Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budziszewski, J.
"This monumental, line-by-line commentary makes Thomas Aquinas's classic Treatise on Happiness and Ultimate Purpose accessible to all readers. Budziszewski illuminates arguments that even specialists find challenging: What is happiness? Is it something that we have, feel, or do? Does it lie in such things as wealth, power, fame, having friends, or knowing God? Can it actually be attained? This book's luminous prose makes Aquinas's treatise transparent, bringing to light profound underlying issues concerning knowledge, meaning, human psychology, and even the nature of reality."
Cambridge: Cambridge University Press, 2020
e20518452
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"Having already treated (see: Limen, Aprill and October 2008) Cusa's doctrine of human knowledge at the level of senses, reason and intellect; where each kind of knowledge is presupposed by the next higher one as its "higher cause", now in this article the author continues to explain Cusanus' epitomology at the highest level where is a moment of absoluteness in human knowledge, viz. the knowledge of God as the fundamental A priori of human thingking. This A priori cannot be denied without affirming it just by denying, because God as "ipsa absoluta praesuppositio omnium" necessarily must be thought , not only that we are able to think something else (in order to do this, the mere idea of God is sufficient, as is already shown by Immanuel Kant) but that we are able to think anyway. Since the manner of an empirical reality nor the way of a mere idea (for both are conditional ways of being), so the manner of being of God's reality can be only be a manner beyond all manners known by us. Also beyond a "highest idea" wherein our intellectus sees coincide all other things. Human knowledge of God is like an open horizon, an infinite framework. Only within this framework any human knowledge can occur. As such this knowledge "on principle" is still without content, like an empty frame, which is to be filled by the intellectus. In virtue of its coincidence perspective, the intellect is able via imagination and reasoning to bring the sensibilia, presented to the senses, back to thhe one and only Original, to the non-being origin of all beings. This Origin present itself in otherness in the many beings in an always unique way. The work of full-filinf or perfecting our "on principle" knowledge of God by research of the beings, will never come to an end because of the infinitude of the frame. The absolute truth or the final knowledge of God remains the unattainable ultimate object of our hunt for wisdom, as Nicholas of Cues calls philosophy. "
Abepura: Biro Penelitian Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur,
230 LIMEN
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"Konsep mengenai Tuhan bersifat fluksitas atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deism; panteisme dan lain sebagainya Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena di batik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realitas empirik yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan sernakin terpragmentasi dan multiperspektif; bahkan dalam satu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua kutub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain sehingga ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagian umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistik yang menafikan segala yang berbau metafesik termasuk Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketnhanan. Tesis ini akan menunjukkan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh. Baik Al Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat penting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemahanan akan pernikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.
Walaupun ada beberapa hal yang berbeda tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidang, baik dari kaum filsuf dan kaum teolog. Keduanya telah menggunakan argumentasi argumentasi rasional dan filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh pertalian yang besar terhadap kebenaraan wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari Al-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terus dipelajari, bahkan para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"ABSTRAK
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluktuasi atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia. Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deisme, panteisme dan lain sebagainya. Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena. di balik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realistis empiris yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan semakin terpragmentasi dan multiperspektif, bahkan dalam suatu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan.
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua klub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari suatu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Sehingga, ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya man menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam akan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagai umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistic yang menafikan segala yang berbau metafisik Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketuhanan. Tesis ini akan menunjukan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh

Baik A1-Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat panting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemalraman akan pemikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berada tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidaah, baik dari kaum filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh perhatian yang besar terhadap kebenaran wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari A1-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terns dipelajari, bahkan Para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library