Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahriz Danalam Alim Muntoha
"David Ward, Timothy J. Carter dan Robin D. Perrin (1994) adalah para peneliti yang menjabarkan konsep penyimpangan sosial dan juga kejahatan pada aspek interaksi sosial serta konsepsi subjektivis dan objektivis. Konsep Ward et.al di aplikasikan untuk mengkaji kasus unjuk rasa kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan kekerasan kolektif yang melibatkan sekelompok mahasiswa dengan pihak kepolisian dan berdampak korban luka serta kerusakan property pada tanggal 29 Maret 2012 di jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta.
Kesimpulan dalam penulisan ini, peristiwa kasus unjuk rasa dan kekerasan kolektif itu dapat dikatakan sebagai kejahatan sekaligus penyimpangan (crime is deviance) dengan melihat unsur-unsur serta aspek dalam pemahaman Ward et.al tentang penyimpangan dan kejahatan yaitu Pelaku (actor) dan Tindakan (acts), norma dan reaksi.

David Ward, Timothy J. Carter and Robin D. Perrin (1994) are researchers who describe the concept of social deviance and crime in social interaction and conception of subjectivist and objectivist aspects. Ward et. al concept is applied to discourse a demonstration against the raise of fuel and collective violence which involved a group of university student and police officers resulting several wounded victims and damage of property on March 29 2012 at Jalan Diponegoro, Salemba, Jakarta.
This writing concludes that the occurrence of demonstration and collective violence can be categorized as crime, as well as deviance (crime is deviance) by examining the elements and aspects according to the understanding of Ward et. al about deviance and crime which includes Actor, Acts, Norm, and Reaction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S58767
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Habdad Alwi
"Unjuk rasa dalam menolak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan unjuk rasa yang terjadi pada tahun 2019 yang diikuti oleh ribuan mahasiswa di Indonesia. Dalam unjuk rasa tersebut, banyak mahasiswa yang mengalami luka hingga meninggal dunia akibat bentrok dengan aparat kepolisian. Tulisan ini berfokus pada visualisasi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa dalam melakukan pemolisian unjuk rasa. Penulis menggunakan teori kekerasan kolektif yang akan menjadi landasan untuk menganalisis 32 gambar yang ada pada temuan data terkait kekerasan polisi dalam unjuk rasa tahun 2019. Hasilnya didapati bahwa kekerasan dan tindakan represif aparat kepolisian tervisualkan dalam gambar-gambar tersebut. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.

The protest against the Criminal Code draft and the revision of the Corruption Eradication Commission Law was a protest that took place in 2019, which was attended by thousands of students in Indonesia. During the protest, many students were injured and died due to clashes with the police. This paper focuses on the visualization of violence perpetrated by police against students in policing demonstrations. The author uses collective violence theory, which will be the basis for analyzing 32 images in the data findings related to police violence in the 2019 protest. The results show that violence and repressive actions by the police apparatus are visualized in these pictures. This act constitutes a violation of human rights and is against the principles of democracy adhered to by the Indonesian state."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Iqbal Azizi Zulfian
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya masalah ketegangan di masyarakat yang diakibatkan oleh dampak negatif atas keberadaan masa pandemi Covid-19. Kondisi ketegangan ini selanjutnya memicu terjadinya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat. Guna melakukan pencegahan potensi yang anarkis dari aksi unjuk rasa tersebut, diterapkan kegiatan intelijen yang memadukan pemolisian prediktif guna mengantisipasi berbagai faktor yang memicu timbulnya sikap-sikap yang anarkis. Sesuai dengan persoalan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis upaya intelijen keamanan Polri dalam mencegah aksi unjuk rasa penolakan kebijakan pembatasan aktivitas sosial masyarakat di masa pandemi Covid-19, menganalisis pola pemolisian prediktif yang diterapkan untuk memprediksi potensi unjuk rasa yang bersifat anarkis di wilayah DKI Jakarta, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan aksi unjuk rasa yang bersifat anarkis di wilayah DKI Jakarta.
