Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maulida Laviena
"Hubungan negara dan masyarakat merupakan hal yang penting untuk dijaga demi menciptakan kedamaian suatu negara. Permasalahan etnis yang terjadi di Republik Rakyat Tiongkok, tepatnya permasalahan suku Uighur di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, telah menciptakan ketegangan antara pemerintah Tiongkok dan suku Uighur. Bingtuan, sebagai sebuah organisasi sosial di Xinjiang yang bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat, dapat memberikan gambaran atas hubungan pemerintah dan masyarakat Xinjiang, khususnya suku Uighur. Bingtuan sendiri merupakan sebuah organisasi paramiliter yang dibentuk oleh pemerintah Tiongkok untuk mengembangkan daerah Xinjiang, menjaga stabilitas Xinjiang, serta mendukung terciptanya kesatuan etnis di Xinjiang. Suku Uighur yang merupakan penduduk mayoritas Xinjiang sejak lama telah memiliki konflik dengan pemerintah Tiongkok. Berdasarkan peranannya, kehadiran Bingtuan tentu dimaksudkan untuk meredam ketegangan yang ada di antara pemerintah Tiongkok dan suku Uighur. Namun, melihat sejauh mana permasalahan suku Uighur telah terjadi, kehadiran Bingtuan justru memperparah hubungan antara kedua pihak tersebut karena menyebabkan kesenjangan sosial serta memperkuat adanya pandangan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan sinifikasi terhadap suku Uighur.
State-society relation is an important thing to maintain in order to create peace in a country. Ethnic issues that occur in Peoples Republic of China, specifically the Uighurs conflict in Xinjiang Uighur Autonomous Region, have created tensions between Chinese government and the Uighurs. Bingtuan, as a social organization in Xinjiang that is directly responsible to the central government, can give us an overview of the relationship between the government and Xinjiangs people, particularly the Uighurs. Bingtuan itself is a paramilitary organization formed by the central government to develop Xinjiang region, maintain stability in Xinjiang, and promote ethnic unity in Xinjiang. The Uighurs as the majority population in Xinjian have had conflicts with the government since long ago. Based on its roles, the presence of Bingtuan is intended to appease the conflict between the Chinese government and the Uighurs. However, seeing how far the Uighurs issue has happened, Bingtuans presence instead exacerbated the relation between those two because it caused social gap and strengthen the idea that the government strive to sinicize the Uighurs."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Ingrida Sriwahyuningsih
"Pembentukan Pusat Pelatihan dan Pengajaran Kejuruan (P3K) merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah RRT untuk meredam gerakan separatis di Xinjiang. Populasi suku Uighur merupakan populasi suku non-Han terbanyak yang menempati wilayah Xinjiang. Pemerintah Tiongkok sejak zaman kedinastian hingga RRT berdiri melakukan kebijakan yang hampir serupa kepada suku Uighur, yaitu berupaya mengasimilasi suku Uighur dengan suku Han. Asimilasi yang dilakukan antara lain dengan mengadakan migrasi besar-besaran suku Han ke wilayah Xinjiang. Akan tetapi, kebijakan migrasi ini tidak membuahkan hasil maksimal. Sebaliknya, suku Uighur dan suku Han cenderung tidak dapat hidup berdampingan, bahkan menyebabkan sebagian dari suku Uighur membentuk kelompok separatis. P3K yang dijalankan oleh Pemerintah RRT sekarang ini dapat dikatakan merupakan cara untuk menjalankan sixiang zhengfeng atau pembetulan pemikiran dan sinifikasi kepada suku Uighur. Sebelumnya sixiang zhengfeng pernah dilaksanakan oleh Mao Zedong pada era Yanan untuk mereedukasi kader PKT pasca Long March, dan juga untuk menghancurkan lawan politiknya pada masa Gerakan Seratus Bunga, Gerakan Anti Kanan, dan Revolusi Kebudayaan. Tugas akhir ini menggunakan pendekatan historis untuk menjelaskan dan menganalisis konflik antara suku Uighur dan pemerintah Tiongkok, serta melihat bagaimana pemerintah Tiongkok menjalankan ssixiang zhengfeng melalui pelaksanaan P3K.

