Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susilo Teguh Raharjo
Abstrak :
Hukum dibuat untuk dapat menciptakan keteraturan dan ketertiban sehingga mampu memberikan rasa keadilan dan keamanan kepada masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatannya.Oleh sebab itu hukum harus mempunyai manfaat, kepastian hukum dan memberi keadilan kepada masyarakatnya. Hukum yang berupa aturan tertulis dan tidak tertulis membawa konsekuensi membatasi kebebasan manusia. Sebagai mahluk yang mempunyai sifat dasar selalu ingin bebas dan hedonis, sifat ini dapat menjadi stimulus manusia untuk melanggar. Dewasa ini hukum dibuat oleh suatu badan atau lembaga yang diberi wewenang oleh negara atau rakyat. Hal ini disebabkan dalam pembuatan hukum tidak mungkin melibatkan seluruh warga masyarakat secara langsung karena jumlahnya yang sangat banyak. Penunjukan lembaga atau badan pembuat hukum ini dianggap dapat mewakili seluruh warga atau masyarakat. Sungguhpun demikian lembaga atau badan yang dibentuk tersebut seringkali tidak memperhatikan masyarakatnya. Pada kenyataannya hukum yang dibuat sering kali hanya untuk kepentingan kelompok penguasa atau pembuatnya. Dari sini timbul ketidaksepahaman antara penguasa dengan masyarakat. Hukum yang seharusnya dibuat untuk mendapatkan keteraturan dan ketertiban, dapat memberi rasa aman dan adil dirasakan oleh masyarakat sebaliknya. Akibatnya hukum tidak diterima dart ditolak oleh masyarakat. Penolakan atas hukum diekspresikan melalui ketidakpatuhan terhadap peraturan yang tercermin dari perbuatan melanggar. Dengan didukung oleh berbagai faktor maka pelanggaran dapat berubah menjadi suatu pembangkangan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
Abstrak :
ABSTRAK
Banten, yang terletak di bagian paling barat dari pulau Jawa terkenal karena di samping merupakan tempat yang pertama kali dikunjungi Belanda, juga di daerah ini sering terjadi pemberontakan. Pada abad ke-19 terjadi serangkaian pemberontakan yang berpuncak pada pemberontakan petani Banten pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1926 Banten menjadi panggung pemberontakan komunis yang cukup mencemaskan pemerintah kolonial. Pemberontakan yang mempunyai semangat kuat anti Belanda dan priyayi dapat ditumpas, namun kebencian mereka tidak pernah hilang.

Setelah Indonesia merdeka, di daerah yang paling barat dari pulau Jawa ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang agresif. Setelah berita proklamasi kemerdekaan sampai di sana para pemuda dan tokoh masyarakat melakukan aksi penurunan bendera Jepang dari kantor-kantor pemerintah dan lain sebagainya. K.H. Tubagus Akhmad Khatib diangkat sebagai residen Banten dan K.H. Syam'un sebagai pimpinan BKR. Untuk mempersenjatai badan itu diseranglah markas kempeitai di Serang setelah cara damai yang ingin ditempuh tidak disepakati oleh Jepang. Setelah itu, diseranglah rumah penjara di Serang, dibebaskan orang-orang yang ditahan di dalamnya, dan ditempat lain ditangkap beberapa orang yang tidak disenangi karena sikap mereka di masa lalu, dan didudukinya jabatan-jabatan pemerintah khususnya kepamongprajaan oleh para utama dan kyai. Beberapa hari berikutnya pemerintah setempat hampir hancur sama sekali. Di beberapa tempat penggantian kekuasaan itu disertai kekejaman.

Kaum komunis setempat membiarkan para ulama dan kyai menduduki jabatan-jabatan itu, namun sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya pada pembentukan Dewan Rakyat di bawah pimpinan Ce Mamat. Dewan melaksanakan fungsinya sebagai badan eksekutif utama. Dewan membentuk pasukan kepolisian sendiri dan Dewan Ekonomi.

