Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tanjung, Azhar
Abstrak :
In asthmatic patients, the airway is very sensitive towards exogenous stimuli, a condition known as bronchial hyperreactivity. The definite causative agent for asthma is not known yet, so as bronchial hyperreactivity. Recently it was postulated that there was a role for infection of Chlamydia pneumoniae in the pathogenesis of asthma. This paper will discuss about Chlamydia pneumoniae and its role in asthma, as well as its treatment.
Acta Medica Indonesiana, 2002
AMIN-XXXIII-4-OktDes2001-158
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Adanya kuman patogen di daerah nasofaring merupakan faktor risiko untuk pnemonia. Menurut badan kesehatan sedunia (WHO), di komunitas, untuk melakukan uji resistensi terhadap berbagai antimikroba, sebaiknya spesimen diambil dengan apus nasofaring. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola bakteri yang ada di nasofaring balita penderita pnemonia dan resistensi kuman terhadap kotrimoksasol. Penelitian ini dilaksanakan di 4 Puskesmas di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Semua anak dengan batuk dan /atau kesulitan bernafas dan diklasifikasikan sebagai pnemonia tidak berat menurut pedoman WHO, diikut sertakan pada penelitian. Apus nasofaring (sesuai pedoman CDC/WHO manual) dilakukan oleh dokter yang terlatih dan spesimen ditempatkan ke dalam media Amies transport, dan disimpan dalam termos, sebelum kemudian dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan selanjutnya, pada hari yang sama. Selama 9 bulan terdapat 698 anak dengan gejala klinis pnemonia tidak berat, yang diikut sertakan dalam penelitian. Sebanyak 25,4% (177/698) spesimen menunjukkan hasil isolat positif, 120 (67,8%) positif untuk S pneumoniae, masing-masing 21 untuk S epidermidis dan alpha streptococcus, 6 untuk Hafnia alvei, 5 untuk S aureus, 2 (1,13%) untuk B catarrhalis dan masing-masing 1 (0,6%) untuk H influenzae dan Klebsiella. Hasil uji resistensi S pneumonia terhadap kotrimoksasol menunjukkan 48,2% resisten penuh dan 32,7% resisten intermediate. Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di Asia. Tampaknya H influenzae tidak merupakan masalah, akan tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)
Pathogens in nasopharynx is a significant risk factor for pneumonia. According to WHO, isolates to be tested for antimicrobial resistance in the community should be obtained from nasopharyngeal (NP) swabs. The aim of this study is to know the bacterial patterns of the nasoparynx and cotrimoxazole resistance in under five-year old children with community acquired pneumonia. The study was carried out in 4 primary health clinic (Puskesmas) in Majalaya sub-district, Bandung, West Java, Indonesia. All underfive children with cough and/or difficult breathing and classified as having non-severe pneumonia (WHO guidelines) were included in the study. Nasopharyngeal swabs (CDC/WHO manual) were collected by the field doctor. The swabs were placed in Amies transport medium and stored in a sterile jar, before taken to the laboratory for further examination, in the same day. During this nine month study, 698 children with clinical signs of non-severe pneumonia were enrolled. About 25.4% (177/698) of the nasopharyngeal specimens yielded bacterial isolates; i.e. 120 (67.8%) were positive for S pneumoniae, 21 for S epidermidis and alpha streptococcus, 6 for Hafnia alvei, 5 for S aureus, 2 for B catarrhalis, and 1(0.6%) for H influenzae and Klebsiella, respectively. The antimicrobial resistance test to cotrimoxazole showed that 48.2% of S pneumoniae strain had full resistance and 32.7% showed intermediate resistance to cotrimoxazole. This result is almost similar to the other studies from Asian countries. It seems that H influenzae is not a problem in the study area, however, a further study is needed. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)
Medical Journal of Indonesia, 11 (3) July September 2002: 164-168, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-164
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan
Abstrak :
