Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mearns, Dave
London: Sage Publications, 2003
616.928 9 MEA d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kerig, Patricia K.
New York: McGraw-Hill, 2012
618.92 KER d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Hawari
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
616.89 DAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wicks-Nelson, Rita
Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, 1997
616.928 9 WIC b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nevid, Jeffrey S.
Jakarta: Erlangga, 2014
616.89 NEV p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Hawari
Jakarta: UI-Press, 2013
363.325 DAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syafitri Nur Burhani
Abstrak :
Disabilitas intelektual merupakan keterbatasan fungsi intelektual dan kemampuan beradaptasi yang dimulai sejak masa kanak yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Secara global 1-2% dari seluruh populasi. Di Indonesia, terdapat lima juta anak dengan disabilitas intelektual. Penyakit fisik yang berkomorbiditas dengan disabilitas intelektual akan meningkatkan risiko angka kesakitan sehingga memperberat ketidakmampuan yang dimiliki. Akumulasi stres yang dialami memiliki risiko untuk timbulnya psikopatologi yang akan berdampak pada cara berelasi orang tua dengan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan timbulnya psikopatologi orang tua dengan anak disabilitas intelektual. Penelitian dilaksanakan secara potong lintang dengan metode consecutive sampling. Sampel sebanyak 100 orang tua di Poli Jiwa Anak dan Remaja RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data dilakukan melalui pengisisian kuesioner secara tatap muka dan media daring menggunakan kuesioner demografis, dan Symptom Checklist 90 (SCL-90) Versi Indonesia. Kuesioner ini menilai 9 domain psikopatologi seperti depresi, ansietas, sensitivitas interpersonal, hostilitas, psikotik, paranoid, fobia dan obsesisf kompulsif dengan nilai cut-off  61. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 22.0. Data dianalisis dengan uji bivariat Chi-Square. Gambaran psikopatologi orang tua dengan anak disabilitas intelektual di Poli Jiwa Anak dan Remaja RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan bahwa psikopatologi depresi (18,0%), ansietas (15,0%), somatisasi (9%), sensitivitas interpersonal (8%), obsesi kompulsif (4%), paranoid (3%), hostilitas (1%) dan fobia (1%). Pada penelitian ini tidak didapatkan psikopatologi psikotik. Ibu memiliki hubungan bermakna terhadap psikopatologi secara umum (p=0,018). Jenis disabilitas (p=0,027) memiliki hubungan bermakna dengan ansietas. Pendapatan orang tua (p=0,021) berhubungan bermakna dengan somatisasi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya psikopatologi pada orang tua adalah ibu, jenis disabilitas yang dimiliki serta kondisi ekonomi orang tua. Program kesehatan jiwa yang promotif dan preventif seperti pemberian edukasi serta membentuk kelompok dukungan pada orang tua dengan anak disabilitas intelektual diharapkan dapat membantu dalam mengurangi terjadinya psikopatologi pada orang tua. ......Intellectual disability is a limitation of intellectual function and adaptability that begins in childhood that can interfere with daily activities. Globally 1-2% of the entire population. In Indonesia, there are five million children with intellectual disabilities. Physical illness comorbid with intellectual disability will increase the risk of morbidity so that it aggravates the disability. The accumulated stress experienced has a risk for the emergence of psychopathology which will have an impact on the way parents relate to their children. This study aims to determine the factors associated with the emergence of psychopathology in parents with children with intellectual disabilities. to determine the factors associated with the emergence of psychopathology in parents with children with intellectual disabilities. The study was conducted cross-sectionally with consecutive sampling method. A sample of 100 parents in the Child and Adolescent Mental Health Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo. Data were