Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chairul Huda
Abstrak :
Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini. Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana. Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan. Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability. Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari. ......Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case. In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public. Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability. The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Yohanes Partogi
Abstrak :
Kesalahan merupakan salah satu unsur terpenting untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap kurir narkotika. Tanpa adanya kesalahan kesengajaan/ kelalaian , maka tidak dapat dipidananya seorang terduga kurir narkotika. Namun, pada penerapannya Hakim dalam mengadili seorang kurir narkotika terkadang luput menggali lebih lanjut mengenai bentuk kesalahan dari siterdakwa. Kesalahan ini sangat erat hubungannya dengan suatu bentuk penyertaan dalam melakukan tindak pidana. Sebab, narkotika sebagai suatu kejahatan terorganisir memiliki suatu mata rantai yang luas dimana terdapat hubungan kerja sama antar para pelaku. Dalam konteks kurir narkotika, perlunya dikaji lebih lanjut pengetahuan dan kesadaran kurir narkotika sebagai pelaku yang bekerja sama dalam suatu sindikasi narkotika. ......Fault is one of the most important elements of criminal liability to the narcotics courier. Without a fault deliberate negligent , a narcotics courier cannot be held liable for its crime. However, in the application of the Judge in adjudicating a narcotics courier sometimes escapes further the error of the accused. This error is closely related to a form of participation in committing a crime. Therefore, narcotics as an organized crime has a wide chain where there is a relationship of cooperation between principals. In the context of narcotics couriers, the need to further examine the knowledge and awareness of narcotics couriers as actors who work together in a narcotic syndication.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Amdira
Abstrak :
Dalam menjalankan profesinya terkait dengan tugas dan kewenangannya, Notaris haruslah berpedoman pada aturan-aturan yang berlaku serta harus pula berpedoman pada kode etik profesi yang berlaku dan wajib ditaati. Dalam kenyataan di lapangan, Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya seringkali tidak mempedomani ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris, seperti kasus yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/PID/2013 dimana Notaris Ninoek Poernomo dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana memalsukan akta. Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana 1 (satu) tahun penjara. Tuntutan ini didasarkan pada fakta hukum yang menyatakan bahwa terbitnya akta otentik tersebut tidak berdasarkan fakta kejadian yang sebenarnya. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menekankan pada data-data yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif yang mana semua data yang diperoleh dikelompokkan dan disusun secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa notaris telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN dan Kode Etik Notaris serta secara sadar melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 264 KUHP, sehingga notaris bertanggung jawab secara pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Akibat terhadap akta yang telah terbit adalah notaris yang dihukum pidana tidak otomatis membuat akta yang diterbitkan menjadi batal akan tetapi kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan dan hanya dapat dibatalkan dengan keputusan hakim melalui gugatan perdata. Majelis hakim yang menjatuhkan hukuman 8 (delapan) bulan penjara terhadap notaris tersebut adalah cerminan bahwa notaris sebagai pejabat publik seharusnya bekerja secara cermat, profesional, jujur, dan tidak mementingkan kepentingan salah satu pihak sehingga notaris terhindar dari ancaman pidana.
In performing his profession related to his duty, a Notary has to be guided by and comply with the prevailing rules and professional code of ethics. In reality, a Notary, in performing his duty, is not usually guided by UUJN (Notarial Act) as what has occurred in the Ruling of the Supreme Court No. 1014 K/PID/2013 in which Ninoek Poernomo, the Notary, is charged with criminal act, that is, falsifying a deed. Public prosecutor prosecuted the defendant 1 (one) year imprisonment. The research used judicial normative method which emphasized on the data consisted of primary and secondary legal materials. The gathered data were analyzed by using qualitative data analysis by grouping and arranging it logically, systematically, and deductively. The result of the research showed that the defendant had violated UUJN and Notary Code of Ethics and was consciously violated Article 264 of the Penal Code so that he was responsible for what he had done. Concerning the deed, it is not automatically cancelled but it becomes an underhanded deed; it can only be cancelled by judge?s verdict through civil complaint. Some factors which cause a Notary to be involved in a criminal act are notarial ethics and taking the side of one of the parties, the truth of the data filed by the parties concerned to a Notary, supervision on a Notary, and incorrect rules. The panel of judges sentenced him 8 (eight) months. This is an indication that a Notary has to do his job cautiously, professionally, and honestly: he must not take the side of one of the parties so that he will be protected against criminal punishment.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Sunanda
Abstrak :