Pneumonia adalah penyakit ISPB yang mempunyai angka kematian yang masih cukup tinggi di dunia dan juga Indonesia Dua bakteri penyebab utama penyakit ini adalah Klebsiella pneumoniae serta Streptococcus pneumoniae Antibiotik adalah pengobatan utama untuk kasus akibat kedua bakteri tersebut Penggunaan antibiotik yang dilakukan secara luas dan tidak tepat guna menyebabkan munculnya pola peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik yang biasa diberikan sehingga dibutuhkan golongan antibiotik baru yang masih efektif Senyawa X merupakan sebuah senyawa yang mengandung struktur cincin oksazol dan diduga mempunyai potensi untuk menjadi sebuah senyawa antibiotik baru yang masih efektif melawan berbagai bakteri Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bioaktivitas dari Senyawa X terhadap kedua bakteri tersebut serta apakah terdapat hubungan antara penambahan dosis dengan bioaktivitasnya Sebanyak 3 kultur dari masing masing bakteri sebagai ulangan diberikan perlakuan dengan metode disk difussion test Disk kosong ini diisi dengan aquades sebagai baseline alkohol 90 sebagai kontrol negatif serta Senyawa X dengan konsentrasi 2 4 8 16 32 64 dan 128 mg L sebagai perlakuan Indikator bioaktivitas adalah diameter hambatan pertumbuhan dari kedua bakteri Secara deskriptif didapatkan bahwa Senyawa X cenderung mempunyai bioaktivitas terhadap kedua bakteri sedangkan uji hipotesis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan dosis Senyawa X dengan peningkatan bioaktivitasnya pada bakteri Streptococcus pneumoniae p 0 003 Namun pada bakteri Klebsiella pneumoniae tidak ditemukan hubungan yang bermakna p 0 133 Hasil penelitian ini membuktikan Senyawa X memiliki bioaktivitas terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae Namun hubungan yang bermakna terhadap peningkatan dosis Senyawa X dan bioktivitasnya hanya terjadi pada bakteri Streptococcus pneumoniae. ...... Pneumonia is one of the Upper Airways Infections which still has increasing mortality rate in Indonesia Two common pathogens causing this disease are Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae Antibiotics are the main therapy in this case A wide and irrational usage of those antibiotics brings the increasing antibiotics resistant pattern of both pathogens So that a new and effective antibiotic are needed Substance X an ocsazoles containing substance is now assumed being an effective antibiotic among many pathogens Therefore this study aims to understand the bioactivity of Substance X to both pathogens and to understand the relationship between the increasing dosage and their effect on the Substance X bioactivity There were 3 cultures of both pathogens and each of them is given disk diffusion test method to conduct the experiment The blank disk were then filled with aquades baseline alcohol 90 negative control and Substance X with 2 4 8 16 32 64 And 128 mg L concentration tested group The indicator of bioactivity in this study measured in growth inhibition diameter of both pathogens Descriptively the experiment shows Substance X has bioactivity to both pathogens Another hypothesis then tested using Kruskal Wallis shows a significant relationship between the increasing dosage of Substance X and the increasing bioactivity on Streptococcus pneumoniae p 0 003 but not on Klebsiella pneumoniae p 0 133 This study then can be concluded that Substance X has bioactivity to both Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae But the significant relationship between increasing dosage and bioactivity of Substance X can only be found on Streptococcus pneumoniae.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Putri Utami
Abstrak :
Vaksin konjugat pneumokokus 13-valen berperan penting dalam upaya mengurangi penyakit invasif pneumokokus pada anak terinfeksi HIV. Tujuan studi retrospektif ini untuk mengevaluasi respon imun humoral pada anak terinfeksi HIV pra dan pasca vaksinasi PCV13 di Jakarta, Indonesia. Penelitian ini menggunakan sampel serum bahan biologis tersimpan (BBT) dari 66 anak sebelum, 12 dan 18 bulan setelah vaksinasi. ELISA dan uji bakterisidal serum digunakan untuk mengukur konsentrasi antibodi dan antibodi fungsional pasca vaksinasi, secara berurutan. IgG total 13 serotipe S. pneumoniae 12 bulan pasca vaksinasi PCV13 menunjukkan peningkatan konsentrasi yang signifikan dibandingkan dengan pra vaksinasi (p=0.01). Konsentrasi IgG spesifik serotipe 4, 14 dan 23F pasca vaksin 18 bulan terjadi penurunan siginifikan dibandingkan pra vaksinasi (p<0.05) sedangkan IgG spesifik serotipe 6B terjadi peningkatan konsentrasi antibodi (p=0.03). Tidak terjadi perubahan konsentrasi IgG spesifik serotipe 3 yang efektif setelah vaksinasi. Konsentrasi IgG serotipe 19F tidak ada perbedaan signifikan (p>0.05) setelah vaksinasi. Tidak ada korelasi signifikan antara jumlah sel T CD4 dengan konsentrasi IgG total 13 serotipe