Upaya Intelijen Keamanan Polri dalam mencegah aksi unjuk rasa penolakan kebijakan pembatasan aktivitas sosial masyarakat di masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan melalui kegiatan deteksi dini yang dilaksanakan melalui tahapan perencanaan, pengumpulan data intelijen dan pengolahan data, serta penyajian data intelijen. Namun upaya ini dinilai gagal sebab kegiatan intelijen yang ditujukan untuk pencegahan aksi unjuk rasa tersebut, belum mampu mencegah aksi unjuk rasa di hari-hari berikutnya, yang dari hasil analisis peneliti kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: adanya kontradiksi antara penegasan dan pengulangan, masalah insentif, kontradiksi informasi palsu yang bermuatan positif dan negatif, efek penguncian keterikatan pada regulasi yang harus dipatuhi, pembagian informasi, saluran komunikasi. Pola pemolisian prediktif yang diterapkan untuk memprediksi potensi unjuk rasa yang bersifat anarkis di wilayah DKI Jakarta dilakukan dengan cara pengumpulan data, analisis, operasi polisi, dan respons terhadap ancaman aksi unjuk rasa yang bersifat anarkis, yang mana hal ini dalam langkah intelijen ditujukan untuk melakukan penilaian ancaman, penyelidikan ancaman, mengevaluasi ancaman, pemantauan, pengontrolan dan pengarahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan aksi unjuk rasa yang bersifat anarkis di wilayah DKI Jakarta dipengaruhi oleh adanya peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku aksi unjuk rasa tersebut.

This research is motivated by the problem of tension in society caused by the negative impact of the existence of the Covid-19 pandemic. This condition of tension then triggered demonstrations by the community. In order to prevent the anarchic potential of these demonstrations, intelligence activities that combine predictive policing are implemented to anticipate various factors that trigger anarchic attitudes. In accordance with this issue, this study is aimed at analyzing the efforts of the National Police's security intelligence in preventing demonstrations against the policy of restricting social activities during the Covid-19 pandemic, analyzing the predictive policing pattern applied to predict the potential for anarchic demonstrations in the DKI Jakarta area, and analyze the factors that influence the increase in anarchic demonstrations in the DKI Jakarta area.
The efforts of the National Police Security Intelligence to prevent demonstrations against the policy of restricting social activities in the community during the Covid-19 pandemic can be carried out through early detection activities carried out through the planning stages, intelligence data collection and data processing, as well as intelligence data presentation. However, this effort was considered a failure because intelligence activities aimed at preventing these demonstrations had not been able to prevent demonstrations in the following days, which from the results of the researcher's analysis this condition could be caused by several factors including: the contradiction between affirmation and repetition, incentive problems, contradicting positive and negative false information, the effect of locking attachments on regulations that must be obeyed, information sharing, communication channels. The predictive policing pattern applied to predict the potential for anarchic demonstrations in the DKI Jakarta area is carried out by means of data collection, analysis, police operations, and responses to the threat of anarchic demonstrations, which in this intelligence step is intended to conduct an assessment. threats, threat investigations, evaluating threats, monitoring, controlling and directing. The factors that influence the increase in anarchic demonstrations in the DKI Jakarta area are influenced by the opportunities that can be exploited by the perpetrators of these demonstrations.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Prasetio
"Berkembangnya dunia Kepolisian dari waktu-kewaktu baik secara organisasi maupun personil dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam kehidupan masyarakat (Rianto, 1999). Apalagi ditambah dengan berpisahnya Polri dari ABRI, membuat tugas dan tanggung jawab Polri semakin berat. Sehingga Polri harus mampu menjadi ujung tombak dalam menegakkan hukum (Djamin, 2001).
