Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Merawang chicken was a local chicken from Bangka Belitung Island, South Sumatera, with a special characteristic an uniform of feather colour by squeezing chocolate or golden in males and also females. The study was conducted to investigate the genetic and phenotype traits of production and reproduction of Merawang chicken. Fourty five males and thirty females of 21 - 26 weeks of age from identified parents were used in this experiment. The observed female variables were body weight, sexual maturity, egg production, fertility and hatchability. The male variables were body weight, sexual maturity, volume of semen, motility and concentration of spermatozoa. Semen were collected once a week by Burrows and Quinn methods. The data were analyzed by Burrows and Quinn methods. The data were analyzed by variance analyses of CRD and nested design to find out variance and covariance components. The results showed that the females variabilities of sexual maturity, body weight, egg production, fertility and hatchability were 8.07%, 10.55%, 24.82%, 38.87% and 19.98%, repectively. The males variabilities of sexual maturity, body weight, volume of semen, motility and concentration of spermatozoa were 4.96%, 14,21%, 42.50%, 7.12% and 45.16%, repectively. The heritabilities of females on sexual maturity, body weight, egg production, fertility and hatchability were 0.311, 0.509, 0.927, 0.677 and 0.314, respectively. The heritabilities of males on sexual maturity, body weight, volume of semen, motility and concentration of spermatozoa were 0.607, 0.393, 0.200, 0.203 and 0.011, respectively."
580 AGR 19 (1-4) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Nurul Hafifah
"Latar Belakang: Mukopolisakaridosis tipe IV A (MPS IV A, Morquio A syndrome) merupakan kelainan autosomal resesif yang disebabkan adanya mutasi pada gen N-acetylgalactosamine-sulfate sulfatase (GALNS atau galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). Diagnosis MPS IV A dapat dicurigai melalui pemeriksaan penapisan GAGs (glukosaminogikans) urin dan ditegakkan dengan pemeriksaan dan aktifitas enzim GALNS pada leukosit atau kultur fibroblast. Pemeriksaan molekuler diperlukan karena bervariasinya gejala klinis yang berhubungan dengan variasi mutasi pada gen GALNS. Namun, lokasi mutasi hot spot berbeda-beda antar daerah dan etnis, Heterogenitas ini dapat menjadi tantangan bagi interpretasi pemeriksaan molekular pasien dengan MPS IV sehingga perlu strategi diagnostik yang efektif biaya untuk menemukan mutasi penyebab kelainan MPS tipe IVA di Indonesia. Tujuan: Mengetahui profil fenotipe-genotipe pasien MPS tipe IV A di Indonesia. Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM-FKUI dan Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI FKUI sejak tanggal 1 Januari-13 Desember 2019. 3. Data terkait fenotipe, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis (PF), dan pemeriksaan penunjang, diambil dari data rekam medis. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah dalam tabung EDTA sebanyak 5 mL. Tahapan pemeriksaan molekular meliputi isolasi DNA, desain primer, PCR, sequencing, dan analisis varian. Kategori varian baru (novel) yang ditemukan akan dibuat berdasarkan panduan dari American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Hasil: Total subjek penelitian adalah 7 pasien MPS tipe IV A di Indonesia yang berasal dari 5 kota berbeda. Subjek terdiri dari 2 pasien lelaki dan 5 pasien perempuan. Rentang usia saat pemeriksaan antara 2-17 tahun. Terdapat riwayat keluhan serupa pada kakak subjek 1 dan 6. Pada kelima pasien lain, awitan gejala mukopolisakaridosis disadari pada usia antara 2-3 tahun. Tidak ada riwayat konsanguinitas pada orangtua subjek penelitian. Seluruh subjek pada penelitian ini diklasifikasikan sebagai tipe berat. Manifestasi klinis yang ditemukan pada seluruh subjek penelitian adalah leher pendek, genu valgum, pectus carinatum, sendi yang longgar, serta gangguan pada cara berjalan. Tiga dari 7 subjek saat ini masih dapat berjalan tanpa alat bantu. Data aktivitas enzim dan glikosaminoglikans pada subjek tidak seragam karena tempat pemeriksaan berbeda dan menggunakan metode yang berbeda pula. Sebanyak 24 varian ditemukan pada 7 subjek. Sebagian besar varian ditemukan pada ekson 7 (29,2%), diikuti ekson 5, 10, dan 12 (masing-masing 16,7%), ekson 