Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Robby Cahyanto
Abstrak :
Tesis ini membahas pengelolaan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani Jawa Tengah. Pengelolaan didasarkan pada pengelolaan tahun 2007 dan 2009. Pengelolaan difokuskan pada alokasi luas areal tebangan dan volume tebangan yang berimplikasi pada penyerapan tenaga bagi masyarakat sekitar hutan serta dampak penerimaan hasil penjualan kayu bagi operator yang memberikan keuntungan maksimal. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan aplikasi Linear Programming. Lokasi yang dipakai sebagai tempat pengukuran 17 lokasi, 3 jenis tebangan, 2 kelas perusahaan. Fungsi tujuan memaksimalkan keuntungan.Variabel keputusan alokasi luas tebangandan volume tebangan. Fungsi kendala luas areal, tenaga kerja dan modal. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan hutan, volume dan luas areal belum optimal. Dibuktikan pada luas areal sebelum optimalisasi lebih luas 24.318,11 ha dari areal model 1 model 2. Areal yang dieksploitasi pada model 1 adalah 18.307,89 ha dan model 2 seluas 16.190,97 ha. Jatah Produksi Tebangan sebelum optimalisasi, volume jati lebih besar 51.599,17 m3 dari model 1 dan model 2. Volume rimba sebelum optimalisasi berlebih 5.260,06 m3 dari model 1 dan 5.006,11 m3 dari model 2. Volume tebangan sebelum optimalisasi lebih difokuskan pada tebangan B-D dan E jenis jati dan jenis rimba. Volume pada model 1 dan 2 fokus pada tebangan A dan B-D jati dan rimba. Tebangan E sebagai pilihan (tebangan pemeliharaan). Biaya eksploitasi lebih kecil pada model 1, sedangkan keuntungan lebih besar model 2, pada analisis sensitivitas skenario 2 model 2.a.. Namun model yang direkomendasikan adalah model 1 dengan tingkat jenis tebangan yang heterogen sesuai dengan potensi yang ada dan pemanfaatan masyarakat sekitar hutan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2009
T28791
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997
658.401 2 LOK l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bambang Setiono
Abstrak :
The Center for International Forestry Research (CIFOR) is a leading international forestry research organization operating in tropical countries around the world. Its international headquarters are based in Bogor Indonesia, where it has an eight hectare campus on land provided by the Government of Indonesia. CIFOR also has major regional offices in Brazil, Cameroon and Burkina Faso and employs close to 200 people. It works in over 30 countries worldwide and has links with more than 300 researchers in 50 international, regional and national organizations. CIFOR is governed by an international board of trustees with l4 members from I0 countries. Its research is supported by 50 governments and funding agencies, including the Government of Indonesia. It was established in |993 in response to global concerns about the social, environmental, and economic consequences of forest loss and degradation. CIFOR is committed to enhancing the well-being of people in developing countries who rely on tropical forests. It is dedicated to developing policies and technologies for sustainable use and management of forest goods and services. An independent review of the Center's performance released in 2006 describes CIFOR as the "leading international forest research center within its mandate and is highly appreciated for its credible and relevant high-quality research", ClFOR's research has helped produce the standards used to certify 5.8 million hectares of forest and improved governance and livelihoods in 30 sites in ll countries. Its findings have influenced the design of numerous forestry projects and helped shaped forestry laws in Peru, Indonesia, Nicaragua and Mexico. ClFOR's research is making a major contribution to the global forestry agenda, with its research findings helping to inform the policies and strategies of such organizations as the World Bank, the Convention on Bio-Diversity, the United Nations Forum on Forests, the international Tropical Timber Organization, and the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). CIFOR's three research programmes address the needs of the rural poor as well as environmental concerns.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
JHII-4-4-Jul2007-646
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanto
Abstrak :
Berdasarkan penjelasan Undang-undang nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, dinyatakan bahwa luas hutan diperkirkan kurang lebih 30 persen dari luas daratan. Sementara kawasan hutan di Pulau Jawa hanya sekitar 23 persen dari luas daratannya, khusus di Jawa Tengah hanya 20 persen saja. Karena itu, berpegang pada Peraturan Pemerintah nomon 36 tahun 1986, terutama yang rnenyangkut maksud dan tujuan pendirian Perum Perhutani, ditetapkan kebijakan. Bahwa Perum Perhutani agar dapat rnernperluas kawasan hutan atau sekurang-kurangnya ruenjaga kelestarian hutan yang telah ada. Pada hal masyarakat sekitar hutan juga mempunyai kepen tingan terhadap hutan sebagai sumber mencari nafkah. Karenanya, bagaimana pengelolaan hutan dapat dilaksana kan tanpa merugikan kedua kepentingan. Dalam pengelola an hutan ini Perhutani menerapkan pendekatan agrosilvi kultur. Pendekatan ini tidak saja mempunyai tujuan un tuk kepentingan ekonomi ( pendaatan ) tetapi juga da pat merangsang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan sekaligus daiam pelestarian hutan. Ternyata pesanggem yang terlibat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan adalah dan golongan buruh tani atau pun petani berlahan pertanian sempit dan sebagai petanì subsisten. Karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan mereka berpartisipasi disebabkan adanya sempit nya lapangan kerja di pedesaan, lahan pertanian yang dimiliki sempit dan tidak memiliki keahlian lain selain keterikatan dengan tanah pertaniannya saja. Meskipun demikian, pengelolaan agrosilvikultur ini 85 persen dikerjakan secara sambilan dan hanya 15 persen saja sebagai matapencarian pokok. Sedangkan keberhasilan tanaman pokok jati antara 80-100 persen, tetapi tidak demikian dengan keberhasilan panen tanaman palawija. Hal ini terbukti bahwa partisipasì pe sanggem dalam pengelolaan hutan khususnya agrosilvikul tur belum merubah keadaan sosial ekonomi pesanggem. Namun secara ekologi pesanggen telah membantu menjaga hutan dan kerusakan, karena mereka merasa terlibat dalam proses daur ulang hutan. Dengan demikian partisipa si pesanggem tidak hanya pada pelaksanaan pengelolaan agrosilvikultur saja, tetapi berlanjut pada partisipasi dalam menjaga kelestarian hutan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Agung Pramono Priyo Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Pembangunan subsektor kehutanan lima tahun mendatang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, serta untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman basil hutan bagi pembangunan industri.

