Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rauf Achmad Sue
"ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan di laboratorium basah, Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor, dimulai tanggal 20 Agustus sampai dengan 1 Desember 1991. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh bahan organik dalam air terhadap pertumbuhan bakteri bercahaya pada pemeliharaan larva udang windu. Juga untuk rnengetahui Pertumbuhan jumlah bakteri dan mortalitas larva udang windu.
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan konsentrasi bahan organik dan tiga kali ulangan. Perlakuan tersebut adalah 0 ppm(A) sebagai kontrol, 15 ppm(B), 30 ppm(C), 45 ppm (D), fi0 ppm (E) dan 75 ppm (F.).
Sebanyak 100 ekor larva udang windu stadia nauplius di masukkan ke dalam bak akuarium yang telah diberi perlakuan konsentrasi bahan organik. Isolasi bakteri bercahaya juga dinokulasikan ke dalam bak akuarium dengan kepadatan 103 sel per ml.
Pengarnbilan contoh bakteri dan air dilakukan setiap hari selama lima hari. Idetifikasi bakteri menurut metoda Cowen & Steel 1974: 17-20) ; West & Colwell (1984: 285-289). Fisika dan kirnia air seperti oksigen terlarut, karbondioksida, total bahan organik, ammonia, pH, salinitas dan temperatur air di ukur dengan menggunakan metoda standar.
Hasil penelitian menuniukkan bahwa konsentrasi bahan organik dalam air meningkat sesuai dengan rataan konsentrasi bahan organik yang dimasukkan ke dalam bak percobaan saat awal. Peningkatan konsentrasi bahan organik dalam air ternyata rata-rata meningkat. Puncak konsentrasi bahan organik perlakuan E dan F dicapai pada hari kedua sedngkan perlakuan A dan S terjadi pada hari kelima. Konsentrasi bahan organik dalam air berbeda sangat nyata terhadap pertumbuhan bakteri, bercahaya dalam air dan pada larva udang windu (P> 0.01). Jumlah total bakteri dan bakteri bercahaya lebih tinggi pada konsentrasi bahan organik yang lebih besar.
Rataan jumlah kaloni bakteri pada masing-masing konsentrasi bahan organik adalah 103.44; 99.4; 82.81 dan 82.32. Mortalitas larva udang windu lebih tinggi pada perlakuan konsentrasi bahan organik yang lebih besar. Mortalitas tersebut berturut-turut adalah 80.33%; 68.66%; 22.3%; 15.0% dan 2.3% untuk perlakuan F, E, D, C, B dan A.
Karakteristik fisika dan kimia air adalah sebagai berikut : oksigen terlarut 4.8-7.4 ppm; CO2 0-19.36 ppm; NH3 0.025-0.175 ppm; pH 7-8 ppm; temperatur air 30-31°C dan salinitas 30-32%.

ABSTRACT
An experiment was conducted at the Research Institute for Freshwater Fisheries's wet laboratory in Bogor from 20 August to 1 December, 1991. This study was done to evaluate the effect of organic matter in water to the population growth of luminescent vibrio on Penaeus monodon larval. The total number of bacterial population and the mortality of the shrimp larvae were also evaluated.
In this study a complete randomized design (CRD) was used with six different concentrations of organic matter as treatments and three replication. The treatments were 0 ppm(A) as a control, 15 ppm(B), 30 ppm(C), 45 ppm(D), 60 ppm(E) and 75 ppm(F).
One hundred shrimp larvae at nauplius stage were stocked in each aquarium contained the respective organic matter concentration.
The luminous vitro isolate were also inoculated in each aquarium at a concentration of 10 cell per ml. Sample of bacteria and water were taken every day for 5 days. The bacteria were identified according to Cowan & Steil method (1974:17-20): West & Colwell (1984:285-289). Physical and chemical of the water such as dissolved oxygen, carbon dioxide. total organic matter, ammonia, pH, salinity and water temperature were examined by the standard water measurement method.
The results indicated that the concentration of organic matter in water increased proportionally relative to the rate of initial concentration used. The higher the initial organic matter concentration applied the higher increase rate of its concentration in the water. The peak of the concentration was reached faster at the higher concentration than the lower one. The peak of E and F treatment were at the second day while A and S treatment were at the fifth day. Organic matter content in water significantly effect on the population growth of bacteria both in water and in shrimp larvae (P>0.01). The number of total bacteria and the luminous vibrio were higher at a higher concentration of organic matter. The average number of bacterial colony count at the respective organic matter concentration were 103.44; 99.4; 82.81; and 82.32.