Kepolisian merupakan suatu lembaga yang bertugas menjaga keamanan negara dan menegakkan hukum yang terdiri dari lima fungsi teknis kepolisisan, diantaranya adalah fungsi Sabhara (Samapta Bhayangkara), fungsi Lantas (Lalu Lintas), fungsi Bimmas (Bimbingan Masyarakat), fungsi Reserse dan fungsi Inteligen. Kelima fungsi ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan yang sangat diperlukan untuk membangun polisi yang ideal. (Wangsa, 1994).
Yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah fungsi Sabhara, karena tugas Sabhara adalah melaksanakan fungsi kepolisian yang bersifat preventif atau pencegahan, menangkal segala bentuk pelanggaran dan tindak kriminalitas serta melaksanakan tindakan represif tahap pertama terhadap segala bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dan ketertiban masyarakat, melindungi keselamatan orang, benda dan masyarakat serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat (Wangsa, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres fisiologis merupakan sumber stres yang paling menonjol dan paling potensial sebagai penyebab timbulnya stres pada anggota Sabhara Polda Metro Jaya dalam menangani aksi unjuk rasa di Jakarta. Sumber stres psikologis merupakan faktor yang mempunyai banyak peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan stres, tetapi potensi untuk menyebabkan stres tidak saekuat sumber stres fisiologis. Namun demikian sumber stres psikologis tetap lebih potensial menimbulkan stres dibandingkan sumber stres dari keluarga, stresor lingkungan, dalam diri serta komunitas dan pekerjaan.
Menurut Carver (1989), sebagian besar stresor individu dapat menampilkan lebih dari satu strategi coping. Namun demikian, dalam keadaan tertentu salah satu strategi cenderung mendominasi, baik itu Problem-Focused Coping, Emotion-Fokused Coping, atau Maladaptive Coping. Keadaan ini juga berlaku pada anggota Sabhara Polda Metro Jaya dalam menengani aksi unjuk rasa di Jakarta. Anggota Sabhara yang bertugas di Polda Metro Jaya menggunakan ketiga strategi coping yang ada untuk mengatasi stres, namun Emotion-Focused Coping yang lebihbanyak digunakan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roger Johnson Piri
"Tesis ini mencoba menganalisis penyelenggaraan pengamanan unjuk rasa buruh di wilayah hukum Polresta Bekasi yang menutup jalan tol Cikampek. Penutupan jalan tol yang dilakukan oleh buruh mengakibatkan banyak kerugian yang dialami oleh masyarakat pengguna jalan tol ini serta pihak perusahaan yang menggunakan fasilitas ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipasi aktif, wawancara mendalam, studi dokumen dan trianggulasi. Kasus yang diteliti adalah penyelenggaraan pengamanan unjuk rasa buruh yang gagal dilaksanakan oleh Polresta Bekasi dan mengakibatkan buruh dapat menutup jalan tol Cikampek. Penelitian menunjukan bahwa buruh menutup jalan tol akibat gagal runding dalam penetapan upah minimum kabupaten dan Apindo Kabupaten Bekasi menggugat ke PTUN. Dewan Pimpinan Apindo Kabupaten Bekasi melakukan gugatan terhadap keputusan Gubernur Jawa Barat. Faktor yang mempengaruhi kegagalan ini adalah pertama, personil Polresta Bekasi yang masih kurang paham hukum ketenagakerjaan sehingga takut mengambil risiko dan takut bermasalah. Kedua, serikat pekerja memanfaatkan kelemahan pengawas ketenegakerjaan dan kelemahan Polresta Bekasi. Ketiga, masyarakat dengan adanya aksi perlawanan yang dapat menyebabkan konflik dengan buruh. Keempat, pengusaha dengan kelalaiannya melalukan pembinaan kepada pekerja dan serikat pekerjanya. Kelima, penyelesaian permasalahan industrial di Kabupaten Bekasi yang tidak dapat terselesaikan dengan baik akibat kurangnya pengawas tenaga kerja. Penyelenggaraan pengamanan unjuk rasa yang ideal dengan mengetahui fenomena sebenarnya dibalik unjuk rasa yang terjadi bahwa selama ini seringnya terjadi unjuk rasa dikarenakan adanya oknum serikat pekerja yang mencari keuntungan dengan memperoleh success fee serta pengambil alihan kekuasaan. Upaya yang paling tepat adalah mengaplikasikan tindakan preemtif melalui kegiatan pemolisian masyarakat secara aktif dan berkesinambungan.