Keinginan pemerintah di atas masih belum terpenuhi, karena dalam kurun 20 tahun pelaksanaan pengusahaan hutan melalui HPH, pembangunan subsektor ini masih ditekankan pada peningkatan produksi. Misi forest for people yang diobsesikan oleh para rimbawan masih sulit diwujudkan karena masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan obyek. Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat "paternalistik" dan "sentralistik" diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab lemahnya peran lembaga-lembaga lokal karena tidak memberi tempat bagi berkembangnya kelembagaan lokal. Penulis tertarik dan berusaha mempelajari pengembangan kelembagaan yang terjadi, serta kemudian mencoba mengetengahkan model pengembangan kelembagaan lokal yang efektif.

Melalui studi ini penulis ingin melanjutkan tradisi studi pengembangan kelembagaan yang sempat tenggelam, serta mencari alternatif model dan metode pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan. Penulis percaya dengan apa yang dikatakan Uphoff dan Esman bahwa diperlukan adanya organisasi lokal untuk bisa mempercepat proses pembangunan di pedesaan. Adanya organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat lokal, yang bertanggung jawab pada masyarakat lokal, dan yang melibatkan fungsi-fungsi pembangunan pedesaan, dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan pedesaan lebih sukses. Dengan kata lain, jika pembangunan subsektor kehutanan diintegrasikan dengan pembangunan pedesaan, maka tujuan pembangunan subsektor kehutanan akan semakin efektif dicapai dengan mengembangkan kelembagaan lokal. Apakah pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan sudah seperti itu? Ini merupakan pilihan, dan akan dipelajari efektivitasnya dalam dimensi-dimensi karakteristik hutan dan penggunanya, batasan-batasan hutan dan penggunanya, serta bagaimana distribusi biaya dan manfaatnya.

