Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irene Purnamawati
"Latar Belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan di fasilitas terbatas dan tidak memerlukan biaya besar, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis, menggunakan kriteria sepsis-3 yang lebih spesifik.
Tujuan: Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien sepsis yang dirawat di RSCM pada tahun 2017. Data diambil dari rekam medis pada bulan Maret-Mei 2018. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Subjek kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang di bawah dan di atas titik potong. Kedua kelompok kemudian dianalisis menggunakan analisis kesintasan dengan program SPSS.
Hasil: Dari 326 subjek, terdapat 12 subjek loss to follow-up. Rerata usia sampel 56,4 + 14,9 tahun, dengan fokus infeksi terbanyak di saluran napas (59,8%), dan penyakit komorbid terbanyak adalah keganasan padat (29,1%). Nilai titik potong rasio neutrofil-limfosit yang optimal adalah 13,3 (AUC 0,650, p < 0,05, sensitivitas 63%, spesifisitas 63%). Pada analisis bivariat menggunakan cox regression didapatkan kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit> 13,3 memiliki crude HR sebesar 1,84 (IK 95% 1,39-2,43) dibandingkan dengan kelompok yang nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3. Setelah menyingkirkan kemungkinan faktor perancu, didapatkan adjusted HR untuk kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit tinggi adalah 1,60 (IK 95% 1,21-2,12).
Simpulan: Nilai rasio neutrofil-limfosit memiliki akurasi lemah dalam memprediksi mortalitas 28 hari pasien sepsis dengan nilai titik potong optimal 13,33. Kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit > 13,3 memiliki risiko mortalitas 28 hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3.
......Background: Sepsis is a global health problem with high morbidity and mortality. Neutrophil to lymphocyte ratio is a simple test which can be done in limited facility, but there is no study conducted to know its potential in predicting 28-day-mortality in septic patients, using the more specific sepsis-3 criteria.
Objectives: To investigate neutrophil to lymphocyte ratio as a predictor of 28-day-mortality in septic patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for septic patients who were admitted in 2017. Neutrophil to lymphocyte ratio cut off was determined using ROC curve, then subjects were divided into two groups according to its neutrophil to lymphocyte ratio value. The groups were analyzed using survival analysis with SPSS.
Result: From 326 subjects, 12 subjects were loss to follow-up. Age mean was 56.4 + 14.9 years. Lung infection (59.8%) was the most frequent source of infections and solid tumor (29.1%) was the most frequent comorbidities. The optimal cut off value for neutrophil to lymphocyte ratio was 13.3 (AUC 0.650, p < 0.05, sensitivity 63%, specificity 63%). Bivariate analysis using cox regression showed that group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater risk for 28-day-mortality than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3 with crude HR 1.84 (95% CI 1.39-2.43). After adjustment for possible confounding, adjusted HR for group with higher neutrophil to lymphocyte ratio was 1.60 (95% CI 1.21-2.12).
Conclusion: Neutrophil to lymphocyte ratio had poor accuracy in predicting 28-day-mortality in septic patients with 13.3 as the optimal cut off value. Group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater significant risk for mortality in 28 days than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Amalia Faizal
"Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang menyebabkan 60% kematian di Indonesia. Terjadi peningkatan prevalensi frailty pada pasien PPOK hingga dua kali lipat dibandingkan pada pasien tanpa PPOK. Frailty merupakan sindrom lansia terkait perubahan fisiologis dan morfologis pada berbagai sistem tubuh akibat penuaan. Pada PPOK terjadi inflamasi sistemik yang ditandai dengan penanda inflamatori. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamatori yang cukup stabil, terjangkau, dan banyak digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penilaian frailty dilakukan berdasarkan kuesioner FRAIL dan hitung jenis darah perifer melalui data rekam medis RSCM dari bulan Oktober 2021–Oktober 2022. Hasil: Terdapat 103 subjek dengan prevalensi yang mengalami frail sebanyak 63 orang (61,2%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa RNL memiliki hubungan yang signifikan dengan frailty (p = 0,017). Median RNL pada kelompok frail sebesar 2,30 (1,27 – 7,03) dan kelompok non-frail sebesar 2,01 (0,72 – 4,56). Pada analisis kelompok kuartil, didapatkan hasil yang signifikan antara RNL dengan frailty (p = 0,009). Sebanyak 33,3% pasien frail berada pada kuartil keempat (> 3,060) dan sebanyak 42,2% pasien non-frail berada pada kuartil kesatu (<1,870). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara RNL dengan frailty pada pasien lansia dengan PPOK.
