Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pulungan, Wazar
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara lamanya penugasan ayah yang menyebabkan ketidakhadiran ayah dalam keluarga dengan kepribadian dan prestasi belajar remaja di lingkungan keluarga ABRI. Ayah adalah salah seorang tokoh penting dalam kehidupan keluarga. Ketidak-hadiran ayah dalam keluarga mempengaruhi suasana kehidupan keluarga yang kemudian mempengaruhi anggota-anggota keluarga terutama istri dan anak. Namun demikian, ketidakhadiran ayah secara kuantitatif ini menurut teori-teori dan penelitian-penelitian dapat diimbangi dengan kualitas kehadiran ayah yaitu perhatian ayah terhadap anak. Prajurit ABRI sebagai seorang ayah harus mendahulukan kepentingan tugas daripada kepentingan keluarga ataupun pribadi, sehingga ketidakhadiran ayah dalam keluarga dalam jangka waktu yang cukup lama sebagai akibat penugasan sering terjadi dalam kehidupan keluarga ABRI. Kepribadian dan prestasi belajar merupakan aspek yang banyak menentukan keberhasilan hari depan setiap orang. Orang tua selalu menginginkan keberhasilan anak, sehingga mereka banyak mencurahkan perhatian terhadap kepribadian dan prestasi belajar anak. Pada kondisi tertentu hal ini dapat mempengaruhi suasana emosional ayah sehingga dapat mengganggu pelaksanaan tugas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah EPPS untuk mengungkap kepribadian, NEM untuk mengungkap prestasi belajar, PM untuk mengungkap inteligensi, angket pertama untuk mengungkap perhatian ayah terhadap anak dan angket kedua untuk mengungkap data pribadi. Kedua macam angket ini dikonstruksi oleh penulis. Hasil penelitian menunjukkan: 1. Ada hubungan yang signifikan antara ketidakhadiran ayah dalam keluarga dengan beberapa variabel kepribadian remaja di lingkungan keluarga ABRI.
2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara ketidakhadiran ayah dalam keluarga dengan prestasi belajar remaja di lingkungan keluarga ABRI.
3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara perhatian ayah dengan kepribadian dan prestasi belajar remaja di lingkungan keluarga ABRI. Penulis menyarankan agar hasil penelitian ini diinformasikan kepada para prajurit dalam. rangka pembinaan mental pratugas, agar mereka lebih konsentrasi dalam melaksanakan tugas. Namun demikian agar hasil penelitian ini lebih meyakinkan perlu diadakan penelitian lanjutan yang lebih luas dengan menggunakan instrumen penelitian dan metode analisa yang lain.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yuniar
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Santhi Oktariyani
Abstrak :
ABSTRAK
Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda mengenai kriteria pasangan hidup. Pandangan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam interaksi individu dengan lingkungan. Sejak kecil individu telah ditanamkan ide mengenai pernikahan yang bahagia dan kriteria pasangan hidup yang baik, antara lain melalui sistem nilai yang dianut orang tua. Penanaman sistem nilai tersebut tidak terlepas dari pola pengasuhan orang tua kepada anak. Suku Bali dengan sistem Patrilinial memberikan peran yang besar pada ayah untuk menentukan dengan siapa anak boleh menikah. Peran ini akan lebih terlihat apabila ayah mengharapkan anak tunggal perempuan mereka untuk menjadi penerus keluarga. Dalam hal ini, anak tunggal perempuan harus tetap tinggal di keluarga mereka, dan apabila mereka menikah maka suami masuk dalam keluarga perempuan (Nyentana). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran ayah dalam pemilihan pasangan hidup anak tunggal perempuan dalam keluarga Bali yang menetap di luar Pulau Bali, faktor-faktor yang mempengaruhi kriteria pemilihan pasangan hidup anak tunggal perempuan, serta mengetahui pengaruh adat Bali dalam pemilihan pasangan hidup anak tunggal perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan wawancara sebagai alat pengumpulan data utama dan observasi sebagai alat penunjang. Wawancara dilakukan pada 3 orang subyek anak tunggal perempuan yang memiliki ayah dari suku Bali, berusia 21-30 tahun, berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas, dan tinggal di luar Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah berperan dalam pemilihan pasangan hidup anak tunggal perempuan dengan cara memberikan masukan dan gambaran kriteria laki-laki yang mereka inginkan untuk menjadi pasangan hidup anak tunggal perempuan. Ayah tidak secara langsung berperan dalam menjodohkan anak tunggal perempuan dengan laki-laki pilihan mereka. Ayah juga tidak menekan kesedian laki-laki untuk nyetana sebagai kriteria pasangan hidup anak tunggal perempuan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ayah terutama berperan dalam penanaman disiplin, kemandirian, dan prestasi akademik anak tunggal perempuan mereka.Hasil penelitian juga menunjukkan 3 faktor yang mempengaruhi anak tunggal perempuan dalam memilih pasangan hidup, yaitu faktor homogami, faktor derajat pernikahan, dan faktor jaringan sosial. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa pemahaman anak tunggal perempuan mengenai nyentana masih terbatas. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar mengikutsertakan subyek ayah dalam penelitian. Selain itu, penelitian juga dapat dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan cara membandingkan berbagai wilayah di Bali, atau membandingkan beberapa suku di Indonesia.