This thesis tries to analyze the organization of labor protests in securing jurisdiction Bekasi Police shut Cikampek toll road. Highway closures made by the workers resulted in many losses experienced by the users of this highway as well as the companies that use this facility. This study used a qualitative approach to data collection techniques using observation of active participation, in-depth interviews, document studies and triangulation. Cases studied is organizing labor protests security has not carried out by the Bekasi Police and resulted in labor can occlude Cikampek. Research shows that workers closed the highway for failing negotiator in the minimum wage and Apindo Bekasi district sued to the administrative court. Leadership Council Apindo Bekasi suing West Java Governor's decision. Factors affecting this is the first failure, internal Bekasi Police still do not understand employment law so afraid to take the risk and fear of troubled. Second, take advantage of the weakness of trade unions labor inspectors and Bekasi Police weaknesses. Third, the public with an insurgency that could lead to conflict with workers. Fourth, employers with guidance to workers pass negligence and workers unions. Fifth, the settlement of industrial problems in Bekasi that can not be resolved properly due to lack of labor inspectors. Operation of security ideal demonstration by knowing the actual phenomena that occur behind the protests that during these frequent rallies due rogue unions that seek profits by obtaining the success fee as well as the takeover of power. The effort is to apply the most appropriate preemptive action through community policing activities are actively and continuously.;This thesis tries to analyze the organization of labor protests in securing jurisdiction Bekasi Police shut Cikampek toll road. Highway closures made by the workers resulted in many losses experienced by the users of this highway as well as the companies that use this facility. This study used a qualitative approach to data collection techniques using observation of active participation, in-depth interviews, document studies and triangulation. Cases studied is organizing labor protests security has not carried out by the Bekasi Police and resulted in labor can occlude Cikampek. Research shows that workers closed the highway for failing negotiator in the minimum wage and Apindo Bekasi district sued to the administrative court. Leadership Council Apindo Bekasi suing West Java Governor's decision. Factors affecting this is the first failure, internal Bekasi Police still do not understand employment law so afraid to take the risk and fear of troubled. Second, take advantage of the weakness of trade unions labor inspectors and Bekasi Police weaknesses. Third, the public with an insurgency that could lead to conflict with workers. Fourth, employers with guidance to workers pass negligence and workers unions. Fifth, the settlement of industrial problems in Bekasi that can not be resolved properly due to lack of labor inspectors. Operation of security ideal demonstration by knowing the actual phenomena that occur behind the protests that during these frequent rallies due rogue unions that seek profits by obtaining the success fee as well as the takeover of power. The effort is to apply the most appropriate preemptive action through community policing activities are actively and continuously."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Dialina
"Maraknya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pekerja akhir-akhir ini banyak menarik perhatian orang. Banyak pengamat memberikan analisanya dan sebagian besar mengatakan bahwa penyebabnya masih berkisar pada rendahnya upah minimum (UMR). Dari data yang diperoleh menyebutkan dari tahun 1990 sampai 1996, telah terjadi 903 kali aksi unjuk rasa di wilayah DKI Jakarta. Puncaknya terjadi pada tahun 1996 dengan 350 kali dan tidak mustahil pada tahun ini akan terus meningkat, mengingat semakin seringnya hal itu terjadi akhir-akhir ini (Laporan Analisa Aksi Unjuk Rasa & Pemogokan Kerja Depnaker, 1996).