13 (sebesar 12,5%). Sisanya varian ditemukan pada ekson 1, 11 dan ekson 14 (masing-masing 4,2%). Sebagian besar varian yang ditemukan merupakan varian missense (54,2%), diikuti varian silent (45,8%), dan hanya 1 (4,2%) varian yang ditemukan berupa varian nonsense. Varian tersering yang ditemukan adalah varian c.708C>T yang ditemukan pada 5 subjek, diikuti oleh varian c.510T>C dan c.1354 T>C yang ditemukan pada 3 subjek. Berdasarkan hasil temuan varian terdapat 12 varian benign, 4 VUS, dan 8 varian patogenik. Terdapat 3 varian novel pada subjek penelitian, satu di antaranya adalah varian likely pathogenic, yaitu varian c.1348 G>A. Simpulan: Dari tujuh subjek dalam penelitian ini, ditemukan 8 varian patogenik, di antaranya terdapat 1 varian likely pathogenic baru. Sebanyak 9 dari 14 alel (64,3%) dapat ditemukan varian patogenik, sedangkan 5 varian patogenik lainnya belum ditemukan. Fenotipe paling berat dialami oleh subjek 4 yang memiliki tinggi badan T. ...... Background: Mucopolysaccharidosis type IVA (MPS IVA, Morquio A syndrome) is an autosomal recessive disease which is caused by defect in the N-acetylgalactosamine-6-sulfate sulfatase gene (GALNS, galactosamine (N-acetyl)-6-sulfate sulfatase; MIM #612222). After urine glycosaminoglycan is performed as a screening tool, diagnosis is confitmed through measuring GALNS enzyme activity in leucocyte or fibroblast. Molecular testing is needed because clinical symptoms are variable. Mutation in GALNS gene are many and can be different in each ethnicity and country. This heterogeneity poses a challenge to the diagnosis of MPS IVA especially in Indonesia. Therefore, data on clinical spectrum and genetic mutation of MPS IVA in Indonesian population is needed. Aim: To determine the phenotype-genotype correlation of MPS IVA in Indonesia Method: Subjects were recruited from Department of Pediatrics, Cipto Mangunkusumo Hospital, while molecular testing was performed in the Human Genetic Cluster (HGRC) IMERI Faculty of Medicine Universitas Indonesia between Januari 1st until December 13th, 2019. Data on phenotype was evaluated from medical records. A 5 ml EDTA whole blood was then collected from the subjects. Molecular testing consists of DNA isolation, primer design, PCR, sequencing, and variant analysis. Novel variants are then classified according to guidelines from the American College of Medical Genetics and Genomics (ACMG). Results: A total of 7 subjects from 5 different cities was included in this study, consisting of 2 boys and 5 girls. Age at recruitments was between 2 to 17 years-old. Two subjects had history of MPS IVA in older sibling. Age of onset were between 2-3 years-old. No history of consanguinity in the subjects parents. All subjects were classified as severe type. Clinical manifestations found in all patients were short neck, genu valgum, pectus carinatum, loose joint, and difficulty walking. Three out of 7 subjects were still able to walk. Data on enzyme activity and glycosaminoglycans could not be compared because they were performed with different methods. Twenty four variants were found in 7 subjects. Mostly located on exon 7 (29.2%), followed by exon 5, 10, dan 12 (each 16.7%), exon 13 (12.5%), and the rest were found in exon 1, 11, and 14. Missense variants are the most commonly found (54.2%), followed by silent variants (45.8%), and 1 nonsense variant (4,2%). The most common variants found was c.708C>T in 5 subjects, followed by c.510T>C and c.1354 T>C, each on 3 subjects. These variants are classified as benign variants (50%), VUS (1.7%), and pathogenic variants (33.3%). Three novel variants were found in this study, including one likely pathogenic variants, c.1348 G>A. Conclusion: Eight pathogenic variant were found including one novel likely pathogenic variant. Nine out of 14 alleles (64.3%) were found. The most sever phenotype was found in subject 4 who had nonsense homozygous pathogenic variant c.751 C>T."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mohamad Faisal Gunawan
"