2002
S3179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Mawar Nusantari
Abstrak :
ABSTRAK
Ketika seseorang menginjak usia 18-22 tahun, ia memasuki masa transisi dari remaja menuju dewasa muda (Kail & Cavanaugh, 2000; Smolak, 1993). Menurut Smolak (1993), seseorang pada usia ini bukan anak-anak, dan dianggap bukan remaja lagi, namun mereka juga belum memiliki kriteria dewasa. Banyak ahli yang meyakini bahwa krisis pembentukan identitas terjadi pada masa remaja, namun studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan bahwa krisis identitas terjadi pada masa transisi ini (Smolak, 1993). Kail & Cavanaugh (2000) mengemukakan bahwa transisi itu tergantung pada faktor kebudayaan dan beberapa faktor psikologis. Pada budaya timur, patokan yang dipakai untuk menentukan apakah seseorang menjadi dewasa lebih -jelas daripada budaya barat. Pada kebudayaan timur, pernikahan menjadi determinan yang paling penting dalam status kedewasaan (Schlegel & Barry, 1991). Berbicara mengenai menikah dan kemudian memiliki anak akan dikaitkan dengan kematangan dan tanggung jawab seseorang. Oleh karena itu untuk memasuki pernikahan seseorang akan dipertanyakan apakah ia sudah cukup matang atau apakah ia sudah cukup dewasa. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta (BPS, 2002) menunjukkan bahwa, kurang lebih 11 % dari penduduk yang berusia 18-22 tahun telah menikah. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk menikah di usia muda. Padahal setelah menikah mereka akan dihadapkan pada masalah baru ketika mereka mempunyai anak. Menjadi orang tua juga merupakan krisis dalam hidup, karena menyebabkan perubahan besar dalam sikap, nilai, dan peran seseorang. Mempunyai anak juga berarti mendapatkan tekanan untuk terikat pada tingkah laku peran jender sebagai ayah dan ibu (Carstensen, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Oleh karena itu untuk menjadi orangtua diperlukan persiapan yang matang baik secara finansial, mental, maupun emosional. - Laki-laki yang berperan sebagai ayah dituntut untuk bertanggung jawab yang besar sebagai pemimpin keluarga serta bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga memerlukan perlu persiapan yang matang untuk memasuki jenjang perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana seorang pria yang berada pada usia transisi dewasa muda (18 - 22 tahun) yang telah menikah dan memiliki anak menghayati perannya sebagai seorang ayah. Penghayatan yang dimaksud dalam penelitian ini termasuk alasan seorang pria berusia transisi dewasa muda memutuskan untuk menikah, pemahaman tentang peran ayah, bagaimana mereka menghayati tuntutan perannya sebagai seorang ayah, serta interaksi yang mereka lakukan dalam memenuhi tugasnya sebagai seorang ayah, serta bagaimana penghayatan peran sebagai ayah tersebut mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan usia transisi dewasa muda, teori peran dikhususkan pada teori peran ayah dalam keluarga. Peneliti mengambil 5 orang sampel dengan kriteria seorang pria, berusia 18 - 22 tahun, telah menikah dan memiliki anak, serta pendidikan minimal SMU atau sederajat untuk diwawancara secara mendalam. Sampel berasal dari kota Jakarta dan Cirebon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagian besar subjek, yaitu 4 dari 5 orang subjek penelitian ini menikah di usia muda karena terpaksa. Karena melakukan pacarnya terlanjur hamil, maka subjek pun bertanggung jawab untuk menikahi pacarnya. Maka menjalani peran sebagai seorang ayah pun tidak dapat dihindari, walaupun mereka mengaku merasa belum siap menjadi seorang ayah. Menjalani peran sebagai seorang ayah memerlukan tanggung jawab yang besar dan memerlukan kesiapan baik secara materi maupun mental. Walaupun subjek merasakan adanya tuntutan peran sebagai ayah dari lingkungan namun yang berperan lebih besar dalam tingkah laku subjek dalam menjalani peran sebagai ayah adalah tuntutan peran yang ada dalam diri subjek sendiri. Tuntutan peran yang ada dalam diri subjek tersebut diperoleh dari konsep subjek mengenai ayah yang ideal serta berpatokan pada tingkah laku dan pendidikan orangtuanya dulu, terutama ayah mereka. Walaupun subjek merasa belum sesuai dengan konsep ayah yang ideal tersebut, namun