Gejolak sosial yang terjadi sejak bulan Oktober itu mendorong pemerintah pusat meninjau daerah itu. Pada tanggal 9-11 Desember 1945 Presiden dan Wakil Presiden disertai rombongan datang ke Banten. Dalam kesempatan itu Presiden antara lain menyatakan bahwa RI bukan milik satu daerah, melakukan milik seluruh rakyat Indonesia. Hatta menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak perlu dan agar dibubarkan.

Dewan Rakyat akhirnya dapat ditumpas pada tanggal 8 Januari 1946. Setelah itu, radikalisme di daerah itu mereda. 'Melihat perkembangan di Banten, pemerintah pusat berusaha meningkatkan daerah ini dengan mendatangkan tenaga-tenaga profesional. Tenaga-tenaga yang sesuai dengan suasana daerah itu sungguh diharapkan rakyat Banten.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, Robert
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keterlibatan orang-orang Batak Toba dalam pemberontakan PRRI di Sumatera Utara pada tahun 1958-1961. Keterlibatan orang-orang Batak Toba dalam pemberontakan tersebut merupakan sebuah Manifestasi dari "Mudar Namangkuling". Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori collective action dari Charles Tilly. Teori ini kemudian ditempatkan dalam kerangka metodologi strukturis yaitu suatu metodologi yang berusaha mengungkapkan realitas peristiwa berdasarkan sumber sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang-orang Batak Toba dalam pemberontakan PRRI merupakan ledakan akumulasi dari ketidakpuasan Batak Toba terhadap pihak pemerintah pusat yang tidak menghiraukan kehidupan ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini tampak dari tekanan dari orang-orang non Batak Toba dalam mematahkan dominasi orang-orang Batak Toba secara khusus di Sumatera Timur. Keinginan orang-orang Batak Toba supaya penyelesaian pergolakan daerah-daerah umumnya dan Sumatera Utara khususnya diselesaikan dengan jalan tidak melalui kekerasan tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Orang-orang Batak Toba yang mengetahui bahwa pemberontakan PRRI-Permesta bertujuan untuk mengadakan koreksi dan bukan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, telah menyebabkan munculnya dukungan terhadap PRRI yang diproklamasikan pada tanggal 15 Pebruari 1958 di Padang. Akan tetapi selain ketidakpuasan tersebut, keterlibatan orang-orang Batak Toba juga disebabkan adanya solidaritas di antara sesama orang Batak Toba yang disebut "mangkuling mudar" (darah yang berbunyi). Hal itu tampak, misalnya, dari adanya ucapan "kalau teman menarik bambu secara terbalik, maka terbalik pula kita tarik". Artinya, walaupun sudah mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang-orang lain itu merupakan pemberontakan, namun orang-orang lainnya yang sebelumnya tidak menghendakinya, dengan adanya "mangkuling mudar" menyebabkan ikut serta di dalamnya. Keterlibatan dari Komando Resimen Infantri-3 Tapanuli dan partisipasi masyarakat Batak Toba di Tapanuli Utara dalam pemberontakan telah membuktikan hal itu. Kembalinya Negara Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945, perjuangan menghadapi Belanda dalam masalah Irian Barat, seruan KSAD Mayjen A.H. Nasution supaya "kembali ke pangkuan ibu pertiwi", kekhawatiran akan semakin kuatnya komunis di Indonesia, dan perpecahan di kalangan pemimpin pemberontak sehubungan dengan pembentukan PRRI, telah mendorong orang-orang Batak Toba untuk menghentikan pemberontakan. Untuk itu, orang-orang Batak Toba yang tidak terlibat dan menghendaki agar pemberontakan selesai, ikut berperan didalam penyelesaian itu. Dengan demikian, keterlibatan orang-orang Batak Toba dalam pembentukan PRRI merupakan sebuah Manifestasi dari "Mudar Namangkuling".