Upaya untuk mengembangkan kelembagaan lokal, penulis mengetengahkan pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTI-Rakyat) tanaman Sungkai. Untuk pembahasan mengenai alternatif local institutional development, penulis menggunakan pendekatan Pembinaan Kapasitas Pembangunan Desa (The Rural Development Capacity-Building Approach) yang dikembangkan oleh Development Alternatives Inc. (DAI). Honadle mengidentifikasikan 7 (tujuh) elemen yang hares diperhatikan dalam upaya pengembangan kelembagaan lokal, yaitu: pembagian risiko diantara para klien dan penyedia jasa; keterlibatan para aktor pada berbagai level kegiatan; keberhasilan atau kemanfaatan yang ditunjukkan oleh teknologi atau perilaku yang baru atas yang lama; gaya operasi yang kolaboratif serta tindakan bersama; penekanan pada belajar; perangsang yang sesuai; dan menggunakan basis sumberdaya yang ada.

Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH, termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha HPH cenderung tidak berhasil. Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan berkurang tingkat kesejahteraannya, karena peningkatan penghasilan hanya terjadi secara absolut. Sedangkan biaya hidup secara keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka. Ini terutama karena semakin sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).

Sejak diundangkannya UU No.5/1967 dan kemudian dienforcement dengan UU No.511979, semakin membuat masyarakat lokal tidak memiliki posisi tawar untuk ikut menentukan bentuk dan mekanisme pengelolaan hutan. Lembaga-lembaga lokal yang dulu cukup menentukan dalam menjaga kelestarian fungsi hutan sudah tidak efektif lagi, dan partisipasi masyarakat semakin pasif. Kondisi ini yang kemudian mendorong penulis untuk mengetengahkan set-up kelembagaan yang lebih memberi kemungkinan bagi lembaga-lembaga lokal untuk berkembang dan (paling tidak) menjadi penentu bagi masa depan kehidupannya sendiri.

Melalui ide HTI-Rakyat, penulis bekerjasama dengan Kantor Kehutanan Rengat dan Tembilahan, berusaha memassalkan penanaman kayu Sungkai (peronema canescens jacks) yang selama ini lebih banyak tumbuh sebagai tanaman liar dan tidak memiliki nilai ekonomis. Ide semacam ini pernah dicoba, yaitu dengan pemassalan penanaman kayu Akasia (acacia mangium), Sengon (aibirium falcata), dll., namun kurang berhasil karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek teknis (kecocokan, dsb.). Ide inilah yang penulis ajukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan subsektor kehutanan.

Pemassalan jenis Kayu Sungkai ini memiliki prospek yang cerah di masa mendatang untuk dipilih menjadi tanaman hutan rakyat, karena disamping memiliki fungsi konservasi, tanaman ini juga memiliki keuntungan marginal. Secara teknis, pemilihan jenis kayu Sungkai sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman rakyat di lokasi penelitian mengingat beberapa karakteristik yang ada, seperti : kesesuaian dengan tempat tumbuh; jenis yang khas dengan keunggulan tertentu; riap volume yang cukup tinggi;. daur yang relatif rendah; serta jenis dan kualitas kayu sesuai dengan industri IPKH yang ada.

Secara ekonomis, hasil penghitungan tahun 1992 terhadap percobaan budidaya Kayu Sungkai ini menunjukkan adanya keuntungan yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dengan biaya per hektar sebesar Rp 2.826.000,- dapat diperoleh hasil kayu senilai hampir Rp 16 juta dalam kurun waktu 15 tahun. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai hasil tambahan, seperti di antaranya hasil kayu dari penjarangan pada tahun ke 8 serta hasil tumpang sari, dsb. Jelas, bahwa usaha penanaman kayu Sungkai sebagai hutan tanaman akan menguntungkan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti: nilai akhir tanaman tidak dipengaruhi oleh adanya inflasi; produk ini tidak dapat disubtitusi; pertambahan nilai jual pasti; memiliki hasil antara, yaitu hasil dari kegiatan penjarangan; dan dapat dilakukan pula sistem tumpang sari yang akan memberikan hasil tambahan.