collected by filling out questionnaires face-to-face and online media using a demographic questionnaire, and the Indonesian version of Symptom Checklist 90 (SCL-90). This questionnaire assessed nine psychopathological domains such as depression, anxiety, interpersonal sensitivity, hostility, psychotic, paranoid, phobia, and obsessive-compulsive with a cut-off score of 61. Statistical analysis using SPSS version 22.0. Data were analyzed by Chi-Square bivariate test. In the description of the psychopathology in parents with children with intellectual disabilities at the Child and Adolescent Mental Health Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo found that the psychopathology of depression (18.0%), anxiety (15.0%), somatization (9%), interpersonal sensitivity (8%), obsessive compulsiveness (4%), paranoia (3%), hostility (1 %) and phobias (1%). In this study, there was no psychotic symptom. Mother had a significant relationship with psychopathology in general (p=0.018). Type of disability (p=0.027) had a significant relationship with anxiety. Parent's income (p=0.021) was significantly related to somatization. Factors related to the emergence of psychopathology in parents are the mother, the type of disability they have, and the economic condition of the parents. Promotive and preventive mental health programs such as providing education and forming support groups for parents with children with intellectual disabilities are expected to help reduce the occurrence of psychopathology in parents.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Indriyani
Abstrak :
Gangguan penggunaan opioid merupakan suatu penyakit kronis dan kambuhan dengan konsekuensi ekonomi, personal, dan terhadap kesehatan masyarakat. Tingkat komorbiditas psikiatrik dan fisik ditemukan tinggi pada penggunaan opioid. Penggunaan rumatan buprenorfin jangka panjang telah terbukti dapat meningkatkan fungsi dan kualitas hidup pasien. Waktu minimal yang direkomendasi untuk mencapai manfaat klinik bagi pasien yaitu 12 bulan. Terlihat efek positif terapi berupa penurunan penggunaan opioid, perilaku berisiko terinfeksi HIV atau Hepatitis C, tindak kriminal dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan psikopatologi, retensi dalam terapi dan kualitas hidup pasien terapi rumatan buprenorfin di RS. Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. Penelitian dengan desain potong lintang pada bulan Maret-Mei 2019. Pengambilan sampel secara simple random sampling; menggunakan WHOQOL-BREF untuk menilai kualitas hidup serta SCL-90 untuk menilai psikopatologi. Retensi dalam terapi merupakan lamanya pasien mengikuti terapi buprenorfin, dibagi 2 kelompok yaitu ≤ 1 tahun dan > 1 tahun. Dari 105 sampel, mayoritas laki-laki, usia rerata 39 tahun, sudah menikah, tamat SMA, bekerja paruh waktu dan 40,9% memiliki psikopatologi. Ditemukan hubungan bermakna antara kualitas hidup dengan ada tidaknya psikopatologi pada pasien. Kualitas hidup ranah psikologik, hubungan sosial dan lingkungan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pasien tanpa psikopatologi. Temuan ini serupa dengan penelitian lainnya, yaitu terdapat hubungan antara psikopatologi dan kualitas hidup. 97,1% sampel memiliki retensi terapi > 1 tahun dengan rerata 4 tahun. Tidak ditemukan adanya perbedaan rerata kualitas hidup pasien pada masing-masing ranah yang dihubungkan dengan retensi dalam terapi, dengan p > 0,05. Hal ini dapat dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah subjek penelitian pada kelompok retensi ≤ 1 tahun. Penelitian jangka panjang mengenai efektivitas terapi buprenorfin dengan sampel yang lebih besar dan beragam, khususnya terkait kepatuhan berobat perlu dilakukan sebagai studi lanjutan. Penelitian dengan keterlibatan jenis individu yang lebih beragam serta inklusi jenis adiksi lainnya perlu dilakukan sebagai studi lanjutan. ......Opioids use disorders are chronic relapsing diseases with many negative consequences on economic, personal, and public health. Psychiatric and general medical comorbidity were high among opioids users. Long term buprenorphine maintenance had been proven could increase patient's functioning and quality of life. Recommended