S. pneumoniae. Rerata konsentrasi IC50 serum bactericidal assay adalah 275,2 U/mL. Kesimpulannya, satu dosis PCV13 untuk anak terinfeksi HIV mampu menghasilkan tingkat antibodi yang kuat dan fungsional terhadap S. pneumoniae. ......The 13-valent pneumococcal conjugate vaccine plays an important role in efforts to reduce pneumococcal invasive disease in HIV-infected children. The aim of this retrospective study was to evaluate the humoral immune response in HIV-infected children before and after PCV13 vaccination in Jakarta, Indonesia. This study used serum samples of biologically stored material from 66 children before, 12 and 18 months after vaccination. ELISA and serum bactericidal assays were used to measure post-vaccination antibody and functional antibody concentrations, respectively. IgG total of 13 serotypes of S. pneumoniae 12 months after PCV13 vaccination showed a significant increase in concentration compared to pre- vaccination (p=0.01). The concentration of specific IgG serotypes 4, 14 and 23F after the vaccine 18 months decreased significantly compared to pre-vaccination (p<0.05) while the concentration of specific IgG for serotype 6B increased (p=0.03). There was no change in effective serotype 3 specific IgG concentration after vaccination. There was no significant difference (p>0.05) in serotype 19F IgG concentrations after vaccination. There was no significant correlation between the number of CD4 T cells and the total IgG concentration of 13 serotypes of S. pneumoniae. The mean concentration of IC50 serum bactericidal assay was 275.2 U/mL. In conclusion, a single dose of PCV13 for HIV-infected children appears to produce strong and functional antibody levels against S. pneumoniae.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Glory Gelarich
Abstrak :
Resistensi antibiotik merupakan masalah utama yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau transfer gen horizontal yang membawa gen resisten dari satu bakteri ke bakteri lainnya. Rumah sakit merupakan sumber penularan dan penyebaran bakteri pembawa gen resisten antibiotik (ARG) serta sumber senyawa antibiotik yang tinggi sehingga merupakan reservoir utama dan tempat sempurna untuk transfer gen resisten antibiotik yang menyebabkan bakteri berkembang menjadi Multi-drug resistance (MDR). Klebsiella pneumoniae merupakan salah satu bakteri batang gram negatif yang sering ditemukan pada air limbah. Hal ini terkait dengan tingginya prevalensi infeksi yang disebabkan oleh patogen ini. Berbagai gen seperti blaNDM dan blaTEM pada K. pneumoniae meningkat pada air limbah. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi K. pneumoniae dan gen resistensi pengkode ESBL (blaTEM) dan carbapenemase (blaNDM) pada air limbah rumah sakit untuk mendapatkan data primer Antimicrobial Resistance (AMR) di lingkungan yang pertama di Indonesia. Metode deteksi gen resisten yang dikembangkan menggunakan singleplex Real-Time PCR berbasis SYBR Green dan multiplex Real-Time PCR berbasis probe. Hasil dianalisis untuk pemeriksaan kuantitatif secara absolut dan relatif. Penelitian ini menggunakan 24 sampel air limbah berasal dari inlet dan outlet. Dengan menggunakan kedua metode, semua gen dapat terdeteksi pada sampel inlet. Namun pada sampel outlet ditemukan blaNDM dan blaTEM pada singleplex tetapi tidak terdeteksi pada multiplex PCR dan beberapa blaNDM juga dapat terdeteksi pada multiplex namun tidak terdeteksi pada singleplex PCR. Berdasarkan hasil, dapat disimpulkan bahwa deteksi gen resisten menggunakan singleplex lebih sensitif dibandingkan dengan multiplex PCR. Selain itu, proses pengerjaan seperti pipetting dan konsentrasi komponen PCR harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil pengujian. ......Antibiotic resistance is a major problem caused by various factors, such as inappropriate use of antibiotics or horizontal gene transfer that carries resistance genes from one bacterium to another. Hospitals are a source of transmission and spread of bacteria that carry antibiotic resistance genes (ARGs) and are high sources of antibiotic compounds so that they are the main reservoir and perfect place for the transfer of antibiotic-resistant genes that cause bacteria to develop into Multi-drug resistance (MDR). Klebsiella pneumoniae is one of the bacilli gram-negative bacteria that is often found in wastewater. This is related to the high prevalence of infections caused by this pathogen. Various genes such as blaNDM and blaTEM in K. pneumoniae were increased in