Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 33 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meilis Sawitri
"Meilis Sawitri. Mesjid An Nawir Pakojan Jakarta: Suatu Tinjauan Arsitektur dan Ragam Hias. (Di bawah bimbingan Tawalinuddin Harris, S.S, M.A). Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993. Penelitian mengenai mesjid An Nawir Pekojan Jakarta bertujuan untuk mengetahui bentuk arsitektur dan ragam hias dan pengaruh yang ada serta latar belakang sejarahnya. Pene1itian dilakukan dengan tahap-tahap observasi, deskripsi dan eksplanasi. Keberadaan mesjid dalam suatu tempat menunjukkan adanya suatu perkampungan muslim. Karena mesjid selain sebagai pusat peribadat kaum muslim juga digunakan untuk hubungan antara umat Islam. Mesjid sebagai hasil karya arsitektur masa lalu merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Arsitektur suatu mesjid biasanya merupakan cerminan dari budaya masyarakat pada masa itu. Menurut Pijper mesjid tua di Indonesia mempunyai ciri-ciri berdenah persegi, fondasi masif, atap tum-pang, di sisi barat ada bagian yang menonjol untuk mihrab, mempunyai serambi dan kolam. Dari ciri-ciri tersebut An Nawir yang dibangun oleh Sayid Abdullah bin Husain Alaydrus termasuk mesjid tua dan menurut UUD No. 5 1992 usia mesjid ini termasuk bangunan purbakala karena dibangun tahun 1760 M. Melihat usia dan latar belakang sejarah menyebabkan mesjid ini mempunyai arsitektur yang unik yang merupa_kan perpaduan berbagai kebudayaan yang masuk saat itu. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa awalnya daerah Pekojan merupakan perkampungan para pedagang muslim yang datang dari luar Indonesia. Kamudian pada abad 18 kebanyakan yang tinggal di Pekojan adalah warga keturunan Arab Hadramaut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mesjid sabagai bangunan suci umat Islam mempunyai fungsi utama sebagai rumah peribadatan. Berbeda dengan mesjid tua lain seperti mesjid Agung Banten, Agung Demak dan Al Mansyur yang mempunyai ruang khusus untuk wanita. Di mesjid An Nawir ini tidak ada ruang untuk wanita, hal tersebut disebab_kan latar belakang kebudayaan masyarakatnya yang seba_gian besar berasal dari Arab yang sangat tegas memi_sahkan antara wanita dengan pria. Dari penelitian diperoleh kesimpulan bahwa bahwa pengaruh arsitektur Eropa terlihat pada atap mesjid dan tiang-tiang di ruang utama dan komponen lain pada bangunan mesjid. Pengaruh Arab jelas terlihat dengan adanya ribath dan ghurfah yang jarang dijumpai pada mesjid tradisional bentuk menara yang bercirikan Hadra_maut dan bagian bangunan lainnya dari arsitektur dan ragam hias. Unsur tradisional antara lain didapati pada fondasi, denah mesjid, mimbar dan ragam hias. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa mesjid ini te1ah mengalami perluasan. Hal ini didasari dari bentuk denah, konstruksi atap dan tiang-tiang dalam ruang utama. Bertolak dari hasil penelitian ini diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap mesjid-mesjid di Jakarta dan latar belakang sejarah mesjid yang banyak diwarnai berbagai kebudayaan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dody Witjaksono
"Salah satu tinggalan arsitektur Islam adalah Mesjid. Dalam sebuah masyarakat Islam bangunan mesjid tidak hanya memiliki peran dan fungsi sebatas tempat berkupulnya jamaah untuk melaksanakan shalat farhdu bersama-sama, namun lebih jauh mesjid memiliki fungsi sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni dan filsafat. Berdasrkan kenyataan tersebut secara tidak langsung mengungkapkan bahwa apabila seorang ingin menyelidiki kehidupan keagamaan di salah satu pulau (Jawa), maka haruslah dimulai dengan mempelajari mesjid sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Pijper (1985).
Dalam sejarah perkembangan Islam Khususnya di Pualau Jawa, wilayah Pesisir Utara Jawa Barat memiliki arti dan peran yang sangat strategis. Pesisir Utara Jawa Barat merupakan distrik pertama dimana Islam dikenal. Keletakan wilayah Pesisir Utara Yang strategis serta merupakan jalur perlintasan pelayaran dan perdagangan merupakan faktor pendukung yang mempercepat proses datangnya Islam ke Wilayah ini. Sehinga tidak mengherankan bila bangunan mesjid kuno dari masa-masa awal (abad 16-17Masehi) ditemukan di daerah pesisir ini.
Permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengamati bagaimana bentuk-bentuk mesjid di Jwa Barat, apakah mesjid-mesjid di pessisir Jawa Barat memiliki berbagai variasi yang pada akhir mampumembedakan dengan mesjid-mesjid di Jawa Barat pada umumnya. Sedangkan tujuan dari penelitian ini yaitu selain untuk melihat variasi gaya dan bentuk dari mesjid di pesisir Jwa Barat, juga untuk mengetahui apakah mesjid-mesjid di pesisir Jawa Barat memiliki persamaan dengan mesjid-mesjid di Jawa pada umumnya.Berdasarkan hasil penelitian tergambar bahwa secara umum bentuk-bentuk mesjid di Pesisir Jawa Barat tidak memiliki perbedaan yang khusus dengan mesjis-mesjid di Jawa pada umumnya..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
S11571
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Nusa Tenggara Timur terkenal memiliki kekayaan tenun ikat dengan beraneka ragam motif dan ragam hias. Demikian juga dengan Pulau Adonara di Kabupaten Flores Timur memiliki Ienunan khas yang Iebih dikenal dengan Nowing dan Kwatek. Nowing merupakan sarung khusus untuk kaum Iaki-laki, sedangkan kwatek adalah kain sarung tenun untuk kaum perempuan. Kedua jenis tenunan ini memiliki berbagai motif khas yang membedakannya dengan jenis tenun ikat yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur. Berbagai motif tenun ikat Adonara antara lain kebukak, lako dowa, ile hurun, kolon matan dan kau nepi. Kwatek dan nowing sampai saat ini masih tetap berkembang, hanya saja bahan yang dipergunakan untuk pembuatan tenun ikat di daerah Adonara sudah beralih ke benang pabrik. Menenun bagi perempuan Adonara mercka wariskan secara turun temurun."
JPSNT 20:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rawung, Josephine Imelda Wiesye
"Kajian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dan keletakan medalion di Percandian Panataran. Medalion adalah ragam hias berbentuk lingkaran atau oval, yang di dalamnya dipahatkan suatu obyek atau figur dalam bentuk relief. Medalion di percandian Panataran dipahatkan dalam bentuk relief tinggi dan berselang-seling dengan panil relief cerita Ramayana seperti di candi Induk serta menembus ruang dalam candi dan berselang-seling dengan arca tokoh seperti di candi Naga. Di dalam medalion tersebut dipahatkan sejumlah hewan yang terdiri dari berbagai jenis, yaitu mamalia, unggas, reptil, dan hewan mitos. Di candi Induk Panataran salah satu hewan rnitos yaitu hare dipahatkan dalam medalion yang letaknya mengapit tangga nark candi dan pada bagian awal dan akhir kisah Ramayana. Penempatan medalion berhiaskan hare tersebut selain sebagai pembatas panil relief cerita dan penunjuk awal dan akhir rangkaian relief cerita Ramayana, kemungkinan juga dimaksudkan agar orang yang membaca relief cerita tersebut untuk melakukan yoga. Pemahatan hewan-hewan dalam medalion di candi Induk Panataran sangat mungkin dimaksudkan (1) untuk menghormati dewa dan dewi yang dilambangkan dengan adanya penggambaran hewan-hewan yang berhubungan dengan dewa atau dewi, misalnya sebagai vahana atau atributnya, (2) penggambaran berbagai jenis hewan pada percandian tersebut merupakan perlambangan dewa Siva sebagai Penguasa Hewan."
1996
S11894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cita Kismayanti
"Bangunan suci sebagai tempat yangsakral dilengkapi ragam hias arsitektural maupun ornamental. Ragam hias ornamental pada bangunan suci meliputi relief naratif dan relief dekoratif. Ragam hias ini dapat menambah nilai kesakralan bangunan suci karena terdapat makna tertentu di balik ragam hias tersebut. Salah satu ragam hias yang sering ditemukan pada bangunan suci adalah sulur daun. Relief sulur daun pada candi Borobudur terdapat pada panil tersendiri dan mengapit relief naratif di dinding utama candi pada lorong pertama, ketiga dan keempat, sebannnyak 408 panil. Penggambaran relief sulur daun pada tiap tingkat terdapat perbedaan. Panil-panil relief sulur daun pada lorong pertama berdiri sendiri mengapit naratif di baris atas dinding utama candi, sedangkan pada lorong ketiga dan keempat relief sulur daun berasoiasi dengan pilar semu mengapit naratif di dinding utama. Kemudian, dilihat dari cara penggambaran sulur, relief di lorong pertama dan keempatterlihat lebih sederhana dibanding dengan relief sulur daun di lorong ketiga yang terkesan rumit dan raya. Sementara itu, sulu daun pada lorong ketiga memiliki variasi paling banyak, sedangkan sulur daun di lorong keempat tidak memiliki variasi sulur daun dengan daun yang mengikal pada bagian akhirnya. Sulur daun ini merupakan akar dan tangkai tanaman teratai yang keluar dari umbi teratai (padmamula) dan menjalar ke atas membentuk lingkaran ke kiri dan ke kanan, kemudian pada bagian akhir sulurnya terdapat daun-daun yang mengikal, bunga teratai yang setengah mekar ataupun bunga teratai dengan burung yang hinggap di atasnya. Setiap bagian dari tanaman tertai tersebut mengalami variasi pengambaran yang berbeda-beda. Untuk mengetahui berbagai variasi dari relief sulur daun pada can Borobudur, maka terlebih dahulu relief-relief sulur daun ini diklasifikasikan berdasarkan atribut penentu dari ragam hias tersebut..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S11426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soegeng Toekio M.