Protein Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF) memiliki peran spesifik dalam menstimulasi poliferasi dan pematangan sel neutrofil. Penelitian sebelumnya, gen CSF3 telah berhasil dikontruksi secara in vitro di dalam vektor pPICZα dengan penyisipan kodon metionin pada ujung-5’ dan kodon stop pada ujung-3’ dari gen CSF3. Kontruksi tersebut menghasilkan pPICZα-metCSF3. Tujuan penelitian ini adalah transformasi plasmid pPICZα-metCSF3 pada sel inang Komagataella phaffii dan melakukan pengujian fenotipe Mut pada sel transforman yang diperoleh. Plasmid pPICZα-metCSF3 diisolasi dari Escherichia coli DH5α dan dilinierisasi sehingga menghasilkan plasmid linier berukuran 4.131 pb. Plasmid rekombinan dipurifikasi dan dikuantifikasi, selanjutnya ditransformasikan ke dalam sel inang K. phaffii dengan metode elektroporasi. Jumlah koloni yang terbentuk berkisar 214 koloni transforman dan nilai efisiesi transformasi mencapai 0,18 x 103 cfu/µg plasmid DNA. Seleksi koloni transforman dilakukan pada medium YPD dengan konsentrasi zeosin yang bertingkat. Sebanyak 15 dari 23 koloni transfoman memiliki resistensi terhadap seluruh tingkatan konsentrasi zeosin. Pengujian fenotipe Mut pada 23 koloni transforman memiliki fenotipe Mut+. Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh bahwa K. phaffii berhasil membawa plasmid pPICZα-metCSF3 dan koloni transforman memiliki keberadaan gen aktif AOX1 dan AOX2 (fenotipe Mut+).


Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF) protein has a specific role to stimulate proliferation and maturation of neutrophils. Previous research has succeeded an in vitro construction of CSF3 gene on pPICZα vector, while inserting a methionine codon at 5’-end and two stop codons at 3’-end of CSF3 gene sequences. The metCSF3 gene has been formed in recombinant plasmid named pPICZα-metCSF3. The purposes of this research are to transform the pPICZα-metCSF3 recombinant plasmid into Komagataella phaffii host and conducting the phenotype Mut analysis on the transformant colonies. The pPICZα-metCSF3 plasmid was isolated from Escherichia coli DH5α and was linearized to 4.131 bp of plasmid in size. pPICZα-metCSF3 plasmid was purified and quantified, then it was transformed into K. phaffii through electroporation method. Approximately 214 transformant colonies successfully produced and the transformation efficiency reached up to 0,18 x 103 cfu/µg of DNA plasmid. The transformant was selected on YPD medium with increasing zeocin concentration. Approximately 15 out of 23 transformant were resistant against all stage of zeocin concentration. The determination of Mut phenotype on 23 transformant colonies categorized as Mut+ phenotype. In brief, K. phaffii has been succeded to bring pPICZα-metCSF3 plasmid and transformant colonies have active AOX1 and AOX2 gene (Mut+ phenotype).

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Yekti
"Dalam pengembangan kontrasepsi pria, penggunaan TE (Testosteron Enantat) atau kombinasinya dengan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan perbedaan penekanan spermatogenesis antara pria bangsa Asia dan pria bangsa Kaukasia, pada bangsa Asia menyebabkan azoopermia 90-100% sedangkan pada bangsa Kaukasia mencapai azoospermia < 70%. Faktor yang diduga menimbulkan perbedaan hasil yaitu variasi genetik dan konsumsi makanan yang berbeda. Variasi genetik merupakan perbedaan urutan nukleotida menetap diantara individu. Perubahan nukleotida atau mutasi di dalam gen mungkin berperan pada formasi sebuah protein varian. Insiden dan distribusi alel varian dalam suatu populasi sebagai akibat menyeluruh dari tiga macam proses utama melalui generasi yang terdahulu yaitu mutasi, seleksi alam, peluang atau penyimpangan genetik secara acak. SHBG manusia di kode oleh dua alel autosom kodominan yaitu alel normal dan alel varian. Alel SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12 - 13 dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC menjadi AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin, disertai penambahan tempat untuk N-glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Melalui tehnik SDS-PAGE (Sodium Dodenji Sulfate Gel Electroforesis) deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul yang berbeda yaitu 49, 52 dan 56 kDa. Karena latar belakang genetik antar ras/populasi berbeda dalam hal ini antara ras/populasi Indonesia dan Kaukasia, diduga ada perbedaan variasi genetik yang mengaldbatkan proses penekanan spermatogenesis yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan membandingkan variasi fenotip SHBG antara populasi pria Indonesia dan pria Kaukasia dewasa. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik SDS-PAGE dan Western blot.