mereka semua berusaha menuju ke arah sana. Sebagian besar subjek penelitian ini sudah menyadari betapa penting perannya sebagai ayah terhadap perkembangan anak. Dalam penelitian ini terlihat bahwa selain melakukan aktivitas mendidik dan bermain, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk ikut terlibat dalam aktivitas merawat anaknya terutama kegiatan memandikan, menina-bobokan, serta melindungi saat anak bermain. Mereka menyadari bahwa dalam aktivitas merawat tersebut merupakan saat yang tepat untuk membangun kedekatan emosional dengan anak mereka. Setelah menikah dan memiliki anak, banyak perubahan yang terjadi pada diri subjek, terutama mengenai cara subjek memandang tentang hidup. Subjek yang sebelumnya merupakan orang-orang yang selalu berorientasi pada kesenangan diri sendiri dan selalu mengikuti hati nurani dalam bertindak. Setelah menikah dan memiliki anak, timbul rasa tanggung jawab yang besar pada diri mereka, mereka mulai berpikir bahwa hidup tidak selamanya santai dan ada yang perlu diperjuangkan, terutama mengenai anak. Mereka mulai berpikir panjang sebelum bertindak dan mulai berpikir tentang masa depan. Selain itu mereka juga merasa hidupnya lebih baik dan lebih teratur serta lebih termotivasi dalam melakukan sesuatu.
2003
S3219
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidia Mei Sari Tyas
Abstrak :
Risiko kesehatan reproduksi remaja didapatkan remaja melalui kegiatan seksual saat mereka berpacaran, mulai dari berpegangan tangan hingga melakukan hubungan seksual. Selama ini di Indonesia studi tentang peran ayah masih terbatas pada perilaku antisosial remaja, pencapaian akademis remaja. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan peran ayah dengan praktek pacaran remaja. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain Cross Sectional. Jumlah sampel sebanyak 160 orang yang pernah berpacaran dan masih memiliki ayah. Hasil dari penelitian ini yaitu sebanyak 14 responden (10%) melakukan praktek pacaran berisiko. Variabel peran ayah yang berhubungan dengan praktek pacaran remaja adalah kualitas hubungan ayah-anak dan fasilitas yang diberikan. ...... Adolescent reproductive health risk obtained through the adolescent sexual activity when they were dating, ranging from holding hands to sexual intercourse. During this time in Indonesia a study of the role of the father is still limited to the adolescent?s antisocial behavior, adolescent?s academic achievement. This study aims to determine the relationship of father?s role with adolescent courtship practices. This research is quantitative research with cross sectional design. A total sample of 160 people who had a relationship and still have a father. Results from this study as many as 14 respondents (10%) courtship practice risky. Variables related to father?s role and adolescent courtship practices are a father-child relationship quality and facilities provided.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S59119
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Razwanti S.
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam kehidupan rumah tangga, sejak dulu pria diberi kepercayaan untuk meniadi kepala keluarga (Duvall & Miller, 1985). Dalam pandangan tradisional, sebagai kepala keluarga peran pria terbatas pada fungsi instrumental sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga (Strong & DeVault, 1995). Namun, sejalan dengan perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dewasa ini terjadi pergeseran dalam pandangn tradisional mengenai peran kepala keluarga. Kini peran pria tidak hanya terbatas sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga, melainkan juga dituntut untuk aktif dalam pengelolaan rumah tangga dan pengasuhan anak (Schaffer, 1993; UNICEF, 1997). Pada masa sekarang ini, baik peran mencari natkah maupun mengasuh anak, dapat dilakukan baik oleh pda maupun wanita (Thompson & Walker, 1989). Oleh karena itu, sebagai kepala keluarga sekarang pria berperan untuk mencari nafkah, melindungi keluarga, mengambil keputusan, mengurus mmah tangga, mengasuh anak, memelihara hubungan kekerabatan dan membina hubungan yang harmonis dengan istrinya (Strong & DeVault, 1995; Duvall & Miller, 1985).