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T7145
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prih Suharto
Abstrak :
As we all know, the abortive coup which occured In the morning of the 1 st October 1965 (often called Gestapu or G-30-S/PKI) and Its aftermath, the destruction of the Communist Party of Indonesia (PKI), caused many people were killed, particularly In Java and Ball. Estimates of the numbers killed varied from 78,000 to one million. Many of them are people who was not ought to be killed. This thesis analyzed Bowuk (1975, written by Umar Kayam) and Kubah (1980, written by Toharl) the two novels that tell the story about Gestapu. The aim of this thesis Is to find out a portrait whether why one (here is the protagonist of the story) claimed Involved or not Involved In such events were often said as one of the biggest tragedy in this century. As a tool of analyses, this thesis used Barthes's syntagmaticparadygmatic approach as theorical framework. choose the approach because it can lead to read the story carefully, so we can follow what the protagonist (and other characters) did moment by moment until he or her was considered to be involved In Gestapu. From the analyses I concluded that the Involvement of the two protagonists are different. It can be said that Bawuk (the protagonist of Bowuk), was Involved just because she tried to devote to her husband (Hassan, an activist of PK!) while on the other hand her husband was claimed as political fugitive. Meanwhile, the involvement of Karman (protagonist of Kuboh) Is more caused by the scenario of the communist party to recrut him as cadre. Recrutment of Karman has made possible by problems which surrounded him, whether as a man who can not marry his beloved gki (R(fah, the daughter of Haji Bakir) or as a member of the lowerer who had "class-conflict" with Haji Bakir, one who came from upper class.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hetreda Terry
Abstrak :
Alexander Jacob Patty (A.J.Patty) lahir lahir tangal 30 September 1890 di pulau Banda dan meninggal tahun 1952 di Bandung. Perjuangannya dalam organisasi Sarekat Ambon (SA) dimulai sejak berdirinya organisasi tersebut pada tanggal 9 Mei 1920 di kota Semarang Jawa Tengah. Ideologi yang dimilikinya bersumber pada ideologi Indicshe Partij dari E.F.E.Douwes Dekker, yaitu perjuangan untuk kemerdekaan penduduk Hindia dari cengkeraman penjajahan. Organisasi SA bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di residensi Ambon. Untuk merealisasi tujuan itu, maka pada rapat pengurus pusat SA bulan Maret 1923 di Batavia (Jakarta), diputuskan A.J.Patty harus berangkat ke Ambon mempropagandakan ide-ide SA kepada masyarakat di sana. Sebagai seorang ahli propaganda yang handal, Ia memiliki pemikiran-pemikiran yang cerdas, dan mampu menarik hati banyak orang yang kemudian menjadi pengikutnya. Kelebihannya, yakni dalam setiap pertemuan dengan masyarakat, Ia menggunakan bahasa yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi masyarakat di alam penjajahan. Kondisi yang tidak bebas dan serba diatur. Oleh karena itu kepada masyarakat selalu ditekankan perlunya persatuan dan kesatuan di antara seluruh masyarakat Ambon. Untuk itu ia mengajak masyarakat di kepulauan Ambon-Lease untuk bergabung dalam organisasi SA, bergandengantangan melangkah memperjuangkan kesejahteraan hidup bersama. Upaya nyata di kepulauan Ambon-Lease, dilakukan dalam bentuk proles terhadap kenaikan uang sekolah dan penggabungan beberapa sekolah dasar ke dalam HIS, terlibat langsung dalam pendirian sekolah SA di Saparua yang dipimpin oleh