The shrimp larvae mortalities were also higher at the higher concentration of organic matter. The percent mortality rate were : 80.33%; 68.86%; 22.3%, 15.0%, and 2.3% for F,E,D,C,B and A treatments respectively.
The physical and chemical characteristic of the water are as follows: dissolved oxygen 4.8-7.4 ppm; CO2 0-19.36 ppm; NH3 0.025-0.175 ppm; pH 7-8; temperature 30- 31°C and salinity 30-32%.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lenni
"ABSTRAK
Indonesia meinpuflyai banyak limbah udang windu yang
kandungan kolesterOlflYa cukup tinggi. KolesterOl dapat digunakan sebagai bahan baku produksi obat-obat kontrasepsi oral. Untuk nemperoleh kolesterol dari limbah udang windu tersebut secara efisien, diperlukan metode isolasi dan pemurnian yang relatif sederhana dan ekonomis.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa penarnbahan tekanan
selama hidrolisis tidak memberi pengaruh yang memuaskan.
Kolesterol hasil hidrolisiS diekstrakSi dengan petroleum
benzin teknis kemudian dimurnikan secara KromatOgrafi
Kolom menggunakafl fasé gerak Toluen teknis dan fase diam
Zeolit dengan ukuran partikel 25 - 45 mesh, 60 - 200
mesh atau campuran keduanya. Fraksi utama yang diperoleh dari isolasi 15 kg limbah udang windu sebesar 10,7 gram dengan kadar 99,2% mempunyai jarak lebur 147 C-148 C"
1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Soedjiarti
"Udang windu (Penaeus monodon Febr.) merupakan salah satu komoditi ekspor non migas disektor perikanan yang cukup penting. Kematian udang di tambak secara sedikit demi sedikit atau secara masal yang disebabkan antara lain oleh adanya parasit yang suatu saat dapat menimbulkan penyakit, merupakan salah satu penyebab menurunnya produksi maupun mutu. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui jenis parasitnya, sehingga dapat diambil langkah-langkah selanjutnya untuk pencegahannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jenis ektoparasit yang terdapat pada udang windu di daerah pertambakan Kemsl Muara dan mengetahui distribusinya pada bagian tubuh udang. Pengambilan sampel udang dilakukan dengan metode cluster random sampling pada dua stasiun yang ditetapkan. Pemeriksaan ektoparasit dilakukan terhadap 180 ekor sampel udang windu, dengan memeriksa eksoskeleton bagian tubuh (carapax, abdomen, extremitas, uropod) dan insang. Untuk mengetahui distribusi ektoparasit pada bagian-bagian tubuh dilakukan analisis data dengan menghitung frekuensi kehadiran masing-masing jenis. Dari hasil identifikasi diketahui terdapat 5 genera ektoparasit yaitu: Acineta, Bopyrid, Epistylis, Lagenidium den Zoothamnium. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Epistylis, Lagenidium dan Zoothemnium cenderung memiliki frekuensi kehadiran tertinggi di semua bagian tubuh dan insang."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Bayu Masariki
"ABSTRAK
Pesisir Semarang merupakan daerah lokasi tambak udang yang potensial. Namun produksinya tidak stabil. Jenis udang yang dibudayakan di Kota Semarang awalnya merupakan jenis udang windu Panaeus monodon sp namun pada pertengahan tahun 1990 terjadi penurunan produksi, sehingga petambak mulai beralih ke udang vanamei. Litopenaeusvannamei. Namun belum semuanya berubah ke udang vanamei. Tujuandari penelitian ini adalah mendeskripsikan dinamika spasial budidaya udang wilayah pesisir Semarang. Metode Pengumpulan data dengan memanfaatkan citra Landsat dan survei kepada petambak. Pendekatan keruangan menggunakan analisis Spasial dan deskriptif dari data yang telah didapatkan di lapangan. Citra tahun 1996 hingga 2018 digunakan untuk mengidentifikasi penurunan tambak. Hasil Penelitian menujukkan bahwa terjadi penurunan jumlah Tambak yang ada di Semarang dari tahun 1996 hingga tahun 2018 dan adanya penggantian jenis budidaya udang di semarang tepatnya di Kecamatan Genuk. Faktor utama penyebab penurunan tambak merupakan faktor fisik sedangkan penggantian jenis bududidaya disebabkan oleh faktor Nilai Jual, Kerentanan dan Pengolahan.