The establishment of Vocational Skills and Education Training Center is a policy that was taken by the Chinese Government to oppress separatist movement in Xinjiang Region. The Uyghurs are the largest population of non-Hans ethnic group in Xinjiang. Since the dynasty era until the founding of PRC by CPC, the government had always taken similar policy toward the Uyghurs, to assimilate them and the Hans in Xinjiang Region. This goal accomplishes by Hans massive migration to the Xinjiang Region. However, this policy couldnt bring the expected result. On the contrary, coexistence between the Uyghurs and Hans couldnt be manifested, even causing some part of the Uyghurs to form a separatist movement. The establishment of Vocational Skills and Education Training Center policy that was taken by the Chinese Government could be said as an implementation of thought rectification or sixiang zhengfeng and sinicization towards the Uyghurs. In the past, Mao Zedong in Yanan Period once implements this campaign to reeducate CPC cadre, also in Hundred Flowers Movement, Anti-Rightist Campaign, and the Cultural Revolution to crush his political rival. The research of this final project carried out through the historical approach to elucidate and analyze the tension between the Chinese Government and the Uyghurs, also to study how thought rectification implemented by the Chinese Government through the Vocational Skills and Education Training Center establishment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Rafi Athallah
"Indonesia dikenal dalam keaktifannya pada berbagai konflik dan masalah kemanusiaan. Akan tetapi, Indonesia yang berperan aktif dalam isu Palestina, Afghanistan, dan Rohingya, di saat yang bersamaan memutuskan untuk tidak melakukan hal yang sama pada isu Uighur. sikap Indonesia yang tidak aktif dalam isu Uighur menjadi menarik untuk diteliti karena pada periode waktu yang relatif sama Indonesia dapat memiliki kebijakan luar negeri yang berbeda dalam beberapa konflik kemanusiaan. Sikap Indonesia tersebut juga menjadi sebuah pertanyaan atas negara yang tidak jarang memperkenalkan diri sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, namun diam atas fenomena krisis kemanusiaan yang dialami oleh sesama muslim di belahan dunia lain. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha membahas faktor-faktor yang mendorong terbentuknya kebijakan luar negeri Indonesia pada isu Uighur tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan kerangka teori peran agama dalam kebijakan luar negeri yang dikemukakan oleh Warner dan Walker. Penelitian ini berargumen bahwa tidak aktifnya kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu Uighur disebabkan oleh beragam faktor dari tingkat sistemik, domestik dan individu. Selain itu, bahwa Islam memiliki faktor yang terbatas dalam interaksinya dengan beragam faktor lainnya pada proses pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia.

Indonesia is known for its activeness in various conflicts and humanitarian issues. However, Indonesia, which plays an active role in Palestine, Afghanistan, and Rohingya, but at the same time decided not to do the same thing on the Uighur issue. Indonesia's inactiveness on the Uighur issue is interesting to study because in the relatively same period Indonesia had different foreign policies in several humanitarian conflicts. Indonesia's attitude is also a question of a country that often introduces itself as the country with the largest Muslim population in the world but remains silent on the phenomenon of the humanitarian crisis experienced by fellow Muslims in other parts of the world. Therefore, this study seeks to discuss the factors that encourage the formation of Indonesia's foreign policy on the Uighur issue. This study uses qualitative research methods using the theoretical framework of the role of religion in foreign policy proposed by Warner and Walker. This study argues that the inactiveness of Indonesia's foreign policy on the Uighur issue caused by various factors from systemic, domestic, and individual levels. In addition, Islam has a limited factor in its interaction with various other factors in Indonesia's foreign policy-making process."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library