Dari keseluruhan sampel serum pria Indonesia dan Kaukasia yang dianalisis dengan SDS-PAGE dan Western blot, menunjukkan gambaran 2 macam pola fenotip SHBG yaitu gala fenotip SHBG dua pita dan pola fenotip SHBG tiga pita. Pala fenotip SHBG dua pita mempunyai subunit light dengan berat molekul 46 kDa, subunit heavy dengan berat molekul 51 kDa, sedangkan poly fenotip SHBG tiga pita mempunyai tambahan subunit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Dari 31 sampel serum pria Indonesia dijumpai sebanyak 65% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) sedangkan 35% (11 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Pada 26 sampel serum pria Kaukasia dijumpai sebanyak 77% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dan 23% (6 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak berhubungan antara ras/populasi dengan variasi fenotip SHBG pada tingkat kepercayaan 95%. ]adi tidak berbeda bermakna variasi fenotip "SHBG antara ras/populasi Indonesia dan ras Kaukasia.

Phenotype Variation of Sex Hormone Binding Globulin (Shbg) in Health Adult Indonesian and Caucasian MaleIn the development of male contraception, the use of TE (Testosteron Enantat) or its combination with DMPA (Depo Medroxy Progesteron Acetat) as a material for male hormonal contraception shows different result of suppression of spermatogenesis between Asian and Caucasian. In Asian it causes 90-100% azoospermia while in Caucasian it reaches azoospermia < 70%. The possible factors that cause different result are genetic variation and different variety of food consumption. Genetic variation is different of nucleotides order resides in each individual. Nucleotide change or gene mutation probably play role in protein variant formation. The incidence and the distribution of variant allele in one population as cumulative result from 3 kind of main process through previous generation that is mutation, natural selection, the change or random of genetically deviation. Human SHBG is encoded by two codominant autosome allele, those are normal and variant alleles. SHBG variant allele appears as a result of mutation at exon 8 of SHBG gene that locates at the short arm (p12 - pI 3) of chromosome 17. This mutation is a single base substitution at codon 327 from GAC to AAC that underly amino acid changing from aspartat to asparagin, along with additional place for N-glycocilation at this position. Glycocilation affects the half life and addition of molecular weight. By SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electroforesis) technique detection of normal SHBG and variant SHBG in human serum shows two and three bands of SHBG phenotype pattern respectively, which has different molecular weight that is 49, 52 and 56 k Da. Since inter race/population genetically is different, in this case between Indonesian race/population and Caucasian, causes different genetic variation, it will probably cause different pressure on spermatogenesis.
The aim of this research is to compare SHBG phenotype variant between adult male of Indonesian and Caucasian population. The detection of phenotype SHBG variation in this research is done with SDS-PAGE and Western blot technique.