Pelaku tindak pidana yang disebut sebagai Pemilik manfaat/penerima manfaat menggunakan korporasi sebagai sarana/kendaraan (corporate vehicle) untuk menyembunyikan/menyamarkan hasil tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait pelaku tindak pidana tersebut belum ada pengaturan khususnya dalam tindak pidana korupsi terkait korporasi sebagai penerima/pemilik manfaat sehingga terjadi kekosongan hukum. Sehingga untuk mengambil hasil tindak pidana yang telah dialihkan atau dinikmati atau dimiliki oleh penerima manfaat tersebut hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata atau memprosesnya dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, apabila digunakan instrumen-instrumen tersebut maka akan melalui proses yang panjang dan dikhawatirkan hasil tindak pidana akan dialihkan atau dinikmati oleh pelaku tindak pidana sebelum kedua proses tersebut selesai. Berdasarkan hal tersebut disertasi ini melakukan telahaan mengenai konsep pemilik manfaat dalam rezim hukum di Indonesia, alasan pemilik manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan praktek pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat dalam tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia. Metode penelitian ini kualitatif mengkaji secara sistematis mengenai aturan hukum, perbandingan, konsep, doktrin, putusan kasus, dan dokumen-dokumen yang didukung dengan wawancara kepada akademisi dan praktisi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Korporasi dapat menjadi pemilik manfaat selain orang perorangan karena Indonesia mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan kebutuhan dalam praktik hukum untuk merampas hasil tindak pidana menjadikan korporasi sebagai pemilik manfaat; berdasarkan kasus-kasus di Indonesia antara lain tindak pidana korupsi, pemilik manfaat/penerima manfaat atau penikmat manfaat dari hasil tindak pidana menggunakan modus operandi baru antara lain pelaku tindak pidana berada diluar struktur korporasi, tetapi dapat mempengaruhi kebijakan korporasi untuk menghindari pertanggungjawaban pidana oleh karena itu perlu dibuat aturan yang lebih jelas dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi; dalam praktik hukum belum ada korporasi yang disangkakan korupsi karena menerima manfaat dan dalam hal terjadi peralihan harta kekayaan kepada penerima manfaat sementara itu harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal Ultimate Beneficial Owner atau Beneficial Owner statusnya melarikan diri atau meninggal dunia untuk perampasan hasil tindak pidana tersebut dapat menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi KUHP, UU Tipikor dan Perma No.1 Tahun 2013 terkait dengan pertanggungjawaban pidana pemilik manfaat (Beneficial Owner) dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. ......The perpetrator of a criminal act is referred to as the beneficial owner/beneficiary to hide/disguise the proceeds of criminal acts can be held criminally liable. Regarding the perpetrators of these criminal acts, there are no regulations, especially for criminal acts of corruption related to corporations as recipients/beneficial owners, resulting in a legal vacuum. So, retrieving the proceeds of criminal acts that have been transferred or enjoyed or owned by the beneficiary can only be done through a civil lawsuit or processed in accordance with Article 5 of Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. However, if these instruments are used, it will go through a long process and it is feared that the proceeds of the crime will be transferred or enjoyed by the perpetrator of the crime before both processes are completed. Based on this, this dissertation examines the concept of beneficial owners in the legal regime in Indonesia, the reasons why beneficial owners can be held criminally liability and the practice of criminal liability for beneficial owners in criminal acts of corruption based on court decisions in Indonesia. This qualitative research method systematically examines legal rules, comparisons, concepts, doctrine, case decisions, and documents supported by interviews with academics and practitioners. From the results of the research conducted it can be concluded that corporations can be beneficial owners other than individuals because Indonesia recognizes corporations as subjects of criminal law, and the need in legal practice to confiscate the proceeds of criminal acts makes corporations as the beneficial owners; based on cases in Indonesia, including criminal acts of corruption, the beneficial owners/beneficiaries or beneficiaries of the proceeds of criminal acts using new modus operandi, among others, the perpetrators of criminal acts are outside the corporate structure but can influence corporate policy to avoid criminal liability, therefore it is necessary clearer regulations are made in the Corruption Crime Law; In legal practice, no corporation has been suspected of corruption because it received benefits and in the event of a transfer of assets to the beneficiary, the assets were the proceeds of a criminal act. In the case that the Ultimate Beneficial Owner or Beneficial Owner has the status of running away or dies, to confiscate the proceeds of the crime, you can use Supreme Court Regulation (Perma) Number 1 of 2013 concerning Procedures for Settlement of Applications for Handling Assets in the Crime of Money Laundering or Other Crimes. This research recommends that reformulation of the Criminal Code, the Corruption Law and Perma No.1 of 2013 be carried out regarding the criminal liability of beneficial owners in cases of criminal acts of corruption in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Dwi Setyani Hanindita
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tiga permasalahan. Pertama mengenai bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana anak terhadap cyberbullying terhadap sesama anak, yang didahului dengan penjelasan mengenai pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia dan berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kedua adalah mengenai upaya preventif dan represif yang dapat dilakukan di Indonesia dalam rangka perlindungan anak. Ketiga mengenai penegakan hukum, permasalahan, dan solusi dengan negara Filipina, Australia, dan Finlandia sebagai pembanding dengan kondisi di Indonesia. Penggunaan metode penelitian ini melalui studi kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan melalui wawancara untuk memberikan paparan mengenai pertanggungjawaban pidana dan perlindungan anak dalam cyberbullying. Pertanggungjawaban pidana yang berlaku adalah sanksi hukuman atau tindakan untuk anak. Selain itu analisis pertanggungjawaban pidana anak berpedoman pada prinsip-prinsip perlindungan anak. Selanjutnya, perbandingan dengan Filipina, Australia, dan Finlandia terhadap kondisi di Indonesia dapat dijadikan rekomendasi untuk bisa diterapkan di Indonesia dalam rangka perlindungan anak dalam cyberbullying. Dari paparan tersebut kemudian dapat ditermukan kekurangan dalam upaya perlindungan anak beserta solusi untuk kedepannya.