......Introduction: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a lung disease that causes 60% of deaths in Indonesia. There was an increase in the prevalence of frailty in COPD patients up to two times compared to patients without COPD. Frailty is an elderly syndrome related to physiological and morphological changes in various body systems due to aging. In COPD, there is systemic inflammation characterized by inflammatory markers. Neutrophil to Lymphocyte ratio (NLR) is an inflammatory marker that is relatively stable, affordable, and widely used. This study aims to determine the relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. Method: This cross-sectional study was conducted on elderly patients with COPD. Subjects performed frailty assessment based on the FRAIL questionnaire and peripheral blood type count through RSCM’s patient medical record from October 2021 – October 2022. Result: There were 103 subjects with a prevalence of frailty in 63 patients (61.2%). In bivariate analysis, results found that RNL had a significant relationship with frailty (p = 0.017). The median RNL in the frail group was 2.30 (1.27 – 7.03), and the non-frail group was 2.01 (0.72 – 4.56). In the quartile group analysis, RNL and frailty obtained significant results (p = 0.009). A total of 33.3% of frail patients were in the 4th quartile (> 3.060), and 42.2% of non-frail patients were in the 1st quartile (<1.870). Conclusion: There is a significant relationship between NLR and frailty in elderly patients with COPD. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraeni
"Penularan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang mudah membuat perkembangan penyakit tersebut sangat cepat di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Penelusuran riwayat kontak dan metode deteksi cepat dapat digunakan untuk mencegah dan mengendalikan penularan COVID-19. Rapid Test antibodi merupakan metode deteksi cepat yang banyak digunakan, namun akurasi Rapid Test antibodi tidak 100%. Parameter hematologi berupa Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) diketahui dapat memberi gambaran terkit inflamasi sistemik di awal infeksi. Telah dilakukan penelitian mengenai gambaran RNL pada pasien suspek COVID-19 dengan hasil Rapid Test antibodi nonreaktif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi gambaran rasio RNL dalam upaya mengidentifikasi peran RNL pada populasi suspek dengan hasil Rapid Test antibodi nonreaktif. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pemeriksaan darah mahasiswa dan karyawan yang tinggal di Asrama UI. Sebanyak 70 sampel darah dikumpulkan, kemudian diberlakukan Rapid Test antibodi dan pemeriksaan hematologi lengkap menggunakan hematology Analyzer untuk mendapatkan nilai RNL. Seluruh hasil Rapid Test antibodi yang dilakukan menunjukkan hasil nonreaktif. Hasil dari pemeriksaan hematologi lengkap menunjukkan 65 subjek penelitian memiliki nilai RNL di dalam kisaran normal (1,88 ± 0,57) dan 5 subjek penelitian memiliki nilai RNL lebih tinggi dari nilai normal (4,2 ± 1,31). Hasil penelitian ini mengindikasi bahwa Rapid Test antibodi yang dilakukan pada pasien suspek menghasilkan persentase true nonreactive sebesar 92,8% dan false nonreactive sebesar 7,14%. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa RNL potensial untuk membantu melengkapi dan menerangkan hasil nonreaktif dari Rapid Test antibodi.
......Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a highly contagious disease which makes it easier to spread around the nation, even the world. Contact tracing and rapid detection methods for COVID-19 is the schemes to prevent and control the spread. Rapid antibody test is one of the rapid detection methods, but the accuracy is under 100%. Hematology parameter such as Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) is one of the easy and rapid way to fit up the accuracy of rapid antibody test, since NLR is able to picture the systemic inflammation of early infection. The study regarding representation of NLR on COVID-19 suspect patients with nonreactive result of Rapid Antibody Test is conducted. The aim of the study is to evaluate the NLR ratio in order to identificate role of NLR on suspect populations with nonreactive result of Rapid Antibody Test. This study is using medical record data from student and employees who stayed at Asrama UI. As much as 70 blood samples were collected and proceeded to do the Rapid Antibody Test and complete blood count using hematology analyzer to determine NLR. All samples showed nonreactive results to Rapid Antibody Test. The complete blood count showed that 65 objects had NLR value in the normal range (1,88 ± 0,57) and 5 objects had NLR value higher than normal range (4,2 ± 1,31). The results of this study indicate that the Rapid Antibody Test performed resulted in the percentage of true nonreactive of 92.8% and false nonreactive of 7.14%. To be concluded, NLR was potential as a supporting data to complete and describe the nonreactive result of Rapid Antibody Test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas Kristanta Sandjaja
"Latar Belakang. Pneumonia komunitas merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan petanda inflamasi yang sederhana, cepat dan murah serta dapat dilakukan di fasilitas terbatas. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa RNL saat awal perawatan dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas, lama rawat inap dan kemungkinan kejadian sepsis, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Tujuan. Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dengan pneumonia komunitas.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM dari periode 1 November 2017-31 Desember 2018. Data neutrofil, limfosit dan leukosit serta RNL pada awal perawatan diambil dari rekam medis. Kriteria kesembuhan dalam 7 hari berupa perbaikan keluhan, pemeriksaan fisik, tanda vital yang stabil sesuai panduan IDSA/ATS dan atau perbaikan rontgent toraks. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Analisis variabel perancu dilakukan dengan regresi logistik.
Hasil. Terdapat 195 subjek penelitian yang dianalisis. Median usia sampel 65 tahun (21-90), dengan penyakit komorbid terbanyak adalah diabetes melitus (49,7%), terdapat 1 pasien yang mendapatkan antibiotik sebelum perawatan, dan 72,1% pasien dengan skor CURB-65 ≥ 2. Dari kurva ROC didapatkan nilai AUC 0,554 (IK95%: 0,473-0,635) dengan p>0,05. Analisa regresi logistik dan analisis subgrup menunjukkan CURB-65 skor 2 merupakan effect modifier.
Kesimpulan. Rasio neutrofil-limfosit pada awal perawatan tidak dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi kesembuhan dalam 7 hari pada pasien dewasa pneumonia komunitas yang dirawat

Background. Community acquired pneumonia is a global health problem and has a high morbidity and mortality. The neutrophil to lymphocyte ratio is a simple, rapid, inexpensive marker of systemic inflammation and can be done in a limited facility. Other studies had shown that neutrophil to lymphocyte ratio can be used to predict mortality, length of stay and sepsis, but there are no studies that investigate its role in predicting cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Aim. To investigate neutrophil to lumphocyte ratio as a predictor of cure within 7 days in patients with community acquired pneumonia.
Method. A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for community acquired pneumonia patients who were admitted from the period 1st November 2017-31st December 2018. Neutrophil, lymphocytes and neutrophil to lymphocyte ratio was obtained upon admittance. Criteria for cure within 7 days include improvement of clinical symptoms, physical examination, stable vital signs according to IDSA / ATS guidelines and or improvement of chest X-ray. Neutrophil to lymphocyte cut off was determined using the ROC curve. Confounding factors was analysed using logistic regression.
Results. There were 195 subjects. Median age was 65 years (21-90). Diabetes mellitus (49.7%) was the most frequent comorbid. There were one patients treated with antibiotics prior to admission and 72.1 % of patients with a CURB-65 score ≥ 2. ROC curve showed that AUC 0.554 (95%CI: 0.473-0.635 ) with p>0.05. Logistic regression analysis and subgroup analysis showed that CURB-65 2 was an effect modifier.
