Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simon Yosonegoro Liem
"Latar Belakang: Infeksi saluran napas akut (ISPA) disebabkan oleh berbagai patogen termasuk SARS-CoV-2. Gejala yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 maupun patogen lainnya memiliki kemiripan sehingga diperlukan uji deteksi SARS-CoV-2 terkait tatalaksana infeksi SARS-CoV-2 yang di antaranya diperlukan isolasi kasus positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi patogen penyebab ISPA selama pandemi COVID-19 sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan dengan cepat dan tepat.
Metode: Pada tahap awal dilakukan optimasi kondisi real-time reverse-transcription- PCR (rRT-PCR) menggunakan kontrol positif SARS-CoV-2 dan kit SensiFAST SYBR No-ROX One-Step dengan parameter yakni volume template, suhu reverse transcriptase (RT), dan waktu RT, serta dilakukan uji Limit of Detection (LOD) dengan pengenceran RNA standar genom SARS-CoV-2 dan uji reaksi silang rRT-PCR SARS-CoV-2 terhadap 11 jenis bakteri dan 4 jenis virus. Setelah optimasi, dilakukan uji terhadap spesimen klinis (swab nasofaring/orofaring) yang dikumpulkan dari Maret sampai September 2020. RNA spesimen diekstraksi menggunakan QIAamp® Viral RNA Mini Kit dan kemudian digunakan untuk rRT-PCR. Patogen penyebab ISPA lainnya (Virus Influenza, Adenovirus, Bocavirus, Coronavirus (229E, HKU-1, NL63, OC43), Metapneumovirus, Virus Parainfluenza, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, Bordetella pertussis, B. parapertussis, dan Mycoplasma pneumonia) dideteksi menggunakan Hybrispot Respiratory Flow Chip assay.
Hasil: Kondisi optimal rRT-PCR SARS-CoV-2 didapatkan volume template 7,9 μL, suhu RT 50 oC, waktu RT 30 menit dengan LOD 3,5 kopi/reaksi, dan tidak ditemukan reaksi silang dengan patogen lainnya yang diuji. Dari 261 spesimen klinis, diperoleh hasil yang positif minimal satu patogen sebesar 27,59% (72/261) dengan 15 jenis patogen penyebab ISPA yang terdiri dari 13 spesies/subtipe virus yakni SARS-CoV-2, Coronavirus-229E (CoV-229E), CoV-HKU-1, CoV-NL 63, CoV-OC43, Adenovirus, Bocavirus, Virus Influenza, Human Metapneumovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) subtipe-A, RSV subtipe-B, Rhinovirus, dan 2 spesies bakteri yakni Bordetella pertussis dan B. parapertussis.
Kesimpulan: Uji rRT-PCR dapat dengan akurat dan cepat mendeteksi SARS-CoV-2 sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan secara tepat dan cepat untuk mencegah penularan COVID-19. Gejala klinis (demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sesak napas, nyeri abdomen dan diare) pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan pasien yang terinfeksi patogen lainnya tidak dapat dibedakan; namun perlu dilakukan studi lebih lanjut menggunakan jumlah sampel yang memenuhi kriteria statistik untuk membedakan gejala infeksi SARS-CoV-2 dengan infeksi patogen lainnya.
......Background: Acute respiratory tract infections (ARTI) are caused by various pathogens, including SARS-CoV-2. The symptoms caused by SARS-CoV-2 and other pathogens are similar, so a SARS-CoV-2 detection test is needed to manage SARS- CoV-2 infection, including the isolation of positive cases. The purpose of this study is to detect pathogens that cause ARTI during the COVID-19 pandemic so that management can be carried out quickly and appropriately.
Method: The first step of this research was an optimization of real-time reverse- transcription-PCR (rRT-PCR) using a positive control SARS-CoV-2 and the SensiFAST SYBR No-ROX One-Step kit with parameters: template volume, reverse transcriptase (RT) temperature, and RT time, as well as the Limit of Detection (LOD) test by dilution of the standard RNA of the SARS-CoV-2 genome and cross-reaction test of SARS-CoV-2 against 11 types of bacteria and 4 types of viruses. After optimization, clinical specimens (nasopharyngeal/oropharyngeal swabs) were tested, collected from March to September 2020. RNA specimens were extracted using the QIAamp® Viral RNA Mini Kit and then used for rRT-PCR. Other respiratory pathogens (Influenza Virus, Adenovirus, Bocavirus, Coronavirus (229E, HKU-1, NL63, OC43), Metapneumovirus, Parainfluenza Virus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, Bordetella pertussis, B. parapertussis, and Mycoplasma pneumoniae) were detected using the Hybrispot Respiratory Flow Chip assay.
