Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sirait, Efrida
"Penyebab gangguan jiwa pada remaja adalah multifaktor, tidak hanya satu penyebab, namun disebabkan oleh berbagai faktor yang perlu pengkajian lebih dalam. Untuk mengetahui penyebab masalah gangguan kesehatan jiwa pada remaja, salah satu cara yang efektif adalah dengan melakukan skrining dan follow up. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan e-skrining kesehatan jiwa dalam mendeteksi masalah gangguan jiwa sehingga dapat ditindaklanjuti dengan segera, baik oleh guru maupun tenaga kesehatan. Instrumen skrining menggunakan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Pengembangan sistem ini dilakukan di puskesmas panunggangan Barat, Kota Tangerang dengan menggunakan metode pendekatan prototyping untuk menghasilkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan penjaringan ke sekolah selama ini masih menggunakan kertas dan mengolah data secara manual. Hasil uji-coba pada siswa menggunakan kuesioner dengan mengacu pada model Technology Accceptance Model (TAM) menunjukkan bahwa respon user terhadap pengembangan sistem sebesar 77.89% dengan potensi gangguan jiwa sebesar 12.04% dengan gangguan emosional cenderung pada SMP dan SMK.Hasil uji fungsional menggunakan black box testing berhasil diterima.Hasil akhir penelitian ini berupa prototype yang mampu menjaring siswa sekaligus dengan hasil akurat, menyediakan konseling pada siswa,guru dan petugas puskesmas.Prototipe sistem ini berbasis website responsive online yang dapat diakses dimanapun. Sistem ini akan terhubung ke tenaga PKPR untuk menerima hasil skrining dan laporan dari guru. Rekomendasi yang ditawarkan dalam pengembangan ini adalah perlunya kerjasama oleh pemerintah setempat, guru, dan tenaga kesehatan dalam memberdayakan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) untuk mendapatkan pembinaan kesehatan jiwa pada remaja. Perlu pelatihan pada pengguna untuk mendapatkan manfaat yang diharapakan pada pengembangan sistem ini.

The cause of mental disorders in adolescents is multifactorial, not only one cause, but caused by various factors that need further study. To find out the causes of mental health problems in adolescents, one of the most effective way is to do screening and follow-up. This study aims to produce mental health e-screening to detect mental disorders so follow up can be done timely by both teachers and health workers. The screening instrument was utilizing the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). The development of this system is carried out at the Panunggangan Barat Public Health Center in Tangerang City using a prototyping approach method to produce a system that suits user needs. The results showed that all this time, screening activities in schools were still using paper and processed data manually. The results of trials on students using a questionnaire refer to the Technology Acceptance Model (TAM) model which showed that the user's response to system development was 77.89% with a potential mental disorder of 12.04% with mental emotional problems more pronounced in junior-senior high school students.The final result of this research is a prototype able to capture many students at the same time with accurate results, providing counseling to students to conduct by teacher and health center staff. This system prototype is based on online responsive web which can be accessed anywhere and will be connected to youth care health service officers (PKPR) in order to receive screening results and reports from teachers. The recommendation offered in this development is the need for local government cooperation, teachers, and health workers in empowering school health unit (UKS) to get mental health guidance for adolescents. User training is required to get the benefits expected from developing this system.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefany Valentia
"Latar belakang: Skrining dan intervensi masalah kesehatan mental remaja di Indonesia merupakan hal yang menantang, dikarenakan terbatasnya sumber daya, seperti tenaga kesehatan mental profesional, uang, dan waktu. Kuesioner self-report dapat menjadi salah satu upaya preventif masalah kesehatan mental. Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) subskala emotional problem merupakan alat skrining yang seringkali digunakan untuk mendeteksi masalah kesehatan mental di remaja. Alat skrining yang akurat dapat membantu praktisi klinis melakukan asesmen dan mengambil keputusan terkait penanganan lebih lanjut. Oleh karena itu, uji akurasi terhadap SDQ subskala emotional problem versi Indonesia perlu dilakukan. Metode: Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan hasil SDQ dengan wawancara diagnostik sebagai gold standard. Structured Clinical Interview for DSM-IV (SCID) dan DSM-5 digunakan sebagai acuan dalam pembuatan gold standard. Proses penelitian menggunakan teknik double-blind. Wawancara dilakukan kepada 40 orang remaja siswa SMA di wilayah DKI Jakarta, mengacu pada hasil skrining. Hasil dianalisis dengan menggunakan crosstabs dan Receiver Operating Characteristic (ROC). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa SDQ subskala emotional problem memiliki nilai sensitivitas 94.4% dan nilai spesifisitas sebesar 86.4%. Lebih lanjut, kurva ROC menunjukkan bahwa skor cut-off 6 yang digunakan dalam penelitian ini sudah ideal dalam mengidentifikasi individu dengan emotional problem pada populasi remaja. Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa alat ukur skrining SDQ subskala emotional problem versi Indonesia, merupakan instrumen yang akurat untuk melakukan skrining emotional problem pada remaja

Background: Screening and intervention of emotional problems in Indonesia can be quite challenging given the large gap between available resources in terms of professional mental health practitioners, money, and time, within Indonesia's population. Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) emotional problem subscale is a simple screening tool often used to detect mental health issues in adolescents. An accurate screening tool may assist a clinician in conducting assessments and making decisions regarding further treatment. Hence, a study to examine the accuracy of the SDQ emotional problem subscale Indonesian version is required. Methods: Accuracy has been examined by comparing the SDQ with diagnostic interviews as a gold standard. Structured Clinical Interview for DSM-IV (SCID) and DSM-5 has been used as a guideline to construct the gold standard. A double-blind study has been utilized with the assistance of the research team. Interviews have been conducted with 40 adolescents acquired from high schools located in Jakarta. Data has been analyzed with crosstabs and Receiver Operating Characteristic (ROC). Results: The results of the present study show that the SDQ emotional problem subscale has a sensitivity of 94.4% and specificity of 86.4%. ROC plot shows that the cut-off score of 6 is ideal to identify adolescents with emotional problems. Conclusion: The Indonesian version of the SDQ emotional problem subscale showed high diagnostic accuracy for emotional problem screening based on the DSM-5, therefore it is an accurate tool to screen for emotional problems in adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonny Tirta Luzanil
"Conduct problems mengkhawatirkan masyarakat karena berdampak pada remaja dan orang orang di sekitarnya. Di Indonesia, conduct problems telah mengarah pada perilaku kriminal.
Kondisi ini diperburuk dengan situasi pandemik akibat pelanggaran terhadap peraturan dalam
upaya menangani wabah. Deteksi dini menjadi upaya untuk mengurangi risiko dari conduct
problems. The Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) telah digunakan secara luas
untuk mendeteksi conduct problems pada remaja. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengevaluasi akurasi dari SDQ untuk mendeteksi conduct problems di Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari SDQ subskala conduct
problems versi Bahasa Indonesia dan mengidentifikasi skor cut-off yang optimum untuk
skrining conduct problems pada remaja. Pengujian akurasi dilakukan dengan membandingkan
hasil dari SDQ dengan wawancara diagnostik sebagai gold standard. Wawancara dilakukan
kepada 40 remaja dari tiga SMA di Jakarta yang dipilih menggunakan teknik double-blind
berdasarkan hasil skrining. Analisis crosstabs menunjukkan bahwa SDQ subskala conduct
problems memiliki nilai sensitivitas sebesar 77.3% dan nilai spesifisitas sebesar 83.3%.
Analisis ROC menunjukkan bahwa skor cut-off sebesar 4 yang digunakan dalam penelitian ini
ideal untuk mengidentifikasi remaja dengan conduct problems. SDQ subskala conduct
problems versi Bahasa Indonesia memiliki akurasi yang baik utnuk skrining conduct problems.
Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa SDQ berpotensi untuk digunakan di
Indonesia.

Conduct problems arise concerns in society because of the impacts on adolescents and the
people surrounding them. In Indonesia, conduct problems had led to criminal behaviors. The
condition is getting worse in the current pandemic situation by violating the order in efforts to
handle the outbreak. Early detection becomes an effort to reduce the risk of conduct problems.
The Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) had widely used to detect conduct problems
in adolescents. Future studies are needed to evaluate the accuracy of the SDQ for detecting
conduct problems in Indonesia. This study aimed to evaluate the sensitivity and specificity of
the Indonesian version of the SDQ conduct problems subscale and to identify an optimum cutoff
score for screening conduct problems in adolescents. The accuracy was examined by
comparing the result of the SDQ with the diagnostic interview as a gold standard. The interview
was conducted to 40 adolescents acquired from high schools in Jakarta selected by a doubleblind
technique based on the screening results. Crosstabs analysis showed that the SDQ conduct problems subscale has a sensitivity value of 77.3% and a specificity value of 83.3%. ROC analysis showed that the cut-off score of 4 used in this study is ideal to identify individuals with conduct problems. In conclusion, the Indonesian version of the SDQ conduct problems subscale has good accuracy for screening conduct problems. These findings show that the SDQ
has the potential to be utilized in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amaryllia Puspasari
"Konsep diri, merupakan salah konstruk psikologi yang sulit untuk diuji secara
empiris. Kesulitan yang muncul disebabkan adalah adanya hambatan dalam pengembangan alat ukur yang akan digunakan dalam pengukuran konsep diri. Alat ukur yang telah berkembang sebelumnya, menunjukkan adanya pennasalahan dalam melakukan pengukuran, karena eenderung bersifat self report dan tingginya social desirable. Akhirnya pada tahun 1976, Shavelson mengembangkan teori mengenai konsep diri, dimana konsep diri dibagi dalam beberapa kelompok (kelompok konsep diri akademis dan konsep diri non akademis) dan bersifat hierarkis. Teori lni, kemudian dikembangkan oleh Marsh (1985) untuk membuat Self Description Questionnaire (SDQ). yang dalam praktek pemakaiannya memiliki klasifikasi berdasarkan usia responden. Melihat usia sampel yang digunakan dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan adaiah SDQ ll.
Stratifikasi yang muncul dalam pengelompokan konsep diri membmuhkan suatu metode pengujian tersendiri terhadap alat ukur, dimana membutuhkan adanya verifikasi mengenai model konsep diri yang terbentuk. Tujuan dalam kegialan analisis model ini adalah untuk melihat kesesuaian antara model yang terbentuk pada alat ukur konsep diri dengan teori yang dijadikan sebagai dasar pembuatan alat ukur. Model konsep diri yang akan diuji adalah model konsep diri single factor, model konsep diri dua faktor dan model konsep diri secondary factor analysis. Selain Itu, dilakukan validasi dari konsep diri akademis dengan pencapaian akademis, dimana sesuai dengan leon yang dikembangkan oleh Marsh pada penelitian sebelumnya, bahwa konsep diri akademis mempengaruhi pencapaian akademis.
Analisis model konsep diri, yang menggunakan metode Conlirmafory Factor Analysis dengan program LlSREI menunjukkan bahwa ketiga model konsep diri yang tersebut menunjukkan adanya pengaruh error dari seiiap item pada dimensi konsep diri. Item dan dimensi konsep diri yang berbeda saling mempengaruhi satu dengan Lainnya dan tidak secara khusus mengukur dimensi konsep diri dimana item tersebut berada.
Hubungan antara model konsep diri akademis dan pencapaian akademis, tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan. Penyebab ketidaksignifikan dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adaiah kemungkinan dari pengukuran pencapaian akademis yang tidak akurat dimana pencapaian akademis yang seharusnya diukur dengan menggunakan alat ukur pencapaian akademis dalam operasional diganti dengan menggunakan nilai rapor."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T37865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Amira Tjandrasari
"LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dan banyak terjadi pada  anak remaja dengan rata-rata onset usia 11-12 tahun. Sekitar 10% dari remaja dengan penyakit kronis seperti LES mengalami masalah psikososial, termasuk masalah emosi seperti depresi dan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelatihan kecakapan hidup pada anak dengan LES dapat memperbaiki masalah emosi. Penelitian dilakukan dengan 30 subjek remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapatkan pengobatan, dan nilai SLEDAI 0-5. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak tanpa penyamaran, perlakuan dan kontrol.  Pelatihan kecakapan hidup diberikan pada kelompok perlakuan sebanyak 1 kali dalam kelas. Perbaikan masalah emosi dinilai dengan membandingkan nilai SDQ sebelum pelatihan dan 4 minggu setelah pelatihan. Penelitian melibatkan 30 remaja perempuan dengan LES dengan usia rerata 14 tahun. Sebanyak 20/30 subjek memiliki nilai SDQ normal, 4/30 dengan SDQ borderline dan 6/30 dengan SDQ abnormal. Terdapat perbedaan bermakna selisih masalah emosi pada kedua kelompok (p: 0,025; effect size: 0,87). Pada kelompok yang mendapatkan pelatihan terdapat perbaikan nilai SDQ total (p: 0,001), nilai masalah emosi (p: 0,002), nilai masalah perilaku (p: 0,027) dan nilai masalah perilaku hiperaktif (p: 0,040) dibandingkan dengan awal studi. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya terdapat perubahan nilai masalah dengan teman sebaya (p: 0,011). Selain itu ditemukan pula perbaikan masalah emosi pada kelompok pelatihan yakni keluhan sakit fisik (p: 0,021), rasa khawatir (p: 0,020) dan perasaan gugup (p: 0,020). Studi ini menyimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi efektif dalam memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES secara signifikan, terutama gugup atau sulit berpisah dengan orangtua/pengasuhnya pada situasi baru, mudah kehilangan rasa percaya diri dan banyak kekhawatiran atau sering tampak khawatir.