ABSTRACT
Semarang coastal area is a shrimp pond site potential. But the production isunstable. The kind of shrimp that cultivated in Semarang coastal originally were only black tiger shrimps Panaeus Monodon sp but in mid 1990, the production of this shrimp was decreased, so shrimp farmers began to switch to Vanamei shrimp Litopenaeus vannamei. But not all of the farmers havechanged to Vanamei Shrimp. The aim of this research is to describe this spatial dynamics of shrimp culture in the coastal area of Semarang. Theme thod of data collection in this research are using Landsat imagery and surveys to the farmers. While the method analysis is using Spatial and descriptive Analysis from data obtained in the field. The Landsat Imagery of year 1996 to 2018 is used to identify the declining of shrimp ponds. The results of the study showed that in the coastal area of Semarang there was adecline in the number of shrimp ponds from 1996 to 2018. The research shows that there is a decrease in the number of the existing ponds in Semarang from the year 1996 to the year 2018 and the change of type of shrimp being cultivated Semarang namely in Genuk Distict. The main factors that cause the decline of ponds is a physical factor whereas the change of shrimp being cultivated are caused by Sell Value, vulner ability and Management Factors."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djarwani Soeharso Soejoko
"ABSTRAK
Proses fisis klasifikasi kutikula udang galah dan udang windu diselidiki dengan menggunakan spectrometer infra merah., difraksi sinar X, dan resonansi spin elektron. Sampel kutikula dibuat dari udang dengan umur yang bervariasi, selama satu siklus molting.
Spektra infra merah dan profit difraksi sinar X digunakan untuk mengenali kehadiran kalsium karbonat dan kalsium fosfat Dalam kutikula terdapat kalsium karbonat dalam bentuk kalsit, dan kalsium fosfat dalam face ACP (amorphous calcium phosphate ), OCP (octacalcium phosphate ), dan apatit Pemanasan sampel dengan suhu 600"C dan 900°C dilakukan untuk mendeteksi OCP secara tidak langsung.
Ada dua cara klasifikasi. Metoda pertama mengakibatkan kW :Dada grup I mengandung apatit lebih tinggi dibanding dengan kutikula grup II yang klasifikasinya berlangsung dengan metoda kedua. Pada periode segera setelah molting, disamping material amorf, juga dibentuk material kristalin. Umumnya laju pertumbuhan apatit dalam kutikula udang galah lebih lambat dibanding dengan dalam kutikula udang windu.
Dalam kutikula udang galah, kalsit dan ACP tumbuh dominan, dan apatit tumbuh dengan ukuran kecil Kutikula molting selalu berisi apatit lebih rendah dibanding dengan kutikula non molting Berbeda dengan kutikula udang galah, apatit tumbuh lebih dominan dibanding dengan kalsit dalam kutikula udang windu. Kandungan ACP tinggi dalam kutikula non molting, tetapi tidak demikian dalam bra-Lila molting. Kutikula molting selalu berisi apatit lebih banyak dengan ukuran lebih tinggi dibanding dengan kutikula non molting.

ABSTRACT
Physical calcification process of giant and tiger prawn cuticle were investigated by using infrared, X ray diffraction, and electron spin resonance spectroscopy. Samples were prepared from cuticle of the prawns with age variation within one moulting cycle.
Infrared spectra and X my diffraction profiles were used to identify the presence of calcium carbonate and calcium phosphate . The cuticle contains calcium carbonate in the form of calcite, and calcium phosphates in the form of ACP (amorphous calcium phosphate ), 0CP (octacalcium phosphate), and apatites. Undirect identification of OCP was performed by heating the samples at temperature 500°C and 900°C. Electron spin resonance (ESR) spectroscopy was used especially for detecting carbonates in calcites and apatites.
There are two methods of calcification. The first method classify the group I cuticles with higher amount of apatites compare with the second method in the group II cuticles. In the period just after moulting, the crystalline materials are formed besides the amorphous materials in the two groups of cuticles.In general the rate of apatite growth in the giant prawn cuticle is lower than in the tiger prawn cuticle.
In the giant prawn cuticle, calcites and ACP exist dominantly, and apatites form in small size. The moulting cuticle always contains less of apatites than the non moulting cuticle. Differently happened in the tiger prawn cuticle, apatites dominate more than calcites. The amount of ACP is high in the non moulting cuticle, but not in the moulting cuticle. The moulting cuticle always contains much more apatites and in bigger size than in the non moulting cuticle.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library