Serum samples of Indonesian and Caucasian analyzed with SDSPAGE and Western blot show two kind of SHBG phenotype pattern that is two bands and three bands SHBG phenotype pattern. Two bands SHBG phenotype consist of light subunit with molecular weight 46 k Da and heavy subunit with molecular weight 51 kDa. Three bands SHBG phenotype pattern has an additional subunit, which is super heavy with molecular weight 56 k Da. In 31 male Indonesian serum samples, 66% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 34% (II samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Of 26 male Caucasian serum samples, 77% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 23% (6 samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Statistical analysis using Chi Square test shows 95% validity is not match between race/population with SHBG phenotype variation. So the difference of SHBG phenotype variation between Indonesian race/population and Caucasian is not significant."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sikumbang, Darlen
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Telah dilakukan penelitian aspek dermatoglifi dan golongan darah rhesus anak-anak penderita thalassemia yang berobat rutin di pusat thalassemia FKUI-RSCM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah beda dermatoglifi dan golongan darah rhesus pada anak penderita thalassemia yang menunjukan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya. Penelitian ini terbagi 4 kelompok yaitu: perempuan yang menunjukkan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya (pra), perempuan yang tidak menunjukkan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya (ptra), laki-laki yang menunjukkan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya (Ira), dan laki-laki yang tidak menunjukkan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya (ltra). Aspek dermatoglifi yang diamati mencakup frekuensi tipe pola pada kesepuluh ujung jari tangan, frekuensi ripe pola ulna dan non ulna pada jari I (kiri+kanan), kiri, kanan. Indeks Dankmeijer (ID), indeks Furuhata (IF), indeks intensitas pola (IP), jumlah sulur, rata-rata sudut atd. Fenotip rhesus diamati/ditentukan dengan menggunakan antigen C, c, D, E dan e.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek dermatoglifi frekuensi tipe pola pada kesepuluh ujung jari tangan secara statistik tidak bermakna baik pra dan ptra maupun Ira dan ltra. Frekuensi tipe pola ulna dan non ulna bermakna (kiri+kanan) baik pra dan ptra maupun Ira dan ltra, kiri tidak bermakna pra dan ptra tapi bermakna Ira dan ltra. Kanan bermakna pra dan ptra tapi tidak bermakna lra dan ltra. ID kelompok pra rendah dari ptra, tapi lra tinggi dari ltra. IF kelompok pra rendah dari ptra juga lra rendah ltra. IP kelompok pra rendah dari ptra tapi lra tinggi dari ltra. Rata-rata jumlah sulur tidak bermakna, rata-rata sudut atd tidak bermakna. Fenotip rhesus CCDee kelompok pra 86,7%, ptra 60,0%, lra 93,3%, ltra 53,3 %; CcDee Kelompok pra 13,3%, ptra 13,3%, lra 6,7%, ltra 33,3%; CcDEe kelompok pra 0%, ptra 26,7%, ha 0%, ltra 6,7%; CCDEe kelompok pra 0%, ptra 0%, lra 0% dan ltra 6,7%. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan anak thalassemia dengan dermatoglifi tipe pola ulna jari I, indeks Furuhata rendah dan fenotip rhesus CCDee atau CcDee akan lebih besar resiko menunjukkan reaksi alergi terhadap "Constituents" plasma darah transfusinya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delly Chipta Lestari
"Bakteri multi-resisten antibiotik [multidrug-resistant (MDR)] saat ini menjadi perhatian di seluruh dunia, terutama pada Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase. Di Indonesia, data mengenai Klebsiella pneumoniae MDR belum tersedia. Penelitian ini bersifat restrospektif untuk mengidentifikasi Klebsiella pneumoniae MDR penghasil enzim beta laktamase (ESBL, AmpC, dan karbapenemase), mengidentifikasi gen penyandi sifat resisten pada isolat yang resisten karbapenem, menganalisis faktor risiko dan menilai luaran klinis pasien yang terinfeksi oleh bakteri tersebut. Penelitian dilakukan di ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011.
Dari hasil penelitian didapatkan prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL 76%, penghasil AmpC 0%, dan penghasil karbapenemase adalah 43%. Ditemukan 1 isolat dengan penyandi gen resinten pada karbapenem yaitu NDM-1. Faktor risiko pasien yang berhubungan dengan infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL adalah penggunaan CVC. Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi lama rawat pasien di ICU dengan selisih lama rawat 11 hari dan effect size d = 0,4 (efek kecil hingga sedang). Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil enzim beta laktamase dapat memengaruhi luaran klinis pasien meskipun dengan efek kecil (ES d = 0,2).
......
Multidrug-resistant organisms (MDRO) are being public health concern worldwide, especially for beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae. There is no data about multidrug-resistant Klebsiella pneumoniae in Indonesia yet. In this restrospective study we identified beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae (ESBL, AmpC, and carbapenemase), identified resistance encoding genes on carbapenem resistant isolates, analysed risk factors and patient?s outcomes. This study conducted in intensive care unit Cipto Mangunkusumo Hopital during 2011.
Study results found 76% isolates are ESBL producing, 0% are AmpC producing, and 43% are carbapenemase producing. We found 1 isolate contain gene that encoded resistance on carbapenem resistant, namely NDM-1. Risk factor that have correlation with ESBL producing is the use of central venous catheter. Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae could influence length of stay at ICU (11 days longer) and effect size (ES) d = 0,4 (low to medium effect). Infection due to beta-lactamase producing Klebsiella pneumoniae also could influence patient?s outcome although with low effect (ES d = 0,2)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library