Keterlibatan pria dalam pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga berdampak positif bagi perkembangan anak, ibu dan ayah sendiri (Kimmel, 1987; Schaffer. 1993). Untuk meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan pengelolaan rumah tangga, pria perlu diperslapkan untuk perannya dengan diberikan bekal pengetahuan mengenai peran kepala keluarga (Soepangat, 1991; Trobisch, 1984; Sigit Side, 1993; |rwanto_ 1996).

Yang pallng berperan dalam mempersiapkan pria dewasa muda untuk menjadi kepala keluarga adalah ayahnya (Eligner, 1994; Trobisch, 1984). Ayah merupakan agen sosialisasi utama yang mempersiapkan puteranya menjadi kepala keluarga (Marsiglio, 1995; Anderson & Sabatelli, 1995). Sebagai agen sosialisasi utama, ayah harus memperkenalkan peran instrumental dan peran ekspresif seorang ayah dalam keluarga pada puteranya (Lamb, 1981). Umumnya pria mencontoh ayahnya dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga Apa yang diajarkan ayah mengenai peran kepala keluarga sedikit banyak menentukan pendapat pria dewasa muda mengenai seorang ayah, yang akan mempengaruhi pelaksanan perannya kelak sebagai kepala keluarga (Anderson & Sabalelli, 1995; Levy-Shiff 8. lsraelashvilli, 1988), maka perlu diketahui bekal pengetahuan yang diberikan ayah dalam mempersiapkan puteranya menjadi kepala keluarga.

Dengan mengetahui bekal pengetahuan yang diberikan, diharapkan ayah dapat lebih mempersiapkan puteranya menghadapi tahapan kehidupan berkeluarga. Bagi pria dewasa muda sendiri, diharapkan dapat menjadi masukan untuk mempersiapkan diri menjalankan peran kepala keluarga. Dengan demikian, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemberian bekal pengetahuan tentang peran kepala keluarga dari ayah pada puteranya yang berusia dewasa muda ?

Penelitian ini barsifat deskriptif. Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner untuk mengukur kekerapan pemberian bekal pengetahuan tentang peran kepala keluarga pada 144 orang ayah berpendidikan minimal SLTA yang memiliki putera berusia antara 20-30 tahun yang belum menikah.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bekal pengetahuan yang diberikan ayah pada puteranya adalah tentang semua peran kepala keluarga, yaitu bekal pengetahuan tentang peran mencari nafkah, melindungi keluarga, mengambil kaputusan, memelihara hubungan kekerabatan, mengurus rumah tangga, mengasuh anak dan membina hubungan yang harmonis dengan istri. Berkat pngetahuan yang menonjol diberikan adaiah tentang peran mencari nafkah, melindungi keluarga, mengambil keputusan dan memelihara hubungan kekerabatan. Sedangkan yang paling jarang adalah tentang peran membina hubungan harmonis dengan istri.

Untuk peran mencari nafkah, bekal yang diberikan umumnya adalah mengenai pentingnya pendidikan untuk mendapatkan kerja. Untuk peran melindungi keluarga, bekal yang diberikan adalah mengenai tanggung jawab menjaga nama baik keluarga dan tanggung jawab melindungi keluarga secara fisik dan psikologis. Untuk peran mengambil keputusan bekal yang diberikan umumnya tentang pentingnya berrnusyawarah, menetapkan rencana masa depan serta cara mengatasi masalah dan mengambil keputusan. Untuk peran memelihara hubungan kekerabatan, bekal yang diberikan adalah mengenai tata krama dalam menjalin hubungan sosial dan pentingnya silaturahmi. Untuk peran mengurus rumah tangga, ayah memberikan bekal mengenai pemeliharaan dan perawatan rumah, pentingnya kemandirian serta kesetaraan tanggung jawab suami dan istri dalam mengelola rumah tangga. Dalam peran mengasuh anak, ayah memberikan bekal mengenai peran untuk memberikan bekal agama dan contoh perilaku pada anak-anak. Sedangkan untuk peran membina hubungan harmonis dengan istri, bakal yang diberikan adalah mengenai tanggung jawab suami untuk membina keluarga sesuai ajaran agama serta persyaratan untuk menikah. Umumnya ayah hampir tidak pernah memberikan pendidikan seks pada puteranya.