SLE is a chronic autoimmune inflammatory disease and many occur in adolescents with an average age of onset of 11-12 years. About 10% of adolescents with chronic diseases such as SLE experience psycho-mental problems, including emotional problems such as depression and anxiety. The aim of this study is to determine whether life skills training in children with SLE can improve emotional problems. The study was conducted with 30 female adolescent with SLE who had received treatment and SLEDAI score 0-5. Subjects were divided into 2 groups randomly, not-blinding, experiment and control. Life skills training is given to the experiment group one time in group. Emotional problem improvement was assessed by comparing SDQ scores before training and 4 weeks after training. The study involves a total of 30 female adolescent with SLE with an average age of 14 years. A total of 20/30 subjects had normal SDQ values, 4/30 with borderline SDQ and 6/30 with abnormal SDQ. There were significant differences in the difference between emotional problems in the two groups (p: 0.025; effect size: 0.87). In the group that received training there was an improvement in the total SDQ value (p: 0.001), the value of emotional problems (p: 0.002), the value of conductive problems (p: 0.027) and the value of hyperactive behavior problems (p: 0.040) compared to the beginning of the study. Whereas in the control group there were only changes in the value of problems with peers (p: 0.011). In addition it also found improvements in emotional problems in the experiment group, they are complaints of physical pain (p: 0.021), anxiety (p: 0.020) and nervous feelings (p: 0.020). This study concludes that life skills training-emotion management module is significantly effective in improving emotional problems in female adolescent with LES, especially nervous or having difficulty separating from parents/caregivers in new situations, easily losing self-confidence and many worries or often seems worried."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eloisa Nathania
"Empati dan kemampuan mengatur emosi yang baik penting dimiliki anak untuk memiliki kualitas hidup dan hubungan sosial yang baik,. Defisit empati dan masalah emosi pada anak dapat menyebabkan gangguan pada perkembangan, kualitas hidup, dan hubungan sosial dengan teman serta saudara. Penelitian ini mencari hubungan empati dengan masalah emosi pada anak sekolah dasar. Penelitian ini menggunakan teknik potong lintang dengan sampel sejumlah 384 yang diambil secara acak dari 620 yang didapatkan secara daring dan langsung. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbahasa Indonesia untuk menilai empati anak dan kuesioner SDQ untuk menilai masalah emosi anak. Kedua kuesioner tersebut diisi oleh orangtua anak sekolah dasar yang telah setuju untuk mengikuti penelitian. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square dan uji korelasi Rank Spearman pada SPSS Windows versi 20. Berdasarkan hasil analisis, terdapat hubungan yang bermakna antara empati dengan masalah emosi pada laki-laki, perempuan dan seluruh sampel serta terdapat korelasi berbanding terbalik yang bermakna antara empati dan masalah emosi dengan koefisien korelasi. Hubungan bermakna antara empati dan masalah emosi menunjukkan bahwa anak dengan empati tinggi cenderung lebih sering memunyai masalah emosi dibandingkan anak dengan empati yang rendah.

In order to have good quality of life and social relationships, empathy skills and ability to regulate emotion are important for children. Empathy deficits and emotional problems can cause interference child development, quality of life and social relationships with friends and relatives. This study aims to determine whether there is a relationship between empathy skills and emotional problems in primary school children. This was a cross-sectional study with 384 samples taken randomly from 620 existing data. The instrument used in this study is that has been validated in Indonesian version to determine the level of childrens empathy skills and the SDQ to determine the emotional problems in children. Both of the questionnaire filled out by primary student parents who have agreed to participate in this study. Data analysis was performed by Chi-Square test and Rank Spearman correlation test on SPSS for Windows version 20. Based on the analysis results, there was a significant relationship between empathy skills and emotional problem in boys, girls and there was a negative significant correlation between empathy skills and emotional problems. The significan relationship between empathy skills and emotional problems in primary school children showed that children with better empathy skills are tend to have an emotional problems than children with low empathy skills.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library