Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Lya Trisnawati
Universitas Indonesia, 2010
S24973
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Mischa Giani Annastasia
"Inovasi dan adopsi teknologi telah memberikan banyak manfaat dalam meraih efektivitas dan efisiensi ekonomi. Di sisi lain, pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat kian muncul pada struktur pasar, termasuk pasar digital yang bercirikan multi-sided market. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat belum mengatur secara spesifik mengenai hal-hal terkait potensi persaingan usaha tidak sehat pada platform digital. Padahal, inovasi bisnis di era digital memiliki perbedaan yang signifikan dengan era konvensional sehingga perlakuan terhadap pelanggaran persaingan usaha berbasis digital tidak dapat disamakan dengan pelanggaran yang sifatnya konvensional. Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus dapat bertindak secara tegas dan tepat sasaran dalam menegakkan hukum persaingan usaha di era ekonomi digital. Oleh karena itu, sudah selayaknya dilakukan reformasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal yang menjadi urgensi adalah melakukan perluasan definisi pelaku usaha, penentuan yurisdiksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang ekstrateritorial, serta pengadaptasian norma dengan kemajuan teknologi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sudah seharusnya mempertimbangkan kepentingan pelaku usaha. Jika peninjauan ulang tidak segera dilakukan, tantangan yang ada akan semakin melucuti kesehatan iklim usaha Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan meneliti sejauh mana Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat menjawab permasalahan yang ada serta relevan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Kemudian, melalui pendekatan perundang- undangan dan kasus di berbagai negara, khususnya Australia dan Taiwan, tulisan ini akan menganalisis bagaimana sebaiknya pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 demi menciptakan persaingan usaha yang sehat di era ekonomi digital.
Innovations and adoptions of technology have provided many benefits in achieving economic effectiveness and efficiencies. On the other hand, violations of fair business competition are increasingly appearing in market structures, including the digital market. Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition has not specifically regulated matters related to potential unfair business competition on digital platforms. While in fact, business innovation in the digital era has significant differences from the conventional era so treatments to digital-based business competition violations cannot be equated with conventional ones. The Business Competition Supervisory Commission must be able to act decisively and precisely in enforcing competition law in the digital economy era. Therefore, it is appropriate to carry out reforms to Law Number 5 of 1999. The urgency is to expand the definition of business actors, determine the extraterritorial jurisdiction of the Business Competition Supervisory Commission, and adapt norms to technological advances. Law Number 5 of 1999 should consider the interests of business actors. If the review is not carried out immediately, the challenges will further disarm the health of Indonesia’s business climate. By using normative juridical research methods, this paper will examine the extent to which Law Number 5 of 1999 can answer existing problems and is relevant to the current situation and conditions. Then, through the statute and case approach in various countries, specifically Australia and Taiwan, this paper will analyze how it is better to regulate Law Number 5 of 1999 to create fair business competition in the digital economy era."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Vito Natanael
"Pelaku usaha merupakan orang perorangan atau badan usaha yang melakukan perjanjian dan penyelenggaraan kegiatan usaha bidang ekonomi di Indonesia. Kehadiran pelaku usaha turut diatur hak dan kewajibannya, melalui hukum persaingan usaha dan ditegakkan melalui kehadiran lembaga penegak hukum persaingan usaha, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU hadir membantu mencegah adanya pelanggaran persaingan usaha. Namun, terdapat hambatan KPPU dalam penegakkan tersebut, yaitu tidak dijalankannya eksekusi putusan oleh pelaku usaha yang diputus KPPU. Salah satu penyebabnya adalah kehadiran pelaku usaha yang jatuh pailit. Kendati demikian, penulisan ini ditujukan untuk meneliti bagaimana proses eksekusi putusan dan kedudukan KPPU sebagai kreditur saat terdapat pelaku usaha yang jatuh pailit setelah putusan denda pelanggaran persaingan usaha. Melalui penerapan penelitian doktrinal dengan metode kualitatif dan pendekatan deskriptif-analitis, Penulis melihat adanya kekurangan dalam penegasan hukum terkait pelaksanaan eksekusi putusan oleh KPPU dan kedudukan KPPU sebagai kreditur dalam hal pelaku usaha jatuh pailit setelah putusan denda pelanggaran persaingan usaha. Pertama, tulisan ini akan menjabarkan hukum persaingan usaha di Indonesia dan KPPU sebagai lembaga penunjangnya. Selanjutnya, Penulis menjelaskan bagaimana eksekusi putusan yang dapat dilakukan oleh KPPU berdasarkan hukum acara perdata, UU No. 5 Tahun 1999, dan peraturan lainnya. Selain itu, Penulis menjelaskan bagaimana mekanisme pelaksanaan eksekusi putusan KPPU secara praktis terhadap pelaku usaha yang berperkara. Kedua, Penulis akan memberikan analisis terkait kedudukan KPPU sebagai kreditur dalam hal terdapat pelaku usaha yang jatuh pailit setelah putusan pelanggaran persaingan usaha disertai penjelasan teori kepailitan dan hukum acara kepailitan. Penulis berkesimpulan bahwa secara praktis, eksekusi putusan dapat berjalan, walaupun kurang diatur secara tegas dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan KPPU mendapatkan kedudukan sebagai kreditur preferen saat hendak melakukan eksekusi putusan terhadap pelaku usaha yang jatuh pailit setelah putusan denda pelanggaran persaingan usaha sehingga perlu amandemen kedua UU No. 5 Tahun 1999 dan pedoman khusus terkait permasalahan ini.
Business actors are individuals or business entities that enter into agreements and conduct business activities in the economic sector in Indonesia. The rights and obligations of these business actors are regulated through competition law and enforced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU). The KPPU plays a role in preventing business competition violations. However, the KPPU faces challenges in this enforcement, particularly when businesses sanctioned by the KPPU fail to execute the rulings. One reason for this is when business actors declare bankruptcy. Nevertheless, this paper aims to examine the execution process of such rulings and the status of the KPPU as a creditor when a business actor goes bankrupt after the imposition of a fine for competition law violations. By applying doctrinal research using qualitative methods and a descriptive-analytical approach, the author identifies shortcomings in the legal framework regarding the execution of KPPU rulings and the KPPU’s status as a creditor when a business actor goes bankrupt after a fine is imposed for competition law violations. First, this paper will describe the competition law in Indonesia and the KPPU as its supporting institution. Next, the author explains how the execution of KPPU rulings can be carried out based on civil procedural law, Law No. 5 of 1999, and other regulations. Additionally, the author discusses the practical mechanism for executing KPPU rulings against businesses involved in disputes. Second, the author provides an analysis of the KPPU’s status as a creditor when a business actor goes bankrupt following the issuance of a competition law violation ruling, including an explanation of bankruptcy theory and bankruptcy procedural law. The author concludes that, in practice, the execution of rulings can still proceed, although it is not explicitly regulated in Law No. 5 of 1999. Furthermore, the KPPU obtains preferential creditor status when executing rulings against business actors who declare bankruptcy after the imposition of fines for competition law violations. Therefore, an amendment to Law No. 5 of 1999 and specific guidelines on this issue are necessary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library