and murder toward Chechen citizen and militant that’s not accordance to international law, especially human right principle. Camp filtration building like Khankala, Pap-5, Internat dan GUOSCH were example of human right violation by Rusian Army during Invasion of Chechen. Not only that, there’re many other facts that found by observation organisation and human right fighter that pointed toward allegations of other human right violations by Russian army. This study will use quality approach and study method of description and exploration to find many answer at the question that this study filed. All the data that will be using in this study were article from newspaper and website, book, journal article and report of a study from international organisation. This study will conclude that Russian Army were violate universal norm i article of Universal Declaration of Human Right, like right to live without disclination and torture, right from arbitrary detention, right toward protection to themself and their family, right toward movement, right toward freedom of expression, and right toward live standard and education.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dwibagus Lisandro
Abstrak :
Artikel ini membahas mengenai perbudakan yang memiliki kaitan dengan perdagangan manusia, penyelundupan manusia dan kejahatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti regulasi yang terjadi di Benjina, Indonesia. Menurut penulis, permasalahan artikel ini dimulai dari potensi perikanan yang besar menyebabkan tingginya permintaan ikan. Akan tetapi, tingginya permintaan ikan tidak diikuti oleh persediaan yang ada dan pengawasan yang lemah dalam bidang perikanan sehingga memunculkan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak mengikuti regulasi. Praktik tersebut juga menyebabkan munculnya permintaan akan tenaga kerja berbiaya rendah untuk dapat memenuhi tingginya permintaan ikan. Para tenaga kerja tersebut rentan menjadi korban perbudakan, perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia karena edukasi yang rendah dan tuntutan perekonomian. Perbudakan, perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia, juga berhubungan dengan kejahatan terorganisir transnasional dan merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Penulis dalam artikel ini menggunakan studi pustaka sebagai metode penulisan. Artikel ini menunjukkan bahwa praktik perbudakan, perdagangan manusia, dan penyelundupan manusia menyebabkan anak buah kapal penangkap ikan asing menjadi korban dari kejahatan tersebut, dilakukan oleh pihak yang normal, rasional dan berorientasi pada keuntungan, serta pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggengkan oleh permintaan tenaga kerja berbiaya rendah. ......This article focus on slavery and its association with human smuggling, human trafficking, and IUU fishing that happens in Benjina, Indonesia. The author found that the problem started from high fishing potential resulting in high demand for fish. However, the high demand for fish is not followed by the supply of fish and the weak supervision in the field of fisheries contributes to the IUU fishing practices. Such practices also lead to the emergence of demand for low-cost labor to help meet the high demand for fish. The workers is particularly vulnerable to slavery, human trafficking, and human smuggling because of economic demands and lack of education. Slavery, human trafficking, and human smuggling are also associated with transnational organized crime and act that violates human rights. The author in this article uses library research as a writing method. The writing shows that the practice of slavery, human trafficking, and human smuggling caused the crew of foreign fishing vessels to be victims of those crime, conducted by the normal, rational, and profit-oriented, and the violations of human rights are perpetuated by low-cost labor demand.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library