Sesuai dengan hasil yang diperoleh, dapat disarankan pada ayah untuk menyeimbangkan bekal pengetahuan yang diberikan, baik untuk peran instrumental maupun peran ekspresif. Ayah juga disarankan untuk memberikan pendidikan mengenai reproduksi sehat dan mengkomunikasikan peran ayah dalam keluarga pada putranya. Sedangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, disarankan untuk memperbesar sampel agar diperoleh gambaran lebih menyeluruh mengenai bekal pengetahuan yang diberikan ayah. Hal lainnya adalah disarankan untuk melakukan studi perbandingan antara ayah dan remaja putra serta ayah dan ibu dalam mempersiapkan puteranya untuk menjadi kepala keluarga.
1997
S2705
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Oktora Dwi Artati
Abstrak :
ABSTRAK
Perkembangan individu sangat ditentukan oleh interaksi dengan orangtuanya, yaitu ayah dan ibu. Ayah merupakan sosok yang penting bagi seorang anak. Bagi anak perempuan ayah sangat berperan dalam pengaktualisasian potensinya karena ayah adalah pria yang dapat membantu anak perempuan menyatukan.peran jenis kelaminnya dan prestasi, yang secara tradisional merupakan karakteristik maskulin (Eckert dalam Martin & Colbert (1997) sehingga anak perempuan melihat bahwa prestasinya adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan peran jenis kelaminnya (Biller, 1974 dalam Conger, 1991). Oleh karena hal tersebut di atas, penelitian ini ingin melihat bagaimana ayah ..berperan baik secara langsung pada anak maupun secara tak langsung melalui istri yang dapat membawa pesan tersendiri pada anak perempuan sehingga anak perempuan tidak ragu untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, yang dalam penelitian ini memusatkan pada prestasi akademik.

Penelitian dilakukan dengan metode kualitat'.f dimana subyek adalah para siswi SLTP yang menjadi juara umum di masing-masing sekolahnya. Subyek dipilih karena tergolong remaja awal yang berusia 11-15 tahun. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan ayah dari subyek dengan harapan dapat memperoleh informasi tambahan selain yang sudah disebutkan oleh subyek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah dari anak perempuan yang memiliki prestasi akademik tinggi pada masa remaja awal ini memberikan perhatian secara langsung dengan memberikan dukungan untuk menggali lingkungan yang dapat membantu mengembangkan kemampuan kogmtifnya seperti mengajak berdiskusi, mengajarkan dan memberitahukan hal-hal yang tidak diperoleh anak di sekolahnya sehingga wawasannya terbuka lebar; memperhatikan keberadaan anak sebagai seorang anak perempuan dan memberi dukungan terhadap itu; dan memberikan dukungan mated serta emosional pada anak seperti membelikan kamus, rumus, dan buku-buku latihan soal, memberi pujian, membangun rasa optimis, dan nasehat-nasehat yang berharga. Selain itu ayah juga memiliki hubungan yang baik dengan ibu; memberikan perlindungan secara fisik dan menghargai kontribusi ibu serta aktif terlibat/ berpartisipasi seimbang dalam tugas rumah tangga dan merawat anak; dan memberikan dukungan emosional kepada ibu, baik sebagai seorang perempuan maupun sebagai seorang ibu rumah tangga.