J.D.Putiray serta mendirikan toko koperasi: Dengan adanya propaganda dari tokoh-tokoh SA dan semakin bertambahnya anggota, mulai nampak perubahan sikap penduduk dalam melakukan kewajibannya, seperti penundaan pembayaran pajak, bahkan di beberapa negeri ada sikap menentang kepala negeri dan pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan tidak melakukan kerja wajib di negeri. Pemerintah kemudian menyimpulkan bahwa kesetiaan masyarakat menurun akibat propaganda yang dilancarkan oleh A.J_ Patty dengan SA-nya. Dengan melihat kenyataan itu, para kepala negeri melalul organisasi Regentenbond mengajukan pengaduan kepada Residen, bahwa A.J.Patty harus diusir karena melanggar adat setempat dengan sexing melakukan rapat di negeri-negeri. Namun Residen tidak memiliki otoritas, karena tidak ada UU yang melarang hal itu. Setiap tindakan A.J. Patty terus diawasi. Kehadirannya bersama beberapa teman di rumah keluarga H. Rumarusun di Benteng (sebuah desa di pinggiran kota Ambon) yang menurut polisi sebagai tempat penyimpanan, penjualan minuman beralkohol, dijadikan alasan untuk menangkap A.J.Patty yang kemudian disingkirkan dari Ambon. Dengan terusirnya A.J.Patty dari Ambon, maka secara tidak Iangsung telah gagal memperjuangkan tujuan organisasi SA yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduka di residensi Ambon. Sekalipun secara fisik perjuangan A.J.Patty tahun 1923-1924 di kepulauan Ambon-Lease gaga!, tetapi telah berhasi[ menanamkan ide-ide SA. Hal itu dapat dibuktikan dengan terus berkembangnya SA sampai tahun 1942. Sebenarnya tidak ada kesalahan yang sangat serius yang dilakukan A.J. Patty sehingga harus diusir, tetapi pada waktu itu gubernur jenderal mempunyai hak exrobitan, yaitu hak untuk menangkap atau mengasingkaan seseorang yang dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Pada tanggal 9 Januari 1925 keluar SK untuk mengasingkan A.J.Patty ke Bengkulu (Sumatera Selatan). Dari Bengkulu la dipindahkan berturut-turut ke Palembang, Flores, Bauven Digul dan terakhir Australia. Kembali ke Indonesia tahun 1946 dan tinggal di Yogyakarta. Di Yogyakarta mendirikan Partai Politik Maluku (PARPIM) sebagai wadah untuk turut dalam perjuangan. Selain itu bersama tokoh-tokoh lainnya yang berasal dad Maluku seperti Mohammad Padang, dr. Siwabessy, dr. Small() dan J.D. Syaranamual terus memperjuangkan kepentingan Maluku dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sampai akhir hayatnya A.J.Patty tetap aktif dalam kegiatan politik.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T9485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ipit Saefidier Dimyati
Abstrak :
Penelitian ini berusaha untuk melihat jeprut, sejenis seni pertunjukan (performing art), yang sedang tumbuh di Bandung, sebagai perlawaan terhadap hegemoni kekuasaan dari sudut pandang kebudayaan. Untuk menuju ke arah itu dalam penelitian ini kebudayaan dipahami sebagai hal yang memiliki dua sisi yang, meskipun saling bertentangan, tidak bisa dipisahkan, yakni sisi yang mapan, dan sisi yang memberi peluang bagi perubahan. Sisi yang mapan merupakan kebudayaan dominan, berisi norma atau aturan yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku para anggota suatu masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, sedangkan sisi yang lainnya merupakan potensi-potensi yang mendesak keluar untuk menjadi hal yang aktual. Di antara kedua sisi itu, ada ruang yang tak ada di mana-mana, tapi juga ada di mana-mana, yakni ruang liminal. Ruang liminal adalah semacam lambang, in-between. yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan. Dengan kata lain, ruang