Conclusion. Neutrophil to lymphocyte ratio upon admittance cannot be used as a predictor of cure within 7 days in adult patients with community acquired pneumonia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Faisal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Konstipasi idiopatik kronik adalah masalah yang cukup banyak terjadi, dan berhubungan dengan proses inflamasi. Proses inflamasi yang diwakili oleh rasio neutrofil limfosit merupakan marker inflamasi yang cukup stabil dan banyak digunakan, dan diduga ada hubungannya dengan terjadinya gejala depresi.
Tujuan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rasio neutrofil limfosit dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien konstipasi idiopatik kronik berusia 18-59 tahun di populasi. Di saat bersamaan, dinilai gejala depresi dengan menggunakan Beck Depression Inventory-II kemudian diambil sampel darah untuk menilai rasio neutrofil limfosit. Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi Pearson.
Hasil. Sebanyak 73 subyek didapatkan rerata (SB) usia adalah 40,29 (11,2) tahun, dengan proporsi perempuan 90,4%. Median RNL (min-maks) adalah 1,72 (0,27-7,18). Hasil analisis korelasi didapatkan hasil koefisien korelasi (r) = 0,028 (p = 0.811).
Kesimpulan. Rasio neutrofil limfosit tidak berhubungan dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik.

ABSTRACT
Background. Chronic idiopathic constipation is a problem that is quite common and is related to the inflammatory process. Inflammation marker is represented by neutrophil lymphocyte ratio that is quite stable and widely used and is thought to have something to do with the occurrence odd depressive symptoms.
Objectives. This study was aimed to determine relationship between neutrophil lymphocyte ratio and depressive symptom in chronic idiopathic constipation.
Methods. This was a cross sectional study involving chronic idiopathic constipation patients aged 18-59 years old in population. At the same time depressive symptoms were assessed using the Beck Depression Inventory-II and blood sample were taken to assess the neutrophil lymphocyte ratio. Pearson correlation test was done for hypothesis testing.
Results. From total of 75 subjects, the mean (SB) age is 40.29 (11.2) years and the proportion of women is 90.4%. The median RNL (min-max) is 1.72 (0.27-7.18). The results of correlation coefficient obtained from correlation analysis is (r) = 0.028 (p= 0.811).
Conclusion. The neutrophil lymphocyte ratio is not associated with depressive symptom in chronic idiopathic constipation."
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irsan Hasan
"

Peran Th17 dalam keganasan, khususnya karsinoma sel hati, masih menjadi perdebatan. Sel Th17, sel penghasil IL-17, dilaporkan berhubungan dengan efek protumor dan antitumor sekaligus. Di lain sisi, sel Th1 yang menyekresikan IFN-γ memiliki sifat antitumor. Kemoembolisasi transarterial / transarterial chemo-embolization (TACE) diketahui dapat menyebabkan nekrosis tumor, namun peran TACE dalam memengaruhi sel Th17, Th1, IL-17, IFN-γ, dan rasio neutrofil limfosit (RNL) masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perubahan Th17, Th1, IL-17, IFN-γ, dan nilai RNL pada pasien KSH yang menjalani TACE.

Penelitian ini dilakukan sepanjang Juni 2015–Januari 2019 di RSCM dan beberapa rumah sakit jejaring di Jakarta. Desain potong lintang digunakan untuk membandingkan respons imun pasien KSH dengan sirosis hati. Desain kohort prospektif diterapkan untuk menilai hubungan respons imun dengan keberhasilan TACE. Pengambilan darah dilakukan sebelum dan 30 hari setelah tindakan TACE pada pasien KSH dan satu kali pada pasien sirosis. Nilai Th17 dan Th1 dianalisis menggunakan teknik flowcytometry, sedangkan nilai IL-17 dan IFN-γ diukur dengan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Nilai RNL dihitung dari pembagian kadar neutrofil dengan limfosit yang diperoleh dari pemeriksaan hitung jenis. Respons terhadap TACE dievaluasi berdasarkan kriteria mRECIST.