ABSTRACT
This thesis mainly discusses about three problems. The first is about child criminal liability towards cyber bullying against fellow children, which is preceded by an explanation of the articles on the rules of Criminal law in Indonesia and based on Juvenile Justice Children Act. Secondly, is about preventive and repressive efforts that can be done in Indonesia in the framework of child protection. The Third, concern about Law enforcement, problems, also solutions in Philippines, Australia, and Finland as a comparison with the condition in Indonesia. By using literature research method combined with field research method through interview to give exposure about criminal liability is by punishment or actions sanction for children, but the imprisonment is the last resort ultimum remidium for children. In addition, the criminal liability of children analysis remains guided by four principles of child protection. Furthermore, in comparison with the Philippines, Australia, and Finland to the conditions in Indonesia can be made a recommendations to be applied in Indonesia in the context of the child protection efforts along with the solutions for the future.
2017
S69708
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
Abstrak :
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi ......Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria.
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma. Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC) yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan (co-perpetration).
ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration.
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrof Sibilli
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pertambangan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana pertambangan tanpa izin. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai dasar peraturan pertambangan di Indonesia menyebut subjek hukum korporasi dengan frasa badan usaha. Dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengakomodir adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang berstatus badan hukum. Namun dalam praktiknya belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dan membebankan sanksi pidana dalam tindak pidana pertambangan tanpa izin, walaupun secara teori korporasi tersebut dapat dibebankan sanksi pidana.
ABSTRACT
This thesis discusses about corporate criminal liability in mining offences in Indonesia. The purpose of this research is to find out about corporate criminal liability implementation in mining offences without permit. The Law No. 4 Year 2009 about Minerals and Mining Coal as basic mining regulation in Indonesia mentions subject of legal entities as business entities. The provisions of the law on mining mineral coal accommodate the imposition of criminal liability for corporate with legal entity status. But practically, there have never been court verdicts that make corporation into legal subject and impose criminal sanctions in the offences of mining without permit, although theoretically, corporations can be imposed by some criminal sanctions.
2015
S60389
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
Abstrak :
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.
Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Adzaningjagat
Abstrak :
Data kejahatan siber di Indonesia berdasarkan sistem teknologi informasi milik Bareskrim Polri ( Robinopsnal ) tercatat sejak 1 Januari hingga 22 Desember tahun 2022, Kepolisian Republik Indonesia telah menindak sebanyak 8.831 kasus kejahatan siber. Salah satu yang tergolong kejahatan siber yakni tindakan skimming. Skimming merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk menggandakan data yang bukan miliknya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbentuk yuridis-normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. Penelitian ini difokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindakan skimming karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tindakan skimming tersebut. Masih terdapat perbedaan penerapan peraturan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia dalam memberantas tindakan skimming. Pengaturan tindakan skimming di Indonesia terdapat dalam KUHP, UU ITE sera UU PDP. Pada praktiknya masih terdapat perbedaan dalam penanganan tindakan skimming, aparat penegak hukum ada yang menerapkan pasal pencurian dalam KUHP, ada yang menerapkan illegal access yang terdapat dalam UU ITE. Dalam skripsi ini penulis berpendapat UU ITE lah yang lebih tepat untuk menangani tindakan skimming di Indonesia. Tindakan skimming ini harus diminta pertanggungjawabannya berdasarkan apa yang tercantum dalam ketentuan UU ITE. ......Data on cybercrime in Indonesia, based on the information technology system owned by the Indonesian National Police's Criminal Investigation Department (Robinopsnal), shows that from January 1st to December 22nd, 2022, the Republic of Indonesia Police have taken action against 8,831 cybercrime cases. One of the forms of cybercrime is skimming, an act where someone duplicates data that does not belong to them. The research conducted by the author takes the form of juridical-normative study, aiming to examine the implementation of legal regulations. The focus of this research is on the criminal liability of individuals involved in skimming, as there is currently no specific legal regulation that explicitly addresses skimming. There are still differences in the application of regulations by law enforcement agencies in Indonesia when dealing with skimming. The regulation on skimming in Indonesia can be found in the Criminal Code (KUHP), the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE), and the Personal Data Protection Law (UU PDP). In practice, there are variations in how skimming cases are handled, with some law enforcement agencies applying theft provisions from the Criminal Code, while others apply the illegal access provisions from the Information and Electronic Transactions Law. In this thesis, the author argues that the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE) is more appropriate for handling skimming cases in Indonesia. The accountability for skimming actions should be sought based on the provisions stipulated in the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>