length in order to achieve clinical benefits was 12 months. The overt positive impacts were decreases in frequency of using, high-risk using behavior, mortality, and criminal behavior. This cross-sectional study aimed to identify the relationship between psychopatology, retention in therapy, and quality of life of buprenorphine maintenance therapy patients in Jakarta Drug Dependence Hospital. The period of observation was on March to May 2019 to samples chosen by simple-random. The instruments used were WHOQOL-BREF and SCL-90, to measure quality of life and psychopatology, respectively. For treatment retention status sample were divided into 2 groups (the up-to-1-year group and the more-than-1-year group). Of the 105 samples, the majority were males with mean age of 39 y.o., married, high-school graduated, and part-timers, also 40.9% of them already had psychopatologies. There was a significant relationship between quality of life and the existance of psychopatology. Psychological and social and environmental relationship domains of quality of life were significantly higher on without-psychopatology group. This finding is similar to other studies whom found that there was a relationship between psychopatology and quality of life. Most samples (97.1%) had retained for at least more than 1 year in therapy, with average of 4 years. No difference in each domains of quality of life found between groups (p >0.05). This may be influenced by the small number of samples whom had retained for at least 1 year. Long-term study on buprenorphine therapy effectivity and medication adherence with more varied samples needs to be conducted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savitri Wulandari
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Pada pasien dengan HIV/AIDS seringkali ditemukan adanya psikopatologi dan mekanisme koping maladaptif yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakitnya. Terapi Kelompok Suportif Ekspresif (TKSE) merupakan salah satu bentuk terapi kelompok yang dapat dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS. Terapi kelompok menunjukkan hasil dalam perbaikan gangguan mood, respon koping yang maladaptif, fobia dan rasa sakit. Selain itu terapi kelompok juga telah terbukti efektif untuk mengatasi stres, memerbaiki persepsi yang salah, mengatasi krisis pribadi, memberikan harapan yang realistis, dan menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam jumlah CD4 serta penurunan viral load HIV. Saat ini perlu dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa TKSE yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS dapat mengubah psikopatologi dan mekanisme koping agar memerbaiki perkembangan penyakitnya. Metode: Penelitian eksperimental secara consecutive sampling pada pasien dengan HIV/AIDS di Pokdisus HIV-AIDS RSCM Jakarta menggunakan kuesioner SCL-90 dan penilaian mekanisme koping COPE. Hasil: Tidak terdapat perubahan nilai skor SCl-90 yang bermakna (p=1.000) dan tidak terdapat perbedaan perubahan mekanisme jenis koping (p=0.168) pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan TKSE) namun TKSE berpeluang sebagai faktor protektif terhadap kecenderungan subjek penelitian mengalami psikopatologi jika hanya mengikuti therapy as usual (TAU). Mekanisme koping utama yang dipakai adalah Active, Acceptance dan Religious. Pemberian TKSE pada kelompok intervensi dapat mempertahankan koping positif yang sudah dipakai dibandingkan bila hanya mendapatkan TAU seperti pada kelompok kontrol. Bila penggunan koping yang bersifat Emotion lebih menonjol, psikopatologi yang dialami oleh individu akan tampak lebih jelas. Simpulan: Pada penelitian ini tidak terdapat perubahan nilai skor psikopatologi dan mekanisme koping yang bermakna pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah dilakukan TKSE tapi terlihat TKSE dapat berpeluang sebagai faktor protekktif. Pemberian TKSE pada kelompok intervensi tampaknya dapat mempertahankan koping positif yang sudah dipakai. dibandingkan bila hanya mendapatkan TAU seperti pada kelompok kontrol. Selain itu bila penggunan koping yang bersifat Emotion lebih menonjol, psikopatologi yang dialami oleh individu akan tampak lebih jelas.