wastewater. This study aims to detect K. pneumoniae and resistance genes encoding ESBL (blaTEM) and carbapenemase (blaNDM) in hospital wastewater to obtain primary data on Antimicrobial Resistance (AMR) in the first environment in Indonesia. The resistance gene detection method was developed using singleplex Real-Time PCR based on SYBR Green and multiplex Real-Time PCR based on probe. The results were analyzed for quantitative examination in absolute and relative terms. This study used 24 samples of wastewater from the inlet and outlet. Using both methods, all genes could be detected in the inlet sample. However, in the outlet samples, blaNDM and blaTEM were found in singleplex but not detected in multiplex PCR and some blaNDM could also be detected in multiplex but not detected in singleplex PCR. Based on the results, it can be concluded that the detection of resistance genes using singleplex is more sensitive than multiplex PCR. In addition, processing processes such as pipetting and the concentration of PCR components must be considered because they can affect the test results.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perdana Rezha Kusuma Putra Hermawan
Abstrak :
Latar belakang: Buah manggis merupakan buah yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan. Beberapa penelitian menunjukan buah ini memiliki efek antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek antibakteri kulit buah ini. Metode: Penelitian merupakan studi experimental. Besarnya sampel penelitian adalah 4 dengan jumlah perlakuan sebanyak 7 yaitu kontrol positif (Erythromycin), kontrol negatif (akuades), ekstrak kulit buah manggis pengenceran (10x,15x,20x,30x,40x). Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan mengukur zona hambat (diameter) pada agar darah yang ditanami bakteri streptococcus pneumonia. Data dianalisa dengan uji Kruskal-Wallis untuk menentukan perbedaan bermakna antar data uji, kemudian akan dilanjutkan uji Mann-Whitney untuk melihat data yang memiliki perbedaan bermakna. Hasil: Hasil pengujian hipotesis menunjukan perbedaan bermakna dan uji posthoc terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) pada perbandingan antibiotik Eritromisin dibandingkan dengan akuades dan ekstrak kulit buah manggis dalam berbagai pengenceran. Namun jika dilihat pada perbandingan antara akuades dengan ekstrak kulit buah manggis dalam pengenceran 10x dan 15x menunjukan adanya perbedaan bermakna (p=0,013 dan 0,014). Uji antara ekstrak dari kulit buah manggis pada pengenceran 20x,30x,40x dan akuades tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05). Simpulan: Ekstraksi kulit buah manggis pengenceran 10x dan 15x memiliki efek antimikroba dengan zona hambat bakteri sebesar 26 mm dan 16,5 mm. ......Background: Manggosteen is one of flora that have virtue for health. Few research indicate that this fruit have antioxidan effect and also antibacterial effect. This study head for antibacterial effect of extract mangosteen rind on a streptococcus pneumoniae. Method : This experimental study have 4 sample with 7 treatment group among others are positive control (Erythromycin), negative control (aquades), extraction in various dilutions (10x, 15x, 20x, 30x, 40x). These treatment group zone of inhibition?s in blood agar which had been planted with sterptococcus pneumoniae bacteria will be measured. This data will be analyzed with Kruskal-Wallis & Mann-Whitney test to identify which data have significant differences. Result: Kruskal-Wallis test show asignificance value (p = 0.000) and Mann-Whitney test has significant difference (p <0.05) in comparison between erythromycin compared with aquades and mangosteen peel extraction at various dilution. Comparison in mann-wthitney test between aquades and mangosteen peel extract at 10x and 15x dilution indicates there is a significant difference (p = 0.013 and 0,014). Between aquades and mangosteen peel extract 20x, 30x, 40x dilution indicates no significant difference (p> 0.05). Conclution: Extract of mangosteen rind have a inhibition effect on the growth of Streptococcus Pneumoniae bacteria which create a inhibition zone on blood agar for 10x dilution are 26 mm and for 15x dilution are 16,5 mm.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Rianingtyas Harsono Putri
Abstrak :