Result: The optimal conditions for SARS-CoV-2 rRT-PCR were 7.9 μL template volume, 50 oC RT temperature, 30 minutes RT time with LOD of 3.5 copies/reaction, and no cross-reactions were found with other tested pathogens. Positive clinical specimen for at least one pathogen was 27.59% (72/261) with 15 types of ARTI pathogens consisting of 13 species/subtypes of the virus, i.e., SARS-CoV-2, Coronavirus-229E (CoV-229E), CoV-HKU-1, CoV-NL 63, CoV-OC43, Adenovirus, Bocavirus, Influenza Virus, Human Metapneumovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) subtype-A, RSV subtype-B, Rhinovirus, and 2 bacterial species, i.e., Bordetella pertussis and B. parapertussis.
Conclusion: The rRT-PCR test can detect SARS-CoV-2 accurately and quickly for appropriate and rapid management in preventing the transmission of COVID-19. The clinical symptoms (fever, cough, nasal congestion, sore throat, dyspneu, abdominal discomfort and diarrhea) of patients infected with SARS-CoV-2 compared to those infected with other pathogens were indistinguishable; however, further studies need to be conducted using the number of samples that meet the statistical criteria to differentiate the symptoms of SARS-CoV-2 infection from other pathogenic infections."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tablet moxifloxacin 400 mg telah dipasarkan di Indonesia untuk beberapa indikasi, yaitu bronkitis kronik eksaserbasi akut, pneumonia didapat di komunitas, dan sinusitis bakterial akut. Untuk menilai keamanan dan tolerabilitas moxifloxacin, dilakukan survei pasca pemasaran pada tahun 2001 yang melibatkan 589 dokter. Selain itu, dinilai pula efikasi kliniknya, baik oleh dokter maupun pasien, dengan menggunakan total skor 6 gejala yang berskala 0-12. Seluruhnya, diperoleh 1715 pasien dengan sinusitis akut, pneumonia didapat di komunitas, bronkitis kronik eksaserbasi akut dan infeksi lainnya yang diobati dengan moxifloxacin oral 400 mg sekali sehari. Sebanyak 151 (8,8%) pasien melaporkan efek samping dan 5 (0.29%) pasien mengalami efek samping serius, yang dianggap berhubungan dengan terapi moxifloxacin. Efek samping tersering adalah mual (4.96%), pusing (1.52%), muntah (0.64%), sakit kepala (0,47%), dan lemah (0,47%). Duapuluh tiga (1,34%) pasien menghentikan terapi akibat efek samping. Toleransi terhadap terapi dinilai sangat baik oleh 647 (37,7%) dan baik oleh 919 (53,6%) pasien. Berdasarkan penilaian klinis oleh dokter, 57,7% pasien dinyatakan sembuh dan 39.9% dinyatakan membaik di akhir terapi. Rerata skor gejala total, sebagaimana dinilai oleh pasien, turun dari 6,43 pada hari pertama menjadi 2,76 pada hari ketiga. Secara umum, 95.3% pasien merasa lebih baik setelah mendapat moxifloxacin dan 97,6% pasien memberikan kesan baik terhadap terapi moxifloxacin. Sebagai kesimpulan, survei pasca pemasaran ini menunjukkan bahwa pengobatan infeksi saluran napas oleh bakteri, terutama bronkitis, pneumonia komunitas dan sinusitis, dengan moxifloxacin 400 mg sekali sehari aman dan dapat ditoleransi dengan baik, dan juga bahwa moxifloxacin sangat efektif untuk pengobatan infeksi ini dengan perbaikan gejala yang cepat. (Med J Indones 2004; 14: 11-19)

Moxifloxacin 400 mg tablet has been marketed in Indonesia for several indications, i.e. acute exacerbation of chronic bronchitis (AECB), community-acquired pneumonia (CAP), and acute bacterial sinusitis (ABS). To assess the safety and tolerability of moxifloxacin, a post-marketing surveillance study was conducted in the year 2001 involving 589 physicians. Clinical efficacy was also evaluated, both by physicians and patients, using a 6-symptom total score, which was scaled 0-12. A total of 1715 patients with acute sinusitis, CAP, AECB, and other infections were treated with oral moxifloxacin 400 mg once daily. There were 151 (8.8%) patients with adverse events (AEs) and 5 (0.29%) patients with serious adverse events (SAEs) that were considered related to moxifloxacin treatment. The most common adverse reactions were nausea (4.96%), dizziness (1.52 %), vomiting (0.64%), headache (0.47%), and weakness (0.47%). Twenty three (1.34%) patients discontinued treatment due to adverse events. Tolerance to treatment was rated very good and good by 647 (37.7%) and 919 (53.6%) of patients, respectively. Based on physicians? clinical assessment, 57.7% of patients were cured and 39.9% were improved at the end of treatment. Mean total symptom score, as assessed by the patients, decreased from 6.43 on day-1 to 2.76 on day-3. Totally, 95.3% of patients felt better after receiving moxifloxacin and 97.6% of patients had good impression on moxifloxacin treatment. In conclusion, treatment of respiratory tract infections, mainly AECB, CAP and ABS, with moxifloxacin 400 mg once daily in this post-marketing surveillance was shown to be safe and well tolerated. Moxifloxacin was also shown to be highly effective in the treatment of these infections with rapid improvement of symptoms. (Med J Indones 2004; 14: 11-19)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 11-19, 2005
MJIN-14-1-JanMar2005-11
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Siswati
"Penggunaan obat yang tidak rasional seperti antibiotika pada ISPA bukan pneumonia merupakan masalah yang mengkhawatirkan karena dapat menghambat penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit, menyebabkan pemborosan karena pemakaian yang tidak perlu serta menimbulkan efek samping dan resistensi terhadap bakteri, Penggunaan antibiotika untuk kasus ISPA bukan Pneumonia dan diare di Kota Padang masih tinggi yaitu rata-rata 28 %, dengan target ideal 0 % dan target propinsi kecil dart 20 %.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan Pneumonia di puskesmas se-Kota Padang, dan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yang meliputi umur, latar belakang pendidikan, pengetahuan, sikap terhadap pedoman pengobatan, keterampilan dalam penetapan diagnosis, adanya tenaga kesehatan panutan, permintaan pasien, supervisi serta pelatihan dengan variabel dependen yaitu perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 metode yaitu metode kuantitatif dengan desain cross sectional dan metode kualitatif. Proporsi penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia 24,3 % dan hasil analisis bivariat pada penelitian kuantitatif diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan responder, sikap responden terhadap pedoman pengobatan, supervisi dan pelatihan dengan perilaku penggunaan antibiotika pada balita penderita ISPA bukan pneumonia . Hasil pada penelitian kualitatif sebagian besar menunjang hasil yang diperoleh pada penelitian kuantitatif.
Dengan hasil penelitian ini diharapkan adanya penurunan penggunaan antibiotika yang tidak rasional, khususnya pada penderita ISPA bukan pneumonia dengan menginterverisi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam penggunaan antibiotika ini.

Factors Related to Antibiotic Use Health Center Personal Behavior for Children Under Five Years with Non Pneumonic Acute Respiratory Tract Infections in PadangIrrational drug use such as antibiotic for non pneumonic acute respiratory tract infections is the problem because reduction in the quality of drug therapy leading to increased morbidity and mortality increased cost, adverse reactions and bacterial resistance. Antibiotic use for non pneumonic acute respiratory tract infections and nonspecific diarrhea in Health Center Padang City, average 28,0 % . It is much higher than ideal target of 0 % and still height than province target of less than 20 °/a,
The aim of this study to know how much antibiotic use proportion in children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections, and to know about relationship independent variable such as age, background study, knowledge, attitude of standard treatment, skill of decision diagnoses, prescribes behavior, patients demands, supervision and formal training with dependent variable antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections.
Study with 2 methods, Quantitative method with cross sectional design and Qualitative method. Result of antibiotic use proportion 24,3 %, and bivariat analysis in quantitative method result significant relationship between knowledge, attitude of standard treatment, supervision, and formal training with antibiotic use behavior for children under five years with non pneumonic acute respiratory tract infections. Amount of qualitative result support quantitative result study.