Bandung: Angkasa, 1987
745 SOE m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Aris Munandar
"ABSTRAK
Ragam hias pra-Islam maksudnya adalah berbagai jenis ragam hias yang terdapat di candi-candi yang dibangun sebelum kedatangan agama Islam di Jawa. Dalam mengkaji ragam hias pra-Islam pada bangunan Islam di Jawa yang menjadi pokok perhatian adalah jenis ragam hias, keletakan ragam hias baik pada candi-candi masa Hindu-Buddha dan juga pada bangunan-bangunan masa awal Islam, dan juga sebab-sebab terjadinya kesinambungan penggunaan ragam hias pra-Islam tersebut pada bangunan-bangunan Islam.
Kajian ini bertujuan untuk mencari bukti-bukti adanya pertalian yang erat antara bentuk-bentuk ragam hias pra-Islam dengan ragam hias Islam yang semula terdapat pada bangunan masa Hindu-Buddha. Secara umum berupaya membuktikan adanya kesinambungan penggunaan ragam hias tersebut, hal mana sebenarnya tslah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu.
Dalam mengkaji bermacam ragam hias yang terdapat di candi-candi masa klasik tua dan klasik muda serta bangunan-bangunan masa awal Islam dilakukan kunjungan langsung ke situsnya. Kemudian melakukan pengamatan dan menyusun suatu daftar kshadiran bermacamragam hias tersebut. Sifat penelitian ini kwalitatif, karena memperhatikan juga gaya ragam hias, dan bentuk-bentuk ragam hias yang sederhana dan raya.
Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai ragam hias yang menjadi bahan kajian dapat diketahui adanya beberapa ragam hias yang terus bertahan penggunaannya sejak masa Hindu-Buddha hingga masa Islam. Ragam hias itu populer, karena banyak dijumpai pada berbagai bangunan misalnya, sulur daun/ikal-mursal, medalion, tumpal/simbar, dan salib Portugis. Kesinambungan penggunaan ragam hias itu terjadi harena, (1) seniman masa awal Islam masih akrab dengan bentuk-bentuk ragam hias dari masa Hindu-Buddha, dan (2) penggunaan ragam hias pra-Islam dipsrbolehkan sejauh tidak bartentangan dengan kaidah agama Islam. Sementara itu ragam hias khas kesenian Islam yang baru muncul bsrsamaan dengan perkembangan Islam di Jawa contohnya kaligrafi Arab, dan stilasi figur makhluk hidup."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dhuhuri Al Alif Megantara
"ABSTRAK
Skripsi ini meneliti mengenai tinjauan arkeologis dan perbandingan arsitektur candi perwara yang terdapat di Percandian Hindu Prambanan dan Percandian Buddha Plaosan Lor. Candi perwara merupakan salah satu bangunan di dalam kompleks candi selain pethirtan dan/atau mandapa. Candi perwara di kedua kompleks candi tersebut terdapat di dalam kompleks candi yang berbeda aliran keagamaan tetapi memiliki persamaan bentuk arsitektur caitya-grha, arah hadap, serta tata letak candi perwara yang sama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk arsitektur, perbandingan arsitektur, serta tinjauan arkeologis candi perwara di Percandian Hindu Prambanan dan Percandian Buddha Plaosan Lor sebagai wujud materi kebudayaan masa Hindu-Buddha di Indonesia, terutama di daerah Jawa. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan bangunan Candi Perwara Prambanan dan Candi Perwara Plaosan Lor. Hasil analisis adalah tinjauan perbandingan arsitektural yang berisi persamaan dan perbedaan kedua gugusan candi perwara. Informasi di dalam tinjauan perbandingan arsitektural digunakan sebagai penafsiran tinjauan arkeologis kedua gugusan candi perwara. Tinjauan arkeologis diperkirakan bahwa gugusan Candi Perwara Prambanan berumur lebih muda pada abad ke - 9 Masehi yang dibuktikan dengan penambahan ragam hias arsitektural yang tidak terdapat pada gugusan Candi Perwara Plaosan Lor.

ABSTRACT
This research examines the archaeological review and the comparison of the Perwara Temple (candi perwara)s architecture which are located in both of the enshrinement named Prambanan Hindu Temple Complex and Plaosan Lor Buddha Temple Complex. Perwara Temple is one of the buildings inside an enshrinement beside the pethirtan or mandapa. Perwara Temple in both of enshrinement are different by religious side but have the same architectural form as temple (candi)s architecture in general or known as caitya-grha. Main purpose of this research is gain the general information of architectural form, architectural comparison and the review from archaeological side in both of the enshrinement, hence as one of the archaeological evidences of Hindu- Buddhist period in Indonesia, especially in Java. Analysis is done by comparing the Perwara Prambanan Temple and Perwara Plaosan Lor Temple. Result of the analysis are archaeological review and architectural comparison, first depicted by the architectural differences both of the perwara temples. Hence, the information of the architectural differences use for elucidate about the Perwara Prambanan Temple which is estimated to be slightly younger in the 9th century AD compared to Perwara Plaosan Lor Temple from the field of architectural decoration. "
2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>