Sebanyak 40 pasien sirosis dan 41 pasien KSH berpartisipasi dalam penelitian ini. Sebanyak 12 pasien dan 29 pasien termasuk ke dalam kelompok respons dan nonrespons, secara berurutan. Penurunan kadar AFP dan ukuran tumor secara bermakna ditemukan pada kelompok respons. Pada kelompok ini, juga ditemukan peningkatan bermakna kadar Th1, Th17, dan sel T CD4+/IFN-γ+/IL-17+ setelah TACE. Nilai IL-17, IFN-γ, dan RNL tidak berhubungan dengan respons TACE. Di samping itu, didapatkan peningkatan bermakna kadar CD4+/IFN-γ+/IL-17- pada kelompok nonrespons.

Simpulan: Peningkatan kadar Th1 dan Th17 dalam darah perifer yang diiringi dengan peningkatan sel T CD4+/IFN-γ+/IL-17+ didapatkan pada pasien KSH yang berespons baik terhadap TACE.

 


The role of Th17 cells in malignancy, especially hepatocellular carcinoma, remains controversial. Th17 cells, IL-17 producing cells, were reported to be associated with both protumor and antitumor effects. On the other hand, Th1 cells, IFN-γ producing cells, had antitumor properties. Transarterial chemoembolization (TACE) is known for its potency to cause tumor necrosis, but its impact on Th17, Th1, IL-17, IFN-γ, and neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) is still unclear. This study aims to determine the changes in Th17, Th1, IL-17, IFN-γ, and NLR levels in HCC patients treated with TACE.

This study was conducted from June 2015 to January 2019 at Cipto Mangunkusumo National General Hospital dan several affiliated hospitals in Jakarta. A cross-sectional study design was used to compare the immune response between HCC and liver cirrhotic patients. A prospective cohort study design was applied to assess the relationship between immune response and tumor response to TACE. Plasma sampling was obtained from HCC and cirrhotic patients that fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Blood samples were collected immediately before and 30 days after TACE. Th17 and Th1 levels were measured using flowcytometry technique, while IL-17 and IFN-γ levels were quantified by using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The value of NLR was calculated by dividing the neutrophil count by the lymphocyte count. Responses to TACE were evaluated based on mRECIST.

A total of 40 cirrhotic and 41 HCC patients participated in this study. As many as 12 and 29 patients were included in the response and nonresponse group, respectively. In the response group, there were significant reduction of AFP levels and tumor size, as well as significant increase of Th1, Th17 and CD4+/IFN-γ+/IL-17+ T cells levels after TACE. Furthermore, there was an increase of CD4+/IFN-γ+/IL-17- levels in the non-response group. The values of IL-17, IFN-γ, and NLR were not related to TACE response.

Conclusion: Patients with good response to TACE had increased levels of circulating Th1, Th17, and CD4+/IFN-γ+/IL-17+ T cells.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhanty
"Angka kejadian kanker payudara di Indonesia dan di dunia masih tinggi begitu pula dengan angka kekambuhan kanker payudara pada pasien yang telah menjalani pengobatan, saat ini diperlukan prediktor yang dapat dijadikan dasar untuk memperkirakan apakah kanker payudara dapat kambuh kembali setelah ditata laksana. Oleh karena itu penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan inter-rasio NLR/PWBR terhadap rekurensi kanker payudara apakah dapat dijadikan prediktor rekurensi kanker payudara. Penelitian dilakukan menggunakan metode cohort retrospektif minimal 3 bulan sampai 7 tahun dengan melihat rekam medis pasien kanker payudara yang telah mendapatkan terapi untuk mengambil data hasil pemeriksaan darah tepi. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji Chi-Square dengan program SPSS. Dari 106 sampel yang memenuhi kriteria seleksi, ditemukan 53 pasien dengan NLR/PWBR rendah dengan 23 kejadian rekurensi dan dari 53 pasien dengan NLR/PWBR tinggi dengan 13 kejadian rekurensi (RR=1,77, CI 95% 1,0070 – 3,1083, p=0,065). Dari pasien dengan hormonal positif, ditemukan 21 kejadian rekurensi pada kelompok NLR/PWBR rendah, dan 9 kejadian rekurensi pada kelompok NLR/PWBR tinggi (RR=2,05, CI 95%=1,088 – 3,857, p=0,035).