Result study may use to decrease irrational antibiotic use behavior, especially to decision making for drug use interventions in non pneumonic acute respiratory tract infections.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wempi Aronggear
"Perumahan yang sehat merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, memberikan rasa nyaman, menjamin kebebasan dari kemungkinan-kemungkinan penyebaran penyakit terutama penyakit yang ditularkan lewat udara antara lain Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Penyakit Infeksi Saluran Pernasapan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, tercatat 40 - 60% kunjungan Puskesmas ialah oleh penyakit ISPA dan angka kematian ISPA masih tinggi pada Balita. Sementara angka kesakitan pada bayi 42,4% dan pada Balita 40,6%. ISPA merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab utama kesakitan dan kematian di Desa Yiwika Kecamatan Kurulu Kabupaten Jayawijaya, tercatat angka penyakit ISPA pada Balita tahun 1990/1991 untuk seluruh Kabupaten Jayawijaya 28,41% dan Puskesmas Kurulu sebagai obyek penelitian sebesar 37,47% dan pada tahun 1991/1992 terjadi penurunan menjadi 30,11% tetapi untuk semua golongan umur < 1 -=> 45 tahun, menunjukkan peningkatan menjadi 2.152 dibanding tahun sebelumnya 1990/1991 sebesar 1.273, berarti kenaikan 59,15%. Demikian penyakit ISPA pada umur Balita jauh lebih tinggi daripada golongan umur 5 -=> 45 tahun. Tingginya angka kematian bayi dan Balita lebih banyak terdapat di daerah rural pedalaman Irian Jaya, disebabkan karena masyarakat hidup dalam lingkungan perumahan tradisional dengan kondisi yang sangat sederhana, serta iklim yang tidak mendukung.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan rumah, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA. Manfaat penelitian adalah untuk memperoleh masukan-masukan untuk menentukan kebijaksanaan dalam program pemberantasan penyakit ISPA terutama dalam program preventif dan promotif, serta untuk membantu pemerintah dalam perencanaan program pemukiman dan pembangunan rumah sehat di daerah tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan teknik penelitian survei analitik dan desain "Cross Sectional Study" dengan melakukan pengukuran variabel lingkungan perumahan tradisional, wawancara, pengamatan dan observasi terhadap adanya kernungkinan sumber penularan dalam rumah. Populasi mengacu pada rumah-rumah yang dihuni oleh Balita yang memenuhi persyaratan. Pemilihan sampel menggunakan "Cluster Sampling", dan menghasilkan 105 sampel dari jumlah populasi sebesar 345.
Hasil penelitian menunjukkan bahwavariabel independen luasventilasi dan sumber penularan sebagai faktor lingkungan fisik, berhubungan bermakna secara statistik (uji chi square p < 0.05) dengan kejadian penyakit ISPA pada Balita. Dernikian juga variabel pendidikan ibu, berhubungan secara bermakna dengan kejadian ISPA pada Balita (uji chi square p < 0.05). Pada seluruh sampel, jumlah sinar matahari masuk ke rumah dibawah 20 fc (footcod) yaitu jumlah yang sangat kurang.
Dari hasil studi disarankan untuk menciptakan model tempat tinggal orang Dani yang sehat secara kualitas maupun kuantitas ruang, agar keseluruhan aktifitas dapat dilakukan sebagaimana layaknya suatu kehidupan rumah tangga yang sehat."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Reisa
"Pendahuluan: Tuberkulosis resistan obat (TB RO) merupakan masalah kesehatan global dan sebagai hambatan dalam upaya pengendalian tuberkulosis (TB) di dunia. Infeksi sekunder adalah infeksi yang terjadi pada saat terinfeksi kuman lain atau sedang dalam terapi untuk jenis kuman lain. Infeksi sekunder pada pasien TB dapat disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi imunitas individu. Koinfeksi dengan organisme lain dapat berperan dalam progresivitas TB dan mempengaruhi luaran terapi TB. Data mengenai pola mikroorganisme pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui pola mikroorganisme pada pasien TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Analisis observasional kohort retrospektif kohort di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan, Jakarta Indonesia secara total sampling diperoleh dari Januari 2018 hingga Desember 2018. Kami meninjau rekam medis 84 pasien dengan diagnosis TB RO dengan infeksi saluran napas bawah dan 66 status rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Sebanyak 66 pasien yang termasuk dalam penelitian ini 65,2% infeksi saluran napas bawah bronkiektasis terinfeksi. Status HIV reaktif berhubungan dnegan kejadian infeksi saluran napas bawah pada pasien TB RO (p=0,001). Gangguan fungsi ginjal dan gangguan fungsi hati juga berhubungan bermakna dengan kejadian infeksi saluran napas bawah (p=0,041 dan p=0,046). Klebsiella pneumonia adalah mikroorganisme terbanyak yaitu 15,2%. Kuman multidrug resistant obat (MDRO) ditemukan sebanyak 56% dengan mikroorganisme MDRO terbanyak adalah Acinetobacter baumanii. Waktu konversi sputum memiliki rerata 2,96 ± 1,83 bulan. Kematian < 30 hari ditemukan sebanyak 30,3% dan ada hubungan yang bermakna antara infeksi saluran napas bawah dan kematian < 30 hari pada pasien TB RO (p=0,025).
Kesimpulan: Infeksi saluran napas bawah pada TB RO yang paling banyak adalah bronkiektasis terinfeksi dengan pola mikroorganisme gram negatif serta kuman MDRO banyak ditemukan. Kejadian infeksi saluran napas bawah berhubungan bermakna terhadap kematian < 30 hari pada pada pasien TB RO.