Akibat tejadinya aksi unjuk rasa inipun sangat merugikan kedua belah pihak, baik para pekerja maupun pengusaha Kerugian dapat bersifat fisik dan psikologis (ldroes Kompas, 27 September 1995). Ia menyatakan bahwa kerugian akibat berbagai aksi unjuk rasa sangat besar dan luas, baik secara fisik, material, mental maupun moral. Masalah aksi unjuk rasa ini merupakan masalah yang sangat serius, seperti yang dikemukakan oleh Pasaribu dan Kwik Kian Gie (Kompas, 1996). Masalah ketenagakerjaan juga merupakan masalah yang sangat vital dan strategis, serta menyimpan ancaman yang besar jika tidak diselesaikan secara tuntas, karena itu harus segera diambil kebijaksanaan dan langkah-langkah penyelesaian serta antisipasinya (Idroes, Kompas 27 September 1995).
Walaupun upaya-upaya terus dilakukan, tetapi masih sering kita membaca di media massa, aksi unjuk rasa itu terjadi. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri peneliti, ?Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apakah upah merupakan masalah yang utama? Beberapa kalangan pengamat masalah-masalah sosial, menilai terjadinya bukan disebabkan oleh masalah fisik semata, tetapi juga masalah-masalah yang lebih bersifat sosial dan psikologis. Selama ini masalah pekerja selalu dipandang dari sudut ekonomi. Para pengamat mencoba untuk lebih melihat masalah ini dari sudut sosial dan psikologis, seperti yang diteliti oleh Komalasari (1995) bahwa pemogokan kerja yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini Iebih melibatkan hal seperti lingkungan kerja, penilaian kerja dan beban kerja.
Salah satu teori yang cukup komprehensif dalam menjelaskan timbulnya collective behavior (selanjutnya akan disebut dengan tingkahIaku kelompok) adalah teori dari Smelser (1962). Aksi unjuk rasa yang dimaksud di sini merupakan salah satu bentuk dari tingkahlaku kelompok, yang berorientasi pada perubahan norma (Smelser, 1962). Timbulnya tingkahlaku kelompok didasarkan pada satu keyakinan umum bahwa situasi perlu dan dapat diubah. Dalam menentukan timbulnya suatu tingkahlaku klompok, Smelser mengemukakan enam determinan. Determinan-determinan ini adalah (1). Kekondusifan struktural, (2) Tekanan Struktural, (3) Pertumbuhan Keyakinan, (4) Faktor Pencetus, (5) Mobilisasi Partisipan dan (6) Penerapan Kontrol Sosial. Determinan-determinan ini disusun secara berurutan, sehingga determinan yang terdahulu merupakan syarat bagi timbulnya determinan yang berikutnya, tetapi tidak harus selalu berurutan sauna kronologis atau dalam urutan waktu.
Dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Smelser (1962), masalah penelitian ini adalah bagaimana dinamika terjadinya aksi unjuk rasa didasarkan pada teori Smelser? Pembahasan akan difokuskan pada perbedaan determinan-determinan yang merupakan syarat untuk timbulnya suatu tingkahlaku kelompok, dalam hal ini aksi unjuk rasa. Agar dapat diadakan perbandingan, dalam penelitian ini digunakan dua kelompok pekerja, yaitu kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dan kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pegawai negeri. Digunakannya sampel pegawai negeri dengan pertimbangan secara keseluruhan keadaan di antara kedua profesi tersebut tidak jauh berbeda, baik dilihat dari segi upah, jam kerja maupun intensitas pekerjaannya.
Penelitian dilakukan terhadap sampel pekerja dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang terdiri dari beberapa bagian dan mengukur determinan-determinan yang bepengaruh. Penyusunan alat ukur didasarkan pada hasil elisitasi terhadap sejumlah orang yang sesuai dengan karakteristik subyek penelitian. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah analisis perbedaan mean antar determinan, dengan membandingkan mean antara kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa (pekerja swasta) dengan mean kelompok pekerja yang tidak melakukan aksi unjuk rasa (pegawai negeri).