......Incidence rates of breast cancer are still high in Indonesia and in the World. So as the rate of recurrence breast cancer in patients who have undergone treatment. Now needed predictor that can be used as a standard for estimating whether breast cancer can recur after treatment. This research was done to investigate the association between NLR/PWBR inter-ratio to breast cancer recurrence.This research was conducted using a retrospective cohort method by looking at the peripheral blood tests in medical records with minimal 3 months until maximal 7 years observation. The data were analyzed using the Chi Square test with the SPSS software. From 106 patients there were 53 patients with lower NLR/PWBR with 23 breast cancer reccurrence, and from 53 patient with higher NLR/PWBR with 13 breast cancer recurrence (RR=1,77, CI 95%=1,0070 – 3,1083, p=0,065). From patients with hormonal potive, there were 21 breast recurrence from lower NLR/PWBR, and 9 from higher NLR/PWBR (RR=2,05, CI 95%=1,088 – 3,857, p=0,035)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Adi Wibisana
"Latar Belakang : Penyakit arteri perifer PAP ekstremitas bawah merupakan salah satu komplikasi makrovaskular DM tipe 2 yang memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Proses inflamasi telah diketahui berperan dalam terjadinya PAP pada penyandang DM tipe 2. Rasio neutrofil limfosit atau neutrophil lymphocyte ratio NLR telah digunakan sebagai penanda inflamasi kronik. Sejauh penelusuran kepustakaan yang dilakukan, belum didapatkan studi yang meneliti hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek penyandang DM tipe 2 yang menjalani pemeriksaan ankle brachial index ABI di poliklinik divisi Metabolik Endokrin RSCM periode Oktober 2015 ndash; September 2016. Didapatkan 249 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pengambilan data sekunder dari rekam medis mengenai data ABI, NLR, data demografik serta faktor perancu. Subjek dinyatakan menderita PAP ekstremitas bawah jika memiliki nilai ABI le; 0,9 dengan pemeriksaan probe Doppler. Data NLR kemudian dikategorikan berdasarkan median nilai NLR dan dicari hubungan nilai NLR dengan kejadian PAP ekstremitas bawah. Uji chi square digunakan untuk analisis bivariat dan regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat.
Hasil : Penyakit arteri perifer ekstremitas bawah ditemukan pada 36 subjek 14,5. Didapatkan nilai median NLR total sebesar 2,11. Nilai median NLR didapatkan lebih tinggi pada kelompok PAP daripada tanpa PAP 2,46 vs 2,04. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai NLR ge; 2,11 dengan kejadian PAP ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2 PR 2,46, 95 IK 1,23 ndash; 4,87; p=0,007. Dengan menggunakan uji regresi logistik, diketahui bahwa hipertensi merupakan variabel perancu.
Simpulan : Terdapat hubungan antara rasio neutrofil limfosit dengan kejadian penyakit arteri perifer ekstremitas bawah pada penyandang DM tipe 2.
......
Background : Lower extremity peripheral artery disease PAD is one of diabetic macrovascular complication which has high rate of morbidity and mortality. Chronic inflammation has been known to have a role in the pathogenesis of PAD in diabetic patient. Recently, neutrophil lymphocyte ratio NLR has been used as a marker of chronic inflammation. To the best of our knowledge, there are no prior studies about the relationship between NLR and PAD in type 2 diabetic patients.
Aim : To determine the relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patient.
Methods : This was a cross sectional study on 249 patients with type 2 diabetes mellitus who underwent ankle brachial index ABI examination at Metabolic and Endocrinology Divison in Cipto Mangunkusumo Hospital between October 2015 ndash September 2016. The data were retrospectively collected from medical record. Lower extremity peripheral artery disease was defined as having ABI value le 0,9 by probe Doppler. Neutrophil lymphocyte ratio were categorized based on the median value and the relationship with lower extremity PAD were determined. Chi square test was used for bivariate analysis and logistic regression was used for multivariate analysis against confounding variables.