Dari segi kelembagaannya, dapat dikembangkan lebih jauh dengan cara di antaranya dengan menyerahkan pengelolaannya kepada kelompok-kelompok lokal yang terkait, seperti misalnya melalui semacam Kelompok Tani Hutan (KTH), dsb. Dalam penelitian, kegiatan belum sampai pada tahapan ini karena memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikan, mendasarkan pada pertimbangan yang diajukan oleh Honadle, usaha ini layak diterima, mengingat perimbangan antara cost dan benefit tidak lagi memberatkan masyarakat lokal. Disamping itu, dengan melibatkan langsung masyarakat lokal, maka estimasi terhadap kebutuhan kelangsungan ekologis cukup bisa dipertanggungjawabkan.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Faadhilah
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bercerita mengenai respons masyarakat Kasepuhan Sinarresmi untuk mempertahankan akses dalam pengelolaan hutan yang telah diintervensi oleh beberapa pihak. Persoalan yang dihadapi masyarakat Kasepuhan Sinarresmi terkait klaim atas kelola hutan yang mereka miliki melalui bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan secara adat yang dikukuhkan melalui hukum adat. Namun, pihak negara memiliki klaim melalui kebijakan pengelolaan hutan di bawah Perum Perhutani dan saat ini oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak, yang kemudian melimitasi aktivitas masyarakat dan mengabaikan tata kelola hutan yang sudah dimiliki masyarakat. Hal itu memberikan pengaruh pada pengelolaan hutan mereka, yakni berusaha menyesuaikan dengan kebijakan yang ada agar terus mendapatkan ruang dan melanjutkan pengelolaan sesuai tradisi sebagai pertahanan dalam mengelola hutan yang telah diintervensi oleh beberapa pihak. Penyesuaian dan kontinuitas tersebut dilihat melalui kerangka mekanisme akses dari kesempatan kerja, negosisasi dan identitas sosial.
ABSTRACT
This undergraduate thesis is intended to discuss masyarakat Kasepuhan Sinarresmi?s responses to maintain access in the forest management which has been interfered by multiple parties. The problem that is faced by masyarakat Kasepuhan Sinarresmi is related to claim over forest management which they have already had through the forms of local knowledge and the use of resources in a wise way, legitimized by their customary law. Yet, the state has a claim through the forest management policies under Perum Perhutani and current authority by Gunung Halimun Salak National Park, which tighten the people?s access and ignore the forest management that is already owned by the masyarakat adat. It gives them an impact on their forest management to adjust their existing law with new policies and continue the forest management based on their tradition as a defense in managing the forest that have been intervened by several parties. These adjustment and continuity is analyzed through the framework of the access mechanism by labor opportunities, negotiations and social identity.
2016
S64476
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alda Nur Agustina
Abstrak :
ABSTRACT
Skripsi ini membahas mengenai konflik dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengambil studi kasus alih fungsi lahan hutan kawasan lindung menjadi villa di Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Tahun 2012. Dalam melakukan analisis, peniliti menggunakan teori konflik sumber daya alam yang dikemukakan oleh Abiodun Alao. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan data primer dan sekunder. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh empat faktor yaitu karena berkurangnya kuantitas dan kualitas hutan di kawasan lindung, buruknya pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam oleh pemerintah, proses ekstraksi sumber daya alam yang membahayakan lingkungan dan adanya perbedaan kepentingan setiap aktor dalam memanfaatkan sumber daya alam.
ABSTRACT
This thesis discusses the conflict in natural resource management taking the case study over the conversion of protected forest land into villa in Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor in 2012. In conducting the analysis, researcher use the theory which is the conflict of natural resources proposed by Abiodun Alao. This thesis uses qualitative methods based on primary and secondary data. The research finding is that conflicts are caused by four factors, diminished quantity and quality of forest in protected area, a poor management and control of natural resources by the government, process extraction of natural resources, and the interest of the actors in utilizing natural resources.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>