liminal merupakan tempat teraplikasikannya potensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ia berada di ruang liminal, sebab ia tidak lagi berupa potensi, tapi juga ia ditolak oleh sisi yang mapan, karena mengingatnya sifat yang `subversif", berbeda, dan dianggap mengganggu ketertiban, keharmonisan dan kenormalan yang telah berjalan. Dilihat dari pembagian kebudayaan serupa di atas, maka posisi jeprut bisa dipahami berada di ruang liminal, sebab meskipun awalnya hanya berupa potensi-potensi, tapi karma sudah teraktualisasi, maka ia tidak lagi berada dalam sisi peluang. Meskipun begitu, ia pun bukan bagian dari sisi yang mapan, sebab kehadirannya tidak atau belum menjadi bagiannya, bahkan kehadirannya ditolak oleh orang-orang yang berada di dalam kebudayaan dominan tersebut. Orang-orang yang berada dalam kekuasaan biasanya cenderung untuk mempertahankan situasi dan kondisi yang ada, sebab ia telah diuntungkan oleh keadaan itu. Untuk menjaga agar kebudayaan berada dalam status quo, diciptakanlah strategi-strategi untuk mempertahankannya, seperti menciptakan aturan beserta sanksinya, baik berupa kurungan atau penyiksaan badan, bagi orang yang melanggar aturan tersebut. Strategi itu bisa pula berupa penyebaran wacana melalui berbagai bentuk media, seperti teks-teks pidato, karya tulis para pakar, seni, sekolah, dan media massa. Bila strategi itu berhasil diterapkan, maka norma-norma yang telah menguntungkan penguasa itu menjadi terintenialisasi di dalam diri orang yang dikuasainya, dan secara tidak sadar marasa patuh untuk melaksanakannya dengan tanpa melalui paksaan. Bila pun ia merasa menjalankan suatu norma yang menjadi pedomannya untuk berperilaku, namun normna penguasa itu tidak dirasakan sebagai suatu paksaan, tapi dipahami sebagai hasil dari suatu konsensus bersama. Dalam konsep Gramsci, kondisi serupa itu disebut sebagai hegemoni. Akan tetapi, secanggih apapun hegemoni itu dikembangkan, ia senantiasa akan melahirkan orang yang memiliki ide atau gagasan dari ide atau gagasan yang dominan. Bila gagasan serupa itu muncul ke permukaan, biasanya ia direpresi dengan berbagai cara. Jeprut merupakan suatu Cara berekspresi para seniman Bandung yang berbeda dari biasanya. Secara etimologis kata itu berarti putus (secara tiba-tiba), tapi bisa juga berarti gila. Pada kenyataannya, karya-karya seniman yang dikategorikan sebagai jeprut, memang `terputus' dari penciptaan yang biasanya, dan ia tampak aneh, abnormal, berada di luar kelaziman atau 'Ole. Oleh karena itu banyak orang yang menganggap jeprut bukan karya seni, tapi tak lebih sebagai hasil perilaku dari orang yang melakukan kompensasi karena ketidakmampuan membuat karya seni yang konvensional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu melalui kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Tujuan utama penggunaan metode ini adalah agar bisa menggambarkan jeprut pada saat penelitian ini dilakukan, kemudian memeriksa sebab-sebabnya mengapa ia muncul dalam suatu kebudayaan. Penemuan penting hasil penelitian menunjukkan bahwa jeprut merupakan suatu resksi atau perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang hegemonik. Pada awal kemunculannya karya-karya jeprutt memperlihatkan suatu bentuk yang tidak teratur, sulit diterka, dan memiliki unsur sensasi yang besar. Hal itu bisa dipahami karena ia berusaha untuk menghindari pembrangusan yang senantiasa dilakukan oleh para elite Orde Baru terhadap karya-karya seni yang terlalu berani membicarakan persoalan-persoalan yang dianggapmya `terlarang' untuk dibicarakan di ruang publik. Namun ketika kekuasaan Orde Baru berakhir, jeprut