Result : Lower extremity peripheral artery disease was found in 36 subject 14,5. Median of NLR was 2,11. The median value of NLR was found higher in subjects with lower extremity PAD than without PAD 2,46 vs 2,04. There was an association between NLR value ge 2,11 and lower extremity PAD in type 2 diabetic patient p 0,007 PR 2,46 and 95 CI 1,23 ndash 4,87. By using logistic regression, it was known that hypertension was the confounding variable.
Conclusion : There is a relationship between neutrophil lymphocyte ratio and lower extremity peripheral artery disease in type 2 diabetic patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rizki Agustina
"Latar belakang. Infeksi HIV dikaitkan dengan inflamasi kronik dan risiko aterosklerosis. Ketebalan tunika intima media arteri karotis telah digunakan sebagai penanda aterosklerosis subklinis dan rasio neutrofil limfosit telah banyak digunakan sebagai penanda inflamasi serta dapat memprediksi kejadian kardiovaskular pada populasi non-HIV.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan rasio neutrofil limfosit serta menetukan titik potong rasio neutrofil limfosit dan ketebalan tunika intima media arteri karotis sebagai penanda aterosklerosis subklinis pada pasien HIV tersupresi ARV.
Metode. Penelitian ini studi potong lintang pada pasien HIV usia 20-45 tahun dalam terapi ARV minimal 1 tahun dengan kadar virus HIV tidak terdeteksi yang berobat di POKDISUS HIV RSCM bulan Agustus-Desember 2019. Subjek penelitian tidak terdapat diabetes melitus, tidak ada infeksi oportunistik, dan tidak hamil. Penelitian ini bagian dari penelitian “Pengaruh pemberian atorvastatin terhadap aterosklerosis subklinis pada pasien HIV yang tersupresi dan seropositif CMV: sebuah uji acak tersamar ganda”. Dilakukan pencatatan data demografis, pengambilan darah untuk menilai rasio neutrofil limfosit dan ultrasonografi leher untuk menentukan ketebalan tunika intima media arteri karotis. Dilakukan analisis korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dan rasio neutrofil limfosit.
Hasil. Dari 80 subjek penelitian, 62,5% berjenis kelamin laki-laki. Rerata usia subjek 38,21 tahun. Sebanyak 20% subjek diketahui hipertensi dan 53,8% tidak pernah merokok. Median CD4 nadir 145,98 sel/uL Rerata rasio neutrofil limfosit 1,737±0,769 dan median ketebalan tunika intima media arteri karotis 0,475 (min-maks: 0,400-0,700) mm. Tidak didapatkan subjek yang termasuk aterosklerosis subklinis dan tidak didapatkan adanya korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan rasio neutrofil limfosit.
Kesimpulan. Tidak didapatkan korelasi antara ketebalan tunika intima media arteri karotis dengan neutrofil limfosit rasio pada pasien HIV tersupresi ARV
......Background. HIV infection is related with chronic inflammation and atherosclerosis. Carotid intimal media thickness (CIMT) has been used worldwide as a surrogate marker for subclinical atherosclerosis and neutrophil lymphocyte ratio (NLR) as inflammation marker has been shown to predict occurence of cardiovascular events in non-HIV population.
Objective. This research aims to study correlation between CIMT and NLR in HIV-suppressed ARV patients and to determine the NLR cut-off as subclinical atherosclerosis marker in HIV-suppressed ARV patients.
Method. This study was a cross-sectional study in HIV patient, 20-45 years old, on ARV therapy for at least 1 year with viral load undetectable and without diabetic mellitus or opportunistic infections and not pregnant at outpatient clinic POKDISUS HIV RSCM from August to Descember 2019. This study is part of another big research entitled “Effect of atorvastatin on subclinical atherosclerosis in virally-suppressed HIV-infected patients with CMV seropositivity:a randomized double-blind placebo controlled trial”. Demographic data, blood drawing for evaluating NLR and ultrasonography of carotid for evaluating CIMT were done for each patients. All data were analyzed for the correlation between CIMT and NLR..