......Introductions: Secondary lower respiratory tract infection (LRTI) in drug-resistant (DR) tuberculosis (TB) patients may alter disease progression and therapy outcomes. Specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients in Indonesia is yet to be known.
Aims: To identify the specimen microorganism patterns of the lower respiratory tract from DR-TB patients and the factor that influenced it.
Methods: We performed a retrospective cohort analysis of DR-TB patients with LRTI treated in National Respiratory Referral Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between January and December 2018. We reviewed the records of 84 DR-TB patients with LRTI. The subjects were 66 patients who met the inclusion criteria.
Results: Most subjects (65.2%) were co-diagnosed with infected bronchiectasis. Factors related to LRTI in DR-TB were the detection of human immunodeficiency virus (HIV) antigen (p=0.002) and impaired renal function (p=0.041) and liver function (p=0.046) from the blood test. The microorganism patterns found in the specimens were multidrug-resistant (MDR) (56.0%), which Klebsiella pneumonia (15.2%) and Acinetobacter baumanii (9.1%) predominated. The average sputum conversion time of subjects was 2.96±1.83 months. The <30 days-mortality was found in 30.3% subjects and was correlated with LRTI (p=0.025).
Conclusions: The most common LRTI in DR-TB was infected bronchiectasis. The most common specimen microorganism pattern in DR-TB was MDR Gram- negative microorganisms. This study showed a correlation between LRTI and the
<30 days-mortality in DR-TB."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Subekti
"Infeksi saluran napas bawah merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang. Penatalaksanaan definitif dari infeksi saluran napas bawah sangat bergantung pada kuman penyebab dan hasil uji kepekaan umumnya tersebut terhadap antibiotik tertentu. Seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas yang direkomendasikan oleh American Thoracic Society baik sebagai terapi definitif untuk infeksi saluran napas bawah yang disebabkan oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Pola kepekaan bakteri ini berubah setiap tahun, oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang dapat melaporkan pola kepekaan bakteri terhadap seftriakson setiap tahunnya. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) deskriptif.
Data yang digunakan adalah hasil uji kepekaan bakteri gram negatif yang diisolasi dari dahak (sputum) yang diperiksa di LMK FKUI dan memberikan hasil kultur positif. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumonia ss pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa, dengan jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 35, kemudian dibandingkan pola kepekaan setiap tahunnya.
Hasil uji kepekaan E. aerogenes selama tahun 2001-2005 tidak berbeda bermakna (36.84% pada tahun 2001 menjadi 36% pada tahun 2005), hasil uji kepekaan K. pneumoniae ss pneumonia selama tahun 2001-2005 berbeda bermakna (55.71% pada tahun 2001 menjadi 42.16% pada tahun 2005), dan hasil uji kepekaan P. aeruginosa selama tahun berbeda bermakna (30% pada tahun 2001 menjadi 13.33% pada tahun 2005). Berkurangnya kepekaan bakteri-bakteri tersebut terhadap seftriakson dapat disebabkan oleh munculnya beberapa strain mutan dari masing-masing bakteri. Secara umum, seftriakson tidak lagi efektif untuk mengatasi infeksi saluran napas bawah akibat bakteri gram negatif.

Lower respiratory tract infection is the main health problem, either in developing countries or developed countries. The definite treatment of this infection is depend on the microorganism and its sensitivity test to several antibiotics. Ceftriaxone is a broad spectrum antibiotic recommended by American Thoracic Society as both empirical and definite therapy of lower respiratory tract infection caused by either Gram positive or Gram negative bacteria. The sensitivity pattern of each bacteria to ceftriaxone will change every year, therefore, the research reporting the sensitivity pattern of bacteria to ceftriaxone annually is needed. The design used in this research was descriptive cross sectional.
The data was the result of sensitivity test of Gram negative bacteria isolated from sputum which examined at LCM FMUI. Bacteria that used in this research were Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae ss pneumonia, and Pseudomonas aeruginosa. The minimum number of sample was 35, and then the sensitivity tests were compared annually.
The results of sensitivity tests of E. aerogenes to ceftriaxone within 2001-2005 were not significantly different (from 36.84% in 2001 into 36% in 2005). The results of K. pneumoniae ss pneumonia were significantly different (from 55.71% in 2001 into 42.16% in 2005), and the results of P. aeruginosa were also significantly different (from 30% in 2001 into 13.33% in 2005). The decreases of their sensitivity to ceftriaxone may be caused by some mutant strains of each species. Generally, ceftriaxone is not effective anymore to treat lower respiratory tract infections caused by gram negative bacteria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09132fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library