Streptococcus pneumoniae (S. pneumoniae atau pneumokokus) dapat menyebabkan Invasive Pneumococcal Disease (IPD), seperti penumonia, meningitis, dan otitis media. Streptococcus pneumoniae memiliki lebih dari 90 serotipe yang berbeda sifat-sifat kepatogenannya. Saat ini, metode molekuler lebih banyak diterapkan dalam penentuan serotipe bakteri tersebut. Penelitian sebelumnya pada anak-anak sehat di Lombok, menemukan bahwa 73 dari 551 isolat merupakan untypeable S. pneumoniae karena tidak dapat ditentukan serotipenya berdasarkan metode PCR multipleks. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi lebih mendalam dengan mendeteksi tiga gen yang lestari (conserved genes) pada bakteri S. pneumoniae yaitu, gen psaA, lytA, dan cpsA. Sebanyak 52 isolat (71.2%) terdeteksi dengan PCR mempunyai gen psaA. Sementara itu, gen lytA terdeteksi pada 69 isolat (90.4%) dan gen cpsA terdeteksi pada 37 isolat (50.7%). Berdasarkan hasil deteksi gen psaA, lytA, dan cpsA diperoleh 6 kelompok varian untypeable S. pneumoniae. Analisa sekuens gen recA dengan metode sekuensing, menunjukkan bahwa kelompok varian I (psaA+, lytA+, cpsA+), II (psaA+, lytA+, cpsA–) dan IV (psaA–, lytA+, cpsA+) merupakan bakteri S. pneumoniae. Sementara itu, kelompok varian VI (psaA–, lytA+, cpsA–) merupakan bakteri S. pseudopneumoniae dan kelompok varian VIII (psaA–, lytA–, cpsA–) merupakan bakteri S. infantis. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa identifikasi bakteri S. pneumoniae tidak dapat dilakukan hanya dengan satu penanda gen. Hasil penelitian ini penting untuk meningkatkan sensitifitas dari deteksi S. pneumoniae dengan teknik biologi molekuler. ......Streptococcus pneumoniae (S. pneumoniae or pneumococcus) can cause Invasive Pneumococcal Disease (IPD), such as pneumonia, meningitis, and otitis media. Streptococcus pneumoniae has more than 90 serotypes which differentiated based on the level of pathogenicity. Currently, molecular methods were more widely applied to determine bacterial serotype. Previous studies of healthy children in Lombok, found that 73 of 551 isolates were untypeable S. pneumoniae, because the serotypes can not be determined by multiplex PCR method. This research used a deeper identification by detecting three conserved genes in S. pneumoniae, such as psaA, lytA, and cpsA. A total of 52 isolates (71.2%) were positive for psaA gene by PCR. Meanwhile, lytA gene was detected in 69 isolates (90.4%) and cpsA gene was detected in 37 isolates (50.7%). Based on the result of psaA, lytA and cpsA gene detection, obtained 6 variants of untypeable S. pneumoniae. recA gene sequence analysis with sequencing method, showed that variant I, II and IV are S. pneumoniae. Meanwhile, variant VI is S. pseudopneumoniae and variant VIII is S. infantis. The results indicated that identification of the bacteria S. pneumoniae can not be done with just one marker gene. The results are important to increase the detection of S. pneumoniae with molecular biology techniques.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hafiidh Surya Putra
Abstrak :
Latar Belakang. Moringa oleifera merupakan tanaman yang banyak tumbuh di area tropis seperti Asia dan Afrika yang ditemukan memiliki komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antiseptik. Penggunaan antiseptik memiliki peranan penting dalam pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri, salah satunya adalah Klebsiella pneumoniae, bakteri batang gram negatif yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial dan resisten terhadap antibiotik. Infeksi oleh bakteri ini menjadi perhatian lebih akibat adanya resistensi dan kemampuannya membentuk biofilm pada permukaan alat medis. Metode. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Klebsiella pneumoniae. Sampel yang diuji efektivitasnya sebagai antiseptik adalah ekstrak daun Moringa oleifera 80% dengan pelarut karboksimetil selulosa. Penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung pertumbuhan koloni K. pneumoniae pada sampel perlakuan dan kontrol dengan waktu kontak 1, 2, dan 5 menit. Efektivitas antiseptik sampel dinilai dengan perhitungan dari prinsip percentage kill, yaitu ≥ 90%. Hasil. Hasil perhitungan percentage kill ekstrak daun M. oleifera dalam menghambat pertumbuhan koloni K. pneumoniae dengan waktu kontak selama 1, 2, dan 5 menit masing-masing adalah 65,7%, 85,6%, dan 90,1%. Efektivitas antiseptik didapatkan pada waktu kontak 5 menit, senilai 90,1%. Kesimpulan. Ekstrak daun M. oleifera memiliki aktivitas antiseptic yang efektif terhadap K. pneumoniae. ......Background. Moringa oleifera is a plant that thrives in tropical areas such as Asia and Africa, known to contain bioactive components with antiseptic