ABSTRACT Background: Psychopathology and maladaptive coping mechanism were frequently found in HIV/AIDS patients which could influence the progression of the disease. Supportive Expressive Group Therapy (SEGT) is a form of group therapy which could be conducted on HIV/AIDS patients. Group therapy has been shown to improve mood disorders, maladaptive coping responses, phobias and pain. It was also effective in managing stress, false perception, overcome personal crisis, providing realistic expectation and significantly increasing CD4 cell count and reducing HIV viral load. A research is conducted on HIV/AIDS patients to prove that SEGT can alter psychopathology and coping mechanism in order to improve the development of the disease. Methods: Experimental study with consecutive sampling on HIV/AIDS patients in Pokdisus HIV-AIDS RSCM Jakarta using SCL-90 questionnaire and coping mechanism assessment COPE. Results: There were no significant change in SCL-90 score (p=1.000) and coping mechanism types (p=0.168) in the intervention group before and after SEGT but SEGT could act as a protective factor toward the tendency of research subject to have psychopathology when they only receive TAU. Three main coping mechanisms were Active, Acceptance and Religious. SEGT could maintain positive coping being used in the intervention group compare to only TAU which given to the control group. Psychopathologies were more prominent in individuals using Emotion coping mechanism. Conclusion: In this study there was no significant difference in the change of SCL-90 scores and the types of coping mechanism in the intervention group before and after SEGT, but SEGT could act as a protective factor towards the tendency of psychopathology occurrence. SEGT could maintain positive coping being used in the intervention group. Psychopathologies were more prominent in individuals using Emotion coping mechanism.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheby Tesya Deanira
Abstrak :
Latar belakang: Kejadian subfertil di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi pasangan subfertil mencapai 15-25% dari seluruh pasangan. Kondisi ini berpengaruh pada kondisi psikis (gejala psikopatologi) seseorang dimana diperlukan tata laksana yang sesuai agar kesehatan mental pasien subfertil dapat ditingkatkan. Tujuan: Mengetahui kecenderungan gejala psikopatologi pada pasien subfertil di RSCM beserta faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Metode: Studi ini menggunakan uji potong lintang dengan kuesioner Symptom Checklist-90 (SCL-90) secara daring dan luring di Poli Endokrin RSCM sejak 5- 18 Oktober 2020. Data yang didapat kemudian diolah menggunakan SPSS versi 20 dan dilakukan uji analisis memakai Fisher’s Exact Test. Skor kasar yang didapat dari kuesioner diubah menjadi t-score dan kemudian dikelompokan sesuai gejala psikopatologinya. Hasil: Setiap pasien dapat memiliki gejala psikopatologi lebih dari satu. Diantara 60 responden terdapat 7 pasien yang mempunyai gejala psikopatologi, dengan 5 orang mengalami somatisasi, 4 orang mendapati obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, dan ide paranoid, 3 orang mengalami kecemasan, kecemasan fobia, psikotik, dan tambahan, serta hanya 2 orang yang mempunyai hostilitas. Didapatkan hubungan gejala psikopatologi dengan usia (OR=1.081; IK95%=0.189-6.169), status pekerjaan (OR=0.448; IK95%=0.080-2.518), dan status gizi (OR=0.815; IK95%=0.087-7.617) tidak signifikan secara statistik (nilai p >0.05). Simpulan: Prevalensi gejala psikopatologi terbesar adalah somatisasi (71.4%) dengan usia >30 tahun sebagai faktor risiko, serta bekerja dan IMT ≥ 30 sebagai faktor protektif. ......Background: The incidence of subfertility in Indonesia continues to increase every year. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of subfertile couples reached 15-25% of all couples. This condition affects the psychological condition (psychopathological symptoms) of a person where appropriate management is needed so that the mental health of subfertile patients can be improved. Objectives: To determine the profile of subfertile patients’ psychopathological symptoms in RSCM and its predispose factors. Methods: This is a cross-sectional study with the Symptom Checklist-90 (SCL-90) questionnaire that was given online and offline at the RSCM Endocrine Clinic from 5-18 October 2020. The data obtained were processed using SPSS version 20 and analyzed using Fisher's Exact Test. The obtained score from the questionnaire were converted into t-scores and then classified according to their psychopathological symptoms. Results: Each patient can have more than one psychopathological symptom. Among the 60 respondents there were 7 patients who had psychopathological symptoms, with 5 people experiencing somatization, 4 people experiencing obsessive-compulsivity, interpersonal sensitivity, depression, and paranoid ideation, 3 people experiencing anxiety, phobic anxiety, psychotic, and additional items, and only 2 people which have hostility. It was found that the relationship between psychopathological symptoms and age (OR=1.081; CI95%=0.189-6.169), occupation status (OR=0.448; CI95%=0.080-2.518), and nutritional status (OR=0.815; CI95%=0.087-7.617) was not statistically significant (p value > 0.05). Conclusion: The biggest prevalence of psychopathological symptoms was somatization (71.4%) which age >30 years old affect as a risk factor, while working and BMI ≥ 30 as protective factors.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>