memperlihatkan suatu perubahan yang besar. Selain penggunaan tempat tidak lagi di ruang-ruang yang banyak dikunjungi orang, namun ruang-ruang yang lebih eksklusif, dalam penyajiaannya terlihat semakin tertib, dan lebih `verbal', jelas apa yang dibicarakannya, yakni perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan. Perubahan ini tampaknya seiring dengan semakin berkembangnya suatu bentuk pengucapan baru dalam seni rupa yang disebut performance art (seni rupa pertunjukan). Dari hasil analisis ditemukan bahwa sasaran perlawanan jeprut memiliki dua arah, yaitu perlawanan eksternal dan internal. Perlawanan eksternal adalah perlawanan terhadap kondisi sosial politik yang berada di luar kehidupan kesenian secara langsung, sedangkan perlawanan internal adalah perlawanan terhadap kehidupan kesenian itu sendiri. Sebagai kesimpulan, hadirnya jeprut dalam suatu kebudayaan dominan menunjukan hubungan antara kekuasaan dari karya seni. Ada tiga otoritas yang biasanya memiliki kekuasaan dalam mendefinisikan karya seni, yaitu: seniman, kritikus seni, dan media massa. Untuk memperdalam masalah itu, penulis menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut di waktu yang akan datang.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Deasy Aiven
Abstrak :
Pada era 1960 di Amerika terjadi berbagai peristiwa yang terjadi secara bersamaan, yang membentuk era ini menjadi unik dalam sejarah Amerika. Peristiwa-peristiwa seperti Civil Rights Movement, gerakan feminis, Perang Vietnam, gerakan-gerakan mahasiswa anti Perang Vietnam, dan juga gerakan hippies, yang melakukan demonstrasi-demonstrasi di jalan-ialan dan berbagai tempat umum, baik dengan aksi damai maupun dengan melakukan demonstrasi brutal, Penolakan mahasiswa terhadap Perang Vietnam dapat dipahami sebagai bertul: kekuatiran mereka terhadap draft yang mengharuskan mereka yang telah berusia 18 tahun untuk ikut berperang di Vietnam. Hal ini menjelaskan kemarahart mereka karena haknya untuk menentukan pilihan untuk ikut berperang atau tidak, dicabut oleh pemerintah. Keadaan era 1960an ini pada dasarnya dipengaruhi juga oleh keadaan Amerika pada dekade sebelumnya ketika terjadi baby booming pada masa setelah Perang Dunia II dan kemajuan ekonomi Amerika yang melambung tinggi. Tetapi keadaan ekonomi dan teknologi yang pesat, yang berlanjut sampai era 60an tersebut ternyata mendapat kritikan dari kelompok muda, yaitu hippies yang merasa bahwa kemakmuran tersebut telah menyebabkan manusia menjadi matrealistis, kompromis, dan kehilangan sisi kemanusiaannya. Hippies adalah kelompok muda kulit putih Amerika yang berasal dari keluarga kelas menengah dan cukup terdidik. Mereka melakukan pemberontakan terhadap kemapanan di Amerika, seperti pemerintah dan gereja. Penolakan mereka terhadap gereja dilakukan dengan gaya hidup yang sangat bertentangan dengan gaya hidup yang berlaku pada masa itu. Mereka juga memperkenalkan gaya berbusana dan musik yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Hippies hidup dalam sebuah commune, melakukan seks bebas, dan menggunakan zat-zat adiktif. Hippies meninggalkan ajaran Protestan dan beralih kepada agamaagama Timur yang dianggap dapat membawa ketenangan, kebijaksanaan, kedamaian, anti matrealistis, dan harmonis dengan alam. Era 1960 dikenal juga sebagai era Post-Protestant, suatu era ketika agama Protestan tidak lagi memiliki makna bagi sebagian masyarakat Amerika. Pada masa ini gereja kehilangan banyak jemaatnya, khususnya kaum muda yang merasa bahwa agama Protestan telah membatasi kebebasan individu dan memiliki aturan-aturan yang sangat mengikat jemaatnya.