properties. The use of antiseptics plays a crucial role in the prevention and treatment of bacterial infections. Klebsiella pneumoniae is a gram-negative rod-shaped bacterium that causes nosocomial infections and exhibits significant antibiotic resistance. Infections caused by this bacterium are of particular concern due to its resistance and its ability to form biofilms on medical device surfaces. Method. The bacteria used in this study are Klebsiella pneumoniae. The sample tested for its antiseptic effectiveness is an 80% extract of Moringa oleifera leaves with carboxymethyl cellulose as a solvent. This research was conducted by counting the growth of K. pneumoniae colonies in treatment and control samples with contact times of 1, 2, and 5 minutes. The antiseptic effectiveness of the sample is assessed based on the percentage kill principle, which is ≥90%. Results. The results of the percentage kill calculation for the M. oleifera leaf extract in inhibiting the growth of K. pneumoniae with contact times of 1, 2, and 5 minutes were 65.7%, 85.6%, and 90.1%, respectively. Antiseptic effectiveness was achieved at a 5-minute contact time, with a value of 90.1%. Conclusion. Moringa oleifera leaf extract has effective antiseptic activity against K. pneumoniae.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adianto Dwi Prasetio Zailani
Abstrak :
Latar belakang: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit baru. Infeksi saluran napas akibat virus yang disertai infeksi bakteri akan meningkatkan derajat keparahan dan angka mortalitas. Insidens ventilator associated pneumonia (VAP) pada kelompok COVID-19 yaitu 21-64%. Kasus VAP dapat menjadi penyebab tingginya mortalitas pada pasien COVID-19 terintubasi. Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian retrospektif di RS Persahabatan. Seluruh sampel yang digunakan adalah kelompok pasien COVID- 19 terintubasi >48 jam dalam periode tahun 2020-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian : Penelitian ini meliputi 196 data penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Proporsi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dan hanya 29% adalah populasi usia lanjut. Proporsi VAP pada COVID-19 terintubasi pada tahun 2020-2022 mencapai 60% dengan VAP rates 92,56. Terdapat dua faktor bermakna terhadap VAP pada pasien COVID-19 terintubasi yaitu penggunaan azitromisin (OR 2,92; IK95% 1,29-6,65; nilai-p 0,01) dan komorbid penyakit jantung. (OR 0.38; IK95% 0,17-0,87; nilai-p 0,023). Proporsi terbesar biakan mikroorganisme aspirat endotrakeal adalah Acinetobacter baumannii (44%), Klebsiella pneumoniae (23%), Escherichia coli (9%). Kesimpulan : Proporsi VAP pada COVID-19 terintubasi adalah 60%. Terdapat hubungan bermakna pada penggunaan azitromisin dan komorbid penyakit jantung sedangkan usia lanjut dan penggunaan steroid tidak memiliki hubungan bermakna terhadap VAP pada pasien COVID-19 terintubasi. ......Background : Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a novel disease. Viral respiratory infection following bacterial infection could increase the severity and mortality of the disease. The incidence of Ventilator (VAP) in COVID-19 group is 21-64%. VAP might be the leading cause of high mortality in intubated COVID-19 patient. Methods : This research is a retrospective study at Persahabatan hospital. The collected samples is a group of COVID-19 patient intubated for >48 hours in the period of 2020 to 2022 that meet the inclusion and exclusion criteria. Results : This study consist of 196 data fulfilling the inclusion criteria. Male proportion much greater than female and only 29% is an elderly population. The proportion of VAP in the period of 2020-2022 is 60% with the VAP rates 92,56. There are two factors significantly affected VAP in intubated COVID-19 patient which are the usage of azitromisin (OR 2,92; CI95% 1,29-6,65; p-value 0,01) and cardiovascular disease comorbidity(OR 0.38; CI95% 0,17-0,87; p-value 0,023). The most abundance proportion of endotracheal aspirate microorganism culture are Acinetobacter baumannii (44%), Klebsiella pneumoniae (23%), and Eschrichia coli (9%). Conclusion : The proportion of VAP in intubated COVID-19 is 60%. There are significant association of azitromicin usage and cardiovascular comorbidity while elderly and the usage of steroid are not significantly associated to VAP in intubated COVID-19 patient.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wijayanti Permatasari
Abstrak :