Berdasarkan hasil penelitian utama diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang Signifikan dalam terjadinya perilaku aksi unjuk rasa pada pekerja swasta dengan pegawai negeri. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa Tekanan Struktural merupakan determinan yang paling berpengaruh, dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini, Tekanan Struktural dirasakan paling besar oleh kelompok pekerja yang melakukan aksi unjuk rasa, dalam hal ini pekerja swasta dibandingkan dengan determinan lainnya. Selain itu, dari pengolahan yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa, dalam penelitian ini, upah bukan merupakan faktor utama dalam menimbulkan aksi unjuk rasa pada pekerja swasta. Dari hasil yang diperoleh diharapkan, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk melakukan evaluasi serta penyempurnaan lebih lanjut bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2691
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anjar Maulana
"Penelitian ini dilatarbelakangi adanya aksi unjuk rasa yang mengakibatkan terbakarnya empat personel Polres Cianjur. Situasi unjuk rasa saat itu, terjadi pembakaran kardus dan ban bekas oleh peserta aksi kemudian ke-empat personel tersebut berinisiatif keluar dari ikatan pasukan untuk memadamkan api yang terbakar tanpa menggunakan alat pemadam api ringan, peralatan dan perlengkapan Dalmas. Seketika itu salah satu peserta aksi unjuk rasa melempar plastik yang berisi bensin kepada petugas hingga api menyambar kepercikan bensin dan membakar ke-empat personel Polres Cianjur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan wawancara secara mendalam terhadap dokumen dan pihak yang terlibat. Penelitian ini menemukan bahwa pemberian pengetahuan dan keterampilan dalam pengendalian massa aksi unjuk rasa tidak mendapat perhatian khusus dari pimpinan Polres Cianjur. Hal ini terlihat dari data yang telah penulis dapatkan bahwa hanya dua personel yang telah mengikuti pendidikan pelatihan dan pelatihan singkat dari 71 personel Sat. Sabhara. Pada penelitian ini teori manajemen digunakan untuk menggambarkan pengelolaan personel Polres Cianjur dalam menghadapi aksi unjuk rasa. Sedangkan teori kompetensi digunakan untuk menganalisa kemampuan personel dalam melaksanakan tugas pengamanan aksi unjuk rasa. Selain itu, terdapat konsep HAM dan pengendalian massa digunakan untuk menganalisa pelaksanaan aksi unjuk rasa. Kendala yang dihadapi Polres Cianjur dalam melaksanakan pengamanan unjuk rasa terlihat pada kurangnya pemberian pengetahuan dan keterampilan kepada personel Dalmas. Oleh sebab itu, penulis melengkapi analisa dengan menggunakan konsep pembinaan pelatihan sehingga dapat memberikan gambaran dalam upaya perbaikan pengamanan aksi unjuk rasa yang damai.

This research was motivated by a demonstration that resulted in the burning of four Cianjur Police Personnel. The demonstration situation at that time, there was burning of carboard and used tires by the participants of the action then the four personnel took the initiative to leave a troop bond to extinguish the burning fire without using light fire extinguishers and Dalmas equipment and supplies. Immediately, one of the protesters threw a plastic bag filled with gasoline at the officers until the fire grabbed sparks of gasoline and burned the four Cianjur Police personnel. This research uses a qualitative method with a case study approach with in-dept interviews of the documents and parties involved. This study found that the provision of knowledge and skills in controlling mass demonstrations did not receive special attention from the leadership of Cianjur District Police. This can be seen from data that the author has obtained that only two personnel have attended training and brief training from 71 of Patrol personnel. In this study, management theory is used to describe mass management control by Cianjur District Police. Meanwhile, competency theory is used to analyze the ability of personnel in carrying out the task of securing demonstration. In addition, there are concepts of human rights and mass control used to analyze the implementation of demonstrations. In fact, most of the Cianjur District peronnel did not have the knowledge and skill for mass control. Therefore, the author completes the analysis by using the concept of training development so that it can provide an overview in effort to improve the security of peaceful demonstrations."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library