America in the 1960's is a unique era in American history, there were a lot of events comes together, such as Civil Rights Movement, Feminist movement, Vietnam War, anti war students movement, and hippies. They were demonstrates in streets and various public places by peace or violent. Anti war movement can be understood as a worried reflection of younger generation about the draft to joint the war They were angry to government who makes that draft, because they think they loose they right to choose. Actually, the situation of the 60's influenced by American period after World War II and the 50's. Beginning by baby booming after World War II and the time of affluence which continued until the 60's. But that enormous progress in economic and technology got some critics from younger generation, especially hippies, whom felt that affluence caused people become material oriented, compromising, and lack their humanity. Hippies are a group of a young white, educated, middle class, American. They were against American establishment, such as government and church. They opposition toward church showed by they life style, which so different from mainstream. They used strange fashion and new genre of music. They live in commune, doing free sex, and used drugs. They also learned about East religions, because they think that religions teach them calmness, wisdom, peace, anti material, and harmonize with nature. The era of the 60's also known as the era of Post-Protestant, the time when Protestant gave no meaning to some of Americans. In this era, churches were lost of their members, especially younger. Younger thought that Protestant has rules to tight their members and gave no space to express their selves.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suradi
Abstrak :
Tesis ini merupakan suatu gambaran terjadinya konflik di Aceh, sebab - sebab terjadinya konflik dan solusi bersama penyelesaian konflik. Konflik yang terjadi di Aceh mempunyai latar belakang perrnasalahan yang unik, dari memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sampai mempertahankannya hingga pembangunan pengisi kemerdekaan sampai sekarang konflik di Aceh masih terjadi. Konflik yang terjadi di Aceh berawal dari tidak ditepatinya janji yang pernah diucapkan oleh Presiden pertama RI Ir.Soekamo yang telah merealisasi bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Aceh akan dianugerahkan sebagai daerah istimewa dan mempunyai hak-hak yang sesuai dengan daerahnya. Anugerah sebagai daerah istimewa karena daerah Aceh dianggap sebagai modal dan motor dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga memperjuangkan kedaulatan kemerdekaan di dunia internasional. Konfrensi memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional setelah kemerdekaan menelan biaya yang cukup besar. Sementara biaya pengembalian pemerintah pusat ke Yogyakarta tahun 1948 juga cukup besar, semua biaya tersebut didapat dari sumbangan masyarakat Aceh sebagai simpatisan dan sekaligus sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Cikal bakal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perintis dari pembentukan Negara Kesatuan ini bermula dari tokoh pejuang Aceh yang ingin mempersatukan seluruh wilayah RI dalam satu kesatuan yang utuh dan besar. Setelah Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya, harapan untuk menjadi negara yang berdaulat adil dan makmur tidak dirasakan oleh masyarakat Aceh. Aceh di jadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) semasa Orba, kekayaan alam di bawa ke pusat semua ini menambah penderitaan masyarkat Aceh, hingga akhirnya mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Konflik yang berkepanjangan menjadi sorotan bagi para elit politik dan pemerintah pusat. Solusi - solusi yang pernah di tempuh oleh pemerintah pusat maupun GAM untuk mengatasi dan mengakhiri konflik dilaksanakan. Namun semuanya tidak membuahkan hasil, karena pihak yang berkonflik tidak konsekuen dalam mematuhi semua perjanjian bersama perdamaian. Hingga perjanjian kesepakatan bersama juga di saksikan oleh Henry Dunant Centre (HDC) juga telah dilaksanakan namun belum berhasil. Harapan untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh terus dilaksanakan, dan ini menjadi dambaan dari masyarakat Aceh.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambler, S. T.
Abstrak :
the bishops'actions on the ground and their culture, identity, and political thought. In so doing it reveals how the Montfortian bishops were forced to construct a new philosophy of power in the crucible of political crisis.
Oxford: Oxford University Press, 2017
e20469694
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Hagerdal
Abstrak :

ABSTRACT
The present study focuses on a set of events in the Aru Islands, Maluku, in the late eighteenth century which are documented in some detail by Dutch records. A violent rebellion with Muslim and anti-European overtones baffled the Dutch colonialists (VOC) and led to a series of humiliations for the Company on Aru, before eventually being subdued. As one of the main catalysts of the conflict stands the chief Tamalola from the Muslim island Ujir. Interestingly, this persons also a central figure in local traditions from Ujir. Moreover, his story connects with wider cultural and economic networks in eastern Indonesia. Thus the article asks how the imprints of the Tamalola figure in textual and non-textual sources can add to our knowledge of how communities of Eastern Indonesia ordered their lives outside colonial control.
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2019
909 UI-WACANA 20:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>