Result. From 80 subjects, 62,5% was male. The mean age of subjects was 38,21 years. Hypertension was known for 20% subject and 53,8% had never smoked. The median CD4 nadir 145,98 cell/uL. In this study, mean of NLR was 1,737±0,769 and the median of CIMT was 0,475 (min-max: 0,400-0,700) mm. There were no subjects that included as sublinical atherosclerosis and there was no significant correlation between CIMT and NLR.
Conclusion. There was no significant correlation between CIMT and NLR in HIV-suppressed ARV patients"
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nadim
"Latar Belakang. Depresi sering ditemukan pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan berhubungan dengan aktivitas penyakit LES. Kurangnya perhatian klinisi terhadap penapisan hingga tatalaksana depresi pada LES sangat berperan. Hospital Anxiety and Depression Scal (HADS) merupakan salah satu skala pengukuran depresi berbentuk kuesioner yang sering dan mudah digunakan serta memiliki banyak terjemahan yang tervalidasi sedangkan Mexican- Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) merupakan sistem skoring untuk menilai aktivitas penyakit LES dengan biaya minimal namun mempunyai reliabilitas dan validitas yang baik. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamasi sistemik sedangan anti-dsDNA merupakan autoantibodi spesifik pada LES yang kadarnya meningkat seiring dengan aktivitas penyakit. Saat ini di Indonesia, belum ada penelitian yang mengkorelasikan antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada LES.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada pasien LES.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan analisis data primer pasien LES usia 18-60 tahun. Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik serta pengisian kuesioner HADS diikuti dengan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar anti-dsDNA dan melengkapi perhitungan skor Mex-SLEDAI. Korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA, dan skor Mex-SLEDAI didapat dengan uji korelasi Spearman menggunakan SPSS.
Hasil. Dilakukan analisis pada 121 subjek. Seluruh sampel adalah perempuan dengan median usia 31 (24-39) tahun. Median skor HADS-D sebesar 6 (4-7), median RNL sebesar 2,64 (1,945-3,91), median anti-dsDNA sebesar 133,5 (29,8-388,5), dan median skor Mex-SLEDAI sebesar 5 (3-10). Terdapat korelasi positif sangat lemah antara skor HADS-D dengan RNL (r 0,18 dan p 0,048). Terdapat korelasi positif lemah antara skor HADS-D dengan Mex-SLEDAI (r 0,244 dan p 0,007). Tidak terdapat korelasi antara skor HADS-D dengan anti-dsDNA.
Kesimpulan. Terdapat korelasi positif antara skor HADS-D dengan RNL dan skor Mex-SLEDAI tetapi tidak ada korelasi antara skor HADS-D dengan kadar anti-dsDNA pada pasien dengan LES.
......Background. Depression is common in systemic lupus erythematosus (SLE) and can increase SLE disease activity. Lack of clinical attention to screening until the management of depression play an important role. Hospital Anxiety Depression Scale (HADS) is a depression measurement scales that is often and easy to use while Mexican-Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) is a scoring system to asses disease activity at lower cost but has good reliability and validity. Neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is a systemic inflammation marker whereas anti-dsDNA is a specific antibody for SLE. In  Indonesia, there are no studies that correlate HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Objective. To determine the correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Methods. This study used a cross-sectional design that analysed the primary data of SLE patients aged 18-60 years. Interviews and physical examinations were carried out as well as filling out the HADS questionnaire followed by blood sampling to assess anti-dsDNA levels and calculate Mex-SLEDAI score. The correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score were obtained by using the Spearman correlation test using SPSS.
Results. This study analysed on 121 subjects with a median age of 31 (24-39) years. The median HADS-D score was 6 (4-7), median NLR was 2.64 (1.945-3.91), median anti-dsDNA level was 133.5 (29.8-388.5), and median Mex- SLEDAI score was 5 (3-10). There is a very weak positive correlation between HADS-D and NLR (r 0.18 and p 0.048) and weak positive correlation between HADS-D and Mex-SLEDAI (r 0.244 and p 0.007). There is no correlation between HADS-D and anti-dsDNA.
Conclusion. There are positive correlation between HADS-D score with NLR and Mex-SLEDAI score but there is no correlation between HADS-D score with anti-dsDNA level in SLE patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>