Latar Belakang: Antimicrobial Resistance (AMR) merupakan ancaman serius bidang kesehatan diseluruh dunia yang menjadi salah satu penyebab kematian. Patogen E. coli dan K. pneumoniae penyebab Infeksi Intra Abdominal (IAI) terbanyak dikhawatirkan memiliki resistan terhadap antibiotik aminoglikosida. Penggunaan antibiotik aminoglikosida (gentamisin dan amikasin) rutin dipakai sebagai terapi pasien IAI di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pentingnya diketahuai data karakteristik resistan aminoglikosida pada E. coli dan K.pneumonia penyebab IAI di Indonesia sebagai panduan untuk mencegah penyebaran gen resistan antibiotik melalui penggunaan antibiotik yang bijak di komunitas dan lingkungan rumah sakit. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang observasional analitik untuk mengetahui karakteristik fenotip dan genotip resistan aminoglikosida pada bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae sebagai patogen penyebab terbanyak IAI, dan pengaruhnya terhadap luaran klinis pembedahan digestif di RSCM. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu semua isolat tersimpan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI dari pasien IAI yang dilakukan pembedahan di RSCM pada Januari tahun 2019 hingga Desember 2020 yang mendapat peretujuan penelitian dan memiliki berkas rekam medik. Penelitian ini akan dilakukan di LMK dan RSCM Jakarta pada tahun 2022-2023. Hasil Penelitian: Hasil studi dari 63 subjek penelitian didapatkan 79 isolat yang dianalisis. Teridentifikasi 57 isolat E. coli dan 22 isolat K. pneumoniae. Penelitian tersebut didapatkan E. coli resistan gentamisin 45,6% dan resistan amikasin 1,7% sedangkan K. pneumoniae resistan gentamisin 45,4% , resistan amikasin 27,3%. Prevalensi gen armA ditemukan lebih banyak pada isolat E. coli (3,9%) maupun K. pneumoniae (20%) peka amikasin . Luaran klinis pasien terinfeksi E. coli resistan aminoglikosida yang meninggal 14,81% sedangkan pasien terinfeksi K. pneumoniae resistan aminoglikosida yang meninggal 12,5%. Faktor risiko yang bermakna terhadap luaran klinis adalah usia (p = 0,003), dan tidak ada hubungan bermakna E. coli dan K. pneumoniae resistan aminoglikosida penyebab IAI terhadap luaran klinis pasien. ......Background: Antimicrobial Resistance (AMR) is a serious threat to health worldwide and one of the leading causes of death. The pathogens E. coli and K. pneumoniae that cause most Intra Abdominal Infections (IAI) are feared to be resistant to aminoglycoside antibiotics. The use of aminoglycoside antibiotics (gentamicin and amikacin) is routinely used as therapy for IAI patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). It is important to know data on the characteristics of aminoglycoside-resistant E. coli and K. pneumoniae causing IAI in Indonesia as a guide to preventing the spread of antibiotic-resistant genes through the wise use of antibiotics in the community and hospital environment. Methods: This study used an analytic observational cross-sectional design to determine the phenotypic and genotypic characteristics of aminoglycoside resistance in E. coli and K. pneumoniae bacteria as the most causative pathogens of IAI, and its effect on clinical outcomes of digestive surgery in RSCM. Samples are those that meet the inclusion criteria, namely all isolates stored in the FKUI Clinical Microbiology Laboratory (LMK) from IAI patients who underwent surgery at RSCM from January 2019 to December 2020, who received research approval and had medical record files. This study will be conducted at LMK and RSCM Jakarta in 2022-2023. Research Results: The study results from 63 research subjects obtained 79 isolates analyzed identified 57 isolates of E. coli and 22 isolates of K. pneumoniae. The study obtained gentamicin-resistant E. coli at 45.6% and amikacin-resistant at 1.7% while K. pneumoniae at 45,4% gentamicin resistant amikacin-resistant at 27,3%. The prevalence of the armA gene was found to be higher in amikacin sensitive E. coli (3.9%) and K. pneumoniae (20%) isolates. Clinical outcomes of patients infected with aminoglycoside resistant E. coli caused 14.81% of patients to die while those infected with aminoglycoside resistant K. pneumonia caused 12.5% of patients to die. The significant risk factor for clinical outcomes was age (p = 0.003), and there was no significant association between aminoglycoside resistant E. coli and K. pneumoniae causing IAI with the clinical outcomes of patients.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>