2000
S2850
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madasaina Putri Aminati Samii Yaa
Abstrak :
Kontrol orang tua sebagai salah satu aspek pengasuhan telah diketahui memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan hot executive function EF anak. Namun, penelitian yang dilakukan selama ini hanya menggali keterkaitan hot EF anak dengan kontrol verbal saja, dan hanya menyorot kontrol ayah saja atau kontrol ibu saja. Inkonsistensi juga masih ditemukan dari hasil penelitian mengenai strategi kontrol orang tua terhadap hot EF anak. Adapun penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara strategi kontrol orang tua dengan kemampuan hot EF anak usia 48 bulan ndash; 72 bulan. Sebanyak 61 pasangan ibu anak dan 43 ayah terlibat dalam penelitian ini. Pengukuran hot EF anak dilakukan dengan Gift Delay Task, adapun pengukuran strategi kontrol orang tua dilakukan dengan aktivitas memainkan 3 mainan selama 15 menit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontrol verbal command, indirect command, prohibition maupun kontrol perilaku physical discipline modelling dari ibu berkorelasi secara signifikan dengan hot EF anak, bahkan setelah dilakukan pengontrolan terhadap jenis kelamin anak, usia anak, dan tingkat SSE keluarga. Sementara itu, kontrol dari ayah sama sekali tidak berkorelasi. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan edukasi kepada orang tua mengenai pilihan kata dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan anak, dalam rangka mengoptimalkan perkembangan hot EF nya. ......Parental control as one of parenting aspects has been known having significant effect towards development of hot executive function EF in preschoolers. Nevertheless, numerous studies conducted lately only explored relation between hot EF and verbal control, and highlighted paternal or maternal control strategies only. Few inconsistency about the studies is also found still. The aim of this research is to identify the association between parental control strategies and hot EF of children aged 48 months ndash 72 months. There are 61 dyadic mother child and 43 fathers participate in this research. Measurement of hot EF is using Gift Delay Task, and measurement of parental control strategies is using playing activity of 3 kinds of toys for 15 minutes. Result found that maternal verbal control command, indirect command, prohibition and maternal behavioral control physical discipline and modelling are significantly correlate with children rsquo hot EF above and beyond the influences of children gender, children age, and family SES. Meanwhile, there is no correlation at all with paternal control. This result could be an educational materials for parents, to be selective in using appropriate words and behavior during interact with children, in order to optimize the development of their hot EF.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wieka Dyah Partasari
Abstrak :
Penelitian ini meneliti ayah sebagai orang tua tunggal dengan menfokuskan pada gambaran pengalaman kehilangan serta tahap-tahap yang dialami oleh ayah sebagai orang tua tunggal, masalah-masalah yang dialami dalam peran ayah sebagai orang tua tunggal, serta bagaimana proses perubahan peran dari ayah dalam keluarga lengkap menjadi ayah sebagai orang tua tunggal. Penelitian ini dilakukan karena perubahan peran seorang pria menjadi ayah yang lebih terlibat dalam pengasuhan anak bukanlah proses yang mudah dan menjadi lebih sukar dijalani jika seorang ayah juga berperan sebagai orang tua tunggal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data teknik wawancara mendalam (depth interview) karena dianggap paling sesuai untuk menjelaskan fenomena yang ingin diteliti, yang merupakan fenomena unik dengan perkiraan jumlah kasus yang ditemui di lapangan sangat terbatas. Subjek utama dipilih secara purposive dengan karakteristik pria sebagai orang tua tunggal karena kematian pasangannya, sudah berperan sebagai orang tua tunggal selama sedikitnya 1 tahun, memiliki anak berusia di bawah 18 tahun, memiliki pekerjaan, dan pendidikan minimal SMTA. Selain 4 orang subjek utama, wawancara mendalam juga dilakukan terhadap 4 orang subjek pendukung untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai fenomena ini. Dari hasil penelitian dapat ditemukan faktor-faktor yang berpengaruh dalam mengatasi kehilangan dan dukacita, masalah-masalah utama yang dihadapi, serta faktor-faktor yang dapat menunjang keberhasilan perubahan peran seorang ayah dari suatu keluarga yang lengkap menjadi seorang ayah sebagai orang tua tunggal. Penelitian juga menemukan hal-hal yang khas budaya Indonesia yang tidak ditemukan dalam penelitian di negara-negara Barat. Karena itu, perlu penelitian lanjutan di Indonesia tentang ayah sebagai orang tua tunggal akibat perceraian dan tentang dampak pengasuhan pada anak-anak yang dibesarkan oleh ayah sebagai orang tua tunggal. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh profesi kesehatan mental dalam membantu ayah sebagai orang tua tunggal dengan meningkatkan self-efficacy belief yang mereka miliki, serta membantu para ayah sebagai orang tua tunggal agar memiliki kemampuan untuk mengasuh anak-anaknya dengan baik dengan cara mencari sumber-sumber dukungan sosial yang dapat membantunya dalam menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library