Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Komisi III DPR RI tengah menuntaskan revisi UU MK . Pertimbangan pokok yang mendasari revisi ini karena ada kecurigaan yang makin berkembang di kalangan ahli hukum bahwa MK tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan persoalan ketatanegaraan Indonesia...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Ezha Fachriza Roshady
"Penelitian ini menganalisis faktor penyebab gagalnya gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi dalam menolak agenda revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada tahun 2019. Penelitian ini menggabungkan teori gerakan sosial Dough McAdam (2004) yang terdiri dari tiga pendekatan yaitu pendekatan struktur kesempatan politik, teori mobilisasi sumber daya, teori proses pembingkaian dengan kerangka penjelasan faktor keberhasilan dan penghambat gerakan sosial dari David A. Locher (2002). Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dari wawancaradan pengolahan data sekunder. Penelitian ini menunjukkan gerakan sosial yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi cukup sulit hingga pada akhirnya gerakan tersebut tidak berhasil mencapai tujuan gerakan, karena revisi UU KPK berhasil disahkan oleh DPR pada 17 September 2019. Faktor penyebab kegagalan gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi diklasifikasi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan internal gerakan. Faktor eksternal yang diidentifikasi dari temuan riset ini sekaligus menjadi pembeda dari tahun-tahun sebelumnya bahwa struktur kesempatan politik memiliki kontribusi besar dalam kegagalan gerakan sosial yang dilakukan oleh koalisi hal tersebut diindikasikan melalui berbagai indikator yaitu baru bertemunya momentum kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah; solidnya seluruh fraksi partai politik; DPR mempercepat proses legislasi; dan struktur politik yang menutup kesempatan gerakan. Sedangkan dari segi internal,diidentifikasi adanya permasalahan sumber daya; keterbelahan pendapat kelompok masyarakat; kelemahan dalam membantah framing; dan kurang dapat meyakinkan para pemangku kebijakan.Faktor eskternal merupakan yang dominan penyebab gagalnya gerakan koalisi masyarakat sipil antikorupsi menolak revisi UU KPK.

This study analyzes the factors causing the failure of the anti-corruption civil society coalition movement in rejecting the revision agenda of Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission (KPK Law) in 2019. This study combines the theory of social movement Dough McAdam (2004) which consists of three approaches, namely the political opportunity structure approach, the theory of resource mobilization, the theory of the framing process with an explanation of the success factors and barriers to social movements from David A. Locher (2002). The research method used is qualitative with primary data sources from interviews and secondary data processing. This research shows that the social movement carried out by the anti-corruption civil society coalition is quite difficult until in the end the movement does not succeed in achieving the movement's goals, because the revision of the KPK Law was successfully passed by the DPR on September 17, 2019. The factors causing the failure of the anti-corruption civil society coalition movement are classified into two, namely external and internal factors of movement. The external factors identified from the findings of this research are at the same time a differentiator from previous years that the structure of political opportunity has a major contribution to the failure of social movements carried out by the coalition, this is indicated by various indicators, namely the recent meeting of the momentum of agreement between the DPR and the Government; the solidity of all political party factions; DPR accelerates the legislative process; and political structures that block movement opportunities. Meanwhile, from an internal perspective, resource problems were identified; the division of opinion of community groups; weakness in dispute framing; and less able to convince policy makers. External factors are the dominant cause of the failure of the anti-corruption civil society coalition movement to reject the revision of the KPK Law. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Wulandari
"Penelitian ini bertujuan mengkaji strategi “soft law” kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia di bawah payung hukum internasional tentang anti-money laundering (AML). Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan tiga teori utama, yaitu teori global criminology (Friedrichs, 2007), teori realitas sosial kejahatan (Quinney, 2004) dan teori bekerjanya hukum (Chambliss dan Seidman, 1971). Berdasarkan identifikasi, eksplorasi dan interpretasi data penelitian ditemukan tiga strategi kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia. Pertama, kebijakan anti-pencucian uang perlu mengharmonisasi standar hukum internasional terkait tindak pidana pencucian uang. Perbedaan sistem hukum tidak semestinya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mengadopsi atau mengikuti rekomendasi FATF. Adanya satu standar hukum global akan memudahkan Indonesia melakukan penegakan hukum karena TPPU merupakan kejahatan lintas negara dan lintas yurisdiksi yang memerlukan kesamaan visi internasional. Kedua, kebijakan anti-pencucian uang di Indonesia perlu disesuaikan dengan konteks hukum nasional, normal sosial dan budaya yang hidup di masyarakat serta kompleksitas kejahatan pencucian uang itu sendiri. Sehingga ada usulan agar UU PPTPPU yang berlaku saat ini perlu direvisi untuk menjangkau kemutakhiran modus kejahatan pencucian uang. Terakhir, strategi soft law dalam konstruksi kebijakan anti-pencucian uang perlu diimplementasikan dengan mempertajam aturan dan norma-norma turunan yang di dalam peraturan yang dibuat lembaga penegak hukum dan pemegang peran seperti Polri, PPATK, Bank Indonesia dan OJK. Aturan-aturan tersebut bisa langsung mengadopsi ketentuan-ketentuan yang merupakan rekomendasi FATF dan UU PPTPPU.

This study aims to examine the "soft law" strategy of anti-money laundering criminal policies in Indonesia under the umbrella of international law on anti-money laundering (AML). The research uses a qualitative approach using three main theories, namely the theory of global criminology (Friedrichs, 2007), the theory of the social reality of crime (Quinney, 2004) and the theory of the working of law (Chambliss and Seidman, 1971). Based on the identification, exploration, and interpretation of research data, three anti-money laundering criminal policy strategies in Indonesia were found. First, anti-money laundering policies need to harmonize international legal standards regarding money laundering crimes. Differences in legal systems should not be an obstacle for Indonesia to adopt or follow FATF recommendations. The existence of one global legal standard will make it easier for Indonesia to enforce the law because money laundering is a transnational and cross-jurisdictional crime that requires a common international vision. Second, anti-money laundering policies in Indonesia need to be adapted to the context of national law, social and cultural norms that live in society and the complexity of the crime of money laundering itself. So there is a suggestion that the current UU PPTPPU needs to be revised to reach the latest modes of money laundering crimes. Finally, the soft law strategy in the construction of anti-money laundering policies needs to be implemented by sharpening the derived rules and norms in the regulations made by law enforcement agencies and role holders such as the National Police, PPATK, Bank Indonesia and OJK. These rules can directly adopt the provisions which are the recommendations of the FATF and the PPTPPU Law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library